[Aku janji] [I love you, Aidanya Ammar] Sikap manisnya tidak berubah, termasuk kebiasaan Mas Ammar, meminjam uang yang entah membayarnya kapan. Dia memang mengatakan kalau berjanji mengembalikan, sebelumnya pun juga begini. Namun tak apalah, toh ini untuk kerjaan. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan tentang keuangan. Laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, semuanya menjadi satu. Termasuk keuangan. Kebetulan saja, pintu rezeki lebih dilebarkan untukku. Pendapatanku menjadi penyumbang utama di dalam keluarga. Bahkan Mas Ammar sering meminta bantuan untuk pekerjaannya seperti tadi. Bukankah apa yang aku dapatkan karena dukungan dan kesempatan dari suami? Karenanya aku tidak pernah hitung-hitungan dengan dia. Termasuk semua pengelolaan aset yang sudah terkumpul. Mas Ammar bisa dipercaya, buktinya sudah berwujud beberapa tanah, rumah, dan ruko yang disewakan. Segera aku membuka aplikasi mobile banking. Melakukan transfer atas nama Mas Ammar sesuai permintaannya. Sepuluh juta. Be
Kecurigaan memang perasaan yang bersifat racun. Itu yang selama ini aku hindari terhadap perilaku Mas Ammar. Suamiku memang berpenampilan memesona. Tubuh yang tinggi kurus dengan rambut ikal sebahu, terlebih saat mengendari mobil jeep berwarna hitam yang menyempurnakan kegagahannya. Perempuan mana yang tidak silau dengan ini.Namun, semua itu terpatahkan dengan sikapnya yang tetap menunjukkan perasaan tidak berubah kepadaku. Manis dan selalu romantis, walaupun sesekali keras kepala.“Maaf dengan siapa? Nanti saya tanyakan karena saya karyawan magang di sini,” ucap wanita itu lagi. Ucapannya meluruhkan kecurigaan ini.“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Saya langsung ke sana saja.”Aku langsung menutup telpon. Entah ini siapa yang salah. Mungkin saja karena penerima telpon karyawan magang, jadi belum mengenal dengan Bagas.Bibir ini tersenyum mengingat sikap over thingking kemarin. Seharusnya aku lebih mempercayai seseorang yang sudah membersamaiku selama tujuh belan tahun daripada suara sumbang
Mobil truk yang berhenti menghalangi jalan, memberiku kesempatan untuk menyusulnya. Dari kejauhan aku melihat mobil Mas Ammar. Keyakinanku ini diperkuat saat kepalanya keluar dari jendela dan meneriaki sopir truk. Kebiasaan dia berlakuan bar-bar yang justru membuatku terpesona. Mataku fokus pada satu titik, mobil jeep berwarna hitam yang mulai berjalan kembali. Sengaja aku mengambil jarak di belakang kendaraan lain. Aku hanya ingin memastikan kecurigaan orang-orang yang mulai menular kepadaku, tidaklah benar. Walaupun, sejujurnya aku sudah mulai merasa bimbang. “Mobil Papa bergerak, Ma,” seru Daniel dengan tangan menunjuk ke depan. Pedal gas mulai kumainnya. Perlahan, kami pun mulai berjalan. Anakku ini sepertinya sejalan dengan pemikiranku. Dia juga terlihat antusias menjadi petunjuk arah. Kepalanya sampai miring ke jendela, memastikan kalau mobil Mas Ammar masih terlihat. “Ma, Papa belok kiri,” serunya, dan aku langsung menghidupkan lampu sein. Dahi ini semakin berkerut. Di dep
“Ibu cari siapa, ya?” tanyanya lagi sambil menggerakkan daun pintu untuk dibuka lebih lebar. Mataku tidak lepas darinya. Wanita yang aku perkirakan seumur denganku, terlihat berpakaian biasa dengan tubuh sedikit gemuk dan berkulit gelap. Muncul asumsi lain. Siapa tahu ini teman Mas Ammar yang tidak aku kenal, dan suamiku kebetulan berkunjung. Namun, kalau berkunjung bukankah seharusnya berada di ruang tamu? “Sa-saya mencari mas, e … Pak Ammar,” ucapku dengan menggerakkan sedikit kepala ini, mencoba mengintip isi rumah. “Oh, mencari Pak Ammar. Silakan masuk dan duduk dulu,” ucapnya sambil mengerakkan tangan ke arah sofa berwarna hijau. Seketika aku mengernyit, sofa ini seperti yang ada di rumah dulu. Tahun lalu diganti dengan yang baru oleh Mas Ammar. Aku ingat benar, karena ada bekas sulutan rokok di bagian ujung kanan bawah. “Sofa yang lama aku kasih orang yang membutuhkan. Boleh, kan?” ucapnya saat itu. Ternyata ini maksudnya? Suamiku memang orang yang baik, sering berbagi denga
Apa yang harus aku katakan kepada Daniel? Papanya benar-benar berkhianat seperti dugaannya? Penghianatan Mas Ammar saja sudah membuatnya terluka, bagaimana kalau dia tahu kalau sebenarnya dia mempunyai adik tiri dari perempuan lain?Tidak! Dia tidak boleh tahu. Terutama sekarang saat dia masih belum sehat benar.Aku berhenti sejenak di belakang mobil, menarik napas dan mencoba menenangkan diri. Demi Daniel, akan aku lakukan. Walaupun harus tersenyum lebar sambil menggenggam bara.“Mama terlalu lama, ya, Sayang?” tanyaku setelah siap di belakang kemudi. Daniel masih berkutat memainkan game kesukaannya. Kali ini aku menapas lega melihat hobinya ini. Pertanda kalau dia tadi tidak mengikutiku karena penasaran.“Yes! I got it!” teriak Daniel sambil mengepalkan tangan. Kemudian meletakkan ponsel dan menoleh ke arahku. “Apa, Ma?”“Hmm … mama cuma tanya, Daniel kelamaan nunggu?”“It’s Ok. Tidak apa-apa, kok. Ini sedang kejar skor game. Akhirnya berhasil. Musuhnya kalah telak sama Daniel!” ser
Ingin rasanya membuat lubang di bawahku, kemudian aku mengubur diri. Sekarang aku enggan bertemu dengan siapapun, termasuk orang yang ada di balik jendela ini. Aku meraih tisu, mengambil banyak-banyak dan mengusap wajah. Kesedihan ini harus tidak berjejak. Tidak mau kemalanganku menjadi tontonan orang lain, terlebih menjadi bahan cibiran. Setelah mengambil napas, tangan ini membuka pintu. Dengan gerakan pelan mendorong, yang memaksa orang ini untuk melangkah mundur. Benar dugaanku. Orang menyebalkan dia tersenyum sinis dengan tangan berkacak pinggang. “Ternyata kamu.” Sekali lagi aku menghela napas, menahan amarah yang bisa jadi mencari sasaran. “Iya, saya. Memang kenapa, Dokter? Ada masalah?” tanyaku dengan kening berkerut. Dia menggerakkan kepala, ke arah lain. Bibirnya pun masih menyunggingkan senyum sebelah, terlihat sinis menandakan menabuh genderang perang. Mata ini tidak teralihkan dari wajahnya, dan ini memantik amarah yang sedari tadi mencari korban. “Dokter Burhan ini
Kaki ini menderap saat melihat Daniel di ruang tunggu dengan kepala menunduk. Pasti dia marah kepadaku. Aku membiarkan dia menungguku tanpa ada kabar apapun.“Daniel, Sayang.”“Eh, Mama,” serunya langsung mendongakkan kepala. Wajahnya menunjukkan senyuman. Aku menepuk dada, merasa lega. Dia ternyata terpekur dengan ponsel di tangan. “Sudah pemeriksaannya?” Aku duduk di sebelahnya. Menatap anak lelakiku yang ternyata sudah bisa sendiri. Bayanganku dia akan merengek dan kesal kepadaku, tidak terbukti,“Sudah, Ma. Tinggal dipanggil untuk penjelasan. Untung Mama sudah__,” ucapnya terhenti. Pandangan teralihkan dariku, dengan tubuh dicondongkan ke depan.“Om Dokter?” Mata Daniel terlihat berbinar dengan senyuman tercipta sempurna. Anakku akan beranjak berdiri, tetapi dia mengisyaratkan untuk tetap duduk. Justru sekarang dia duduk di sebelah Daniel.“Apa kabar, Jagoan?”Aku mengernyit. Nada suaranya terdengar bersahabat. Berbanding terbalik kalau berbicara denganku. Seakan bertemu teman l
“Aku bisa mengurus Daniel. Kalau kamu harus pergi, tinggalkan saja dia sama saya,” ucap lelaki ini semakin membuatku tidak habis pikir.Ingin menolak niat baiknya, tapi keadaan sekarang memaksaku untuk kembali segera ke kantor. Biasanya, yang mengurus keperluan Daniel adalah Mas Ammar, dan aku mendapatkan kebebasan mempergunakan keseharianku untuk mengejar dari deadline ke deadline lainnya.Sekali lagi aku menatapnya, memastikan kalau orang ini bisa dipercaya.Kami bersama di hitungan beberapa menit ini, menunjukkan dia orang baik. Memang dia kadang-kadang bersikap kaku dan sinis, mungkin itu pembawaannya saja. Kekesalan yang dia timbulkan, justru menggantikan rasa sakit di hati ini. Sejenak, aku melupakan masalah yang akan meledak ini.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan saya? Takut Daniel aku celakai?”“Bukan seperti itu.”“Terus apa? Kamu ingin aku mengurungkan niat mengantar Daniel?”“Saya hanya tidak ingin mengganggu saja. Lebih baik Daniel menggunakan taxi online.”Tubuhnya berge
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu