“Andra, itu istri kamu suruh ke rumah buat bantu-bantu Mama! Kakak-kakak kamu mau pada datang buat acara buka bersama!” celoteh Marni---sang ibu.
“Tari lagi gak enak badan, Ma! Dia dari pagi tiduran aja!” bella Andra.
“Alah, kamu itu makin ke sini makin kayak kerbau dicucuk hidungnya saja! Memangnya apa bagusnya Tari, Ndra … sore nanti mama ngundang Ivana juga buat datang!” ucap Marni.
“Ma, sudahlah … lupakan obsesi mama! Andra udah nikah, Ma! Ivana juga pasti udah bisa terima semua ini!” tukas lelaki bertubuh jangkung itu sambil mengikuti langkah mamanya yang berjalan menuju kamar tidurnya.
“Kamu tuh pasti kena pelet, apa-apa Tari, apa-apa Tari … Ivana tuh wanita karir, Ndra … selain bisa jadi istri, dia juga bisa bantu menuhin kebutuhannya sendiri! Daripada istri kamu itu yang bisanya cuma ngabisin uang suami! Jatah buat mama saja semakin hari semakin sedikit … pasti habis buat gaya hidupnya yang sok elit!” ujarnya.
Andra mengacak rambut kesal. Sementara langkah Marni sudah tiba di depan pintu kamar. Dia menggedor keras kemudian mendorongnya.
“Dasar istri pemalas! Jam segini kerja tiduran doang! Kasian anak saya terjebak muka sok polos kayak gini, Ya Tuhaaan!” Marni menggeleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang.
“Eh, ada Mama? Maaf Ma, Tari lagi gak enak badan!” Wanita berparas lembut itu menyibak selimut. Kepalanya terasa berat, mungkin karena tadi dia telat sahur makanya kondisinya seperti itu.
“Sore nanti kakak-kakaknya Andra mau pada ke rumah buat bukber! Kamu sekarang ikut mama, bantuin Bi Inah masak! Kebanyakan tidur juga bikin penyakit!” ujar Marni sambil melengos pergi.
Wanita dengan gelang emas yang bergemerincing itu berhenti. Sekilas menoleh ke menantunya kembali.
“Mama tunggu sekarang! Gak usah banyak alasan!” ujarnya. Kemudian kembali mengayun langkah menuju ruang tengah diikuti Andra.
Hastari bangkit dan mencoba mengabaikan sakit kepala yang menimpanya. Kemudian berjalan tertatih ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia melihat pantulan wajahnya pada kaca wastafel, sudah terlihat lebih segar.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Rupanya selepas shalat zuhur tadi dia ketiduran.
Dia kembali ke kamar dan mengambil kerudung yang tergantung pada kapstok belakang pintu. Kemudian memakainya dan mematut diri di depan cermin. Wajahnya memang tampak sedikit pucat.
Diraihnya tas kecil yang menggantung untuk menyimpan gawai dan uang yang akan dibawanya. Hastari berjalan menuju ibu mertua dan suaminya yang tengah mengobrol di ruang tengah, Andra menoleh padanya sambil menatap khawatir.
“Sayang memangnya sudah baikan?” tanyanya. Tari mengangguk.
“Gak apa, Mas! Sambil ngabuburit! Lagi pula nanti cuma bantuin Bi Inah!” ucap Tari sambil memasang senyum.
“Tapi Mas masih harus bantu warga kerja bakti sedikit lagi! Gak enak juga absent terus, mumpung libur jadi mau bantu sampai selesai!” ucap Andra.
“Iya, Mas gak apa-apa nanti nyusul aja ke rumah mama … Tari ikut berangkat bareng mama aja, ya!” ucapnya sambil mencium punggung tangan Andra.
“Hati-hati ya, Sayang! Kalau lemes gak usah dipaksakan!” ucap Andra sambil mengusap lembut pucuk kepala sang istri.
Tari mengangguk. Andra menoleh pada ibunya yang tampak sibuk membalas WAG keluarga. Di mana Tari sudah beberapa hari lalu keluar dari grup itu.
“Ingat ya, Ma yang Andra tadi minta! Andra gak mau dia datang! Andra gak mau lukai perasaan istri Andra!” ucapnya serius.
Marni menoleh sekilas. Wajahnya datar dan tidak memberikan jawaban apapun. Dia beralih menatap sang menantu kemudian berdiri sambil meraih kunci mobil yang tergeletak di meja.
“Ayo, nanti keburu sore!” ujarnya sambil melangkah mendahului sang menantu keluar. Hastari mengikutinya dalam diam.
***
“Neng, kerjain ini aja … kupas buah-buahan!” Inah sang ART memberikan satu panci besar berisi buah segar untuk membuat sop buah buat buka nanti.
“Iya, Bi!” ucap Tari.
“Gak usah capek-capek juga … biar bibi kerjain yang berat nanti!” ucapnya sambil mengangkat rebusan gula pasir yang dicampur daun pandan untuk disiram pada sop buah nanti.
“Masih banyak, Bi kerjaannya?” Tari menoleh pada Inah. Wanita paruh baya itu mengangguk, sudut matanya menoleh pada beberapa masakan yang baru separuh dia selesai menyiapkannya.
“Hari ini mau masak rendang daging kesukaan Den Hans, terus mau masak sop tulang iga kesukaan Neng Melati. Nah mau buat capcay jamur juga buat cucu-cucunya Nyonya, Neng! Bikin salad, bikin gorengan sama sambel juga gak kelewat!” ucap Inah sambil menunjuk bahan-bahan yang sudah setengah jalan.
“Bibi, tolong anterin paketan ini ke rumah Bu Isma! Kemarin belanja online barengan tadi dia nelpon minta dianterin!” Marni melongo dari ruang tengah sambil menenteng plastik berwarna hitam.
“Rumah Bu Isma yang di cluster Mawar, Nya?” Inah memastikan. Marni mengangguk sambil mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan.
“Iya, nanti pulangnya ke minimarket belikan pear sama apel kesukaan Caca sama Rana!” ucapnya sambil mengulurkan uang dan plastik. Inah menerimanya dengan ragu sambil melirik pada Tari.
“T-tapi Nya, ini masih banyak yang belum selesai … rumah Bu Isma kan setengah jam kalau naik ojek, kalau mampir mini market mungkin bisa dua jam baru sampai sini lagi!” Inah tampak bingung.
“Udah lah, biar aja Tari yang ngerjain … lagian udah kamu siapin juga kan semuanya! Tinggal bikin gitu doang gampang!” ujar Marni.
Inah akhirnya dengan berat meninggalkan Tari yang berkutat dengan pekerjaan sendirian.
“Tari, awas ya kalau sampai masakannya gak enak! Kamu itu udah gak bisa apa-apa kalau masak aja gak bisa udah deh gak usah jadi istrinya Andra!” pedasnya kalimat yang terlontar. Tari hanya beristighfar tanpa menyahuti perkataan sang Ibu mertua.
***
Maghrib menjelang. Di luar Marni tampak sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Hans dengan istrinya sudah duduk juga di meja makan. Begitupun Melati dengan Pandi sang suami.
Caca dan Rana berlarian sambil tertawa-tawa. Mereka sudah rapi untuk menyambut berbuka. Sementara Tari masih terduduk di dapur. Lelah yang dia rasakan sangat menjadi. Sudah tidak semangat lagi melihat segitu banyak makanan. Yang ada mual dan pusing yang dia rasakan.
“Neng, kenapa?” Inah mendekatinya sambil menatap iba.
“Pusing, Bi!” jawabnya.
“Istirahat aja di kamar tamu, udah bibi beresin!” ujarnya.
“Ya udah, Tari mandi dulu!” Hastari bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Namun sialnya, dia lupa membawa pakaian ganti. Meminjam pada Ibu mertuanya sangat tidak mungkin. Kalau pulang juga sudah tidak sempat.
Selesai mandi dia bergegas menuju ke ruang keluarga di mana semua orang tengah berkumpul di sana. Namun sudut netranya menangkap sosok seseorang yang waktu itu dia lihat fotonya di kamar Andra sewaktu sebelum pindah rumah.
“Mela, Hans … Ivana ini baik banget, udah ditikung sama orang sok polos gitu juga masih saja bersedia memenuhi undangan mama!” ujarnya sambil melirik sekilas pada Tari yang masih mencoba menguasai diri.
“Ivana ini menantu idaman mama banget padahal … mogalah Andra segera sadar dan menyesali keputusannya! Menikahi benalu hanya membuat hidup Andra terbebani!” ujarnya semakin pedas.
Tanpa mereka sadari. Ada sosok seseorang tampak menatap kesal berdiri diambang pintu. Andra ternyata sudah berdiri di sana sejak tadi. Dia melangkah menuju kumpulan keluarga yang tengah menunggunya.
“Mama! Cukup, Ma! Tari tidak salah apa-apa sama kalian! Aku yang memilihnya untuk mejadi istri!” ujarnya.
“Andra, coba lihat ini siapa yang datang! Kamu masa gak bisa bedakan mana berlian mana cuma emas imitasi! Ivana ini tidak ada kurangnya! Mama nunggu momen ini buat meminta kamu menikahinya! Mama hanya akan merestui pernikahanmu jika itu dengan Ivana!” ujar Marni.
Hans dan Melati menatap Tari dengan tatapan sama-sama mengintimidasi. Keduanya memang selalu mendukung semua ucapan sang Ibu mau salah ataupun benar agar keinginan mereka bisa terpenuhi.
“Sudahlah, Ma! Buat apa bikin acara keluarga kalau hanya untuk memojokan istriku!” Andra tampak geram. Dia melangkah mendekati Hastari.
“Sayang, ayo pulang!” ujarnya sambil menggamit jemari sang istri.
“Andra! Kalau kamu memang benar-benar memilih dia … maka kamu akan mama coret dari daftar warisan keluarga!” Marni memekik kesal.
Andra menghentikan langkah. Hastari menatap sang suami ada perasaan takut jika Andra akan berbalik dan mencampakannya. Andra melepaskan genggaman tangannya kemudian melangkah mendekati sang Ibu. Mata Tari sudah berkaca-kaca, mungkin pernikahannya hanya akan bertahan setengah bulan saja.
Andra mengulurkan tangan dan mencium lengan mamanya. Kemdian menyalami kakak-kakaknya. Tetes bening sudah terjatuh di mata Tari. Marni tersenyum penuh kemenangan.
“Maafkan Andra, Ma! Selamat tinggal semuanya! Andra akan tetap melanjutkan pernikahan ini! Karena sejak ijab qabul waktu itu, Andra bukan hanya berjanji pada ayahnya Tari akan menjaganya. Namun dalam hati sudah berjanji pada Allah untuk melaksanakan ibadah terpanjang ini bersamanya!”
DIPANDANG SEBELAH MATA (2)“Maafkan Andra, Ma! Selamat tinggal semuanya! Andra akan tetap melanjutkan pernikahan ini! Karena sejak ijab qabul waktu itu, Andra bukan hanya berjanji pada ayahnya Tari akan menjaganya. Namun dalam hati sudah berjanji pada Allah untuk melaksanakan ibadah terpanjang ini bersamanya!”Wajah Marni yang tadi tersenyum mendadak pudar. Raut wajahnya berubah penuh kekesalan. Dia menatap tajam pada anak lelaki paling bontotnya itu.“Mama tidak main-main Andra! Apakah kamu yakin bisa bertahan tanpa dukungan keuangan dari kami, hah?” Marni naik pitam.“Andra juga tidak main-main, Ma! Apakah Mama pikir pernikahan Andra ini hanya permainan? Apakah janji-janji yang Andra ucapkan di depan semua orang dan Allah juga
DIPANDANG SEBELAH MATA (3)Andra menatap pada lelaki berparas rupawan tersebut dengan memicingkan mata. Wajah Tari tampak terkejut, dia melirik sekilas ke arah Andra. Namun lelaki itu masih menatap tajam pada lelaki yang sedang melenggang ke arah mereka dengan hati bertanya-tanya.“Siapa dia, Sayang?” Andra bertanya pada sang istri tanpa mengalihkan pandangannya.Tari tampak kesulitan menelan makanannya karena gugup. Dia menarik napas dalam. Memang ada satu hal yang belum sempat dia ceritakan pada sang suami tentang Michael---lelaki blasteran Amerika itu.“Riri, apa kabar? Saya cari You di sana tapi tak ada! Madame cakap sudah stop working, ya?” ucap lelaki itu dengan nada bicara yang tidak fasih mengucapkan bahasa Indonesianya.Hastari menoleh pada Andra. Ada tanda tanya besar dari sorot netra yang kini tengah menatapnya.
Hans melemparkan satu lembar kertas pemecatan di depan Andra --- sang adik. Kedua tangan Andra mengepal erat.“Bang, bukannya waktu di rumah, kalian setuju aku mengundurkan diri?” Andra menahan emosi. Hans menyeringai merendahkan.“Itu, kemarin! Ini hari ini! Kamu dipecat tanpa pesangon!” ujarnya tersenyum puas.“Aku tidak melakukan kesalahan apapun dan Abang tidak bisa mengkategorikanku ke dalam pelanggaran kesalahan berat!” Gigi Andra gemelutuk menahan kesal.“Oh, jadi tanpa surat keterangan kerja dari sini kamu takut tidak bisa mencari pekerjaan lain di luar sana?” Hans seolah sengaja hendak membuat Andra kesal.“Aku hanya meminta hakku, Bang! Perusahaan ini didirikan ayah bukan untuk berbuat semena-mena!” pekik Andra dengan mata menatap tajam pada sang Kakak yang saat ini menjabat sebaga
BUKBER DI RUMAH MERTUA (5)Hastari tersandar lemas pada sofa. Sepeninggal wanita itu, pikirannya seakan carut marut. Terlebih wanita itu menunjukkan beberapa foto kebersamaannya dengan sang suami. Memang sangat jelas juga itu adalah foto Andra sewaktu kuliah dulu. Namun apakah benar Andra bisa berbuat serendah itu? Menghamili seorang wanita kemudian meninggalkannya?Hastari teringat betul sosok Andra yang kalem, santun dan tampan itu dengan gaya khasnya waktu kuliah dulu. Mereka kuliah dalam satu kampus yang sama tapi beda tingkatan. Pada waktu Hastari naik ke semester tiga, Andra sudah berada pada semester akhir kuliahnya.“Tari, ayo ikut!” Rara menarik tangannya yang sedang menawarkan jualan online pada teman sekelasnya.“Kemana, Ra?” Hastari bertanya sambil membereskan aksesoris gawai yang tadi dia hamparkan di meja.“Udah
Nyonya Zumarnis alias Marni tengah duduk pada sofa di ruang tengah rumahnya. Di tangannya menggenggam gawai. Dia tampak sedang berbicara dengan seseorang.“Hans, apa semua berjalan lancar?”Salah satu kakinya menumpang. Tubuhnya bersandar santai.“Sudah, Ma! Andra sudah dipecat tanpa pesangon!”Terdengar suara dari seberang telepon menjawabnya.“Apa kamu tidak coba membujuknya Kembali?”“Sudah, Ma! Mama tahu sendiri ‘kan Andra gimana? Didikan Papa yang melekat dalam otaknya susah hilang! Dia tetap lebih memilih wanita itu!"“Lagi satu,
Alhamdulillah akhirnya bisa update lagi. Yuk ajak temannya buat tapi love pada cerita ini. Love kenceng, daily update, ya! ???DIPANDANG SEBELAH MATA (7)Belum apa-apa hati Tari sudah terasa nyeri. Berarti wanita itu tidak mengada-ada. Bahkan suaminya sendiri pun mengakui pernah ada hubungan dengan wanita itu.“Kenapa diam?”Andra memperhatikan raut wajah istrinya yang tiba-tiba berubah. Wanita itu menggeleng. Ada tetesan bening yang berjatuhan di pipinya.“Aku mau ke kamar dulu … capek, Mas!” Wanita itu beringsut berdiri meninggalkan suaminya.“Sayang!”Andra memanggilnya, tetapi Tari tidak lagi menoleh dan langsung menghilang dibalik pintu kamar. Andra tepekur sendirian.“Ada apa dengan Tari? Kenapa dia seperti itu?&rd
Namun ketika pintu kaca diketuk, wajah Andra terasa memanas menatap seseorang yang sedang bersama Asril di sana.Seringai merendahkan itu terlontar seketika, bahkan sebelum ada tegur sapa.“Tuan Andra yang terhormat, apakah gerangan yang membawa Anda kemari? Apakah Anda sedang mencari pekerjaan?” Hans menyeringai sambil bersedekap penuh kesombongan.Asril yang hendak menyapa mendadak salah tingkah. Dia hanya mematung menatap perubahan raut wajah Andra.“Bapak Hans, saya bermaksud bertemu dengan rekan saya---Pak Asril, bukan dengan Anda!” Andra masih mencoba melindungi harga dirinya. Meskipun memang benar apa yang dituduhkan oleh Hans---kakaknya.Hans tertawa. Ke
DIPANDANG SEBELAH MATA (9)"Astagfirullah ...."“Kemana istriku, Ya Allah?”Andra masih terduduk lemas di lantai dapur sambil bersandar pada dinding rumahnya ketika terdengar derit pintu depan. Dia bangkit dan berjalan gontai menuju ke ruang tengah.“Assalamu’alaikum!”“Wa’alaikumsalam!”Mata Andra membulat. Dia memburu wanita dengan gamis krem yang berdiri sambil menenteng plastik di tangan kanannya. Andra berhambur memeluknya.“Sayang, kamu habis dari mana?” Andra mencakup kedua pipi istrinya setelah melepas pelukannya.“Maafin aku, Mas! Aku habis dari rumah ibu! Tadi aku coba hubungi kamu tapi gak diangkat terus!” ucap Tari tampak merasa bersalah.“Kamu habis dari rumah Ibu? Kenapa Ibu?” An
Marni tengah duduk di salah satu restoran ternama. Sudah beberapa bulan terakhir dia ikut pengajian bersama Tari dan Aisha. Dia mulai belajar memakai penutup aurat yang dulu dipakainya hanya sekedar mengikuti trend mode. Kini dia melakukannya dengan keinginan untuk hijrah. Marni yang dulu sudah lenyap bersama teguran-teguran beruntun yang diterimanya.“Ma, maaf kami baru datang!” Andra datang bersama sang istri yang perutnya sudah mulai membesar. Kini kehamilan Tari sudah menginjak bulan ke Sembilan. Hari perkiraan lahirnya bahkan sudah terlewat dua hari.“Iya, gak apa-apa!” Marni menoleh pada sang anak menantu.“Mbak Mela belum sampe, Ma?” Andra menarik satu kursi untuk sang istri. Marni menggeleng kepala.“Belum, kakakmu tadi WA
BUKBER DI RUMAH MERTUA (30)Waktu bergulir cepat. Beberapa hari dilalui dengan baik. Progress internal audit dengan menggunakan jasa konsultan terpilih membuahkan hasil. Banyak sekali abnormal dan penyelewengan wewenang dari dua departemen itu yang dibongkar.Andra saat ini tengah meminta bagian HRD untuk mengurus semua proses pemberhentian dua orang bermasalah itu ke PHI.“Maafkan saya … semua harus saya lakukan agar ratusan karyawan saya yang jujur bisa terus bertahan!” gumam Andra dalam dada setelah menutup gagang telepon.Bukan hal mudah baginya Ketika harus mem-PHK dua manager baru tersebut. Namun sebagai pucuk pimpinan memang harus tegas. Andra sadar jika laju perusahaan kini sepenuhnya akan mengikuti hasil keputusannya. Terlebih beban utang yang
(29)Obrolan ringan berlanjut. Hingga terdengar suara MC yang membuka acara. Semua mata kini terarah ke atas panggung. MC memanggil kedua calon mempelai yang akan bertukar cincin.Tampak dari salah satu sudut panggung seorang lelaki bertubuh jangkung. Rambutnya berwarna putih pucat, langkahanya mengayun tegap. Hidung mancung dan lesung pipi sebelah kirinya menambah indah mata yang menatapnya. Seulas senyum terus terkulum ketika tampak dari arah berlawanan seorang wanita berkerudung lebar menghampirinya.“Wah, inilah ta’aruf modern, Pemirsa! Di mana tidak hanya seorang yang mengerti agama dan hukum Islam yang melakukannya, tapi seorang muallaf pun bisa! Applause untuk sang calon mempelai pria!” ujar MC memandu acara.Riuh tepuk tangan Ketika lelaki bule it
(28)Andra sudah berada di lorong rumah sakit Hasanudin. Langkahnya terayun cepat, khawatir setengah mati jika sang istri terluka berat.Namun matanya memicing, menangkap sosok yang baru saja keluar dari poli kandungan. Iya, wanita itu Sesil. Tampak berat membawa beban di perutnya. Andra mengurungkan niat untuk menyapanya tapi wanita itu melihatnya.“Mas!”Dengan perut yang sudah membesar wanita itu berjalan menghampirinya. Andra menarik napas panjang. Bagaimana ceritanya, sehari ini bertemu dengan dua orang dari masalalunya.“Kamu sedang check kandungan?” Andra menyapa Sesil karena sudah kadung bertemu. Wanita itu mengangguk.“Iya, Ma
“Mari silakan, masuk, Dok!” Tari mempersilakan dokter cantik itu masuk.Dokter wanita itu berjalan mengikuti Tari. Belum sempat melakukan pemeriksaan apa-apa, Inah muncul.“Neng, ini tespecknya! Eh sudah manggil dokter juga?” tanyanya.“Mama yang panggilin, Bi!” ucap Tari.“Alhamdulilah!” Netra Inah berkaca-kaca mendapati jika sang majikan mulai memperhatikan menantunya.Tari tersenyum. Ada perasaan berbunga juga di hatinya. Ternyata semua kejadian kemarin ada hikmahnya. Kini Marni seperti sudah mulai bisa menerimanya.Dokter tersebut mulai melakukan pemeriksaan. Beberapa pertanyaan diajukan. Kemudian setelah mendapatkan diagnosa
(26)Andra tengah berkutat dengan memaksimalkan kembali kapasitas produksi. Butuh kerja keras ekstra untuk bisa beroperasi secara normal. Cashflow perusahaan kini tidak stabil.“Pak, Andra … karyawan kita ada yang kecelakaan kerja! Kondisinya cukup parah! Lalu ada yang aneh juga dengan pergerakan beberapa proyek yang existing, harga jual makin tidak seimbang dengan harga produksi ditambah biaya overhead!” Keano seorang GM yang baru saja dipekerjakan kembali setelah posisinya kemarin digantikan Ivana untuk sementara memberikan laporan.“Pak Kean … apakah menurut Anda ada hal abnormal di sini?” selidik Andra.Dia mencoba meminta pertimbangan orang yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan Herlambang Grup itu. 
(25)Andra memijat pelipisnya. Satu cangkir teh hangat buatan sang istri menemani sore yang terasa penat itu. Permasalahan yang dibuat Hans ternyata cukup rumit. Dia meminjam uang atas nama perusahaan dengan nominal yang sangat besar. Sementara orderan dari beberapa customer sudah banyak yang beralih ke perusahaan lain. Beberapa penurunan kualitas dari produksi dan delivery cukup berpengaruh terhadap kestabilan order.“Mas, apa ada masalah?” Tari keluar dari dalam rumah menghampirinya yang tengah duduk di teras.Andra menoleh pada sang istri dan memasang senyum termanisnya.“Sedikit!” ucapnya. Meskipun sebetulnya hatinya menentangnya, karena itu bukan masalah yang sedikit sebetulnya.
(24)"Ibu Anda mengalami gegar otak ringan ... lebih baik dirawat dulu di sini sambil melihat perkembangan kondisinya!" Dokter Harun menjelaskan pada Andra yang duduk di depan meja kerjanya."Apakah bisa pulih seperti sedia kala, Dok?" tanya Andra. Seburuk apapun perlakuan Marni, tidak akan ada yang bisa mengubah hubungan darah antara Ibu dan anak. Andra tetap berharap sang ibu baik-baik saja."Semoga! Kami akan melakukan perawatan terbaik sambil melakukan observasi atas kondisi kesehatannya!" ujar Dokter Harun lagi."Baik, makasih, Dok!"Andra berjalan keluar dari ruangan dokter Harun. Langkahnya tertuju pada dua ruang rawat yang berdampingan. Satu kamar terisi oleh Melati---kakak keduanya, sem
(23)“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum!”Andra mengangkat panggilan masuk dari Marni.“Wa’alaikumsalam! Andra, besok tolong datang ke rumah! Ada hal yang mau mama bicarakan!”“Hal apa, Ma?”“Datang saja lah dulu! Mama tunggu!”Panggilan diputusnya begitu saja.“Mama, Mas?”Tari menoleh.“Iya!”“Ada apa?”“Besok kita di suruh ke rumah, oke kan, Sayang?”Tari mengangguk. Andra mengusap lembut pucuk kepala Tari. Satu kecupan mendarat pada dahi sang istri.“Belum keramas, ya?” goda Andra sambil mengkerutkan hidungnya.