Lega sekaligus resah ya.... Lega sudah jujur, tapi tidak bisa tenang karena ancaman besar menanti. Kira-kira siapa yang datang? Polisi, wartawan, rekan politik Ardan, sahabat Akram, Safwan atau siapa?
Setelah tamu yang tak diundang itu pamit, mereka lega. Farah dan Hastuti mengajak mereka semua makan siang terlebih dulu. Bagaimanapun, mereka tidak boleh tumbang disaat ada masalah seperti ini. Sempat menduga jika yang datang adalah orang lain, yang mungkin akan curiga dengan situasi di rumah itu. Kali ini mereka menunggu kedatangan Danu dan Wina. Tadinya Ardan ingin meminta keponakannya mengundang Zayyan Pradipta, tapi Latief tidak menyetujuinya. “Mengudang seorang pebisnis seperti Zayyan Pradipta pasti akan mengundang tanya Ardan. Kami juga sangat penasaran, tapi baiknya ditunda dulu. Kita tidak bisa membuatnya terseret dalam kasus ini meski dia terlibat sejak awal,” saran Haslan. Adik iparnya akhirnya mengangguk paham. Hastuti yang duduk di samping adiknya hanya bisa mengusap pundaknya. “Untung yang datang tadi Fatur. Kamu ketiduran lagi di kantor sampai dia repot datang ke sini minta tanda tangan kamu?” sindirnya melirik Akram. Akram tidak menjawab tidak juga membatah. Dirinya
Akram keluar dan mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah file pada sepupunya itu. Riswan rasanya ingin mencakar wajah lesu Akram. Ucapan papanya tadi benar adanya. Kali ini ia terpaksa kembali menyembunyikan kesalahan Akram lagi. Setelah mengirimkan bukti yang bisa membantah dugaan Rian, sahabat Riswan itu malah mengirimkan stiker gif sebuah pisau yang mencincang bawang. Perasaan Rian pasti sama kesalnya dengannya. Ternyata Akram diam-diam menyimpan rahasia besar. "Rasanya aku ingin benar-benar menelanmu bulat-bulat!" desis Riswan dengan jari kanan yang siap mencekik sepupunya itu. "Daripada kau menelanku, lebih baik kau telan saja rahasia ini," bisik Akram duduk lemas di atas penutup closet. Kemudian ia kembali mendongak menatap Riswan dan bertanya, "Apa papa mamaku sudah pulang?" "Sudah, baru saja. Bareng tadi sama papa mamaku, sama Adina juga. Kenapa? Kau masih menyembunyikan sesuatu?" tanya Riswan. Akram menggeleng kemudian meminta Riswan melakukan sesuatu. Ia tidak tahu ke
"Salah seorang dokter di Singapura Pa. Waktu… waktu Akram temani Tante Uti berobat ke sana, Akram konsultasi," jawabnya jujur. Kala itu ia benar-benar tertekan karena selain masalahnya dengan kedua orang tuanya, masalahnya dengan Arum, Akram juga merasa bersalah karena sempat menolak permintaan Haslan dan Hastuti yang memintanya menangani Yayasan HAS. "Dan itu akan membuat kami menyesal seumur hidup kalau kami juga sampai kehilangan kamu. Kehilangan anak itu sama seperti kehilangan separuh nyawa Akram,” akunya. Akram mengangguk setuju. Calon anaknya sendiri belum lahir, tapi rasa takut kehilangan membuatnya seringkali terjaga dan dihantui rasa cemas berlebihan. Apa jadinya jika anaknya benar-benar direnggut darinya? “Dulu saat kita bertengkar dan kamu memilih keluar dari rumah, papa sampai tidak bisa tidur berhari-hari dan menjadi awal papa mengidap insomnia. Saat Firman berpulang, papa benar-benar merasakan ada yang hilang di sini," ungkap Ardan mengusap dadanya sendiri dan kembal
"Kamu kenapa tidak bilang kalau Arum sudah sadar dari tadi?" tanya Akram pada Adina yang hendak beranjak saat melihat kedatangan kakaknya yang menghampiri mereka dengan tergesa. "Supaya kamu tidak mengganggu kami bergosip," sindir mamanya cemberut. "Sudah bicara dengan papamu?" Akram mengangguk kemudian duduk melantai di sisi tempat tidur dan memeluk kaki mamanya. Kemudian meletakkan kepalanya dengan manja di pangkuan Novita. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat cerita papanya tadi. Melihat Arum melewati kehamilannya, ia juga yakin jika dulu mamanya mungkin lebih menderita karena hamil diusia yang masih sangat muda. "Terima kasih sudah mempertahankan Akram, Ma. Terima kasih juga sudah mau memberikan Akram kesempatan hidup dan kesempatan untuk merasakan jadi orang tua. Akram janji sama Mama, Akram akan hidup bahagia sama Arum. Akram ingin jadi anak, suami, kakak dan ayah yang bisa dibanggakan," ungkap Akram dengan air mata yang kembali jatuh di lekuk hidung mancungnya. Diam-
Lima hari berlalu sejak rahasia besar itu terkuak. Keadaan Arum pun mulai membaik. Sekarang ia sudah tidak diharuskan selalu berbaring di tempat tidur. Sore ini Akram pulang dari kantor dan langsung mencari keberadaannya. Semalam ia menginap di rumah orang tuanya agar tidak mengundang kecurigaan karena terlalu lama menginap di rumah omnya. Mendapati kamar tamu yang ditempatinya selama beberapa hari ini bersama Arum dalam keadaan kosong, membuatnya panik seketika. "Arum! Arum! Tante Uti…" panggil Akram yang beranjak ke dapur. Tapi yang didapatinya hanya ART paruh waktu tantenya yang sudah selesai merapikan dapur dan bersiap untuk pulang. "Bi, Bi Ama, Bibi lihat…." Telunjuk Akram mengarah ke arah pintu kamar tamu. Wanita paruh baya ini memang baru kembali bekerja hari ini sehingga menurut Akram wanita itu belum tahu apa-apa. "Istrinya Nak Akram ada di belakang, lagi makan jambu sama ibu. Kalau bapak belum pulang, Nak Alya cuma pulang sebentar, makan dan mandi, lalu pamit lagi ke tempa
"Aish! Lintang ini tidur apa pindah ke dunia lain sih? Susah amat dia dihubungi. Tasya bilang kalau tadi calon suaminya itu habis operasi pasien, langsung balik ke Makassar. Masa iya masih tidur di pesawat terus balik lagi ke Surabaya? Harusnya kita itu minta disambut dan dijemput sama dia!" celutuk Ranu saat mereka sudah mendarat. "Menurut kamu Akram itu lagi ada masalah apa sih? Tidak biasanya Akram, Adina sama Alyana kompak diam seperti ini. Dua ceriwis itu mendadak diam juga Bian. Aneh bukan?" Masih dengan panggilan yang berdering di telinga kanannya, Ranu membantu membawa ransel besar milik Bian. Sementara Bian yang sejak tadi diam mengirim pesan hanya geleng-geleng kepala mendengar omelan sahabatnya. Sejujurnya ia juga sedikit heran karena seharian Lintang sulit dihubungi, begitu juga halnya Akram. Dosen yang satu itu memilih menghubungi pihak rumah sakit kemudian menghubungi Adina dan Riswan. Sama saja, tidak ada yang menjawab. Setelah pamit dengan rekan-rekannya, Bian dan Ra
“Harus apa?” tanya Lintang. Dokter itu tidak ingin terjebak rencana terselubung Ranu. “Kamu modus,” tukas Bian menarik turun tangan Ranu sampai menepuk lutut pemuda itu sendiri. “Padahal aku baru mau buat penawaran besar. Dari ceritanya Akram, pelakunya aku yakin 100% wanita yang dendam!” tegas Ranu. Sementara Bian dan Lintang saling lirik, Akram hanya menggeleng. “Aku serius, wanita yang dendam itu menakutkan seperti gunung berapi. Selalu menakuti kita dengan erupsinya, sama, wanita yang dendam juga begitu. Mereka selalu memantik agar target diaduk-aduk sendiri dengan emosinya," ungkap Ranu menggebu. Haslan terkekeh mendengar penuturan Ranu. Ia sepakat, karena itulah beberapa waktu lalu ia mengungkapkan hal tersebut pada keponakannya. Melihat mereka berempat berkumpul lagi di rumahnya mengingatkannya pada beberapa tahun lalu jika mereka datang untuk kerja tugas kemudian menginap. Sesuatu yang membuat rumahnya menjadi ramai dan tentu saja membuat istrinya senang menyiapkan kudapan
Lintang menoleh lalu bertanya, “Apa Arum punya pacar atau mantan?” Akram menggeleng lalu menyebutkan beberapa nama pria yang diingatnya saat diberitahu oleh Rian. Termasuk senior Arum yang sampai saat ini masih sering menanyakan Arum pada adik sepupunya. Pria itu cukup kaya dan mungkin saja diam-diam meminta orang lain memata-matainya. “Jika peneror itu seorang pria yang menyukai Arum, mungkin dia ingin agar anak kami tidak menjadi tanggungan Arum. Dia hanya berpura-pura sebagai orang yang dendam padaku atau orang tuaku. Karena jika papa mamaku tahu, mereka pasti berusaha mendapatkan hak asuh anakku bukan? Itu darah daging mereka juga,” tutur Akram mengutarakan hal yang sebenarnya diam-diam telah mengusiknya. Lintang tidak menjawab dan Akram menduga sahabatnya itu sudah pulas. Jam digital ponselnya sudah menunjukkan pukul 03.12 WITA dini hari. Akram kembali membuka mata. Sejak tadi ia mencoba untuk tidur, tapi hatinya masih dihinggapi resah. Melihat ketiga sahabatnya sudah terlelap