Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti.
"Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening. "Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa." Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?" Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla. "Apa?!" "Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Gadis pemilik nama Sheilla Anandita Wijaya itu mendengkus pelan. Kemudian, dia membawa tumpukkan pakaiannya ke dekat lemari "Di sini?" Narendra mengangguk. "Sebelah kanan." "Kanan yang mana? Ini atau ini?" Sambil sedikit menahan kesal, Sheilla menunjuk dua pintu bergantian. Sebab, lemari besar di hadapannya memiliki 3 pintu. "Paling kanan, Shei. Yang tengah itu untuk baju yang digantung. Kalau mau ada yang di simpan di sana juga gak apa-apa." Jelas Narendra. "Terus mana kuncinya? Gimana mau disimpan kalau kuncinya aja gak ada, Kak." Sheilla mencebik. Narendra melihat ke arah pintu lemari. Benar, tidak ada kunci yang biasa menggantung di sana. Lantas Narendra memutar roda pada kursinya mendekati nakas, tak jauh dari tempat tidur. Menarik tuas laci, mencari benda yang dibutuhkan Sheilla untuk membuka pintu lemari tersebut. Kunci dia temukan dari dalam sana, kemudian Narendra membawa dan mengangsurkannya pada Sheilla. "Ini." Sheilla menerimanya. Membuka lemari dan menyimpan barang-barangnya. Ruang pada benda yang terbuat dari kayu itu memang kosong, seperti sengaja dipersiapkan untuk penghuni baru kamar ini. "Itu emang sengaja dikosongkan kemarin, buat kamu.” Narendra seakan tahu apa yang dipikirkan Sheilla. “Tapi, kalau barang kamu banyak dan gak cukup di situ, masih ada lemari kosong yang lain di kamar sebelah. Nanti aku minta orang buat pindahkan ke sini." Sheilla menatap Narendra cukup lama. Sampai-sampai yang ditatapnya menggerakkan alis. "Bukan buat aku kali, Kak. Tapi, buat Kak Bella," ucapnya datar. “And, udah lihat sendiri, kan, pakaianku cuma dikit.” Sheilla hampir berlalu kalau saja Narendra tidak menahannya. Mata Sheilla tertuju pada pergelangan tangannya yang dipegang Narendra. Situasi ini mulai terasa akhward dan apa itu tadi? Batin Sheilla. Aku? Sejak kemarin Narendra berbicara formal dengan menyebut dirinya ‘saya’. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi 'aku'? “Ya … tapi, kan, kenyataannya kamu sekarang yang di sini,” ucap Narendra seraya mengulum senyum. Sheilla melepaskan diri dari cekalan tangan kokoh Narendra. Dia melangkah kembali ke dekat kopernya yang di simpan di atas ranjang tanpa merespon ucapan Narendra. Mengambil lagi beberapa keperluan yang dia bawa di dalam tas besar itu. “Aku boleh simpan ini di sana.” Tunjuknya ke arah keberadaan meja rias. Narendra mengangguk sambil kembali tersenyum. Ya Tuhan … apa aku benar-benar harus terjebak dengan situasi seperti ini? Kembali, Sheilla celingukan begitu mengeluarkan beberapa buku dari ransel yang semula teronggok di lantai. Mencari tempat yang tepat untuk menyimpannya. Meskipun kamar Narendra luas, tapi setiap sisi seperti sudah memiliki fungsi masing-masing. Dan tanpa izin si-empu kamar, Sheilla tidak bisa menyimpannya begitu saja. “Simpan di meja itu, Shei.” Narendra menunjuk satu tempat di dekat jendela. Lagi-lagi seolah paham isi kepala Sheilla. “Kamu nanti bisa belajar lebih semangat sambil menikmati udara segar,” imbuhnya. “Tapi, bukannya itu meja kerja Kak Naren, ya?” “Bukan. Aku biasa mengerjakan pekerjaanku di ruangan yang lain.” “Oh. Tapi, kenapa ada laptop?” tanya Sheilla sembari meletakkan buku-buku di gendongannya ke samping benda tersebut. “Laptop punya kamu rusak, kan? Pakai aja.” Sheilla menyentuh benda yang di dominasi warna hitam itu. “Ini masih baru, ya?” Bagian atasnya terdapat logo merk terkenal yang tampak mengkilat. Buah apel bekas gigitan—entah siapa. “Kok … Kakak tau laptopku rusak?” Tersadar dari kekagumannya terhadap benda tersebut, Sheilla memicing curiga. “Ingat dua minggu lalu sebelum aku kecelakaan, aku datang saat kamu duduk di teras depan rumah sambil membicarakan soal laptop dengan seseorang di telepon.” Sampai di sana, Sheilla tidak mengalihkan pandangan dari Narendra. Hingga suaminya itu kembali berbicara. “Aku gak sengaja dengar. Sori.” “Eum … bukan. Bukan itu yang jadi masalah. Saat itu aku memang sedang membicarakan soal benda ini.” Sheilla menunjuk lagi laptop. “Gak ada yang salah kalau Kakak mendengar obrolan itu. Tapi ….” “Tapi, apa, Shei?” “Kakak udah nyiapin ini seolah tau kalau aku yang akan datang ke sini sebagai istri Kak Naren.” Narendra mengangguk. Paham akan kebingungan yang dialami gadis di hadapannya. Mungkin Sheilla berpikir semua seperti sudah terencana. Dan, itu memang benar adanya. “Nanti kamu akan tau alasannya.” Sheilla mendengkus. “Aku gak mau terima. Kecuali, Kakak kasih tau aku dulu di mana Kak Bella.” “Lho, jangan bilang kalau kamu berpikir aku yang sembunyikan kakak kamu itu, iya?” “Memang, iya. Kakak kira aku bisa dibohongi?” Setelah mengatakan itu, Sheilla beranjak keluar kamar. *** Dering ponsel berbunyi, entah sudah ke berapa kali dan itu cukup mengganggu. Sementara, si pemilik benda pipih tersebut baru keluar dari kamar mandi. Sheilla menyeka wajah menggunakan handuk. Kemudian, memastikan tangannya sudah tidak basah. Dia ambil ponsel yang sudah kembali senyap. "Jefri," gumamnya ketika melihat siapa yang baru saja menghubunginya. Sheilla menoleh pada Narendra. Lelaki yang semalam berdebat tentang posisi, status, dan tempat tidur itu masih terlelap. Berbagi ranjang dengan orang yang seharusnya jadi kakak ipar, sedikitpun tidak pernah ada dalam bayangan Sheilla. Sheilla mendial nomor Jefri. Melangkah menuju meja rias dan duduk di kursi yang ada di sana. "Ada apa, Jef?" tanya Sheilla pelan. Takut-takut membangunkan Narendra. Padahal, tanpa sepengetahuan Sheilla, Narendra sebetulnya sudah terjaga. Tepat saat handphone sang istri gaduh minta diperhatikan. "Aku pergi, kok. Ada kelas hari ini gak mungkin bolos," ucap Sheilla. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Jefri di seberang sana. "Aku gak janji," lanjutnya. Narendra menajamkan indera pendengarannya meski mata masih menutup. "Kalau kamu gak telat, aku gak akan ada di sini sekarang, Jefri." Suara Sheilla menggeram tertahan. "Udah lah, gimana nanti. Ketemu di kampus aja, aku gak mau kalo di tempat lain." Sheilla memutus panggilan. Meletakkan ponsel di atas meja tepat di samping parfum milik Narendra. Dia melihat suaminya itu dari cermin dengan helaan napas lega. Berpikir jika Narendra masih berada di alam mimpi. Menyisir rambut, Sheilla bersiap seperlunya saja. Dia memang tidak berlebihan dalam berhias. Sapuan make-up natural cukup untuknya. Terakhir setelah body lotion diaplikasikan, Sheilla semprotkan minyak wangi. Keisengan Sheilla tidak berakhir. Dia mengambil botol parfum milik Narendra yang berdiri kokoh di dekat hapenya. Sheilla buka penutup dan mencium aroma dari ujung botol tersebut. Yakin itu minyak wangi mahal yang harumnya bisa tahan berjam-jam bahkan mungkin berhari-hari. "Baunya ...." Sheilla mengingat-ingat. "Orang pacaran apalagi sampe tunangan gak mungkin gak … sekadar pelukan, kan? Tapi, kok ...." Lagi, botol parfum itu dia tempelkan ke hidung. Sheilla, si pemilik tahi lalat di dagu itu mengernyit dahi. "Kak Bella tiap pulang dari apartemennya suka bau cowok, tapi ini ... ini baunya beda. Parfum Kak Naren ada berapa?" Sheilla mengedarkan pandangannya ke atas meja. Ada beberapa botol minyak wangi yang kesemuanya memiliki aroma hampir sama dengan merk berbeda-beda. "Gak ada satupun yang sama, sama baunya Kak Bella tiap abis kencan. Aneh banget," gumam Sheilla setelah mencium satu-persatu parfum milik Narendra. Sheilla tersentak ketika sebuah deheman mengusik indra pendengarannya. Dia menoleh pada keberadaan tempat tidur. Narendra sudah terjaga di sana bahkan mungkin sejak tadi memperhatikannya. “Kak.” Sheilla buru-buru meletakkan botol parfum ke tempatnya semula. “A-aku ….” “Ada petunjuk yang kamu temukan dengan memeriksa botol minyak wangiku?” ucap Narendra. Ada nada sinis dari kalimatnya itu membuat Sheilla memicing sekaligus gugup. “Aku mau berangkat ke kampus.” Dalih Sheilla. Dia mengambil tas yang sudah disiapkan sejak pagi. Melihat lagi Narendra yang tidak berhenti menatapnya. “Kenapa? Om Wira sama tante Alma udah bilang ke Kakak kalau aku tetap mau lanjut kuliah meskipun sudah menikah, kan?” “Soal itu, memang iya. Tapi, apa harus berangkat sepagi ini?” “Aku ada urusan sebentar sebelum ke kampus. Bye, Kak!” Tanpa mendengar lagi respon dari Narendra, Sheilla sudah bergegas meninggalkan ruanganMenuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan
Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri.Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat.“Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?”Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di sing
“Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?”Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang.“Om ….” “Kamu g
Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca. Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya. Semua orang sudah menunggu. Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal? “Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandan
“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?” “Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut.“Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla.“Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis.Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.”Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu!
Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Ka
Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri.Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat.“Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?”Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di sing
Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan
Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga
Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Ka
“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?” “Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut.“Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla.“Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis.Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.”Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu!
Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca. Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya. Semua orang sudah menunggu. Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal? “Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandan
“Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?”Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang.“Om ….” “Kamu g