Share

Parfum Narendra

last update Last Updated: 2025-03-22 05:47:18

Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti.

"Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening.

"Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."

Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"

Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla.

"Apa?!"

"Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Gadis pemilik nama Sheilla Anandita Wijaya itu mendengkus pelan. Kemudian, dia membawa tumpukkan pakaiannya ke dekat lemari "Di sini?"

Narendra mengangguk. "Sebelah kanan."

"Kanan yang mana? Ini atau ini?" Sambil sedikit menahan kesal, Sheilla menunjuk dua pintu bergantian. Sebab, lemari besar di hadapannya memiliki 3 pintu.

"Paling kanan, Shei. Yang tengah itu untuk baju yang digantung. Kalau mau ada yang di simpan di sana juga gak apa-apa." Jelas Narendra.

"Terus mana kuncinya? Gimana mau disimpan kalau kuncinya aja gak ada, Kak." Sheilla mencebik.

Narendra melihat ke arah pintu lemari. Benar, tidak ada kunci yang biasa menggantung di sana. Lantas Narendra memutar roda pada kursinya mendekati nakas, tak jauh dari tempat tidur. Menarik tuas laci, mencari benda yang dibutuhkan Sheilla untuk membuka pintu lemari tersebut. Kunci dia temukan dari dalam sana, kemudian Narendra membawa dan mengangsurkannya pada Sheilla. "Ini."

Sheilla menerimanya. Membuka lemari dan menyimpan barang-barangnya. Ruang pada benda yang terbuat dari kayu itu memang kosong, seperti sengaja dipersiapkan untuk penghuni baru kamar ini.

"Itu emang sengaja dikosongkan kemarin, buat kamu.” Narendra seakan tahu apa yang dipikirkan Sheilla. “Tapi, kalau barang kamu banyak dan gak cukup di situ, masih ada lemari kosong yang lain di kamar sebelah. Nanti aku minta orang buat pindahkan ke sini."

Sheilla menatap Narendra cukup lama. Sampai-sampai yang ditatapnya menggerakkan alis. "Bukan buat aku kali, Kak. Tapi, buat Kak Bella," ucapnya datar. “And, udah lihat sendiri, kan, pakaianku cuma dikit.” Sheilla hampir berlalu kalau saja Narendra tidak menahannya.

Mata Sheilla tertuju pada pergelangan tangannya yang dipegang Narendra. Situasi ini mulai terasa akhward dan apa itu tadi? Batin Sheilla. Aku? Sejak kemarin Narendra berbicara formal dengan menyebut dirinya ‘saya’. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi 'aku'?

“Ya … tapi, kan, kenyataannya kamu sekarang yang di sini,” ucap Narendra seraya mengulum senyum.

Sheilla melepaskan diri dari cekalan tangan kokoh Narendra. Dia melangkah kembali ke dekat kopernya yang di simpan di atas ranjang tanpa merespon ucapan Narendra. Mengambil lagi beberapa keperluan yang dia bawa di dalam tas besar itu. “Aku boleh simpan ini di sana.” Tunjuknya ke arah keberadaan meja rias. Narendra mengangguk sambil kembali tersenyum.

Ya Tuhan … apa aku benar-benar harus terjebak dengan situasi seperti ini?

Kembali, Sheilla celingukan begitu mengeluarkan beberapa buku dari ransel yang semula teronggok di lantai. Mencari tempat yang tepat untuk menyimpannya. Meskipun kamar Narendra luas, tapi setiap sisi seperti sudah memiliki fungsi masing-masing. Dan tanpa izin si-empu kamar, Sheilla tidak bisa menyimpannya begitu saja.

“Simpan di meja itu, Shei.” Narendra menunjuk satu tempat di dekat jendela. Lagi-lagi seolah paham isi kepala Sheilla. “Kamu nanti bisa belajar lebih semangat sambil menikmati udara segar,” imbuhnya.

“Tapi, bukannya itu meja kerja Kak Naren, ya?”

“Bukan. Aku biasa mengerjakan pekerjaanku di ruangan yang lain.”

“Oh. Tapi, kenapa ada laptop?” tanya Sheilla sembari meletakkan buku-buku di gendongannya ke samping benda tersebut.

“Laptop punya kamu rusak, kan? Pakai aja.”

Sheilla menyentuh benda yang di dominasi warna hitam itu. “Ini masih baru, ya?” Bagian atasnya terdapat logo merk terkenal yang tampak mengkilat. Buah apel bekas gigitan—entah siapa. “Kok … Kakak tau laptopku rusak?” Tersadar dari kekagumannya terhadap benda tersebut, Sheilla memicing curiga.

“Ingat dua minggu lalu sebelum aku kecelakaan, aku datang saat kamu duduk di teras depan rumah sambil membicarakan soal laptop dengan seseorang di telepon.”

Sampai di sana, Sheilla tidak mengalihkan pandangan dari Narendra. Hingga suaminya itu kembali berbicara. “Aku gak sengaja dengar. Sori.”

“Eum … bukan. Bukan itu yang jadi masalah. Saat itu aku memang sedang membicarakan soal benda ini.” Sheilla menunjuk lagi laptop. “Gak ada yang salah kalau Kakak mendengar obrolan itu. Tapi ….”

“Tapi, apa, Shei?”

“Kakak udah nyiapin ini seolah tau kalau aku yang akan datang ke sini sebagai istri Kak Naren.”

Narendra mengangguk. Paham akan kebingungan yang dialami gadis di hadapannya. Mungkin Sheilla berpikir semua seperti sudah terencana. Dan, itu memang benar adanya. “Nanti kamu akan tau alasannya.”

Sheilla mendengkus. “Aku gak mau terima. Kecuali, Kakak kasih tau aku dulu di mana Kak Bella.”

“Lho, jangan bilang kalau kamu berpikir aku yang sembunyikan kakak kamu itu, iya?”

“Memang, iya. Kakak kira aku bisa dibohongi?” Setelah mengatakan itu, Sheilla beranjak keluar kamar.

***

Dering ponsel berbunyi, entah sudah ke berapa kali dan itu cukup mengganggu. Sementara, si pemilik benda pipih tersebut baru keluar dari kamar mandi. Sheilla menyeka wajah menggunakan handuk. Kemudian, memastikan tangannya sudah tidak basah. Dia ambil ponsel yang sudah kembali senyap.

"Jefri," gumamnya ketika melihat siapa yang baru saja menghubunginya. Sheilla menoleh pada Narendra. Lelaki yang semalam berdebat tentang posisi, status, dan tempat tidur itu masih terlelap. Berbagi ranjang dengan orang yang seharusnya jadi kakak ipar, sedikitpun tidak pernah ada dalam bayangan Sheilla.

Sheilla mendial nomor Jefri. Melangkah menuju meja rias dan duduk di kursi yang ada di sana. "Ada apa, Jef?" tanya Sheilla pelan. Takut-takut membangunkan Narendra.

Padahal, tanpa sepengetahuan Sheilla, Narendra sebetulnya sudah terjaga. Tepat saat handphone sang istri gaduh minta diperhatikan.

"Aku pergi, kok. Ada kelas hari ini gak mungkin bolos," ucap Sheilla. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Jefri di seberang sana. "Aku gak janji," lanjutnya.

Narendra menajamkan indera pendengarannya meski mata masih menutup.

"Kalau kamu gak telat, aku gak akan ada di sini sekarang, Jefri." Suara Sheilla menggeram tertahan. "Udah lah, gimana nanti. Ketemu di kampus aja, aku gak mau kalo di tempat lain."

Sheilla memutus panggilan. Meletakkan ponsel di atas meja tepat di samping parfum milik Narendra. Dia melihat suaminya itu dari cermin dengan helaan napas lega. Berpikir jika Narendra masih berada di alam mimpi.

Menyisir rambut, Sheilla bersiap seperlunya saja. Dia memang tidak berlebihan dalam berhias. Sapuan make-up natural cukup untuknya. Terakhir setelah body lotion diaplikasikan, Sheilla semprotkan minyak wangi.

