Share

Apartemen Bella

last update Last Updated: 2025-03-23 05:13:58

Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri.

Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat.

“Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?”

Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di single sofa tak jauh dari ranjang tidur milik Bella. “Kamu cari makanan di dapur aja dulu, gih!”

“Emang ada?”

Sheilla menggendikkan bahu. Mendapat respon acuh tak acuh dari Sheilla, Jefri hampir berlalu meninggalkan. “Kalau gak ada makanan sama sekali, aku makan kamu aja, ya.” Jefri menyeringai, sebelah alisnya terangkat naik. Menatap Shella yang malah menggeleng-gelengkan kepala. Langkah Jefri seret mendekat ke lemari es, membuka benda setinggi satu setengah meter itu. Di dalamnya, hanya ada beberapa botol air mineral saja. Tidak ada makanan apapun, membuat Jefri kembali mendengkus. Sejurus kemudian, dia beralih ke kabinet dapur. Di sana dia menemukan sebungkus snack kentang dan wafer.

“Lumayan,” katanya sambil membawa apa yang dia temukan ke dekat Sheilla. Gadis itu baru saja keluar dari kamar Bella. “Cuma ada ini.”

Sheilla melirik sambil tertawa kecil. Dua jenis camilan dan dua botol air mineral Jefri taruh di atas meja—di ruang tengah. Sheilla mengambil satu botol air tersebut. Kerongkongannya terasa kering sebab belum terlumasi sejak dia datang ke tempat kakak sepupunya ini.

“Udah dapat yang kamu cari?” tanya Jefri. Mulutnya tidak berhenti, sibuk mengunyah makanan yang ada di tangannya. Sesekali dia menyodorkan bungkus snack itu ke arah Sheilla yang juga ikut memakannya.

“Heum ….” Sheilla berhenti sejenak. Dia memperhatikan keripik kentang di tangannya. Sejak kapan Bella ‘ngemil’ begini? Setahu Sheilla, kakak sepupunya itu amat sangat menghindari jenis makanan tersebut. Takut gendut lah, gak sehat lah, banyak banget alasan. “Tapi ini ….” Gumam Sheilla.

“Heum apa? Udah dapet ayo pulang. Mampir makan dulu tapi. Makan ini gak ngenyangin.” Jefri membuang asal bungkus plastik yang sudah kosong.

“Iya, tapi paling gak beresin dulu bekas makannya, Jef,” ujar Sheilla seraya memungut sampah di dekat kaki Jefri.

Aksi Sheilla mendapat perhatian lain dari Jefri. Atensinya jatuh ke dad* Sheilla saat gadis itu membungkuk. Jefri meneguk saliva. Tanpa berpikir dua kali, dia menarik pinggang Sheilla agar gadis itu duduk dipangkuannya.

“Eh … Apaan, sih, Jef.”

“Diam!”

Entah hanya perasaan Sheilla atau benar adanya, suara Jefri terdengar berat. “Kamu mau apa?” tanyanya gugup.

“Mau kamu.” Alis Jefri terangkat naik.

Sheilla berusaha meringsut agar bisa turun dari pangkuan Jefri. Tapi, usahanya gagal sebab tangan kekasihnya itu melingkar posesif di pinggangnya. Sheilla memalingkan wajah ketika bibir Jefri hampir menjangkau miliknya.

“Kenapa, sih, Shei?!” Jefri menggeram tertahan. Sheilla selalu saja seperti itu. Menghindar dan menolaknya.

“Jangan sekarang, ya. Aku ke sini bukan buat mesra-mesra sama kamu di apartemen kak Bella. Aku ke sini buat cari dia.” Sheilla sudah berhasil melepaskan diri.

Jefri berdecak kesal. "Padahal aku nemu ini tadi." Jefri menunjukkan kemasan alat pengaman alias k*nd*m pada Sheilla. "Kalau ini pengalaman pertama kamu ... pelan aja, Sayang, gak akan sakit, kok. Mau, ya?"

Sheilla mundur selangkah. "Nggak! Apaan kamu, tuh. Dari mana coba itu, balikin ke tempatnya, Jef."

Jefri menggeleng.

"Aku tetep gak akan mau, percuma."

"Siapa tau kamu nanti berubah pikiran, kan, lumayan ini." Jefri memasukkan lagi benda yang semula dia pegang ke dalam saku celana.

"Ih!" Sheilla bergidik sambil hendak berlalu. Tapi, tangannya kembali Jefri cekal.

“Kiss aja, Beiby, please.”

Sheilla mengembus napas pelan. Dia mendekat lagi sambil memaksakan senyumnya. Sejurus kemudian bibirnya dia tempelkan ke pipi Jefri. “Dah, ya.”

“Sayang! Bukan di sini.” Jefri menunjuk pipinya sendiri, tapi percuma, Sheilla sudah beranjak meninggalkannya yang masih mematung di samping sofa.

***

"Nona Sheilla masih di dalam, Tuan." Suara dari seberang sambungan membuat Narendra menggeram tertahan. Itu sebab dia tahu Sheilla di apartemen bersama seorang laki-laki. Jefri, nama itu lolos dari bibir Sheilla kemarin—seusai Narendra mengucap ijab kabul dan dia resmi jadi suaminya. "Terus awasi mereka!" Perintahnya kemudian menutup panggilan.

Narendra menghempas punggung ke sandaran kursi rodanya. Dia terus mengumpat. "Jangan kecewakan saya, SHEILLA!" Narendra bangkit. Emosi yang semula dia tahan-tahan, meluap juga. Narendra menendang kursi roda hingga benda tersebut sukses menghantam tembok. Sakit di kakinya tak dia idahkan.

Narendra masih berusaha mengatur tempo napasnya. Berulang dia embuskan karbondioksida dari mulut. Berharap dengan seperti itu, irama jantungnya kembali normal.

Narendra tentu tidak bodoh untuk berspelukasi apa yang terjadi di dalam sebuah ruangan dengan dua sejoli. Membayangkannya membuat darah dia mendidih. "Sheilla," lirihnya. Narendra menatap layar, foto gadis itu di sana.

Tak berselang lama, notifikasi muncul digawai Narendra. Sebuah video dikirim anak buahnya yang mengawasi Sheilla. Segera dia buka gambar berdurasi kurang dari 10 menit itu. Sheilla tampak keluar lebih dulu, kemudian Jefri menahan tangan gadis itu di ambang pintu.

Sheilla tampak menggelengkan kepala, bibirnya bergerak seolah mengatakan 'tidak'. Narendra masih memperhatikan. Sekali lagi, dia tidak bodoh untuk bisa melihat ekspresi pemuda yang sedang bersama Sheilla itu. Jefri terlihat menahan hasrat yang mendalam terhadap istri Narendra.

"Ber*ngsek!"

Video masih memutar. Sheilla diikuti Jefri berjalan melewati kamera—yang entah bagaimana anak buah Narendra mengambil gambar itu. Pastinya, dari sudut yang paling pas.

"Jangan-jangan kamu sama si Narendra itu udah, iya, kan, Shei?! Makanya kamu nolak aku." Suara Jefri berbaur dengan bunyi sepatu, seiring keduanya melangkah. Narendra bisa mendengarnya cukup jelas.

Sebelum pintu lift terbuka, Sheilla menoleh. "Kamu sungguh berpikir seperti itu?" Dia menggeleng tidak percaya. "Kamu tahu aku seperti apa, bukan? Apa kamu pikir aku segampangan itu?"

"Ya, terus kenapa kamu gak mau ... sama aku."

"Jef ...." Cepat Sheilla menyambar ucapan kekasihnya itu. "Ayolah, cinta gak harus diekspresikan lewat sentuhan." Dia hampir putus asa sebab harus selalu menjelaskan ini pada Jefri.

"Atau kamu memang jatuh cinta sama si Narendra si*lan itu, iya, kan?"

"Kamu lupa? Atau harus aku ingatkan. Aku sama Kak Naren sah secara hukum maupun agama. Kalau aku memang seperti yang kamu tuduhkan, aku gak akan repot-repot cari Kak Bella kayak gini, Jefri. Tinggal aku nikmati posisiku sekarang." Sheilla hampir menangis akibat menahan segala kegondokkan terhadap laki-laki di hadapannya itu. Tapi, pantaskah Narendra kecewa, sebab Sheilla sama sekali tidak menganggapnya apa pun?

"Oke! Sorry. Aku ... terlalu takut kehilangan kamu, Sayang," lirih Jefri. Bersamaan dengan kalimat pemuda itu, pintu kabin lift yang hendak Sheilla naiki terbuka.

Video berakhir. Narendra menggenggam erat ponsel ditangannya. Dalam keadaan marah pun, Sheilla masih menyebutkan namanya dengan sopan. 'Kak Naren'. Bolehkah Narendra bangga terhadap gadis itu?

***

Mampir makan siang, kemudian pulang. Sheilla tidak tahu apakah tempat tinggalnya sekarang pantas dia sebut rumah? Meskipun besar, semua fasilitas tersedia, nyatanya, Sheilla tetap saja tidak merasakan bahagia. Baru satu malam di rumah Narendra, seperti satu tahun lamanya.

Sheilla lantas meminta Jefri mengantarkannya ke rumah Wira terlebih dahulu. “Takut banget aku tahu rumah suami kamu, Shei.” Komentar sinis Jefri begitu tiba tadi. Sheilla sudah berada di kamar, tidur di ranjangnya yang terasa nyaman.

“Aku mau di sini aja, please!” Sheilla mengeratkan pelukan pada bantal guling yang biasa menemaninya tidur. “Oh, iya.”

Teringat sesuatu, Sheilla segera merogoh ponsel di saku jeansnya. Beberapa foto sempat Sheilla ambil tadi di apartemen Bella. Foto kemeja laki-laki, parfum, sampai sandal rumahan pun milik laki-laki. “Semua ini punya siapa, ya? Kak Naren?” gumam Sheilla, bertanya pada angin lalu. Dia mengembus napas Lelah. Lelah menghadapi takdir konyol yang menimpanya.

Sebuah ketukan pada daun pintu mengalihkan atensi Sheilla. Buru-buru dia menyimpan gawainya, kali ini dia masukkan benda pipih itu ke dalam tas. Sheilla beranjak membuka benda akses keluar masuk itu. Dilihatnya, Alma sudah berdiri di depan sana sambil melipat kedua tangan di atas perut.

“Tante ….” Sheilla mengulurkan tangan hendak menyalami. Tapi, tanpa dia duga, Alma justru menepisnya. Alma merangsek masuk ke dalam kamar yang Sheilla tempati. “Tadi … waktu Sheilla datang, kata bibi … Tante gak ada di rumah. Jadi Shei … langsung ke sini,” ujarnya sambil mengekor di belakang Alma.

“Harusnya kamu kalau mau ke sini, bilang-bilang dulu. Sekarang kamu sudah bukan anggota rumah ini lagi. Gak baik datang ke rumah orang seenaknya. Seperti yang kamu lakukan tadi pagi dan saat ini.”

Mendengar ucapan Alma, Sheilla seketika membeku. Dia seolah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

“Kenapa? Kamu tidak suka?” tanya Alma. Tanpa menunggu reaksi Sheilla, wanita paruh abad itu sudah membuka lemari. “Saya tahu kamu gak bawa baju banyak kemarin. Alasannya apa, yang pasti kamu akan tinggal di sana dan seharusnya bersikaplah selayaknya orang pindah tempat tinggal. Kosongkan lemari ini.” Alma mengeluarkan baju-baju Sheilla. Dilemparkannya ke hadapan Sheilla yang membuat gadis itu kian ternganga.

Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Sheilla masih berusaha mencerna. “Tante ….”

“Bawa semua ini. Kemasi dan cepat pulang sebelum Wira datang. Satu lagi … saya gak mau anak bulu kamu masih berkeliaran di rumah ini. Bawa sekalian!”

Kemarin, Sheilla masih syok. Dia bukan sengaja melupakan kucing putih kesayangannya. Anabul yang dipeliharanya sejak 5 bulan terakhir. Setelah mengemasi pakaiannya, Sheilla segera keluar kamar menuju ruang belakang rumah. Dia menanyakan keberadaan Chiko—kucingnya—pada bibi ART.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

    Last Updated : 2025-03-24
  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

    Last Updated : 2025-03-25
  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

    Last Updated : 2025-04-02
  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

    Last Updated : 2025-04-08
  • Bukan Sekadar Figuran   Jenar Marah Mendapati Kucing Di Rumahnya

    Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t

    Last Updated : 2025-04-08
  • Bukan Sekadar Figuran   Fakta Sheilla

    Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida

    Last Updated : 2025-04-17

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Figuran   Siasat Penayangan Film

    Pagi-pagi sekali Asisten pribadi Narendra sudah datang. Sudah berada di ruang kerja sejak pukul enam. Narendra menekuri layar kemudian mendongak. "Jadi bagaimana?" "Tuan Besar belum bereaksi apa pun, Tuan." "Papa belum bereaksi apa-apa padahal penanyangan film sudah hampir satu pekan?" Narendra menautkan ke sepuluh jemarinya. "Apa dia tidak memperhatikan berita? Apa mungkin seseorang yang memimpin perusahaan, yang bergerak di bidang industri media, sama sekali tidak update? Dia punya portal berita yang tentu ikut andil menayangkan promosi film ini, bukan?" "Sepertinya Tuan Besar memang tidak terlalu peduli. Saya rasa, Tuan harus mengajaknya menonton film itu. Mungkin dengan begitu dia baru akan bereaksi." Narendra mengangguk-angguk, kemudian meminta Asprinya turun untuk sarapan. "Saya harus ajak Papa nonton film nya, kan? Well, dengan bergabung di meja makan," ungkap Narendra ketika asisten pribadinya itu hanya menatap datar seolah sedang mempertanyakan, tumben mau ikut sarapan? B

  • Bukan Sekadar Figuran   Fakta Sheilla

    Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida

  • Bukan Sekadar Figuran   Jenar Marah Mendapati Kucing Di Rumahnya

    Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t

  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status