Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, Rossa masih menyesali apa yang sudah dia lakukan. Pagi ini dia sudah bersiap dengan setelan kantor, dan dengan kebiasaan barunya. Berangkat lebih awal untuk menghindari Tristan. Dia tidak punya wajah. “Ros? Berangkat pagi lagi?” Oh iya. Rossa sampai lupa jika sudah beberapa hari ini, dia berangkat pagi dan berpapasan dengan Zaman. Tetangganya. Dia tidak tahu jika ada orang sepagi itu jika berangkat ke kantor. Kata Zaman, dia lebih senang menghindari macet, jadi berangkat di pagi hari. “Padahal, jam masuk kantormu bukannya lebih siang, tuan Zaman?” “Jawabanku tetap sama, Nona.” Rossa terkekeh sambil menuruni anak tangga. Dan pagi ini dia menumpang dengan mobil Zaman, karena arah kantor mereka searah. Motornya sedang dipinjam sepupunya dan Rossa tidak suka naik mobil. Bukannya tidak suka, tapi mobil itu adalah pemberian Tristan. Dia akan teringat lagi dengan adegan dimana dia mengaku menjadi pacar lelaki itu. Tidak ada lagi kedamaia
Nur Ida, menyambut kedatangan Rossa dengan senang. Saking senangnya, dia lupa jika yang ikut makan malam hanyalah mereka bertiga. Padahal dia sudah memesan banyak makanan. “Ayo sayang, gak usah malu-malu. Masakan mama aku enak kok, tidak beracun.” Rossa tersenyum semanis mungkin. Demi akting yang masih harus dia jalani. Tapi lidah tidak bisa bohong, masakan yang tersaji di atas meja sangat enak. Rossa sampai lupa jika dia sudah makan sore. Dan berbicara soal dinner. Rossa masih teringat soal Zaman yang ekspresinya terlihat kecewa saat dia membatalkan janji mereka. Dan Rossa terpaksa berjanji di lain waktu. “Rossa bisa masak, nak?” Mata Rossa refleks melebar mendengar pertanyaan itu. Dia memang anak kos dan perantau di kota orang. Tapi soal memasak? Rossa tersenyum kikuk sambil menggeleng. Mungkin dirinya tidak akan lulus kualifikasi menjadi menantu?! “Tidak apa. Mama juga gak jago masak, makanya keseringan beli. Ini aja mama beli dari restoran.” Nur Ida tertawa lebar, “kalo kam
Rossa pagi ini tersenyum riang membayangkan sesuatu yang melintas di otaknya. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya setelah otaknya memberi perintah untuk memberi kesempatan. Ya. Rossa memutuskan untuk memberi kesempatan pada Tristan. Siapa tahu, lelaki itu adalah jawaban dari doanya selama ini. “Senyum aja dari tadi, Ros. Sampai-sampai kopinya mau penuh itu.” Refleks Rossa berjalan mundur saat sebuah tangan melintas dekat perutnya. Itu terlalu dekat. Dan lelaki itu adalah Rudi. Mereka bertemu lagi di pantry, sebab Rossa memang sedang menyiapkan segelas kopi untuk dirinya sendiri. “Rudi?” “Astaga, beneran melamun ternyata. Tadi gue malah nyapa, tapi gak disapa balik. Gue pikir lo emang lagi kesel.” Rudi terkekeh, “ini, awas loh. Lain kali hati-hari, kalo kena air panas tangan lo bisa memar.” Situasinya cukup canggung. Apalagi fakta yang baru Rossa dapat. Sebisa mungkin Rossa menjaga jarak. Dia tidak ingin merusak hubungan pertemanannya dengan Lisa. Wanita yang banyak membantun
Sayangnya, tim dari divisi utama tidak mendapatkan informasi apapun dari Rossa yang keukeuh menutup mulutnya. Sampai-sampai di sogok nasi padang Pagi Sore pun, Rossa tetap menolak. Bagaimana mungkin Rossa mengatakan apa yang terjadi di dalam? Bisa jadi satu kantor heboh dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi tahu dia ada hubungan dengan Tristan. Belum juga terjadi, tapi membayangkan apa yang akan dia dapatkan, Rossa sudah ngeri sendiri. “What the? Demi apa?” Suara heboh Superstar membuat perhatian Rossa yang sedang tertuju pada layar di depannya teralihkan. Lelaki itu langsung membuat kerumunan. “Apa-apa, lo kenapa heboh banget?” “Please, ini pak bos gak sih?” sekali lagi Super Star menunjukkan ponselnya, “ini pak bos kan?” “Demi?” Mbak Lis ikutan nimbrung dan memperhatikan dengan seksama, “ini emang pak bos, dilihat dari sudut pluto-pun ya emang dia. Tapi pertanyaannya, siapa cewek ini?” Mata Rossa membulat. Gambar itu? “Wahh…pak bos ada cewek baru lagi?” Hana memberi o
Tristan bolak balik di depan mobil sambil menatap pergelangan tangannya. Sudah lebih dari beberapa jam Rossa tidak kunjung membalas pesannya. Dia takut jika terjadi hal yang sama dengan wanita itu. Sudah polos, lugu lagi. Tristan tidak bisa membayangkan apa yang ada dipikirannya saat ini. “Jake, lo temenin gue sekarang.” “Eh…huh?” Jake yang sudah hampir masuk ke dalam mimpi langsung terbangun karena suara Tristan, “kenapa bos? Sudah pagi kah?” wajah Jake seperti hilang arah, dia baru saja kehilangan jejak mimpinya. “Gue potong gaji lo.” “SIAP. Ada apa, bos?” Jake langsung sigap bangkit berdiri. Nasib…nasib. Tadi dia sudah hampir tidur tapi Tristan mendadak berdiri di depan pintu apartemennya. Bahkan tanpa mengatakan apapun, lelaki itu langsung menyeretnya pergi. Keduanya sudah masuk ke dalam club. Untungnya klubnya tidak terlalu ramai, mata Tristan langsung tertuju ke arah tengah. Tepatnya dimana Rossa sedang berada. “Bos, gue harus apa?” “Kita ke sana.” “Tapi….” Jake menghel
Seperti memang malam ini mereka tidak diberi kedamaian. Baru saja tiba di depan apartemen, seseorang tengah berdiri didepan apartemen dengan wajah pucat. Refleks Rossa memutar bola mata malas, apalagi melihat Tristan yang melepas rangkulan mereka dan lekas menuju Sasa. Rossa berdiri cukup jauh. Sengaja memberi jarak untuk mereka berdua. “Sa? Yaampun, kenapa malam-malam begini ada disini.” Sasa bangkit dan menatap Tristan ketakutan. Dia hampir saja menangis, namun sekuat tenaga dia tahan. “Something happened?” “Aku ditipu, semuanya ludes. Mereka ambil semua yang aku punya.” “Mereka? Maksudnya siapa, Sa? Berapa yang habis?” “Aku gak sengaja ngeklik file dari ponsel, trus tiba-tiba semua yang ada di rekening aku udah ludes. Sekitar 600 juta, aku gak…gak tau mau ngomong apa sekarang. Padahal besok ada acara meeting dengan para pemegang saham di resto.” “Okey sekarang tenang dulu, kita bicara di dalam. Sudah ratusan kali Tristan bilang, kalo aplikasi rekening kayak m-bangking, jan
TERNYATA rumor masih terus berlangsung. Tadi pagi, foto Tristan mencium seorang wanita kembali disebar. Tidak usah bertanya apakah sudah dilihat orang satu kantornya. Bahkan media pun langsung merilis berita tersebut sebagai salah satu top berita utama mereka. PEWARIS ROBINSON CROP TENGAH BERKENCAN? SIAPA KIRA-KIRA WANITA YANG BERHASIL MELULUHKAN HATI LELAKI DINGIN ITU. Begitu juga dengan isi koran yang baru saja Rossa baca. Kakinya masih berhenti di lobby, mengamati gambar yang sepertinya sengaja di ambil, tapi tidak memperlihatkan wajahnya. Itu adalah foto mereka ketika di Bali juga. Rossa jadi yakin, bahwa yang mengambil gambar itu adalah orang yang kini tengah mengawasi mereka. “Ros? Eh lo juga udah tau?” Rudi berhenti begitu melihat sosok Rossa yang masih di lobby. “Kelihatannya pak bos memang tengah berkencan.” “Rud? Hahaha…iya, bisa jadi kan? Lagian wajar aja kalo pak bos punya pacar, dia juga kan manusia.” “Ya emang benar sih. Tapi sumpah gue penasaran sama siapa cewekny
Rossa diam, ternyata kenalan yang dimaksud oleh Zaman adalah saudara perempuan lelaki itu. Awalnya Rossa merasa awkward dan segan, namun itu tidak berlangsung lama. Sabrina—nama kakak Zaman—adalah perempuan yang mudah akrab dengan semua orang. Bahkan kini percakapan mereka sudah tidak sekedar basa-basi lagi. Sabrina 5 tahun lebih tua dari Zaman, bekerja sebagai tenaga pengajar di kampus tidak jauh dari lokasi mereka. Juga seorang psikolog. Hampir semua yang melekat di tubuh Sabrina bisa dikatakan sempurna. Namun, wanita kepala tiga itu sudah lama bercerai karena mandul. Suaminya selalu menuntut ingin punya anak, dan memilih berpisah karena Sabrina tidak sanggup memberikan hal itu. Mendengar ceritanya, membuat perasaan Rossa sakit. Selalu saja, yang bersangkut paut dengan pernikahan itu sangat sensitif di telinganya. Padahal, tidak punya anak, asal satu sama lain saling mencintai juga tidak apa. “Bajumu tidak kebesaran kan, Ros?” “Ahh, tidak mbak. Pas kok.” “Syukurlah. Ini kali p
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas