Home / Romansa / Bukan Sekadar Figuran / Langkah Pertama Sheilla mencari Bella

Share

Langkah Pertama Sheilla mencari Bella

last update Last Updated: 2025-03-22 05:48:58

Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.

Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. 

Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. 

Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" 

"Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."

Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari.

"Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan Dhara. “Heum, pantesan ada yang bau!" serunya menggoda gadis berambut kriwil tersebut. Dhara menyengir kemudian memutar arah bersembunyi di balik punggung Sheilla begitu melihat sang bunda mendekat.

“Aduh, Ara. Jangan peluk-peluk tantenya seperti itu, lho. Kamu belum mandi, nanti baunya nempel.”

“Apa, sih, Bunda. Ara gak bau, ya.” Dhara semakin erat memeluk leher Sheilla. Kepala gadis itu melongok dari samping.

“Gak bau gimana?! Itu kamu masih ada iler, tuh.”

Dhara mencebik sementara Sheilla yang dipeluknya terkekeh. Masih posisi jongkok, Sheilla lantas berdiri membawa serta gadis 5 tahun itu dalam gendongan. “Dhara anak cantik, kan? Mandi dulu, ya, Sayang,” bujuknya. 

Dina sudah meminta Dhara turun, tapi anak itu malah semakin erat memeluk leher Sheilla. “Turunin, Shei. Dhara … walau kecil, dia berat juga, lho, gendong lama-lama.”

“Gak apa-apa, Mbak. Dhara gak berat, kok.”

Dina melihat Sheilla sama sekali tidak keberatan meski Dhara terus saja menempel. Padahal, Sheilla baru kemarin datang. Rupanya, istri Narendra itu sudah pandai mengambil hati putrinya. 

Dhara juga, anak itu jarang sekali bisa akrab secepat ini dengan orang lain. Bahkan dengan tunangan atau mantan-mantan Narendra sebelumnya, Dhara tidak pernah sedekat seperti pada Sheilla.

“Tuh, gak apa-apa kata Tante Sheilla-nya juga, wle.” Dhara menjulurkan lidah ke arah Dina. “Tante mau ke mana?” Beralih lagi pada Sheilla, bocah itu melempar tanya sambil memainkan ujung rambut Sheilla.

“Kuliah, dong, Sayang,” jawab Sheilla.

“Tante masih kuliah?” Sheilla mengangguk sebagai respon dari pertanyaan berikutnya. “Bukannya tante sudah menikah sama om Narendra, ya?” 

Dhara gadis kecil yang pintar terlepas dari cara bicaranya yang masih cadel. Sheilla menurunkan keponakan suaminya itu dari gendongan. Lumayan pegal juga punggungnya, padahal hanya sebentar. Sheilla mengambil kembali beberapa buku yang sebelumnya dia letakkan di anak tangga terakhir—saat Dhara menghampiri. “Tante, kan, masih belum lulus kuliahnya, Ara Sayang.” Sheilla mengusap kepala Dhara seraya mengukir senyum.

“Lulus itu apa?” tanya Dhara polos.

“Hei … banyak tanya ini anak.” Dina menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan putri semata wayangnya yang mulai cerewet itu. “Mandi dulu, yuk! Nanti bunda jelaskan apa itu lulus kuliah. Lagi pula, memangnya Dhara tau kuliah itu apa?”

“Enggak.” Dhara menggeleng sambil memperlihatkan deretan gigi kecilnya yang rapi dan putih bersih.

“Tuh, kan!” Dina berdecak. “Kamu mau berangkat sekarang, Shei?” Kemudian beralih pada adik iparnya yang tengah tertawa kecil.

“Eh ... iya, Mbak. Sheilla ada kelas pagi.”

“Sepagi ini?”

Sheilla mengangguk. “Ada yang mau aku ambil dulu, sih, di rumah.”

Sementara itu, Dhara yang sudah setuju untuk mandi dijemput bibi pengasuhnya. “Mandi yang bersih, ya, Nak,” ucap Dina sambil melambai-lambai tangan ke arah sang putri.

“Aku langsung berangkat aja, ya, Mbak. Om sama Tante … maksud aku, Mama sama Papa masih belum keluar, ya? Aku titip salam aja. Bye, Mbak Dina!”

“Eh … berangkat pakai apa?”

“Ojol, Mbak.”

“Sopir, kan, ada.” Dina mengekor hingga ke pintu utama.”

"Sheilla udah order. Dan ... ini kayaknya udah nunggu di depan." Sheilla melihat layar gawai yang dia keluarkan dari dalam saku celana jeans-nya.

Tepat ketika Sheilla meninggalkan rumah, Narendra turun ke lantai satu bersama asisten pribadinya yang datang menggunakan lift. 

"Tuan, apa saya juga harus berangkat sekarang?" tanya sang aspri.

"Iya. Jangan lupa apa yang kukatakan tadi di atas."

"Baik, Tuan."

Berlalu, asisten kepercayaan Narendra pergi mengikuti Sheilla sesuai perintah sang atasan.

***

Benar saja, saat Sheilla muncul dari balik gerbang, ojol pesanannya sudah menunggu. Pengendara sampai heran melihatnya keluar dari rumah gedong.

"Ini ... betul dengan Mbak Sheilla?" tanyanya. Helm tak segera dia angsurkan karena ragu.

Sheilla tertawa kecil. "Ya, beneran, dong. Nih, lihat!" Dia menunjukkan layar ponselnya berada dalam aplikasi hijau. Titik pemesanan sudah tepat di tempat keduanya berada saat ini.

"Aneh saja. Apa baru saya yang dapat orderan dari rumah semegah ini?" Abang ojol memandang takjub ke arah rumah.

Lagi, Sheilla tertawa. "Ayo, berangkat!"

Pengendara ojol segera menstater motor matic-nya begitu Sheilla duduk di belakang. "Kita ke titik pertama dulu, ya, Bang ojol. Nanti dari sana saya order ulang, lanjut ke kampus," imbuh Sheilla, Bang ojolnya lantas mengangguk.

Motor bergerak keluar dari area perumahan menuju jalan raya. Keadaan cukup ramai meski tak sampai macet. Sheilla dan kendaraan yang ditungganginya hanya butuh kurang dari satu jam untuk sampai ke rumah Wira. Dia turun dan meminta ojol menunggunya. "Nanti saya lebihin ongkosnya kalo mau nunggu." Sheilla tersenyum seraya membayar biaya transportasinya.

"Iya, Mbak. Gak lama, kan?"

"Enggak, kok."

Kembali, Bang ojol bengong melihat Sheilla memasuki rumah besar. Meski tak semegah rumah yang sebelumnya tetap saja itu bikin heran. Pemilik hunian seperti di hadapannya itu, biasanya kalau ke mana-mana pasti naik mobil lengkap dengan sopirnya sekalian.

Beberapa menit kemudian, Sheilla sudah keluar lagi. Niatnya memang hanya ingin mengambil buku yang tertinggal di kamar Bella. Terakhir sebelum peristiwa pernikahan terjadi, malam harinya Sheilla masih menemani Bella sambil mengerjakan tugas kuliah. Sheilla hanya bertemu dan menyapa seperlunya pada Wira dan Alma.

“Bang ojol, saya udah order ulang.”

“I-iya, Mbak. Ini saya sudah terima.” Ojol mengangsurkan lagi helm untuk dipakai Sheilla. “Mbak gak malu, ya, naik ojol?”

“Kenapa? Kenapa musti malu?”

“Rumah Mbak-nya besar-besar.” Komentar pengendara ojol tersebut saat motor sudah kembali ke jalan raya. 

“Itu bukan rumah saya, Bang.” Sheilla menjawab sekenanya tanpa menjelaskan lebih detail. 

***

Sesampainya di pelataran Universitas, sudah ada yang menunggu Sheilla. Gadis itu melambaikan tangan. “Ini helm-nya. Ini ongkos serta lebihannya yang saya janjikan tadi. Terima kasih, ya, Bang.”

“Sama-sama, Mbak.”

Sheilla menyapa Jefri lebih dulu. “Masih marah?”

“Kamu pikir apa? Aku harus gak marah saat lihat kamu nikah sama orang lain, gitu?”

“Ya … maaf.” Sheilla menggigit bibir. Ribuan kali dijelaskan pun statusnya kini memang sudah jadi istri orang. “Coba kamu gak telat datangnya.”

Jefri tersenyum miring. “Kalaupun aku gak telat. Memangnya kamu bisa nolak permintaan om sama tante kamu itu?”

“Eum … nggak juga.”

Jefri memutar bola mata. Sudah bisa dia duga jawaban Sheilla pasti seperti itu. Mana mungkin Sheilla berani membantah om serta tantenya. Setahu Jefri, kekasihnya itu gadis yang penurut, tak ubahnya seperti boneka.

“Tunggu!” Sheilla menahan lengan Jefri ketika pemuda itu hampir berlalu. “Aku tau, aku salah. Pernikahan ini hanya sampai Kak Bella ditemuin, kok. Setelah itu … aku bakal minta pisah.”

Jefri menatap Sheilla cukup lama seolah meragukan ucapan gadis di hadapannya itu.

“Serius. Aku, tuh, lagi curiga kalau sebenarnya ….”

“Sebenarnya apa?” 

“Kamu masih mau kita sama-sama, kan? Mau bantu aku gak?” tanya Sheilla tanpa menjelaskan ucapan dia sebelumnya yang masih menggantung.

“Bantu … apa?”

“Cari Kak Bella.”

“Maksudnya? Cari gimana? Bukannya dia pergi sendiri, ya, gak mau nikah sama Narendra yang sekarang udah gak bisa jalan itu.”

Sheilla menempelkan telunjuk di bibir. Tidak sedang berada di lingkungan keluarga Narendra, tapi tetap saja dia merasa harus waspada. “Sini, deh,” ajaknya pada Jefri. Menarik tangan pemuda itu ke tempat yang lebih sepi. “Justru itu, Kak Naren mencurigakan banget tau, gak? Aku curiga dia sebenarnya tau di mana Kak Bella. Apalagi, pas setelah akad aku dengar dia ngomong di telepon. Dia bilang, ‘sesuai rencana dan tepat sasaran’. Itu maksudnya apa coba?”

“Dia sengaja ngejebak kamu gitu?” 

Sheilla mengangguk meski belum sepenuhnya yakin. “Aku harus tau apa alasannya, dan apa pula untungnya buat dia?” Sheilla berdecak. Masuk perangkap Narendra adalah takdir terburuk dalam hidupnya. Well, dia kaya raya, punya segalanya. Tapi, buat apa jika Sheilla tidak pernah mencintainya. Lebih-lebih, Narendra itu calon suami Bella kakak sepupunya sendiri.

“Kalau untungnya aku gak tau pasti. Tapi … alasan, mungkin dia sebenarnya sukanya sama kamu, bukan Bella.”

Sheilla lantas tergelak mendengar ucapan Jefri. “Kamu, tuh … lawak banget. Ya, jelas lebih Kak Bella ke mana-mana, Jef.”

Jefri mengusap tengkuk. “Tapi, kamu, tuh, manis. Sadar gak, sih,” gumamnya.

“Aku udah ada rencana cari Kak Bella ke apartemennya. Tadi sebelum ke sini, aku mampir ke rumah buat ambil Access Card. Kamu mau gak temenin nanti sepulang dari kampus?”

Jefri mengangguk sebagai jawaban. "Tapi, Sayang. Kalau Access card nya aja gak dibawa kakak kamu, apa mungkin dia ada di sana?"

"Kalaupun gak ada, seenggaknya aku bisa cari petunjuk di sana," tukas Sheilla.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bukan Sekadar Figuran   Apartemen Bella

    Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri. Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat. “Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?” Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di

    Last Updated : 2025-03-23
  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

    Last Updated : 2025-03-24
  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

    Last Updated : 2025-03-25
  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

    Last Updated : 2025-03-26
  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

    Last Updated : 2025-04-02
  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

    Last Updated : 2025-04-08
  • Bukan Sekadar Figuran   Jenar Marah Mendapati Kucing Di Rumahnya

    Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t

    Last Updated : 2025-04-08

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Figuran   Siasat Penayangan Film

    Pagi-pagi sekali Asisten pribadi Narendra sudah datang. Sudah berada di ruang kerja sejak pukul enam. Narendra menekuri layar kemudian mendongak. "Jadi bagaimana?" "Tuan Besar belum bereaksi apa pun, Tuan." "Papa belum bereaksi apa-apa padahal penanyangan film sudah hampir satu pekan?" Narendra menautkan ke sepuluh jemarinya. "Apa dia tidak memperhatikan berita? Apa mungkin seseorang yang memimpin perusahaan, yang bergerak di bidang industri media, sama sekali tidak update? Dia punya portal berita yang tentu ikut andil menayangkan promosi film ini, bukan?" "Sepertinya Tuan Besar memang tidak terlalu peduli. Saya rasa, Tuan harus mengajaknya menonton film itu. Mungkin dengan begitu dia baru akan bereaksi." Narendra mengangguk-angguk, kemudian meminta Asprinya turun untuk sarapan. "Saya harus ajak Papa nonton film nya, kan? Well, dengan bergabung di meja makan," ungkap Narendra ketika asisten pribadinya itu hanya menatap datar seolah sedang mempertanyakan, tumben mau ikut sarapan? B

  • Bukan Sekadar Figuran   Fakta Sheilla

    Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida

  • Bukan Sekadar Figuran   Jenar Marah Mendapati Kucing Di Rumahnya

    Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t

  • Bukan Sekadar Figuran   Keberadaan Bella

    Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg

  • Bukan Sekadar Figuran   Pertemuan Pertama Narendra dengan Sheilla

    "Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun

  • Bukan Sekadar Figuran   Jefri Tertangkap Basah

    "Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam

  • Bukan Sekadar Figuran   Dokter Andrew

    Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja

  • Bukan Sekadar Figuran   Mobil Narendra

    "Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal

  • Bukan Sekadar Figuran   Perkara Kucing, Buku Nikah, dan Kemeja Biru Muda

    "Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status