Keisengan Sheilla tidak berakhir. Dia mengambil botol parfum milik Narendra yang berdiri kokoh di dekat hapenya. Sheilla buka penutup dan mencium aroma dari ujung botol tersebut. Yakin itu minyak wangi mahal yang harumnya bisa tahan berjam-jam bahkan mungkin berhari-hari.

"Baunya ...." Sheilla mengingat-ingat. "Orang pacaran apalagi sampe tunangan gak mungkin gak … sekadar pelukan, kan? Tapi, kok ...." Lagi, botol parfum itu dia tempelkan ke hidung.

Sheilla, si pemilik tahi lalat di dagu itu mengernyit dahi. "Kak Bella tiap pulang dari apartemennya suka bau cowok, tapi ini ... ini baunya beda. Parfum Kak Naren ada berapa?" Sheilla mengedarkan pandangannya ke atas meja. Ada beberapa botol minyak wangi yang kesemuanya memiliki aroma hampir sama dengan merk berbeda-beda.

"Gak ada satupun yang sama, sama baunya Kak Bella tiap abis kencan. Aneh banget," gumam Sheilla setelah mencium satu-persatu parfum milik Narendra.

Sheilla tersentak ketika sebuah deheman mengusik indra pendengarannya. Dia menoleh pada keberadaan tempat tidur. Narendra sudah terjaga di sana bahkan mungkin sejak tadi memperhatikannya.

“Kak.” Sheilla buru-buru meletakkan botol parfum ke tempatnya semula. “A-aku ….”

“Ada petunjuk yang kamu temukan dengan memeriksa botol minyak wangiku?” ucap Narendra. Ada nada sinis dari kalimatnya itu membuat Sheilla memicing sekaligus gugup.

“Aku mau berangkat ke kampus.” Dalih Sheilla. Dia mengambil tas yang sudah disiapkan sejak pagi. Melihat lagi Narendra yang tidak berhenti menatapnya. “Kenapa? Om Wira sama tante Alma udah bilang ke Kakak kalau aku tetap mau lanjut kuliah meskipun sudah menikah, kan?”

“Soal itu, memang iya. Tapi, apa harus berangkat sepagi ini?”

“Aku ada urusan sebentar sebelum ke kampus. Bye, Kak!” Tanpa mendengar lagi respon dari Narendra, Sheilla sudah bergegas meninggalkan ruangan

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bukan Sekadar Figuran   Langkah Pertama Sheilla mencari Bella

    Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan

    Last Updated : 2025-03-22
  • Bukan Sekadar Figuran   Apartemen Bella

    Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri. Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat. “Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?” Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di

    Last Updated : 2025-03-23
  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

    Last Updated : 2025-03-24
  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

    Last Updated : 2025-03-25
  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

    Last Updated : 2025-04-02
  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

    Last Updated : 2025-04-08

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Figuran   Siasat Penayangan Film

    Pagi-pagi sekali Asisten pribadi Narendra sudah datang. Sudah berada di ruang kerja sejak pukul enam. Narendra menekuri layar kemudian mendongak. "Jadi bagaimana?" "Tuan Besar belum bereaksi apa pun, Tuan." "Papa belum bereaksi apa-apa padahal penanyangan film sudah hampir satu pekan?" Narendra menautkan ke sepuluh jemarinya. "Apa dia tidak memperhatikan berita? Apa mungkin seseorang yang memimpin perusahaan, yang bergerak di bidang industri media, sama sekali tidak update? Dia punya portal berita yang tentu ikut andil menayangkan promosi film ini, bukan?" "Sepertinya Tuan Besar memang tidak terlalu peduli. Saya rasa, Tuan harus mengajaknya menonton film itu. Mungkin dengan begitu dia baru akan bereaksi." Narendra mengangguk-angguk, kemudian meminta Asprinya turun untuk sarapan. "Saya harus ajak Papa nonton film nya, kan? Well, dengan bergabung di meja makan," ungkap Narendra ketika asisten pribadinya itu hanya menatap datar seolah sedang mempertanyakan, tumben mau ikut sarapan? B

  • Bukan Sekadar Figuran   Fakta Sheilla

    Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida

  • Bukan Sekadar Figuran   Jenar Marah Mendapati Kucing Di Rumahnya

    Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t

  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status