Beberapa minggu berlalu, seperti angin yang berhembus cepat, membawa Dinara melewati hari-hari yang penuh harap dan cemas. Sidang perceraiannya dengan Reno telah berakhir, dan kini, Dinara duduk di hadapan pengacaranya, jantungnya berdebar kencang."Bu Dinara," sapa pengacaranya, senyum hangat terukir di wajahnya. "Putusan hakim sudah keluar. Permohonan perceraian Anda dikabulkan."Dinara menarik napas dalam-dalam, lega dan haru bercampur menjadi satu. "Alhamdulillah," gumamnya, air mata bahagia menetes di pipinya."Hak asuh Nak Azka juga sudah ditetapkan," lanjut pengacaranya, "Hak asuh Azka ada di tangan Anda, Bu Dinara."Dinara semakin lega, rasa syukur memenuhi hatinya. Meski secata hukum anak di bawah tujuh belas tahun tetap bersama ibunya, tetapi Dinara tetap ingin pengadilan yang memutuskan agar berkasnya nanti lebih mudah diurus."Satu lagi, Bu," kata pengacaranya, "Saya sudah mengurus balik nama aset atas nama Pak Reno menjadi atas nama Azka. Ini adalah hak Anda, dan saya yak
Ojek online berhenti tepat di depan halaman rumah mertua Dinara. Ia membayar ongkos dan turun, membawa tas kerjanya. Matanya menangkap pemandangan yang tak biasa di teras rumah. Reno duduk di kursi teras, wajahnya memerah menahan amarah. Di sampingnya, Bella dan Yuyun duduk berdampingan, tatapan mereka tajam menusuk Dinara. Dinara berusaha bersikap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan menuju pintu, melewati tatapan nyalang Reno dan tatapan sinis Bella dan Yuyun. "Dinara!" teriak Reno, suaranya bergetar menahan amarah. Dinara berhenti sejenak, tetapi tak menoleh. Ia hanya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Reno diam. "Kamu mau ke mana, Dinara?" tanya Bella, suaranya terdengar berbisik, tetapi penuh ancaman. Dinara tetap tak berbalik. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Reno, Bella, dan Yuyun di teras. "Dinara!" teriak Reno lagi, suaranya semakin meninggi. "Berhenti! Aku mau bicara denganmu!" Dinara mengabaikannya. Ia berjalan men
Mobil taksi berhenti di depan rumah Nada, sahabat Dinara. Dinara membayar ongkos dan bergegas keluar, membawa tas berisi berkas-berkas penting. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Rumah Nada terasa seperti pelabuhan bagi Dinara, tempat ia bisa melupakan sejenak drama rumah tangganya. Dinara mengetuk pintu, dan tak lama kemudian Nada membukanya dengan senyum hangat. "Din, kamu sudah pulang?" tanya Nada, matanya menyorot rasa khawatir. "Ada apa? Kenapa kamu terlihat lelah?" Dinara tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Nad. Hanya lelah sedikit," jawabnya. "Boleh aku masuk?" "Tentu, silakan masuk," jawab Nada, menggeser tubuhnya untuk memberi jalan. Dinara melihat jam yang bertengger di dinding rumah Nada, jarumnya masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Dinara melangkah masuk, dan matanya langsung tertuju pada Azka, putranya, yang sedang asyik bermain lego bersama Nada. Azka langsung berlari menghampiri Dinara, memeluk erat kakinya. "Mama!" seru Azka,
Malam itu, Reno terbaring di ranjang, matanya terpejam, tetapi tak kunjung lelap. Bella, istrinya, sudah terlelap di sampingnya sejak beberapa jam lalu, napasnya teratur dan tenang. Namun, Reno tak bisa merasakan ketenangan seperti Bella. Pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Dinara dan Azka, putranya. Reno menghela napas berat, rasa bersalah menyergap hatinya. Dia ingat saat dia selingkuhi Dinara, saat dia melupakan sumpah pernikahannya. Dia ingat saat dia menyakiti Dinara dan Azka. "Dinara ... Azka ...," gumam Reno, suaranya terdengar lirih. "Maafkan aku." Reno berbalik menghadap Bella, matanya menatap wajah istrinya yang tertidur lelap. Dia terbayang wajah Dinara, wajah yang selalu menyertainya dalam mimpi. "Aku salah, Dinara," gumam Reno, suaranya terdengar sedih. "Aku harus menebus kesalahanku." Reno menarik selimut Bella ke atas dada, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa bersalah itu terus menyergapnya. Dia tahu bahwa dia harus berbuat sesuatu untuk memperbaiki kesal
Motor Reno melaju pelan memasuki halaman rumah, lampu teras menyinari wajahnya yang muram. Ia menghela napas berat, kepalanya penuh dengan pikiran tentang Azka dan Dinara. Ia ingin memberi Azka waktu untuk menenangkan diri, berharap besok Azka mau sedikit terbuka padanya. Namun, sebelum ia bisa melangkah masuk, suara tawa Bella yang nyaring langsung mengusik ketenangannya. Reno membuka pintu dan melangkah masuk. Di ruang tamu, Bella terlentang di sofa, tertawa lepas, matanya berbinar-binar menatap layar ponsel. Reno mengerutkan kening, kesal. "Bella, kamu ngapain sih? Kok ketawa-ketawa?" tanya Reno, suaranya datar. Bella mendongak, senyumnya mengembang lebar. "Eh, Mas Reno udah pulang? Aku lagi ngelihat video lucu di TikTok," jawab Bella, suaranya ceria. Reno menghela napas. Ia melihat meja makan yang masih berantakan, piring kotor berserakan di sana. "Bella, kamu nggak ngerjain kerjaan rumah lagi?" tanya Reno, suaranya mulai meninggi. Bella mendengus, "Nanti aja, Mas. Aku
Dinara mengetik laporan di laptopnya, jari-jari lentiknya menari di atas keyboard. Matanya sesekali melirik jam dinding yang tergantung di sudut ruangan. Sudah pukul dua siang, dan sebentar lagi timnya akan mengadakan rapat. Namun, pikiran Dinara melayang ke rumah mantan suaminya, Reno. Ia sudah menghubungi jasa pengangkut barang untuk mengambil beberapa perabotan dan pakaian miliknya, termasuk baju-baju Azka yang masih tertinggal di sana. Dinara juga ingin mengambil kompor gas yang dibelinya dengan uangnya sendiri, dan beberapa perlengkapan rumah tangga yang masih terpakai. "Mbak, sudah mau mulai belum?" tanya Dinara pada salah satu rekannya, "Saya mau izin sebentar." "Belum, Mbak. Rapatnya jam dua lewat lima belas." Dinara menghela napas. Ia harus segera menyelesaikan urusan ini. Ia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan mengirim pesan ke nomor yang tertera di slip pembayaran jasa pengangkut barang. [Sudah sampai di sana] tanya Dinara. [Sudah, Mbak. Kami sedang menunggu
Sementara di sisi lain, Bella tengah asyik jalan-jalan di mall bersama Arga. Ia tak segan menggamit lengan Arga, layaknya pasangan kekasih yang tengah berbahagia.Padahal, tanpa disadari ia telah berselingkuh dan mengkhianati pernikahannya bersama Reno."Kamu mau makan apa, Bel?" tanya Arga saat keduanya sudah menjejakkan kaki di restoran steak ternama di mall ini, matanya berbinar menatap Bella yang sedang asyik memilih menu di restoran mewah itu."Hmm ... aku mau steak aja, yang medium rare," jawab Bella, senyumnya mengembang.Arga mengangguk, "Oke, aku juga mau steak. Dan jangan lupa pesenin wine, ya?""Wah, kamu baik banget sih, Ga. Makasih ya," sahut Bella, matanya berbinar-binar.Bella memang sedang sangat bahagia. Sejak bertemu Arga di aplikasi kencan online, hidupnya terasa lebih berwarna. Arga memperlakukannya dengan sangat baik, selalu perhatian dan romantis."Sama-sama, Bel. Aku senang bisa ngedate lagi sama kamu," jawab Arga, tangannya menggenggam tangan Bella di bawah mej
Hingga sore hari, Reno pulang dari bengkel temannya. Ia lelah setelah seharian bekerja keras, rasa lelah itu langsung semakin bertambah saat mendengar suara Yuyun yang merengek-rengek dari dalam rumah. Reno mengernyit heran, ia tak pernah mendengar mamanya merengek seperti ini. "Mama kenapa, sih? Kenapa suaranya kayak gitu?" tanya Reno, mendekati Yuyun yang terduduk lemas di lantai ruang tamu. "Reno, kamu baru pulang?" tanya Yuyun, matanya sembab dan merah. "Iya, Ma. Kenapa, sih? Ada apa?" Reno tampak bingung. "Dinara ... Dinara ngambil semua barang-barangnya dari sini!" Yuyun merengek, suaranya bergetar. Reno tercengang mendengar cerita mamanya. Ia tak percaya Dinara tega melakukan hal itu. "Hah? Dinara ... nggak mungkin dia ngelakuin it—" Yuyun langsung menyela ucapan putranya dengan cepat, "kamu gak tahu, Reno. Dinara itu jahat! Dia sengaja ngambil semua barang-barangnya buat menyengsarakan kita. Dia gak punya hati!" Yuyun kembali merengek, "Mama kira dia udah lupa sama
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah