Share

Rumah Suami

last update Last Updated: 2025-03-15 14:28:52

Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya.

Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju.

"Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut.

"Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Kamu bisa main ke sini kapanpun," imbuh Narendra bermaksud menenangkan Sheilla, tapi sepertinya gadis itu tidak terlalu peduli.

Sheilla hanya tersenyum miris tanpa mengalihkan pandangannya. Dia masih betah menatap lurus pada jalan yang dilewati. Lalu lintas cukup ramai di pagi menjelang siang ini. Sheilla memilih tetap bungkam meski Narendra mengajukan beberapa pertanyaan padanya.

"Shei ... Sheilla! Kamu ngelamun apa gimana itu? Saya tanya, lho," tegur Narendra.

"Apa?" Sheilla kebingungan.

“Kamu gak fokus gitu, kenapa?”

“Gak apa-apa. Cuma lagi kepikiran Kak Bella aja.”

“Oh.”

Respon dingin Narendra menjadi perhatian Sheilla. Dia memicing. “Kakak gak khawatir?”

“Khawatir?" Narendra tertawa konyol. "Dia khawatir gak pergi di hari pernikahan? Mikirin gimana saya, gak? Nggak, kan? Saya gak mau bahas dia lagi,” pungkas Narendra mengakhiri perbincangan dengan mengambil ponsel dari saku jaketnya.

"Dasar pendendam," oceh Sheilla. Apa pun itu, dia yakin laki-laki berstatus suaminya tersebut tahu di mana Bella sekarang. Sheilla menghela napas. Dia pun lantas sama, memilih menyibukkan diri dengan gawainya. Satu pesan masuk dari Jefri yang membuatnya bimbang.

Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam perjalanan, mobil sudah sampai di kediaman Narendra. Rumah besar yang memiliki halaman luas itu berdiri kokoh dengan tiga lantai dan teras di bagian atas. Sheilla menengadah kepala melihat bangunan tersebut. Narendra memang bukanlah orang sembarangan, Sheilla cukup tahu itu. Namun, dia tidak menyangka jika tempat tinggal Narendra akan semegah ini.

“Ayo, masuk!” ajak pria yang sudah siaga di atas kursi roda. Satu pelayan menghampiri dan mendorong alat bantu mobilitas yang Narendra gunakan beberapa pekan terakhir itu. “Sheilla ….”

“Hah … i-iya, Kak. Duluan aja.”

Narendra masuk melalui pintu samping, tepat di sebuah garasi besar. Ada dua mobil lain yang terparkir di sana. Tentu saja bukan mobil biasa, melainkan kendaraan roda empat-nya para sultan. Sheilla lagi-lagi tertegun. “Kak Bella kenapa melewatkan semua ini?” gumamnya.

Pintu lift terbuka. Ini alasan kenapa tidak masuk dari pintu utama yang didominasi tangga, Narendra menggunakan kursi roda, tentu lebih mudah jika langsung menggunakan kendaraan vertikal menuju ke lantai atas.

“Kak,” panggil Sheilla. “Ini … langsung ke kamar Kak Naren?” tanyanya hati-hati.

“Iya. Kenapa?”

“Di lantai berapa?”

“Lantai tiga. Ayo!” ajak Narendra lagi. Pria itu melirik tangan si pelayan yang masih menekan tombol pada dinding lift.

“Orang tua Kakak ... apa aku gak harus menemui mereka terlebih dahulu?”

Narendra tersenyum mendengar ucapan polos Sheilla. Gadis yang masih berdiri di luar kabin lift itu sungguh berbeda 180 derajat dari Bella. Keputusannya menikahi Sheilla sepertinya semakin mendekati kata ‘pilihan terbaik’.

Ke sepuluh jemari Narendra bertaut di depan tubuh tegapnya, dengan siku kanan-kiri menopang pada sisi kursi roda. “Heum … kamu mau berperan jadi menantu yang santun rupanya. Iya?”

Sheilla mengerjap mata. Mengalihkan pandangan ke sisi lain. “Ya … bu-bukan. Gak gitu juga,” ucapnya terbata. “Maksud aku, tuh, sekalipun mereka bukan mertuaku, aku ini tamu, kan? Gak sopan, dong. Kalau main nerobos masuk aja, gak pake permisi.”

Narendra terkekeh. “Iya, iya, paham. Tapi, kamu di sini bukan tamu, melainkan menantu rumah ini. Dan lagi, aku harusnya gak lupa kalau kamu itu Sheilla bukan Bella.”

“Maksudnya?” Sheilla mengeryit.

“Eum ... bukan apa-apa. Masuk lewat pintu itu.” Narendra menujuk satu jalur menuju ke lantai dasar rumahnya. “Dari sana, ke sebelah kanan, kamu bakal langsung ke ruang tengah, kalau ke kiri itu ruang makan dan dapur.”

Sheilla mengangguk tanda dia sudah paham akan arahan dari Narendra. Sheilla pun lantas berjalan menuju pintu yang dimaksud, sementara Narendra melanjutkan tujuan sebelumnya. Naik ke lantai tiga.

“Sheilla?!”

Si pemilik nama menoleh ketika seseorang memanggilnya. “Mbak Dina.”

“Kamu sendiri? Naren mana?” tanya Dina.

“Langsung ke kamar, Mbak.” Sheilla menyambut salam Dina. Keduanya saling memeluk satu sama lain.

“Kamu gak ikut Naren?”

“Gak enak, lah, Mbak. Aku baru pertama kali ke sini, ya, masa gak nyapa pemilik rumah dulu. Om sama tante ada di rumah, Mbak?” Sheilla celingukan mencari keberadaan orang tua Narendra.

“Kok, masih om-tante manggilnya. Mama sama papa, dong, harusnya,” goda Dina.

“I-iya, Mbak.” Sheilla tersenyum kaku. Di saat bersamaan, Hasan dan Jenar muncul dari arah belakang Sheilla. Gadis itu segera menyapa sambil mengulurkan tangan.

Dina tersenyum melihat Sheilla. Seperti dugaannya bahwa gadis yang menjadi adik iparnya memang tidak seperti tunangan Narendra. Sifat Sheilla dan Bella bak bumi dan langit.

“Narendra langsung ke kamar, Ma. Tapi, lihat … istrinya datang nyapa kita dulu,” ucap Dina membanggakan adik ipar.

“Baguslah kalau dia paham. Punya tatakrama dan sopan santun.”

Sheilla mengerjap, dari perkataan Jenar dapat dia simpulkan bahwa ibu mertuanya itu tidak terlalu menyukainya. Tapi, kenapa tidak protes kemarin saat Narendra memilih menikahinya? Sheilla membatin.

“Kamu ada di sini karena anak saya. Jadi, tolong jaga perilakumu, ya!” imbuh Jenar.

“Sudah, Ma.” Hasan memberi isyarat pada istrinya. “Nak, semoga kamu betah di sini. Sekarang kamu istirahat saja dulu di kamar Naren. Nanti kita makan siang bareng,” lanjut ayah Narendra itu pada Sheilla. Sikap Hasan dinilai Sheilla sedikit lebih baik dari Jenar.

Sheilla mengangguk. Dia kemudian pergi ke kamar Narendra diantar pelayan.

***

Sudah hampir sepuluh kali Alma berusaha menghubungi putri semata wayangnya. Tapi, tidak mendapat jawaban. Nomornya tidak tersambung. Alma khawatir dengan keberadaan Bella saat ini. Apalagi, tindakan Wira yang memutus akses keuangan, membuatnya semakin cemas.

“Pi, Papi apa gak khawatir? Bella anak kita satu-satunya. Dia di mana ini? Belum ada kabar juga.”

Wira menyudahi kegiatannya yang tengah membaca koran sambil menikmati udara di teras samping rumah. “Ya … Papi juga khawatir. Tapi, mau bagaimana lagi? Polisi dan anak buah sudah dikerahkan untuk mencari Bella. Dari

semalam juga papi coba hubungi anak itu. Ya, begitu, jawabannya. Selalu tidak tersambung.”

“Apa coba tanya teman-temannya kali, ya, Pi? Mungkin mereka tahu ke mana Bella.”

Wira hanya mengangguk sebagai respon. Dia lantas meninggalkan istrinya yang masih sibuk menghubungi teman-teman Bella.

Alma mengembus napas gusar, sudah empat nomor yang dia telepon. Tapi keempatnya, jawabannya sama, tidak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan sang putri. Alma terduduk lemah. Wanita paruh abad itu hampir putus asa.

Di tengah kekhawatiran, ponsel Alma berbunyi. Nomor tidak dikenal yang menelepon ke gawainya. Dia segera mendial ikon terima panggilan siapa tahu itu Bella yang menghubungi.

“Hallo!”

“Mami ….”

Suara itu, jelas Alma mengenalinya. “Bella, Sayang. Kamu di mana, Nak? Kamu baik-baik aja, kan?”

“Bella baik-baik aja, kok, Mi. Maafin Bella, ya.”

“Kamu di mana, Sayang. Mami jemput, ya?”

“Gak usah, Mi. Gak perlu. Bella belum mau pulang. Bella masih mau di sini. Tapi, Bella bisa minta tolong?” Suara Bella terdengar setengah berbisik.

“Apa, Sayang? Bilang sama mami, apa yang bisa mami bantu.”

“Ini, Mi. Uang Bella habis. ATM sama kartu kredit gak bisa dipakai. Ini pasti papi, ya, kan?”

“Heum, iya, Sayang. Mami gak bisa cegah papi kamu. Dia marah kamu pergi dari rumah. Makanya kamu pulang, dong. Kenapa, sih, pake acara kabur-kabur segala. Kan, kamu sendiri yang udah setuju buat nikah sama Naren.”

“Mi … jangan bahas itu dulu bisa. Bella ditungguin ini, belanjaan belum di bayar.”

“Ya, sudah. Butuh berapa kamunya? Mami transfer sekarang.”

Alma membuka aplikasi perbank-an miliknya. Langsung saja mengirimkan sejumlah uang seperti permintaan Bella ke nomor rekening digital yang disebutkan gadis itu. Namun, Bella tidak memberitahu di mana dia berada meski Alma terus mendesak. Bahkan setelah menerima sejumlah nominal, Bella meminta agar Alma tidak memberitahu siapa pun termasuk Wira.

“Bella cuma gak mau sama Narendra. Mami tau dia sekarang gak bisa apa-apa selain duduk di kursi roda. Itu kenapa Bella pergi. Mami ngertiin Bella, kan?” ucapnya mengakhiri perbincangan.

“Iya, mami ngerti. Tapi, Bel. Kamu tahu ….” Sambungan terputus sepihak. “Bella?

Sayang?”

Alma menatap layar ponselnya yang sudah tidak lagi terhubung

dengan Bella. “Anak itu … dia tau tidak kalau Narendra minta Sheilla jadi penggantinya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bukan Sekadar Figuran   Parfum Narendra

    Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga

    Last Updated : 2025-03-22
  • Bukan Sekadar Figuran   Langkah Pertama Sheilla mencari Bella

    Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan

    Last Updated : 2025-03-22
  • Bukan Sekadar Figuran   Apartemen Bella

    Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri. Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat. “Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?” Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di

    Last Updated : 2025-03-23
  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

    Last Updated : 2025-03-24
  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

    Last Updated : 2025-03-25
  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

    Last Updated : 2025-04-02

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Figuran   Siasat Penayangan Film

    Pagi-pagi sekali Asisten pribadi Narendra sudah datang. Sudah berada di ruang kerja sejak pukul enam. Narendra menekuri layar kemudian mendongak. "Jadi bagaimana?" "Tuan Besar belum bereaksi apa pun, Tuan." "Papa belum bereaksi apa-apa padahal penanyangan film sudah hampir satu pekan?" Narendra menautkan ke sepuluh jemarinya. "Apa dia tidak memperhatikan berita? Apa mungkin seseorang yang memimpin perusahaan, yang bergerak di bidang industri media, sama sekali tidak update? Dia punya portal berita yang tentu ikut andil menayangkan promosi film ini, bukan?" "Sepertinya Tuan Besar memang tidak terlalu peduli. Saya rasa, Tuan harus mengajaknya menonton film itu. Mungkin dengan begitu dia baru akan bereaksi." Narendra mengangguk-angguk, kemudian meminta Asprinya turun untuk sarapan. "Saya harus ajak Papa nonton film nya, kan? Well, dengan bergabung di meja makan," ungkap Narendra ketika asisten pribadinya itu hanya menatap datar seolah sedang mempertanyakan, tumben mau ikut sarapan? B

  • Bukan Sekadar Figuran   Fakta Sheilla

    Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida

  • Bukan Sekadar Figuran   Jenar Marah Mendapati Kucing Di Rumahnya

    Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t

  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status