Yang sudah baca, mohon komen, ya. Terimakasih.
Kaki ini menderap saat melihat Daniel di ruang tunggu dengan kepala menunduk. Pasti dia marah kepadaku. Aku membiarkan dia menungguku tanpa ada kabar apapun.“Daniel, Sayang.”“Eh, Mama,” serunya langsung mendongakkan kepala. Wajahnya menunjukkan senyuman. Aku menepuk dada, merasa lega. Dia ternyata terpekur dengan ponsel di tangan. “Sudah pemeriksaannya?” Aku duduk di sebelahnya. Menatap anak lelakiku yang ternyata sudah bisa sendiri. Bayanganku dia akan merengek dan kesal kepadaku, tidak terbukti,“Sudah, Ma. Tinggal dipanggil untuk penjelasan. Untung Mama sudah__,” ucapnya terhenti. Pandangan teralihkan dariku, dengan tubuh dicondongkan ke depan.“Om Dokter?” Mata Daniel terlihat berbinar dengan senyuman tercipta sempurna. Anakku akan beranjak berdiri, tetapi dia mengisyaratkan untuk tetap duduk. Justru sekarang dia duduk di sebelah Daniel.“Apa kabar, Jagoan?”Aku mengernyit. Nada suaranya terdengar bersahabat. Berbanding terbalik kalau berbicara denganku. Seakan bertemu teman l
“Aku bisa mengurus Daniel. Kalau kamu harus pergi, tinggalkan saja dia sama saya,” ucap lelaki ini semakin membuatku tidak habis pikir.Ingin menolak niat baiknya, tapi keadaan sekarang memaksaku untuk kembali segera ke kantor. Biasanya, yang mengurus keperluan Daniel adalah Mas Ammar, dan aku mendapatkan kebebasan mempergunakan keseharianku untuk mengejar dari deadline ke deadline lainnya.Sekali lagi aku menatapnya, memastikan kalau orang ini bisa dipercaya.Kami bersama di hitungan beberapa menit ini, menunjukkan dia orang baik. Memang dia kadang-kadang bersikap kaku dan sinis, mungkin itu pembawaannya saja. Kekesalan yang dia timbulkan, justru menggantikan rasa sakit di hati ini. Sejenak, aku melupakan masalah yang akan meledak ini.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan saya? Takut Daniel aku celakai?”“Bukan seperti itu.”“Terus apa? Kamu ingin aku mengurungkan niat mengantar Daniel?”“Saya hanya tidak ingin mengganggu saja. Lebih baik Daniel menggunakan taxi online.”Tubuhnya berge
Aku tidak bisa berkata-kata. Umpatan yang sudah berjubal di mulut ini, seakan hilang begitu saja. Aku hanya bisa berdiri diam dengan menatap lelaki yang sudah belasan tahun hidup bersamaku.Seketika, aku merasa dia orang asing, dan aku tidak mengerti apa-apa tentang dia.Anak perempuan itu berlari masuk ke rumah, setelah Mas Ammar membisikkan sesuatu. Kemudian dia mendekat, dan sekarang kami berdiri berhadap-hadapan.“Aida, apa yang kamu lakukan di sini?”Wajah ini mendongak ke arahnya, menatapnya lekat. ‘Apakah ini Mas Ammarku?’ Kening ini berkerut, dan kembali air mata ini menetes.“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang dilakukan suamiku di rumah orang?” Mata ini nanar menatapnya. Sekuat tenaga aku menahan sesak di dada yang nyaris meledak.“Aida. Kita pulang dan akan aku jelaskan di rumah.” Dia memberi tatapan memohon pengertian. Aku menggeleng sambil menepis tangannya. Aku tidak mau ditipu olehnya lagi seperti saat dia berkelit tentang foto-foto itu.“Kenapa kamu berbohong dengan
Berbicara dengan orang berakal pendek memang susah. Dia merasa benar dan orang lainlah yang salah. Aku tertawa keras sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian memberikan tepuk tangan sambil mengalihkan pandangan ke Mas Ammar.“Hebat! Hebat sekalian kalian. Pasangan yang cocok. Kalian yang berkhianat, tapi kalian tetap merasa hebat. Apa tidak malu tinggal di lingkungan ini? Eh, Diana! Kamu mengenalkan sebagai siapa kepada tetangga? Perempuan simpanan Ammar Hamdan? Atau …. perempuan penggoda suami orang?” ucapku sambil tersenyum miring. Perempuan seperti ini tidak boleh diberi angin. Mendapat kesempatan, dia akan berganti menggigit.“Kamu, ya!” serunya sambil menderap ke arahku. Tangannya terangkat dan siap terayun. Aku mengelak, dan dia terhuyun saat mendapati ruangan kosong.Gila! Dia sudah mulai main kasar. Tangan ini terkepal keras, dan mataku menangkap orang yang berdiri di luar pagar semakin banyak. Ini sekempatan bagiku. Akan aku tunjukkan balasan tanpa berbuat kasar kepadan
