Agenda mereka hari ini adalah acara keakraban kantor divisi. Semua sudah mendapat tim masing-masing. Dan Rossa kebagian setim dengan anak-anak dari tim divisi lain. Semuanya diacak, satu tim di kantor, tidak boleh setim di permainan mereka. “Eh, lo dari tim utama ya?” Seorang pemuda, berusia tidak berbeda jauh dari Rossa baru saja menyapanya. Rossa tersenyum mengangguk. Umumnya dia bukan tipe yang introvert, tapi karena melihat Tristan dari kejauhan sedang memantaunya. Rossa jadi merasa kurang nyaman. “Lo dari tim apa di kantor?” Rossa akhirnya memulai pembicaraan, dia tidak bisa terus-terusan diam saja, “gue jarang lihat lo soalnya.” “Dari Tim E, maklum kalo lo jarang lihat. Tim gue biasanya turun ke lapangan. Oh ya, gue Rudian, panggil Rudi aja. Lo Rossa kan?” “Eh, lo kenal gue?” “Nama sama muka lo kesebar di grup kantor soalnya, makanya gue kenal.” Menghela nafas, Rossa hanya bisa tersenyum kikuk. Dia tahu sefatal apa jika sudah berurusan dengan Tristan dan ketah
Tidak, bukan Rossa namanya jika dia adalah seorang wanita yang mudah mengeluh, tergoda, dan menyerah akan hal yang berbaur dengan kehidupan. Sebagai anak yang pernah kehilangan kedua orang tua dalam waktu bersamaan, dan bahkan pernah hanya makan nasi tambah kecap doang, Rossa itu bukan tipe cewek lemah. Apalagi dengan game berhadiah jalan-jalan ke luar negeri. Beh. Tidak usah diragukan lagi dan jelas itu kelihatan dari hasil akhir. Kelompok Rossa berhasil memenangkan juara utama dan ya, mereka mendapatkan tiket gratis itu. “Lo hebat banget, padahal tadi kayak biasa aja mainnya.” Rudi terkekeh, “but, thanks. Ini pertama kali tim gue menang.” “Ini bukan karena gue doang, tapi karena kerja sama tim kita.” Rudi tersenyum tulus, “nanti malam, lo available ga?” “Kenapa?” “Anak-anak dari tim lain ngajak makan di daerah sini, mungkin bisa gue kasih rekomendasi juga. Siapa tau lo tertarik buat ikut, sekalian ajak anak-anak dari tim utama. Biar pada kenalan juga, dan mengurangi
Tatapan Rossa menyipit sambil menatap kantong yang sudah berada di tangannya. Lebih lagi manusia yang memberinya adalah Tristan. Sosok yang masih membuatnya merasa kesal hingga detik ini. “Apa nih?” “Buka aja.” “Lo gak naro bahan beracun kan?” “Ya Ampun, Ros. Segitunya sama gue? Sejahat-jahatnya gue, gak mungkin gue maling juga.” Rossa menarik nafas dalam. Dia sudah mendapat rekaman CCTV hotel dari Jake tadi malam setelah dia pulang dari club. Dan memang bukan Tristan yang masuk ke dalam kamarnya. Tapi seorang petugas kebersihan yang kini sedang di proses. Dan rasanya tau seperti itu membuat Rossa malu karena sudah secepat itu menuduh Tristan hal yang tidak-tidak. Padahal lelaki itu tidak ada salah sama-sekali. Rossa menghela nafas panjang. Ingin minta maaf juga segan. Harga dirinya jauh lebih tinggi jika sudah berhadapan dengan Tristan. “Oh, okay. Makasih.” Tristan menyipitkan matanya mengamati ekspresi Rossa yang tidak excited menerima bikini yang baru dia belika
Masih di Bali. Dan juga hari terakhir mereka di sana. Rossa pagi ini sudah bersiap dengan bikini yang baru dibelikan Tristan. Moodnya sudah jauh lebih baik. Dan nuansa pagi sambil berjemur memang tidak ada yang mengalahkan. Dan perkara pencurian bikininya. Pihak hotel sudah mencari tahu seluruh pekerja, tapi bukan salah satu dari mereka. Jadi itu masih menjadi misteri dan sedang diselidiki. “Anjir, demi apa, Ros? Lo kayak kembang desa.” Wajah Rossa langsung ditekuk begitu mendengar ucapan Gusti. Lelaki itu mengenakan baju tema pantai. Dan catat, tidak berhenti menatapnya sejak tadi. Padahal Rossa mengenakan kain putih untuk menutupi bagian bawahnya, serta cardigan rajut untuk menutupi bagian atasnya. Tapi namanya mata lelaki, tetap saja semuanya terlihat transparan. “Udah, Gus. Lama-lama itu mata jadi tembus pandang. Semuanya udah ready? Biar kita langsung ke pantai sebelah. Lihat bule-bule lagi berjemur.” Lis menengahi, dan beruntungnya tidak ada yang bawel. “Ros, gue m
Liburan di Bali sudah usai dan semua orang sudah kembali ke pekerjaan awal. Termasuk Rossa yang pagi ini sedang berkemas dengan baju-bajunya. Masih libur, jadi masih ada waktu untuk istirahat sejenak. “Babe, lihat CD gue gak?” Rossa yang sedang memasukkan cucian ke mesin cuci langsung menatap Tristan sinis. Dia masih kesal dengan manusia satu di hadapannya ini. Untungnya, mereka ini di ruangan tertutup. “Bab…beb, bisa minggir gak sih? Gue lagi sibuk. Urusan CD lo mana gue tau pea.” Tristan mayun. “Yahh…kirain aja kamu sembunyiin.” Telinga Rossa langsung panas. “Demi apa gue nyembunyiin CD lo anjir, mikir dikit dong.” “Ya kan siapa tau aja. Emang kamu nyembunyiin punya gue?” “GAK LAH.” “Nah tinggal jawab itu aja kan.” Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi juga, tapi Tristan sudah membuatnya naik pitam. Rossa tidak ambil pusing dan mulai mengoles roti dengan selai coklatnya. Tapi baru saja baru memasukkannya ke dalam mulut, sudah diambil lebih dulu oleh Tristan.
Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, Rossa masih menyesali apa yang sudah dia lakukan. Pagi ini dia sudah bersiap dengan setelan kantor, dan dengan kebiasaan barunya. Berangkat lebih awal untuk menghindari Tristan. Dia tidak punya wajah. “Ros? Berangkat pagi lagi?” Oh iya. Rossa sampai lupa jika sudah beberapa hari ini, dia berangkat pagi dan berpapasan dengan Zaman. Tetangganya. Dia tidak tahu jika ada orang sepagi itu jika berangkat ke kantor. Kata Zaman, dia lebih senang menghindari macet, jadi berangkat di pagi hari. “Padahal, jam masuk kantormu bukannya lebih siang, tuan Zaman?” “Jawabanku tetap sama, Nona.” Rossa terkekeh sambil menuruni anak tangga. Dan pagi ini dia menumpang dengan mobil Zaman, karena arah kantor mereka searah. Motornya sedang dipinjam sepupunya dan Rossa tidak suka naik mobil. Bukannya tidak suka, tapi mobil itu adalah pemberian Tristan. Dia akan teringat lagi dengan adegan dimana dia mengaku menjadi pacar lelaki itu. Tidak ada lagi kedamaia
Nur Ida, menyambut kedatangan Rossa dengan senang. Saking senangnya, dia lupa jika yang ikut makan malam hanyalah mereka bertiga. Padahal dia sudah memesan banyak makanan. “Ayo sayang, gak usah malu-malu. Masakan mama aku enak kok, tidak beracun.” Rossa tersenyum semanis mungkin. Demi akting yang masih harus dia jalani. Tapi lidah tidak bisa bohong, masakan yang tersaji di atas meja sangat enak. Rossa sampai lupa jika dia sudah makan sore. Dan berbicara soal dinner. Rossa masih teringat soal Zaman yang ekspresinya terlihat kecewa saat dia membatalkan janji mereka. Dan Rossa terpaksa berjanji di lain waktu. “Rossa bisa masak, nak?” Mata Rossa refleks melebar mendengar pertanyaan itu. Dia memang anak kos dan perantau di kota orang. Tapi soal memasak? Rossa tersenyum kikuk sambil menggeleng. Mungkin dirinya tidak akan lulus kualifikasi menjadi menantu?! “Tidak apa. Mama juga gak jago masak, makanya keseringan beli. Ini aja mama beli dari restoran.” Nur Ida tertawa lebar, “kalo kam
Rossa pagi ini tersenyum riang membayangkan sesuatu yang melintas di otaknya. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya setelah otaknya memberi perintah untuk memberi kesempatan. Ya. Rossa memutuskan untuk memberi kesempatan pada Tristan. Siapa tahu, lelaki itu adalah jawaban dari doanya selama ini. “Senyum aja dari tadi, Ros. Sampai-sampai kopinya mau penuh itu.” Refleks Rossa berjalan mundur saat sebuah tangan melintas dekat perutnya. Itu terlalu dekat. Dan lelaki itu adalah Rudi. Mereka bertemu lagi di pantry, sebab Rossa memang sedang menyiapkan segelas kopi untuk dirinya sendiri. “Rudi?” “Astaga, beneran melamun ternyata. Tadi gue malah nyapa, tapi gak disapa balik. Gue pikir lo emang lagi kesel.” Rudi terkekeh, “ini, awas loh. Lain kali hati-hari, kalo kena air panas tangan lo bisa memar.” Situasinya cukup canggung. Apalagi fakta yang baru Rossa dapat. Sebisa mungkin Rossa menjaga jarak. Dia tidak ingin merusak hubungan pertemanannya dengan Lisa. Wanita yang banyak membantun
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas