Selembar bekas sobekan kain yang berlumuran darah tergeletak di tanah. Hanya beberapa meter saja dari tempat itu, mereka juga menemukan sebuah kayu runcing yang berlumuran darah. “Ini adalah miliknya. Wanita itu pasti sedang terluka parah akibat kayu runcing ini yang menghujam dirinya” Buyung mengangkat kain dan kayu runcing yang berlumuran darah itu ke hadapan teman-temannya. “Dia pasti sudah tiba di jembatan gantung itu, ayo cepat! Kejar dia!” Buyung segera berlari mengejar Meri ke arah jembatan itu bersama dengan teman-temannya.Suara langkah kaki mereka yang berlari menerobos padang belukar yang tebal itu terdengar bagaikan sekumpulan binatang yang liar yan beringas. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan menjadi patah dan hancur. Enam orang pria itu benar-benar mengerahkan semua kekuatan mereka untuk mengejar buruan mereka yang berusaha untuk meloloskan diri.Sekitar beberapa belas menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di dekat area parkiran. Tempat itu tampak begitu len
Meri berhasil melewati jembatan kayu itu meski harus berjuang dengan sekuat tenaga. Ia berlari memasuki hutan yang lebat. Sementara itu, di belakangnya ada Buyung yang baru saja tiba di pangkal jembatan. Ia segera menyeberangi jembatan kayu itu dengan berlari. Jembatan gantung itu pun bergoncang hebat. Jika pria itu tidak menyadarinya, maka dia pasti akan terlempar kebawah sana akibat goncangan yang semakin kencang. Namun beruntunglah lelaki itu menyadarinya, ia segera menurunkan laju kecepatannya itu untuk menyeimbangkan situasi. Dia mengganti gerakannya tersebut dengan cara berjalan cepat dan setengah berlari kecil ke hingga ujung jembatan. Setelah itu, satu per satu temannya yang lain juga menyusul dari belakang.Di sisi lain, Tadu teman Buyung yang menyeberang dengan motor trail itu masih berjuang keras agar mampu menerobos arus sungai batang merao yang masih cukup deras itu. Benar-benar di luar dugaannya, ternyata melewati arus sungai batang merao saat itu tidak semudah seper
Rumah kayu itu telah kosong. Di ruangan dapur, tampak bara api yang masih memerah dengan gumpalan asapnya yang memutih. Tungku batu dan kuali masih berada di sana. “Mereka pasti tidak jauh dari sini, ayo kejar mereka ke sana!” Pak Karay berseru dengan suaranya yang lantang. Dengan serta merta para warga yang menentang senjata lengkap itu pun langsung berhamburan mengikuti arah jari telunjuk sang kepala desa. Mereka berlari melewati lorong sempit yang diapit oleh dua tebing curam dari sisi kiri dan juga kanannya.Semakin jauh mereka berlari ke dalam sana, lorong yang pada mulanya selebar satu meter lebih itu kini perlahan-lahan menjadi semakin sempit dan susah untuk dilalui. Begitupun dengan kecepatan lari mereka yang menurun drastis. “BUM” sebongkah batu menghalangi kaki Pak Wawan. Beliaupun tersungkur ke tanah. Beruntunglah sindi punya reflek yang bagus, ia berhasil menghindarinya. Pak Wawan meringis kesakitan. Lutut dan sikunya tampak berdarah. Tidak mau menghambat perjalanan, bel
“Tidak mungkin!” Salah satu dari warga yang berdiri di tempat itu memegang kepalanya. Dia benar-benar tidak percaya, ternyata jalan yang sempit itu akan berakhir dengan sebuah kebuntuan. Apa kita salah jalan? Tadi di belakang sana aku melihat ada jalan lain. Ayo kita mundur. Setiap orang sibuk mengutarakan pendapatnya untuk mencari jalan keluar dari tempat itu.“Bagaimana ini? Aku tidak mau terjebak di tempat ini. Bagaimana jikalau nanti tebing-tebing ini runtuh lagi? Kita semua akan mati sia-sia di sini. Malam akan segera datang.” Para pria yang bersenjata tajam itu tampak begitu menghawatirkan nasib mereka. Mereka mengeluhkan tentang banyak hal di sana.Saat itu hari benar-benar sudah sore. Sekitar satu jam lagi, matahari akan segera lenyap dari dunia digantikan oleh malam yang gelap gulita. Pak Karay yang menenteng senjata api berseru dari belakang. “Panjat tebing itu dengan tali, CEPAT!” seruan itu membuat suara bising itu menjad
“Belok ke kiri!” Teriak Pak Wawan dari belakang. Tanjo yang memimpin di depan dengan serta merta langsung berbelok. Begitu juga dengan Sindi dan beberapa orang yang ada di belakangnya. Medan yang mereka lewati kali ini sedikit lebih baik dari pada medan yang ada di belakang sana. Permukaan jalan tidak basah dan berlumpur, medannya kering namun dipenuhi bebatuan.“Hati-hati, jangan ada yang sampai terpeleset” tanjo mengingatkan semua orang. Dengan begitu hati-hati mereka berlari dengan melompati batu demi bebatuan itu hingga sampailah mereka ke sebuah padang rumput yang cukup luas. Sindi lega, begitupun dengan semua orang.“Di mana perahu itu?” Tanya Tanjo dengan nafas yang masih belum teratur. “Sana” Pak Wawan segera mengambil jalan. Beliau membawa mereka berjalan menuju ke suatu tempat tersembunyi yang terletak di balik sisi kiri tebing. Semakin jauh mereka berjalan ke depan sana, suara air sungai yang mengalir terdengar
Setenang air sungai yang mengalir, setenang itu pulalah dua perahu kayu itu melintas di hadapan api unggun tersebut. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Para pria itu sedang berdiri dan berbincang-bincang satu sama lain. Bias sinar api unggun di kegelapan malam tampak benderang, membuat pepohonan yang tumbuh di sekeliling menjadi terlihat cukup jelas. Dalam beberapa detik, akhirnya dua perahu kayu itu pun berhasil melewati gerombolan para pemuja setan tersebut.Ketika jarak mereka sudah mencapai puluhan meter dari tumpukan api unggun itu, barulah kemudian Pak Wawan dan semua orang bangun dari lantai perahu. Pendayung pun mulai dimainkan kembali.*******Hari telah gelap. Rembulan malam baru saja menampakkan wajahnya di ufuk timur. Cahayanya tampak begitu terang memenuhi cakrawala. Meri masih bergelut dalam pelarian yang tak kunjung berakhir. Enam orang pria itu terus mengejarnya dari belakang, mereka membawa api obor yang entah dari mana asalnya. Meri kehilanga
Dua perahu kayu itu bergerak perlahan mengikuti arus sungai yang mengalir. Satu dua suara burung-burung terdengar bersiul merdu di pepohonan, para jengkerik berdengung dari sisi kiri dan kanan sungai. Malam sungguh begitu dingin, namun langit tampak begitu terang memancar. Purnama malam tujuh belas yang sudah mulai timpang itu baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur. Berseri-seri. Setelah melewati komplotan warga yang bersenjata di tepi sungai, kini Pak Wawan dan Tanjo sudah bisa lebih tenang dari sebelumnya. Pendayung mereka lebih banyak diam, hanya sesekali digunakan untuk mengendalikan arah perahu. Sementara itu di tepi sungai, Askar dan dua orang temannya masih berjalan tenang melewati rerumputan dan juga bebatuan. Akan tetapi semua itu tidak berlangsung lama, karena di depan sana ada sesuatu yang sedang menunggu mereka. Cahaya bulan purnama tujuh belas yang bersinar terang di malam itu ternyata bukanlah sebuah hal yang baik bagi Pak Wawan dan kawan-kawan, akan tetapi hal ter
Meskipun arus sungai itu tampak begitu tenang dan nyaris tidak mengeluarkan suaranya, namun saat ia terjun dan berenang ke dalamnya, ternyata arus sungai itu sungguh begitu deras. Sindi kesulitan untuk mengendalikan diri. Hanya dalam beberapa detik saja tubuhnya berada di dalam sana, ia sudah terseret jauh dalam jarak belasan meter meninggalkan perahu Pak Wawan yang tertangkap oleh para pria gila itu. Keadaan Sindi di dalam sungai sungguh memprihatinkan. Ransel yang dibawanya itu terasa lima kali lipat lebih berat dan menghambat pergerakannya. Tidak ada pilihan lain, ia pun memutuskan untuk melepaskan dan kemudian membuang ransel tersebut. Ia kemudian segera berenang ke tepi sungai menuju ke sebuah tumpukan tanah yang samar-samar terlihat dipenuhi oleh rerumputan liar. Ia berhasil mencapainya dengan selamat. Ia langsung mendudukkan dirinya begitu saja di tanah, sembari mengatur nafasnya yang sudah berada di luar kendali. Sindi melayangkan pandangannya jauh ke belakang sana, ke arah s