Maaf, ya, updatenya tersendat. . Ikuti terus, dipastikan update setiap pagi dan sore. . Terima kasih
Apa memang laki-laki diciptakan sebagai makhluk yang mengesalkan? Tidak hanya dokter ini, tapi juga Daniel, termasuk Mas Ammar.[Maaf, aku tidak bisa menjemput Daniel. Aku harus ke luar kota selama beberapa hari. Ada proyek yang harus aku tangani.][Tidak bisa ditunda besuk, Mas Ammar? Daniel membutuhkanmu] jawabku langsung.Tangan ini tetap memegang ponsel, menunggu jawabannya. Namun, sampai aku sudah tiba di kamar Daniel, jawaban tidak kunjung datang.“Bagaimana, Aida? Semua sudah beres?” tanya Laila sambil mengemas barang-barang ke dalam tas. Aku melirik Daniel yang sedang berdiri di depan jendela dengan tangan terlipat di dada. Dia menatap ke luar jendela dengan wajah terlihat kaku, seakan memikirkan sesuatu.“Iya. Kita bisa pulang sekarang,” jawabku, kemudian menoleh ke arah anakku. “Kenapa dia?”“Ngambek.” Laila berkata sambil menarik resleting tas pakaian. Kemudian menarikku untuk duduk di sampingnya. “Sabar, ya.”“Pasti, Lai. Kamu kan tahu aku bagaimana dari dulu. Wanita tangg
[Aku janji] [I love you, Aidanya Ammar] Sikap manisnya tidak berubah, termasuk kebiasaan Mas Ammar, meminjam uang yang entah membayarnya kapan. Dia memang mengatakan kalau berjanji mengembalikan, sebelumnya pun juga begini. Namun tak apalah, toh ini untuk kerjaan. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan tentang keuangan. Laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, semuanya menjadi satu. Termasuk keuangan. Kebetulan saja, pintu rezeki lebih dilebarkan untukku. Pendapatanku menjadi penyumbang utama di dalam keluarga. Bahkan Mas Ammar sering meminta bantuan untuk pekerjaannya seperti tadi. Bukankah apa yang aku dapatkan karena dukungan dan kesempatan dari suami? Karenanya aku tidak pernah hitung-hitungan dengan dia. Termasuk semua pengelolaan aset yang sudah terkumpul. Mas Ammar bisa dipercaya, buktinya sudah berwujud beberapa tanah, rumah, dan ruko yang disewakan. Segera aku membuka aplikasi mobile banking. Melakukan transfer atas nama Mas Ammar sesuai permintaannya. Sepuluh juta. Be
Kecurigaan memang perasaan yang bersifat racun. Itu yang selama ini aku hindari terhadap perilaku Mas Ammar. Suamiku memang berpenampilan memesona. Tubuh yang tinggi kurus dengan rambut ikal sebahu, terlebih saat mengendari mobil jeep berwarna hitam yang menyempurnakan kegagahannya. Perempuan mana yang tidak silau dengan ini.Namun, semua itu terpatahkan dengan sikapnya yang tetap menunjukkan perasaan tidak berubah kepadaku. Manis dan selalu romantis, walaupun sesekali keras kepala.“Maaf dengan siapa? Nanti saya tanyakan karena saya karyawan magang di sini,” ucap wanita itu lagi. Ucapannya meluruhkan kecurigaan ini.“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Saya langsung ke sana saja.”Aku langsung menutup telpon. Entah ini siapa yang salah. Mungkin saja karena penerima telpon karyawan magang, jadi belum mengenal dengan Bagas.Bibir ini tersenyum mengingat sikap over thingking kemarin. Seharusnya aku lebih mempercayai seseorang yang sudah membersamaiku selama tujuh belan tahun daripada suara sumbang
Mobil truk yang berhenti menghalangi jalan, memberiku kesempatan untuk menyusulnya. Dari kejauhan aku melihat mobil Mas Ammar. Keyakinanku ini diperkuat saat kepalanya keluar dari jendela dan meneriaki sopir truk. Kebiasaan dia berlakuan bar-bar yang justru membuatku terpesona. Mataku fokus pada satu titik, mobil jeep berwarna hitam yang mulai berjalan kembali. Sengaja aku mengambil jarak di belakang kendaraan lain. Aku hanya ingin memastikan kecurigaan orang-orang yang mulai menular kepadaku, tidaklah benar. Walaupun, sejujurnya aku sudah mulai merasa bimbang. “Mobil Papa bergerak, Ma,” seru Daniel dengan tangan menunjuk ke depan. Pedal gas mulai kumainnya. Perlahan, kami pun mulai berjalan. Anakku ini sepertinya sejalan dengan pemikiranku. Dia juga terlihat antusias menjadi petunjuk arah. Kepalanya sampai miring ke jendela, memastikan kalau mobil Mas Ammar masih terlihat. “Ma, Papa belok kiri,” serunya, dan aku langsung menghidupkan lampu sein. Dahi ini semakin berkerut. Di dep
“Ibu cari siapa, ya?” tanyanya lagi sambil menggerakkan daun pintu untuk dibuka lebih lebar. Mataku tidak lepas darinya. Wanita yang aku perkirakan seumur denganku, terlihat berpakaian biasa dengan tubuh sedikit gemuk dan berkulit gelap. Muncul asumsi lain. Siapa tahu ini teman Mas Ammar yang tidak aku kenal, dan suamiku kebetulan berkunjung. Namun, kalau berkunjung bukankah seharusnya berada di ruang tamu? “Sa-saya mencari mas, e … Pak Ammar,” ucapku dengan menggerakkan sedikit kepala ini, mencoba mengintip isi rumah. “Oh, mencari Pak Ammar. Silakan masuk dan duduk dulu,” ucapnya sambil mengerakkan tangan ke arah sofa berwarna hijau. Seketika aku mengernyit, sofa ini seperti yang ada di rumah dulu. Tahun lalu diganti dengan yang baru oleh Mas Ammar. Aku ingat benar, karena ada bekas sulutan rokok di bagian ujung kanan bawah. “Sofa yang lama aku kasih orang yang membutuhkan. Boleh, kan?” ucapnya saat itu. Ternyata ini maksudnya? Suamiku memang orang yang baik, sering berbagi denga
Apa yang harus aku katakan kepada Daniel? Papanya benar-benar berkhianat seperti dugaannya? Penghianatan Mas Ammar saja sudah membuatnya terluka, bagaimana kalau dia tahu kalau sebenarnya dia mempunyai adik tiri dari perempuan lain?Tidak! Dia tidak boleh tahu. Terutama sekarang saat dia masih belum sehat benar.Aku berhenti sejenak di belakang mobil, menarik napas dan mencoba menenangkan diri. Demi Daniel, akan aku lakukan. Walaupun harus tersenyum lebar sambil menggenggam bara.“Mama terlalu lama, ya, Sayang?” tanyaku setelah siap di belakang kemudi. Daniel masih berkutat memainkan game kesukaannya. Kali ini aku menapas lega melihat hobinya ini. Pertanda kalau dia tadi tidak mengikutiku karena penasaran.“Yes! I got it!” teriak Daniel sambil mengepalkan tangan. Kemudian meletakkan ponsel dan menoleh ke arahku. “Apa, Ma?”“Hmm … mama cuma tanya, Daniel kelamaan nunggu?”“It’s Ok. Tidak apa-apa, kok. Ini sedang kejar skor game. Akhirnya berhasil. Musuhnya kalah telak sama Daniel!” ser
Ingin rasanya membuat lubang di bawahku, kemudian aku mengubur diri. Sekarang aku enggan bertemu dengan siapapun, termasuk orang yang ada di balik jendela ini. Aku meraih tisu, mengambil banyak-banyak dan mengusap wajah. Kesedihan ini harus tidak berjejak. Tidak mau kemalanganku menjadi tontonan orang lain, terlebih menjadi bahan cibiran. Setelah mengambil napas, tangan ini membuka pintu. Dengan gerakan pelan mendorong, yang memaksa orang ini untuk melangkah mundur. Benar dugaanku. Orang menyebalkan dia tersenyum sinis dengan tangan berkacak pinggang. “Ternyata kamu.” Sekali lagi aku menghela napas, menahan amarah yang bisa jadi mencari sasaran. “Iya, saya. Memang kenapa, Dokter? Ada masalah?” tanyaku dengan kening berkerut. Dia menggerakkan kepala, ke arah lain. Bibirnya pun masih menyunggingkan senyum sebelah, terlihat sinis menandakan menabuh genderang perang. Mata ini tidak teralihkan dari wajahnya, dan ini memantik amarah yang sedari tadi mencari korban. “Dokter Burhan ini
Kaki ini menderap saat melihat Daniel di ruang tunggu dengan kepala menunduk. Pasti dia marah kepadaku. Aku membiarkan dia menungguku tanpa ada kabar apapun.“Daniel, Sayang.”“Eh, Mama,” serunya langsung mendongakkan kepala. Wajahnya menunjukkan senyuman. Aku menepuk dada, merasa lega. Dia ternyata terpekur dengan ponsel di tangan. “Sudah pemeriksaannya?” Aku duduk di sebelahnya. Menatap anak lelakiku yang ternyata sudah bisa sendiri. Bayanganku dia akan merengek dan kesal kepadaku, tidak terbukti,“Sudah, Ma. Tinggal dipanggil untuk penjelasan. Untung Mama sudah__,” ucapnya terhenti. Pandangan teralihkan dariku, dengan tubuh dicondongkan ke depan.“Om Dokter?” Mata Daniel terlihat berbinar dengan senyuman tercipta sempurna. Anakku akan beranjak berdiri, tetapi dia mengisyaratkan untuk tetap duduk. Justru sekarang dia duduk di sebelah Daniel.“Apa kabar, Jagoan?”Aku mengernyit. Nada suaranya terdengar bersahabat. Berbanding terbalik kalau berbicara denganku. Seakan bertemu teman l