Mobil truk yang berhenti menghalangi jalan, memberiku kesempatan untuk menyusulnya. Dari kejauhan aku melihat mobil Mas Ammar. Keyakinanku ini diperkuat saat kepalanya keluar dari jendela dan meneriaki sopir truk. Kebiasaan dia berlakuan bar-bar yang justru membuatku terpesona. Mataku fokus pada satu titik, mobil jeep berwarna hitam yang mulai berjalan kembali. Sengaja aku mengambil jarak di belakang kendaraan lain. Aku hanya ingin memastikan kecurigaan orang-orang yang mulai menular kepadaku, tidaklah benar. Walaupun, sejujurnya aku sudah mulai merasa bimbang. “Mobil Papa bergerak, Ma,” seru Daniel dengan tangan menunjuk ke depan. Pedal gas mulai kumainnya. Perlahan, kami pun mulai berjalan. Anakku ini sepertinya sejalan dengan pemikiranku. Dia juga terlihat antusias menjadi petunjuk arah. Kepalanya sampai miring ke jendela, memastikan kalau mobil Mas Ammar masih terlihat. “Ma, Papa belok kiri,” serunya, dan aku langsung menghidupkan lampu sein. Dahi ini semakin berkerut. Di dep
“Ibu cari siapa, ya?” tanyanya lagi sambil menggerakkan daun pintu untuk dibuka lebih lebar. Mataku tidak lepas darinya. Wanita yang aku perkirakan seumur denganku, terlihat berpakaian biasa dengan tubuh sedikit gemuk dan berkulit gelap. Muncul asumsi lain. Siapa tahu ini teman Mas Ammar yang tidak aku kenal, dan suamiku kebetulan berkunjung. Namun, kalau berkunjung bukankah seharusnya berada di ruang tamu? “Sa-saya mencari mas, e … Pak Ammar,” ucapku dengan menggerakkan sedikit kepala ini, mencoba mengintip isi rumah. “Oh, mencari Pak Ammar. Silakan masuk dan duduk dulu,” ucapnya sambil mengerakkan tangan ke arah sofa berwarna hijau. Seketika aku mengernyit, sofa ini seperti yang ada di rumah dulu. Tahun lalu diganti dengan yang baru oleh Mas Ammar. Aku ingat benar, karena ada bekas sulutan rokok di bagian ujung kanan bawah. “Sofa yang lama aku kasih orang yang membutuhkan. Boleh, kan?” ucapnya saat itu. Ternyata ini maksudnya? Suamiku memang orang yang baik, sering berbagi denga
Apa yang harus aku katakan kepada Daniel? Papanya benar-benar berkhianat seperti dugaannya? Penghianatan Mas Ammar saja sudah membuatnya terluka, bagaimana kalau dia tahu kalau sebenarnya dia mempunyai adik tiri dari perempuan lain?Tidak! Dia tidak boleh tahu. Terutama sekarang saat dia masih belum sehat benar.Aku berhenti sejenak di belakang mobil, menarik napas dan mencoba menenangkan diri. Demi Daniel, akan aku lakukan. Walaupun harus tersenyum lebar sambil menggenggam bara.“Mama terlalu lama, ya, Sayang?” tanyaku setelah siap di belakang kemudi. Daniel masih berkutat memainkan game kesukaannya. Kali ini aku menapas lega melihat hobinya ini. Pertanda kalau dia tadi tidak mengikutiku karena penasaran.“Yes! I got it!” teriak Daniel sambil mengepalkan tangan. Kemudian meletakkan ponsel dan menoleh ke arahku. “Apa, Ma?”“Hmm … mama cuma tanya, Daniel kelamaan nunggu?”“It’s Ok. Tidak apa-apa, kok. Ini sedang kejar skor game. Akhirnya berhasil. Musuhnya kalah telak sama Daniel!” ser
Ingin rasanya membuat lubang di bawahku, kemudian aku mengubur diri. Sekarang aku enggan bertemu dengan siapapun, termasuk orang yang ada di balik jendela ini. Aku meraih tisu, mengambil banyak-banyak dan mengusap wajah. Kesedihan ini harus tidak berjejak. Tidak mau kemalanganku menjadi tontonan orang lain, terlebih menjadi bahan cibiran. Setelah mengambil napas, tangan ini membuka pintu. Dengan gerakan pelan mendorong, yang memaksa orang ini untuk melangkah mundur. Benar dugaanku. Orang menyebalkan dia tersenyum sinis dengan tangan berkacak pinggang. “Ternyata kamu.” Sekali lagi aku menghela napas, menahan amarah yang bisa jadi mencari sasaran. “Iya, saya. Memang kenapa, Dokter? Ada masalah?” tanyaku dengan kening berkerut. Dia menggerakkan kepala, ke arah lain. Bibirnya pun masih menyunggingkan senyum sebelah, terlihat sinis menandakan menabuh genderang perang. Mata ini tidak teralihkan dari wajahnya, dan ini memantik amarah yang sedari tadi mencari korban. “Dokter Burhan ini
Kaki ini menderap saat melihat Daniel di ruang tunggu dengan kepala menunduk. Pasti dia marah kepadaku. Aku membiarkan dia menungguku tanpa ada kabar apapun.“Daniel, Sayang.”“Eh, Mama,” serunya langsung mendongakkan kepala. Wajahnya menunjukkan senyuman. Aku menepuk dada, merasa lega. Dia ternyata terpekur dengan ponsel di tangan. “Sudah pemeriksaannya?” Aku duduk di sebelahnya. Menatap anak lelakiku yang ternyata sudah bisa sendiri. Bayanganku dia akan merengek dan kesal kepadaku, tidak terbukti,“Sudah, Ma. Tinggal dipanggil untuk penjelasan. Untung Mama sudah__,” ucapnya terhenti. Pandangan teralihkan dariku, dengan tubuh dicondongkan ke depan.“Om Dokter?” Mata Daniel terlihat berbinar dengan senyuman tercipta sempurna. Anakku akan beranjak berdiri, tetapi dia mengisyaratkan untuk tetap duduk. Justru sekarang dia duduk di sebelah Daniel.“Apa kabar, Jagoan?”Aku mengernyit. Nada suaranya terdengar bersahabat. Berbanding terbalik kalau berbicara denganku. Seakan bertemu teman l
“Aku bisa mengurus Daniel. Kalau kamu harus pergi, tinggalkan saja dia sama saya,” ucap lelaki ini semakin membuatku tidak habis pikir.Ingin menolak niat baiknya, tapi keadaan sekarang memaksaku untuk kembali segera ke kantor. Biasanya, yang mengurus keperluan Daniel adalah Mas Ammar, dan aku mendapatkan kebebasan mempergunakan keseharianku untuk mengejar dari deadline ke deadline lainnya.Sekali lagi aku menatapnya, memastikan kalau orang ini bisa dipercaya.Kami bersama di hitungan beberapa menit ini, menunjukkan dia orang baik. Memang dia kadang-kadang bersikap kaku dan sinis, mungkin itu pembawaannya saja. Kekesalan yang dia timbulkan, justru menggantikan rasa sakit di hati ini. Sejenak, aku melupakan masalah yang akan meledak ini.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan saya? Takut Daniel aku celakai?”“Bukan seperti itu.”“Terus apa? Kamu ingin aku mengurungkan niat mengantar Daniel?”“Saya hanya tidak ingin mengganggu saja. Lebih baik Daniel menggunakan taxi online.”Tubuhnya berge
Aku tidak bisa berkata-kata. Umpatan yang sudah berjubal di mulut ini, seakan hilang begitu saja. Aku hanya bisa berdiri diam dengan menatap lelaki yang sudah belasan tahun hidup bersamaku.Seketika, aku merasa dia orang asing, dan aku tidak mengerti apa-apa tentang dia.Anak perempuan itu berlari masuk ke rumah, setelah Mas Ammar membisikkan sesuatu. Kemudian dia mendekat, dan sekarang kami berdiri berhadap-hadapan.“Aida, apa yang kamu lakukan di sini?”Wajah ini mendongak ke arahnya, menatapnya lekat. ‘Apakah ini Mas Ammarku?’ Kening ini berkerut, dan kembali air mata ini menetes.“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang dilakukan suamiku di rumah orang?” Mata ini nanar menatapnya. Sekuat tenaga aku menahan sesak di dada yang nyaris meledak.“Aida. Kita pulang dan akan aku jelaskan di rumah.” Dia memberi tatapan memohon pengertian. Aku menggeleng sambil menepis tangannya. Aku tidak mau ditipu olehnya lagi seperti saat dia berkelit tentang foto-foto itu.“Kenapa kamu berbohong dengan
Berbicara dengan orang berakal pendek memang susah. Dia merasa benar dan orang lainlah yang salah. Aku tertawa keras sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian memberikan tepuk tangan sambil mengalihkan pandangan ke Mas Ammar.“Hebat! Hebat sekalian kalian. Pasangan yang cocok. Kalian yang berkhianat, tapi kalian tetap merasa hebat. Apa tidak malu tinggal di lingkungan ini? Eh, Diana! Kamu mengenalkan sebagai siapa kepada tetangga? Perempuan simpanan Ammar Hamdan? Atau …. perempuan penggoda suami orang?” ucapku sambil tersenyum miring. Perempuan seperti ini tidak boleh diberi angin. Mendapat kesempatan, dia akan berganti menggigit.“Kamu, ya!” serunya sambil menderap ke arahku. Tangannya terangkat dan siap terayun. Aku mengelak, dan dia terhuyun saat mendapati ruangan kosong.Gila! Dia sudah mulai main kasar. Tangan ini terkepal keras, dan mataku menangkap orang yang berdiri di luar pagar semakin banyak. Ini sekempatan bagiku. Akan aku tunjukkan balasan tanpa berbuat kasar kepadan