Dinara menghela napas, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jari-jarinya masih merasakan sensasi dingin dari casing ponsel saat ia memutuskan panggilan Reno. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gelisah yang menggerogoti hatinya."Mama pingsan? Apa penyakitnya kambuh?" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.Dinara teringat kembali masa lalu, saat ia masih menjadi istri Reno. Ia ingat bagaimana Yuyun selalu bersikap dingin dan menyakiti perasaannya. Ia ingat bagaimana Yuyun selalu menjelekkan namanya di depan orang lain dan menganggapnya sebagai pembantu."Tapi ... aku masih punya hati nurani," batinnya, matanya berkaca-kaca.Ia memang marah kepada Reno dan Bella, tetapi ia tak bisa begitu saja tega melihat Yuyun terbaring lemah di rumah sakit.Dinara melirik jam tangannya. "Pulang kerja nanti, aku harus menjenguk Mama," ucapnya pada dirinya sendiri.Ia tak yakin bagaimana reaksi Yuyun saat melihatnya, tetapi ia tak peduli. Ia hanya ingin memastikan bahwa Yuyun baik-baik saja."Semoga Ma
"Nanti setelah pulang dari mall, kita langsung ke hotel, ya?" ucap Gerald, suaranya terdengar santai, namun penuh makna tersembunyi. Dinara tersentak, jantungnya berdebar kencang. "Maaf, Pak, saya tidak bisa," jawabnya, suaranya bergetar menahan amarah dan ketakutan. "Kenapa? Kamu takut orang lain tahu?" Gerald menyeringai, matanya menyorot sinis ke arah Dinara. "Tenang saja, kita akan ke hotel yang aman dan rahasia." "Bukan itu, Pak. Saya benar-benar tidak bisa," tegas Dinara, berusaha menjaga ketenangannya. "Tidak bisa? Kamu pikir kamu bisa menolakku? Kita terikat kontrak, ingat?" Gerald menaikkan nada bicaranya, tangannya menggenggam erat setir, seolah mengancam. "Kalau kamu tidak mau, aku tidak akan mengantarmu pulang." Dinara terdiam, pikirannya berputar mencari jalan keluar. "Pak, saya ... saya ingin menjenguk seseorang di rumah sakit dulu," ucap Dinara, suaranya terdengar lirih. "Setelah itu, baru saya bisa menemani Anda ke hotel." Gerald mengerutkan kening, "Rum
Dinara dan Gerald melangkah masuk ke dalam kamar rawat Yuyun. Aroma antiseptik memenuhi hidung Dinara, membuatnya sedikit gugup. Yuyun tengah berbaring di ranjang, tampak terkejut begitu melihat siapa yang datang. Matanya menyipit, sorotannya penuh dengan keheranan."D-Dinara?" suaranya terdengar serak, tak menyembunyikan kekagetannya.Dinara menelan ludah, berusaha menjaga ketenangan. “Apa kabar, Bu? Bagaimana kondisimu?” tanyanya lembut, mencoba mengesampingkan kenangan buruk yang pernah mereka alami.Yuyun tetap diam, matanya berpindah ke arah Gerald yang berdiri di sebelah pintu, sedikit jauh dari tempat Dinara berdiri. Wajah tampan pria itu tampak dingin dan angkuh, tatapannya tajam dan menusuk.“Siapa dia?” tanya Yuyun dengan suara lirih.Dinara melirik ke arah Gerald sebelum menjawab, "Ini Pak Gerald, atasan saya di kantor."Gerald tidak bergerak dari posisinya, hanya menganggukkan kepala kecil, tatapannya tetap tajam mengintimidasi. Yuyun sangat canggung, matanya berkali-kal
Ketika mereka keluar dari mall, Gerald membawa mobilnya menuju pusat kota. Dinara semakin merasa tidak nyaman saat melihat gedung hotel mewah yang menjulang tinggi di depan mereka. Ia mengenal tempat ini, hotel termewah di kota, dan kini Gerald memarkir mobilnya di sana.Begitu sampai, Gerald langsung memesan kamar termewah di hotel itu, Presidential Suite, tanpa ragu. "Kita akan menginap di sini malam ini," ucapnya dengan nada datar.Dinara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia belum pernah dibawa ke tempat seperti ini, terlebih oleh seseorang seperti Gerald. Sementara Gerald menyelesaikan administrasi dengan staf hotel, Dinara hanya bisa berdiri canggung di sampingnya, tak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan.Setelah semuanya selesai, Gerald berbalik dan menatap Dinara dengan tatapan nyalang nan tajam, seolah seluruh situasi ada di bawah kendalinya. “Ayo,” katanya, sambil mengisyaratkan agar Dinara mengikutinya.Dengan gugup, Dinara melangkah mengikuti Gerald menuju lif
Gerald tertidur nyenyak di samping Dinara setelah percintaan panjang, napasnya teratur, seolah tidak ada yang perlu dipikirkan. Sementara itu, Dinara terbaring dalam keheningan malam, matanya basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Hatinya terasa begitu sakit, terluka lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan."Bagaimana bisa ini terjadi?" batinnya berteriak, meski tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan hancur yang menguasai dirinya. "Aku pikir... hanya kontrak. Hanya sekadar menjadi kekasih rahasia. Aku bisa bertahan demi Azka, demi hidupku. Tapi ternyata ...." Pikirannya terhenti, terlalu menyakitkan untuk melanjutkan.Setiap sentuhan Gerald yang baru saja ia rasakan masih terasa jelas di kulitnya, meninggalkan jejak ketidakberdayaan yang tak bisa dihilangkan. "Dia tidak peduli ... Pak Gerald tidak pernah peduli," bisik hatinya, penuh dengan kepedihan yang mendalam. Bagaimana bisa Gerald tega mereng
Tanpa pikir panjang, Gerald segera melangkah masuk dan membopong tubuh polos Dinara keluar dari bawah pancuran. Hatinya berdegup kencang, campuran kekhawatiran dan kepanikan menyelimuti pikirannya. Dengan cepat, Gerald membawa Dinara ke ranjang, membaringkannya dengan hati-hati. Tangannya gemetar saat ia mengambil handuk dan mulai mengeringkan tubuh Dinara, lalu memakaikan baju hangat agar tidak terkena angin malam yang dingin. Setiap gerakannya dipenuhi kecemasan, takut kondisi Dinara semakin memburuk.Setelah memastikan Dinara terbaring dengan nyaman, Gerald segera menelepon dokter. Suaranya tegang saat menjelaskan situasi, meminta dokter untuk segera datang ke kamar hotel mereka.Tak lama kemudian, ketukan di pintu mengabarkan kedatangan sang dokter. Gerald buru-buru membukakan pintu, dan dokter pun segera memeriksa Dinara yang masih terbaring lemah di ranjang."Dia mengalami demam tinggi," ujar dokter setelah mengukur suhu tubuh Dinara. "Ini kemungkinan akibat kelelahan atau te
Di tempat lain, Yuyun baru saja tiba di rumah setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Reno yang mengantarnya pulang, membuka pintu rumah dengan sedikit kesal. Seperti biasa, pemandangan di dalam rumah membuatnya mengernyit, rumah sederhana itu tampak seperti kapal pecah. Barang-barang berserakan di mana-mana, lantai kotor, dan bau tidak sedap menguar dari dapur. Reno tahu pasti siapa yang harus disalahkan. Bella, istri keduanya, yang tak pernah mau repot bersih-bersih.Reno menghela napas panjang, menahan kekesalannya. Sudah lelah seharian mengurus ibunya di rumah sakit, ia kini harus menghadapi kekacauan di rumah. Matanya berkeliling, melihat Bella yang tampak santai menonton televisi di ruang tamu. Dia tahu, jika ia membuka mulut, situasi hanya akan semakin buruk.Dengan nada datar, Reno berkata kepada ibunya, “Ma, langsung istirahat saja, ya. Nanti biar aku urus yang lain.”Yuyun mengangguk pelan, tetapi tidak langsung menuju kamar. Alih-alih, ia menatap Reno dengan mata be
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah