Alhamdulillah akhirnya bisa update lagi. Yuk ajak temannya buat tapi love pada cerita ini. Love kenceng, daily update, ya! ???
DIPANDANG SEBELAH MATA (7)
Belum apa-apa hati Tari sudah terasa nyeri. Berarti wanita itu tidak mengada-ada. Bahkan suaminya sendiri pun mengakui pernah ada hubungan dengan wanita itu.
“Kenapa diam?”
Andra memperhatikan raut wajah istrinya yang tiba-tiba berubah. Wanita itu menggeleng. Ada tetesan bening yang berjatuhan di pipinya.
“Aku mau ke kamar dulu … capek, Mas!” Wanita itu beringsut berdiri meninggalkan suaminya.
“Sayang!”
Andra memanggilnya, tetapi Tari tidak lagi menoleh dan langsung menghilang dibalik pintu kamar. Andra tepekur sendirian.
“Ada apa dengan Tari? Kenapa dia seperti itu?” pikirnya sambil mengernyit dan memikirkan semua kesalahan yang mungkin dia tidak sengaja lakukan.
Namun semua beban dan kelelahan yang bertubi-tubi datang. Membuatnya terlelap perlahan. Matanya terkatup meninggalkan kesadaran. Andra tertidur di sana.
***
Meskipun Tari masih tidak seceria biasanya. Andra tetap berlaku lembut pada sang istri. Baginya Tari adalah segalanya.
Hari itu mereka makan shahur dalam diam. Hanya dentingan sendok dan suara televisi yang mendominasi. Sesekali Andra hanya menoleh pada Tari yang masih terdiam. Sikapnya berubah sejak percakapannya sore tadi.
“Sayang, hari ini Mas akan mulai cari pekerjaan!” tutur Andra.
Tari menoleh kemudian mengangguk.
“Iya, Mas!” ujar Tari.
“Tapi kita gak punya kendaraan sekarang, Sayang! Mas mau pakai uang simpanan kita dulu buat beli kendaraan … motor tua juga gak apa-apa … yang penting bisa lebih hemat ongkos! Tanpa surat keterangan kerja, mungkin agak berat untuk bersaing mendapatkan level ini kembali!” ujar Andra.
Tari menatap sang suami. Ada perasaan bersalah di hatinya karena sejak semalam dia mendiamkannya. Namun dia sendiri masih bingung dengan semua pergulatan batinnya saat ini.
Tari merasa dia hanya butuh waktu untuk mencerna semua kejadian itu dengan tenang. Karenanya dia belum mau buka suara, takut terpancing emosi dan tidak bisa mengendalikan diri. Bagaimana kalau tuduhan itu benar, itu yang dia takutkan sekarang. Bagaimana pun hati kecilnya takut jika kalimat Andra selanjutnya berisi pengakuan.
“Bagaimana jika Sesil itu memang benar hamil anak dari Mas Andra?”
“Bagaimana jika benar Mas Andra meninggalkan wanita itu demi aku?”
“Mungkin dulu Mas Andra memperhatikanku dalam diam karena memang sudah punya pacar?”
“Bagaimana kalau Andra memaksaku untuk menerima kehadiran madu di rumah ini?”
“Bagaimana kalau memang ada sisi lain dari Mas Andra yang memang aku belum ketahui?”
“Bagaimana … Bagaimana … Bagaimana ….”
Suara sang suami kembali membuyarkan rangkaian pengandaian yang memenuhi kepalanya.
“Sayang?” Andra menepuk punggung tangan sang istri.
“Iy-iya, Mas!” Tari menyahut kemudian menoleh.
Diteguknya segelas air bening sebagai penutup hidangan sahurnya kali ini.
“Kamu mikirin apa, sih?” telisik Andra.
“Eng-engga, kok, Mas!” kilahnya.
“Gimana, kamu setuju gak kalau kita beli sepeda motor bekas saja dulu? Nanti kalau Mas udah kerja baru kita beli sepeda motor yang bagus!” ujar Andra lagi.
“Iya, Mas! Aku setuju! Nanti siang aku transfer ke kamu, ya uangnya!” ujar Tari.
“Makasih, ya, Sayang! Maaf kalau Mas malah mengajakmu hidup susah!” ucapnya sambil mengusap lembut pipi sang istri.
"Hari ini, Mas naik angkutan umum dulu saja, gak betah kelamaan di rumah sambil cari sepeda motor yang harganya pas," ujar Andra.
Tari hanya membalas dengan senyum dan anggukan.
***
Tetesan keringatnya memenuhi dahi. Udara panas dan harus turun naik angkutan membuatnya benar-benar membuatnya seakan hendak dehidrasi. Niat awal hendak membeli motor, tapi sayang belum menemukan harga yang sesuai kantong. Ada yang harga cocok, tapi sepeda motornya tampak sudah hidup segan mati tak mau. Namun Andra tetap teguh untuk menjaga puasanya hingga petang nanti.
Selain mengirimkan lamaran-lamaran via email. Andra bermaksud menemui beberapa rekan kuliah yang sudah pernah menjadi partner bisnisnya dulu. Berharap ada pekerjaan yang bisa dia dapatkan.
“Selamat siang, Pak!” Andra menyapa security yang tengah berjaga.
“Siang!” Lelaki berseragam itu mengangguk sopan.
“Saya Andra, bisa ketemu dengan Pak Hengki, Pak?” tutur Andra.
“Keperluannya untuk?” tanya security tersebut.
“Masalah pekerjaan, Pak!” ujar Andra.
“Baik, tunggu sebentar!”
Security itu kembali ke dalam pos jaga. Tampak dia mengangkat gagang telepon dan berbicara dengan seseorang. Tidak lama kemudian dia keluar lagi.
“Maaf, Pak! Pak Hengkinya sedang ada meeting! Mungkin lain kali bisa datang lagi!” ujar security itu sopan.
“Baik, Pak … terima kasih!” ujar Andra sambil mohon diri.
Dia kembali mencegat angkutan umum. Pikirannya kembali mengingt-ingat orang yang pernah dekat dan berpartner dengannya. Tujuan kali ini yaitu kantor Ferdi. Letaknya hanya setengah jam dari kantor Hengki.
Angkutan yang ditumpanginya menepi. Dia merogoh saku dan mengeluarkan beberapa lembar uang receh untuk membayar ongkos. Turun naik angkutan umum ternyata selain menyita waktu, menyita kenyamanan tapi juga menguras keuangan.
Hal yang sama dilakukannya kembali. Menunggu beberapa saat hingga security kembali mengkonfirmasi.
“Maaf, Pak! Kata sekretarisnya … Pak Ferdi sedang pergi ke luar kantor!” ujar security itu tampak segan.
“Baik, Pak … terima kasih kalau gitu!” ucap Andra.
Matahari yang panas tidak dihiraukan. Andra masih menuju satu tempat lagi. Dalam hatinya berdoa semoga rekannya yang satu ini bisa ditemui.
Andra turun di sebuah bangunan berlantai yang menjulang. Di sini adalah salah satu komplek perkantoran. Kali ini Asril yang akan dia temui.
“Silakan, Pak! Kebetulan Pak Asrilnya ada dan baru selesai meeting!” ujar security.
Senyum Andra mengembang. Rasa lelah, lapar dan haus mendadak seolah hilang. Besar harapannya Asril dapat membantunya. Karena dulu waktu perusahaan Asril kesusahan, Andra turut serta memberinya solusi. Meski masih menyandang nama di perusahaan keluarganya yang lama.
Andra masuk ke lobi. Dinginnya AC sedikit memberinya tenaga baru. Dia berjalan menghampiri resepsionist.
“Mbak, saya mau ketemu Pak Asril!” ujar Andra.
Gadis dengan seragam tosca itu dengan cekatan mengangkat gagang telepon. Dia berbicara sebentar. Kemudian berdiri dan mengantar Andra ke ruangan Asril.
Langkah Andra terasa lebih ringan sekarang. Dia sudah tidak sabar ingin mengabarkan pada Tari jika dia sudah mendapat pekerjaan lagi.
Namun ketika pintu kaca diketuk, wajah Andra terasa memanas menatap seseorang yang sedang bersama Asril di sana.
Namun ketika pintu kaca diketuk, wajah Andra terasa memanas menatap seseorang yang sedang bersama Asril di sana.Seringai merendahkan itu terlontar seketika, bahkan sebelum ada tegur sapa.“Tuan Andra yang terhormat, apakah gerangan yang membawa Anda kemari? Apakah Anda sedang mencari pekerjaan?” Hans menyeringai sambil bersedekap penuh kesombongan.Asril yang hendak menyapa mendadak salah tingkah. Dia hanya mematung menatap perubahan raut wajah Andra.“Bapak Hans, saya bermaksud bertemu dengan rekan saya---Pak Asril, bukan dengan Anda!” Andra masih mencoba melindungi harga dirinya. Meskipun memang benar apa yang dituduhkan oleh Hans---kakaknya.Hans tertawa. Ke
DIPANDANG SEBELAH MATA (9)"Astagfirullah ...."“Kemana istriku, Ya Allah?”Andra masih terduduk lemas di lantai dapur sambil bersandar pada dinding rumahnya ketika terdengar derit pintu depan. Dia bangkit dan berjalan gontai menuju ke ruang tengah.“Assalamu’alaikum!”“Wa’alaikumsalam!”Mata Andra membulat. Dia memburu wanita dengan gamis krem yang berdiri sambil menenteng plastik di tangan kanannya. Andra berhambur memeluknya.“Sayang, kamu habis dari mana?” Andra mencakup kedua pipi istrinya setelah melepas pelukannya.“Maafin aku, Mas! Aku habis dari rumah ibu! Tadi aku coba hubungi kamu tapi gak diangkat terus!” ucap Tari tampak merasa bersalah.“Kamu habis dari rumah Ibu? Kenapa Ibu?” An
Hans berdecak kesal. Dia melempar gawai mahalnya sembarang. Emosinya bukan tanpa alasan melainkan setelah mendapat info dari Sesil sore tadi.[Mas Hans, nomor istrinya Andra sejak siang gak bisa dihubungi! Sudah kukirim foto yang tadi itu tapi hanya centang satu sampai sekarang!] tulis Sesil.[Coba lagi nanti! Terus ponsel Andra masih ada di kamu ‘kan? Kasih ke saya nanti!] balasnya.[Aku cuma ambil nomor istrinya saja, setelah itu ponselnya kubuang di pinggir jalan depan kantor tadi! Aku takut terlacak dan disangka maling nanti!] tulis Sesil.[Sesil, kenapa harus dibuang … kan bisa tinggal copot sim cardnya saja sama matikan gps!] geram Hans.[Gak ada bayaran untuk mengambil
“Ya Allah, semoga Mas Andra bisa menerima penjelasanku tentang Hans, di masa laluku! Namun kalau dia marah, lalu tidak terima dengan semua ini?”Setelah hatinya merasa yakin. Tari mulai berbicara.“Mas … Mas … aku mulai ceritanya, ya!”Namun masih sepi, tidak ada sahutan.“Mas ….” Tari menepuk lembut pipi Andra. Rupanya lelaki itu tertidur di pangkuannya.Tari menatap wajah sang suami, tampak bulu-bulu janggut halus yang tumbuh di sekiatr dagu itu mulai memanjang. Wajahnya tampak tenang dan sudah semakin dewasa sekarang.Ada perasaan hangat dalam hati Tari ketika membayangkan semua kenan
Rencana Tari untuk bercerita akhirnya tertunda. Dia pun tertidur bersandar pada pinggir sofa. Mereka berdua membiarkan televisi menontonnya.Tepukan lembut pada pipi Tari membuatnya terbangun, tampak wajah Andra sang suami dalam jarak beberapa senti tengah menatapnya.“Sayang, ayo kita shalat isya sama tarawih dulu!” ucap Andra.Tari mengerjap beberapa kali mengumpulkan kesadarannya. Lehernya terasa pegal karena bersandar pada sofa dan tertidur dengan posisi tidak benar.“Kenapa, Sayang?” Andra menoleh pada sang istri yang tampak meringis.“Pegel, Mas!”“Mau dipijitin?”“Gak usah, shalat dulu aja!”“Nanti sekalian, ya!” Andra mengerling menggoda sang istri.
"Dari nomor kamu, Mas!” ucap Tari sambil menunjukkan layar ponselnya.Tari segera mengangkatnya.“Hallo, assalamu’alaikum!” Terdengar suara seorang perempuan dari seberang sana.“Wa’alaikumsalam! Maaf ini siapa, ya?”Sekilas Tari melirik ke arah suaminya yang sedang menatap lekat.“Saya Aisha, maaf saya menemukan ponsel ini tergeletak di tepi jalan! Berkali-kali hubungi ke nomor ini tapi gak aktif! Alhamdulilah sekarang terhubung! Bisa kasihkan alamat untuk mengantarnya?” jelas Aisha panjang lebar.Tari menoleh pada Andra.“Mas, ponsel kamu ada yang nemuin … ini minta alamat!” ucap Tari sambil menoleh pada Andra.“Sini, biar mas yang ngomong!” ujar Andra sambil meminta ponsel itu p
[Mas, aku izin keluar sebentar mau ketemu temen!] tulisnya dengan dada gemuruh menahan gejolak yang tidak karuan.[Ok, Sayang! Hati-hati, ya!] jawab sang suami tanpa rasa curiga.Tari berjalan menyusuri jalanan depan perumahan mereka. Gamis dan kerudungnya bergerak-gerak tersibak angin. Langkah kakinya tampak berayun cepat seolah ingin segera tiba di tempat tujuan.Menuju hotel Miranda membutuhkan dua kali naik angkutan umum. Dia naik angkot pertama sampai ke terminal lalu nanti pindah jurusan.Sepanjang perjalanan, Tari menguatkan hati. Meyakinkan dirinya jika semua akan baik-baik saja. Dia sendiri tidak tahu apa yang akan wanita itu sampaikan.Ke
“Febri, kenapa tender ini bisa jatuh ke tangan Fahrezi grup?” Hans menatap nyalang penuh kemarahan pada Febri---mantan staff Andra yang kini mengerjakan semua pekerjaan di departemennya sendirian. Gadis itu menunduk dengan hati berdebar. Jujur, dia selalu takut akan kemarahan Hans. “M-maaf, Pak … saingan saya Pak Andra, Pak … kemampuan negosiasi dia jauh di atas saya! Dan tim mereka diperkuat oleh Bu Aisha---putri pemilik perusahaan yang langsung yang turun tangan!” ucap Febri sambil menunduk. “Ck! Dasar kamu, ya … maunya makan gaji buta … ngurus project kayak gitu saja gak becus!” Hans membanting map ke atas meja meluapkan emosinya. “M-Maaf, Pak!” Hanya itu kata pamungkas dari Febri
Marni tengah duduk di salah satu restoran ternama. Sudah beberapa bulan terakhir dia ikut pengajian bersama Tari dan Aisha. Dia mulai belajar memakai penutup aurat yang dulu dipakainya hanya sekedar mengikuti trend mode. Kini dia melakukannya dengan keinginan untuk hijrah. Marni yang dulu sudah lenyap bersama teguran-teguran beruntun yang diterimanya.“Ma, maaf kami baru datang!” Andra datang bersama sang istri yang perutnya sudah mulai membesar. Kini kehamilan Tari sudah menginjak bulan ke Sembilan. Hari perkiraan lahirnya bahkan sudah terlewat dua hari.“Iya, gak apa-apa!” Marni menoleh pada sang anak menantu.“Mbak Mela belum sampe, Ma?” Andra menarik satu kursi untuk sang istri. Marni menggeleng kepala.“Belum, kakakmu tadi WA
BUKBER DI RUMAH MERTUA (30)Waktu bergulir cepat. Beberapa hari dilalui dengan baik. Progress internal audit dengan menggunakan jasa konsultan terpilih membuahkan hasil. Banyak sekali abnormal dan penyelewengan wewenang dari dua departemen itu yang dibongkar.Andra saat ini tengah meminta bagian HRD untuk mengurus semua proses pemberhentian dua orang bermasalah itu ke PHI.“Maafkan saya … semua harus saya lakukan agar ratusan karyawan saya yang jujur bisa terus bertahan!” gumam Andra dalam dada setelah menutup gagang telepon.Bukan hal mudah baginya Ketika harus mem-PHK dua manager baru tersebut. Namun sebagai pucuk pimpinan memang harus tegas. Andra sadar jika laju perusahaan kini sepenuhnya akan mengikuti hasil keputusannya. Terlebih beban utang yang
(29)Obrolan ringan berlanjut. Hingga terdengar suara MC yang membuka acara. Semua mata kini terarah ke atas panggung. MC memanggil kedua calon mempelai yang akan bertukar cincin.Tampak dari salah satu sudut panggung seorang lelaki bertubuh jangkung. Rambutnya berwarna putih pucat, langkahanya mengayun tegap. Hidung mancung dan lesung pipi sebelah kirinya menambah indah mata yang menatapnya. Seulas senyum terus terkulum ketika tampak dari arah berlawanan seorang wanita berkerudung lebar menghampirinya.“Wah, inilah ta’aruf modern, Pemirsa! Di mana tidak hanya seorang yang mengerti agama dan hukum Islam yang melakukannya, tapi seorang muallaf pun bisa! Applause untuk sang calon mempelai pria!” ujar MC memandu acara.Riuh tepuk tangan Ketika lelaki bule it
(28)Andra sudah berada di lorong rumah sakit Hasanudin. Langkahnya terayun cepat, khawatir setengah mati jika sang istri terluka berat.Namun matanya memicing, menangkap sosok yang baru saja keluar dari poli kandungan. Iya, wanita itu Sesil. Tampak berat membawa beban di perutnya. Andra mengurungkan niat untuk menyapanya tapi wanita itu melihatnya.“Mas!”Dengan perut yang sudah membesar wanita itu berjalan menghampirinya. Andra menarik napas panjang. Bagaimana ceritanya, sehari ini bertemu dengan dua orang dari masalalunya.“Kamu sedang check kandungan?” Andra menyapa Sesil karena sudah kadung bertemu. Wanita itu mengangguk.“Iya, Ma
“Mari silakan, masuk, Dok!” Tari mempersilakan dokter cantik itu masuk.Dokter wanita itu berjalan mengikuti Tari. Belum sempat melakukan pemeriksaan apa-apa, Inah muncul.“Neng, ini tespecknya! Eh sudah manggil dokter juga?” tanyanya.“Mama yang panggilin, Bi!” ucap Tari.“Alhamdulilah!” Netra Inah berkaca-kaca mendapati jika sang majikan mulai memperhatikan menantunya.Tari tersenyum. Ada perasaan berbunga juga di hatinya. Ternyata semua kejadian kemarin ada hikmahnya. Kini Marni seperti sudah mulai bisa menerimanya.Dokter tersebut mulai melakukan pemeriksaan. Beberapa pertanyaan diajukan. Kemudian setelah mendapatkan diagnosa
(26)Andra tengah berkutat dengan memaksimalkan kembali kapasitas produksi. Butuh kerja keras ekstra untuk bisa beroperasi secara normal. Cashflow perusahaan kini tidak stabil.“Pak, Andra … karyawan kita ada yang kecelakaan kerja! Kondisinya cukup parah! Lalu ada yang aneh juga dengan pergerakan beberapa proyek yang existing, harga jual makin tidak seimbang dengan harga produksi ditambah biaya overhead!” Keano seorang GM yang baru saja dipekerjakan kembali setelah posisinya kemarin digantikan Ivana untuk sementara memberikan laporan.“Pak Kean … apakah menurut Anda ada hal abnormal di sini?” selidik Andra.Dia mencoba meminta pertimbangan orang yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan Herlambang Grup itu. 
(25)Andra memijat pelipisnya. Satu cangkir teh hangat buatan sang istri menemani sore yang terasa penat itu. Permasalahan yang dibuat Hans ternyata cukup rumit. Dia meminjam uang atas nama perusahaan dengan nominal yang sangat besar. Sementara orderan dari beberapa customer sudah banyak yang beralih ke perusahaan lain. Beberapa penurunan kualitas dari produksi dan delivery cukup berpengaruh terhadap kestabilan order.“Mas, apa ada masalah?” Tari keluar dari dalam rumah menghampirinya yang tengah duduk di teras.Andra menoleh pada sang istri dan memasang senyum termanisnya.“Sedikit!” ucapnya. Meskipun sebetulnya hatinya menentangnya, karena itu bukan masalah yang sedikit sebetulnya.
(24)"Ibu Anda mengalami gegar otak ringan ... lebih baik dirawat dulu di sini sambil melihat perkembangan kondisinya!" Dokter Harun menjelaskan pada Andra yang duduk di depan meja kerjanya."Apakah bisa pulih seperti sedia kala, Dok?" tanya Andra. Seburuk apapun perlakuan Marni, tidak akan ada yang bisa mengubah hubungan darah antara Ibu dan anak. Andra tetap berharap sang ibu baik-baik saja."Semoga! Kami akan melakukan perawatan terbaik sambil melakukan observasi atas kondisi kesehatannya!" ujar Dokter Harun lagi."Baik, makasih, Dok!"Andra berjalan keluar dari ruangan dokter Harun. Langkahnya tertuju pada dua ruang rawat yang berdampingan. Satu kamar terisi oleh Melati---kakak keduanya, sem
(23)“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum!”Andra mengangkat panggilan masuk dari Marni.“Wa’alaikumsalam! Andra, besok tolong datang ke rumah! Ada hal yang mau mama bicarakan!”“Hal apa, Ma?”“Datang saja lah dulu! Mama tunggu!”Panggilan diputusnya begitu saja.“Mama, Mas?”Tari menoleh.“Iya!”“Ada apa?”“Besok kita di suruh ke rumah, oke kan, Sayang?”Tari mengangguk. Andra mengusap lembut pucuk kepala Tari. Satu kecupan mendarat pada dahi sang istri.“Belum keramas, ya?” goda Andra sambil mengkerutkan hidungnya.