Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya.
Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Kamu bisa main ke sini kapanpun," imbuh Narendra bermaksud menenangkan Sheilla, tapi sepertinya gadis itu tidak terlalu peduli. Sheilla hanya tersenyum miris tanpa mengalihkan pandangannya. Dia masih betah menatap lurus pada jalan yang dilewati. Lalu lintas cukup ramai di pagi menjelang siang ini. Sheilla memilih tetap bungkam meski Narendra mengajukan beberapa pertanyaan padanya. "Shei ... Sheilla! Kamu ngelamun apa gimana itu? Saya tanya, lho," tegur Narendra. "Apa?" Sheilla kebingungan. “Kamu gak fokus gitu, kenapa?” “Gak apa-apa. Cuma lagi kepikiran Kak Bella aja.” “Oh.” Respon dingin Narendra menjadi perhatian Sheilla. Dia memicing. “Kakak gak khawatir?” “Khawatir?" Narendra tertawa konyol. "Dia khawatir gak pergi di hari pernikahan? Mikirin gimana saya, gak? Nggak, kan? Saya gak mau bahas dia lagi,” pungkas Narendra mengakhiri perbincangan dengan mengambil ponsel dari saku jaketnya. "Dasar pendendam," oceh Sheilla. Apa pun itu, dia yakin laki-laki berstatus suaminya tersebut tahu di mana Bella sekarang. Sheilla menghela napas. Dia pun lantas sama, memilih menyibukkan diri dengan gawainya. Satu pesan masuk dari Jefri yang membuatnya bimbang. Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam perjalanan, mobil sudah sampai di kediaman Narendra. Rumah besar yang memiliki halaman luas itu berdiri kokoh dengan tiga lantai dan teras di bagian atas. Sheilla menengadah kepala melihat bangunan tersebut. Narendra memang bukanlah orang sembarangan, Sheilla cukup tahu itu. Namun, dia tidak menyangka jika tempat tinggal Narendra akan semegah ini. “Ayo, masuk!” ajak pria yang sudah siaga di atas kursi roda. Satu pelayan menghampiri dan mendorong alat bantu mobilitas yang Narendra gunakan beberapa pekan terakhir itu. “Sheilla ….” “Hah … i-iya, Kak. Duluan aja.” Narendra masuk melalui pintu samping, tepat di sebuah garasi besar. Ada dua mobil lain yang terparkir di sana. Tentu saja bukan mobil biasa, melainkan kendaraan roda empat-nya para sultan. Sheilla lagi-lagi tertegun. “Kak Bella kenapa melewatkan semua ini?” gumamnya. Pintu lift terbuka. Ini alasan kenapa tidak masuk dari pintu utama yang didominasi tangga, Narendra menggunakan kursi roda, tentu lebih mudah jika langsung menggunakan kendaraan vertikal menuju ke lantai atas. “Kak,” panggil Sheilla. “Ini … langsung ke kamar Kak Naren?” tanyanya hati-hati. “Iya. Kenapa?” “Di lantai berapa?” “Lantai tiga. Ayo!” ajak Narendra lagi. Pria itu melirik tangan si pelayan yang masih menekan tombol pada dinding lift. “Orang tua Kakak ... apa aku gak harus menemui mereka terlebih dahulu?” Narendra tersenyum mendengar ucapan polos Sheilla. Gadis yang masih berdiri di luar kabin lift itu sungguh berbeda 180 derajat dari Bella. Keputusannya menikahi Sheilla sepertinya semakin mendekati kata ‘pilihan terbaik’. Ke sepuluh jemari Narendra bertaut di depan tubuh tegapnya, dengan siku kanan-kiri menopang pada sisi kursi roda. “Heum … kamu mau berperan jadi menantu yang santun rupanya. Iya?” Sheilla mengerjap mata. Mengalihkan pandangan ke sisi lain. “Ya … bu-bukan. Gak gitu juga,” ucapnya terbata. “Maksud aku, tuh, sekalipun mereka bukan mertuaku, aku ini tamu, kan? Gak sopan, dong. Kalau main nerobos masuk aja, gak pake permisi.” Narendra terkekeh. “Iya, iya, paham. Tapi, kamu di sini bukan tamu, melainkan menantu rumah ini. Dan lagi, aku harusnya gak lupa kalau kamu itu Sheilla bukan Bella.” “Maksudnya?” Sheilla mengeryit. “Eum ... bukan apa-apa. Masuk lewat pintu itu.” Narendra menujuk satu jalur menuju ke lantai dasar rumahnya. “Dari sana, ke sebelah kanan, kamu bakal langsung ke ruang tengah, kalau ke kiri itu ruang makan dan dapur.” Sheilla mengangguk tanda dia sudah paham akan arahan dari Narendra. Sheilla pun lantas berjalan menuju pintu yang dimaksud, sementara Narendra melanjutkan tujuan sebelumnya. Naik ke lantai tiga. “Sheilla?!” Si pemilik nama menoleh ketika seseorang memanggilnya. “Mbak Dina.” “Kamu sendiri? Naren mana?” tanya Dina. “Langsung ke kamar, Mbak.” Sheilla menyambut salam Dina. Keduanya saling memeluk satu sama lain. “Kamu gak ikut Naren?” “Gak enak, lah, Mbak. Aku baru pertama kali ke sini, ya, masa gak nyapa pemilik rumah dulu. Om sama tante ada di rumah, Mbak?” Sheilla celingukan mencari keberadaan orang tua Narendra. “Kok, masih om-tante manggilnya. Mama sama papa, dong, harusnya,” goda Dina. “I-iya, Mbak.” Sheilla tersenyum kaku. Di saat bersamaan, Hasan dan Jenar muncul dari arah belakang Sheilla. Gadis itu segera menyapa sambil mengulurkan tangan. Dina tersenyum melihat Sheilla. Seperti dugaannya bahwa gadis yang menjadi adik iparnya memang tidak seperti tunangan Narendra. Sifat Sheilla dan Bella bak bumi dan langit. “Narendra langsung ke kamar, Ma. Tapi, lihat … istrinya datang nyapa kita dulu,” ucap Dina membanggakan adik ipar. “Baguslah kalau dia paham. Punya tatakrama dan sopan santun.” Sheilla mengerjap, dari perkataan Jenar dapat dia simpulkan bahwa ibu mertuanya itu tidak terlalu menyukainya. Tapi, kenapa tidak protes kemarin saat Narendra memilih menikahinya? Sheilla membatin. “Kamu ada di sini karena anak saya. Jadi, tolong jaga perilakumu, ya!” imbuh Jenar. “Sudah, Ma.” Hasan memberi isyarat pada istrinya. “Nak, semoga kamu betah di sini. Sekarang kamu istirahat saja dulu di kamar Naren. Nanti kita makan siang bareng,” lanjut ayah Narendra itu pada Sheilla. Sikap Hasan dinilai Sheilla sedikit lebih baik dari Jenar. Sheilla mengangguk. Dia kemudian pergi ke kamar Narendra diantar pelayan. *** Sudah hampir sepuluh kali Alma berusaha menghubungi putri semata wayangnya. Tapi, tidak mendapat jawaban. Nomornya tidak tersambung. Alma khawatir dengan keberadaan Bella saat ini. Apalagi, tindakan Wira yang memutus akses keuangan, membuatnya semakin cemas. “Pi, Papi apa gak khawatir? Bella anak kita satu-satunya. Dia di mana ini? Belum ada kabar juga.” Wira menyudahi kegiatannya yang tengah membaca koran sambil menikmati udara di teras samping rumah. “Ya … Papi juga khawatir. Tapi, mau bagaimana lagi? Polisi dan anak buah sudah dikerahkan untuk mencari Bella. Dari semalam juga papi coba hubungi anak itu. Ya, begitu, jawabannya. Selalu tidak tersambung.” “Apa coba tanya teman-temannya kali, ya, Pi? Mungkin mereka tahu ke mana Bella.” Wira hanya mengangguk sebagai respon. Dia lantas meninggalkan istrinya yang masih sibuk menghubungi teman-teman Bella. Alma mengembus napas gusar, sudah empat nomor yang dia telepon. Tapi keempatnya, jawabannya sama, tidak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan sang putri. Alma terduduk lemah. Wanita paruh abad itu hampir putus asa. Di tengah kekhawatiran, ponsel Alma berbunyi. Nomor tidak dikenal yang menelepon ke gawainya. Dia segera mendial ikon terima panggilan siapa tahu itu Bella yang menghubungi. “Hallo!” “Mami ….” Suara itu, jelas Alma mengenalinya. “Bella, Sayang. Kamu di mana, Nak? Kamu baik-baik aja, kan?” “Bella baik-baik aja, kok, Mi. Maafin Bella, ya.” “Kamu di mana, Sayang. Mami jemput, ya?” “Gak usah, Mi. Gak perlu. Bella belum mau pulang. Bella masih mau di sini. Tapi, Bella bisa minta tolong?” Suara Bella terdengar setengah berbisik. “Apa, Sayang? Bilang sama mami, apa yang bisa mami bantu.” “Ini, Mi. Uang Bella habis. ATM sama kartu kredit gak bisa dipakai. Ini pasti papi, ya, kan?” “Heum, iya, Sayang. Mami gak bisa cegah papi kamu. Dia marah kamu pergi dari rumah. Makanya kamu pulang, dong. Kenapa, sih, pake acara kabur-kabur segala. Kan, kamu sendiri yang udah setuju buat nikah sama Naren.” “Mi … jangan bahas itu dulu bisa. Bella ditungguin ini, belanjaan belum di bayar.” “Ya, sudah. Butuh berapa kamunya? Mami transfer sekarang.” Alma membuka aplikasi perbank-an miliknya. Langsung saja mengirimkan sejumlah uang seperti permintaan Bella ke nomor rekening digital yang disebutkan gadis itu. Namun, Bella tidak memberitahu di mana dia berada meski Alma terus mendesak. Bahkan setelah menerima sejumlah nominal, Bella meminta agar Alma tidak memberitahu siapa pun termasuk Wira. “Bella cuma gak mau sama Narendra. Mami tau dia sekarang gak bisa apa-apa selain duduk di kursi roda. Itu kenapa Bella pergi. Mami ngertiin Bella, kan?” ucapnya mengakhiri perbincangan. “Iya, mami ngerti. Tapi, Bel. Kamu tahu ….” Sambungan terputus sepihak. “Bella? Sayang?” Alma menatap layar ponselnya yang sudah tidak lagi terhubung dengan Bella. “Anak itu … dia tau tidak kalau Narendra minta Sheilla jadi penggantinya?”Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga
Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan
“Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?”Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang.“Om ….” “Kamu g
Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca. Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya. Semua orang sudah menunggu. Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal? “Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandan
“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?” “Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut.“Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla.“Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis.Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.”Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu!
Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan
Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga
Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Ka
“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?” “Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut.“Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla.“Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis.Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.”Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu!
Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca. Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya. Semua orang sudah menunggu. Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal? “Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandan
“Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?”Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang.“Om ….” “Kamu g