Dia dulu tidak seperti ini. Mas Ammar laki-laki yang sempurna sebagai suami dan anakku. Suamiku itu dulu bekerja pada perusahaan swasta dengan pendapatan yang lumayan, cukup untuk penghidupan kami bertiga.“Aida. Daniel sudah beranjak dewasa. Kamu bisa mulai serius dengan pekerjaanmu.” Kala itu aku masih menjadi arsitek freelance. Mengaplikasikan keahlianku saat ada pekerjaan dari perusahaan jasa arsitek. Aku belum berani mempunyai bendera sendiri, karena terbentur waktu mengurus keluarga.Atas izin Mas Ammarlah aku berani mengurus perizinan untuk memulai mempunyai nama sendiri. Cipta Megah Architects, namanya. Lamba laun, namaku mulai dikenal dan dicari. Keberhasilanku ini berbanding terbali dengan waktu untuk keluarga. Terlebih saat aku mulai merambah menangani sipil yang dibantu oleh Laila. Aku lebih di kantor dibandingkan di rumah.“Aku tidak apa-apa. Justru aku bangga mempunyai istri yang luar biasa ini. Toh Daniel bisa bersamaku,” ucapnya saat aku menyatakan rasa bersalah.Keada
Mata ini masih menatapnya tanpa berkedip. Kepalaku masih belum mencerna dengan apa yang dimaksud. “Kalau kamu tidak setuju, jangan harap mendapatkan apa yang kamu mau,” ucapnya kemudian berbalik pergi. Debum suara pintu dibanting begitu mengagetkan. Aku hanya bisa menatap pintu kamar tamu sambil mengelus dada. Aku mulai menyadari apa yang dia maksud. Perkataannya itu sama saja menguasai semua aset yang sudah terkumpul. Semua atas nama dia, termasuk rumah ini. Apa ini berarti dia mengusirku kalau kami jadi bercerai? Kembali mata ini menatap pintu yang tertutup rapat. Aku tidak menyangka Mas Ammar bersikap seperti itu. Merasa tidak terima, aku langsung berdiri dan membuka pintu dengan kasar. “Mas Ammar! Maksud kamu apa!?” teriakku. Dia tertawa. “Kamu sebagai wanita pintar harusnya tahu apa yang aku maksud,” ucapannya sambil mendekatkan wajah dan menatapku lekat. Wajahnya terlikat kaku membeku. Tidak ada jejak keramahan di sana. Aku seperti berhadapan dengan orang asing, “Kamu akan
Saat menolong seseorang, aku tidak pernah berharap balasan. Bagiku itu demi kemanusiaan. Seperti malam itu. Aku pulang lembur dari kantor. Sebelum memasuki areal pemukiman, aku mendapati seorang perempuan berebut tas dengan tiga orang laki-laki. Kalau dilihat penampilannya, laki-laki itu bukan orang baik-baik. Jalanan sepi, dan hanya mobil ini yang melintas saat itu. “Tolong! Tolong saya!” Tanpa pikir panjang, mobil aku arahkan mereka. Lampu menyorot dan mereka dikejutkan dengan bunyi klakson panjang. Aku berharap, yang aku lakukan memancing orang untuk datang. Benar, beberapa sepeda motor berhenti, dan laki-laki bertampang kasar itu melarikan diri. Baru aku berani keluar dari mobil, mendapati perempuan dengan rambut diikat itu meringkuk di trotoar. Tangannya mendekap tas dengan tubuh gemetar dan terdengar isakan darinya. “Kamu tidak apa-apa?” “Tidak, Bu. Te-terima kasih,” ucapnya. Pengendara yang berhenti tadi, memastikan kalau semua baik, kemudian berpamitan untuk melanjutkan
“Aku tidak ingin ada yang mengganggu saat kita seperti ini,” bisik Mas Ammar sambil mempererat rangkulan di pundak ini. Kebiasaan kami saat bersantai di rumah. Daniel sudah masuk kamar, dan kami menonton televisi di ruang tengah.Kalau sudah dia mendekatkan diri, biasanya jemarinya tidak mau diam. Keasyikanku menonton terusik dengan tangannya yang menyelusup di pakaian ini. Kalau sudah seperti itu, menandakan dia menuntut lebih.Alasan ini yang digunakan dia dulu untuk memindahkan Diana dari rumah ini.“Ada temanku yang membutuhkan orang yang bersih-bersih rumah. Diana kan bisa? Dari pada dia tinggal di sini. Aku tidak nyaman kalau saat malam ada orang lain selain kita.”Ucapannya begitu masuk akal. Aku menyetujuinya dan menyerahkan urusan ini kepadanya. Toh, tempat tujuan Diana bekerja adalah teman Mas Ammar. Sejak itu, aku tidak menemui perempuan itu lagi.“Nyonya. Beberapa pakaian sudah saya siapkan,” ucap Bik Yanti sambil menyeret satu koper besar. Aku menyuruhnya untuk menyiapkan
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu