Beranda / Romansa / Bukan Sekadar Figuran / Malam Pertama Pernikahan

Share

Malam Pertama Pernikahan

Penulis: Yani Asmaharini
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-15 14:24:19

“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?”

“Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut.

“Kenapa?”

“Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla.

“Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis.

Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya.

“Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.”

Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu! Atau saya bisa masuk kapan saja,” imbuh Narendra, sengaja dia menggoda Sheilla yang masih kebingungan.

Selesai mandi, Sheilla keluar kamar. Meninggalkan Narendra yang tengah sibuk dengan ponselnya. Perut Sheilla mulai terasa lapar, dia berjalan menuju meja makan. Sudah ada Om dan tantenya di sana.

“Sendirian, Shei. Naren mana?” tanya Alma pada keponakannya yang baru keluar kamar.

“Ada, tuh. Di kamar.”

“Gak kamu ajak ke sini, makan bareng.” Wira menambahkan.

“Biarin aja, nanti juga nyusul, Om.” Sheilla sudah menarik kursi, duduk di tempat biasa dia saat makan bersama. Posisi Sheilla menyiku dari keberadaan Wira.

“Shei, jangan gitu, ah. Naren, kan, gak bisa ….” Alma tidak melanjutkan kalimatnya.

Sheilla yang hendak mengambil nasi, terhenti. Tangannya menggantung dengan sendok nasi masih digenggamannya. “Iya, lho, Tan. Kak Naren itu, kan, gak bisa jalan, ya. Tapi, kok, dia bisa gitu mandi sendiri sampe selesai.”

“Ekhem … terus kamu berharapnya gimana, Sheilla? Kamu bantuin dia begitu?” Wira tertawa.

“Ih, apa, sih, Om. Ya, gak juga,” cebik Sheilla. “Gini, lho, maksudnya. Secara logika, apa bisa orang lumpuh melakukan hal yang sulit tanpa bantuan sama sekali. Masuk dan keluar sendiri dari bathtub, terus pakai, pakaian lengkap sendiri. Gak masuk akal banget menurut, Shei.”

Alma jadi ikut termangu. Menoleh ke arah Wira yang juga tengah melempar pandangan padanya. “Papi curiga juga?”

Wira tak segera menjawab. Pria itu membenahi kacamatanya. “Jangan berpikir yang bukan-bukan! Mungkin saja Naren gak mau merepotkan kamu, Shei. Lagi pula, dia sudah duduk di kursi roda sejak dua pekan terakhir. Jadi mungkin sudah terbiasa.”

‘Om Wira benar. Bukan soal sudah terbiasanya. Tapi, Narendra tidak di sini, orang-orang di rumahnya tentu yang lebih tau tentang dia.’ Pikir Sheilla. Gadis itu masih belum sepenuhnya yakin kalau Narendra betul-betul tidak bisa berjalan. Namun, menjelaskan kecurigaannya pada yang lain juga percuma. Sheilla pun hanya mengangguk saja kemudian melanjutkan niatnya. Menyendok nasi dan lauk yang terhidang di meja makan.

Baru hendak mengambil satu suapan, lagi-lagi aksinya harus terhenti saat mendengar suara Narendra. Sheilla menengok ke belakang.

“Bagus, ya, istri, gak ngajak-ngajak suaminya makan,” ucap Narendra datar.

“Ih, apa, sih, Kak? Kak Naren, tuh, tadi lagi sibuk sama hape. Aku pikir gak laper. Jadi, ya … aku tinggalin.” Malas menanggapi lebih panjang lagi, Sheilla melakukan suapan pertama dan mengabaikan titah dari Wira yang memintanya membantu Narendra.

“Gak apa-apa, Om.” Narendra mengulas senyum. “Kamu lanjut makan aja, ya, Shei. Saya bisa sendiri.”

“Lagian, siapa juga yang mau bantuin,” gumam Sheilla.

“Yakin? Mau Om bantu?” tawar Wira. Namun, Narendra sudah menarik kursi—meja makan—dan berusaha bangkit dari posisinya. Narendra hampir berhasil, tetapi dia terjatuh tepat di samping Sheilla.

Bukannya menolong, Sheilla malah terbengong. Semetara Alma yang menyaksikan kejadian itu meringis tanpa pergerakan.

“Tuh, kan. Hati-hati.” Wira membantu Narendra untuk bisa duduk. “Kamu, sih, Shei. Sudah om bilang, bantu Naren.”

“Berat lah, Om. Gak lihat badannya segede apa? Om juga kewalahan, kan?”

Narendra mengisyaratkan tangannya agar Wira tidak terus menyalahkan Sheilla.

“Om minta maaf, ya, Ren.” Narendra mengangguk. “Bukan hanya soal ini, tapi juga soal Bella. Anak itu gak tau diuntung. Bisa-bisanya pergi dari rumah di hari pernikahan. Kita lihat berapa lama dia bisa bertahan hidup di luar sana. Om sudah bekukan semua rekening dan kartu kreditnya.”

“Apa, Pi? Papi, kok, gak bilang-bilang mami dulu. Bella kita mau hidup pakai apa kalau semuanya dibekukan,” protes Alma.

“Salah dia sendiri berani mempermalukan keluarga.”

***

Narendra tersenyum saat mengingat apa yang tadi terjadi di meja makan. Walaupun tak acuh, Sheilla mengambilkan makanan untuknya tanpa diminta. Bukan hanya itu yang membuat Narendra senang, tapi juga ucapan Wira tentang membekukan semua akses keuangan Bella.

Narendra sudah kembali ke kamar. Dia menoleh ketika suara derit pintu terbuka dari luar. Sheilla datang setelah cukup lama meninggalkannya sendirian.

“Habis dari mana?”

“Nonton tv. Kenapa? Kak Naren belum tidur?” Sheilla menyimpan ponselnya di atas meja rias.

“Heum … bantu saya, bisa?” Mendengar permintaan Narendra, Sheilla menoleh sambil mengernyit dahi. “Saya tau kamu heran. Soal tadi di kamar mandi saya gak minta bantuan, itu karena saya gak mau buat kamu malu di hari pertama. Jadi, bisa bantu saya sekarang?”

Sheilla menghela napas pendek, lantas melangkah mendekati Narendra. Pria berstatus suaminya itu menyunggingkan senyum. Sheilla membantu Narendra berpindah dari kursi roda ke atas tempat tidur.

“Shei, makasih, ya?”

“Iya, Kak.” Sheilla menjawab datar. Dia membenahkan kaki Narendra untuk menyelimutinya. Namun, tatapannya tertuju pada area kaki suaminya itu yang sedikit lebam. “Kaki Kak Naren ….”

“Gak apa-apa, Shei. Memar dikit.”

“Dikit juga harus diobati, Kak.” Sheilla menarik tuas kunci pada nakas di samping Narendra. Dia ingat menyimpan kotak obat di sana. “Maaf, ya, Kak.” Dengan telaten Sheilla mengoleskan salep pada kaki Narendra.

“Kenapa harus minta maaf?” Narendra kembali menyunggingkan seulas senyum yang dibalas kaku oleh Sheilla. Gadis itu lantas menunduk.

“Karena … gak bantu Kak Naren tadi.”

Dapat Narendra lihat betapa tulus Sheilla merawatnya, terlepas sikap dingin yang ditunjukkan gadis itu sejak resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Saya bisa mengerti.”

Selesai mengobati lebam pada kaki Narendra, Sheilla mengambil bantal. Dia hendak tidur di bawah dengan menggelar matras. Namun, aksinya itu diprotes Narendra. “Saya gak akan ngapa-ngapain kamu. Kalau kamu tetep ngotot tidur di bawah biar saya aja,” ancamnya seraya menyibak selimut.

“I-iya. Bukan masalah takut diapa-apain, Kak. Tapi, aneh aja kalo tiba-tiba ada orang lain yang tidur di ranjang, yang biasanya ditempati sendiri, kan?”

“Orang lain?” Narendra menunjukkan mimik kecewa. “Saya suami kamu, lho.”

“Apa yang mau diharapkan. Aku ini cuma figuran, kan, Kak? Karena yang seharusnya ada di samping Kak Naren saat ini bukan aku. Tapi heran, harusnya Kak Naren yang merasa keadaan ini salah. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, sepertinya Kakak sama sekali tidak terbebani dengan semua yang terjadi saat ini.” Narendra hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat panjang Sheilla. Setelahnya, dia lebih dulu tertidur, meninggalkan Sheilla yang masih merasa tidak nyaman.

***

"Mama kamu kenapa itu, Din?" Hasan menggerakkan dahi bertanya sekaligus memberi kode pada putri sulungnya. Dina menggendikkan bahu. Kakak kandung Narendra itu lantas menghampiri sang mama.

Dina merangkul Jenar. "Mama ... baik-baik aja, kan?" tanyanya. "Dina tau, Mama masih syok sama kejadian tadi. Tapi ...."

"Din, antar mama ke kamar, ya?" pinta Jenar. Ibu dua anak itu tersenyum simpul seraya mengusap punggung tangan putri sulungnya.

"Mama gak mau makan dulu?" Jenar menggelengkan kepala. "Nanti mama sakit. Makan, ya? Sedikit. Dina suapin Mama."

"Mama gak selera. Udah, mama mau ke kamar aja."

Jenar yang tetap tidak mau makan, segera berdiri. Wanita paruh abad itu pergi menuju kamarnya ditemani Dina.

"Mama, tuh, gak habis pikir sama adikmu, Din. Bisa-bisanya dia menikahi adiknya Bella tanpa pertimbangan lebih dulu. Gak pake nanya, apa mama setuju atau nggak," ucap Jenar begitu sampai di kamarnya.

Dina menghela napas. Untuk sejenak dia pun berpikir hal yang sama dengan sang mama. Tapi, melihat Sheilla, Dina menilai gadis itu gadis yang cukup baik. "Mungkin, Naren juga sudah memikirkan ini. Dia mengenal Sheilla sebagai saudara Bella. Dia tau bagaimana gadis itu."

"Ya, sekalipun dia lebih tau. Apa salahnya kalau mendiskusikan ini. Dia bisa menikah di lain waktu nanti." Jenar masih tidak terima. "Narendra pikir mamanya ini apa, coba? Mama, tuh, seperti tidak dianggap penting sama anak itu. Asal kamu tau, Dina, Naren sama Bella aja, kalau bukan karena gadis itu putri Wira sahabat papa kamu, mama mana setuju. Apalagi ini ...."

"Iya, sih, Ma. Bella anaknya kayak gitu. Kalau ke sini juga ... ah, udah, lah. Jangan bahas mereka terus. Mama istirahat aja, jangan terlalu dipikirkan masalah Naren. Ini pilihan hidupnya. Dina gak mau kalau gara-gara ini, mama jadi sakit." Dina menggenggam tangan Jenar seraya tersenyum memohon. Setelahnya, Dina menyelimuti kaki sang mama dan meninggalkan wanita yang melahirkannya itu di kamar agar bisa beristirahat sambil menenangkan pikiran.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bukan Sekadar Figuran   Rumah Suami

    Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Ka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-15
  • Bukan Sekadar Figuran   Parfum Narendra

    Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Bukan Sekadar Figuran   Langkah Pertama Sheilla mencari Bella

    Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Bukan Sekadar Figuran   Pengganti

    “Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?”Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang.“Om ….” “Kamu g

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14
  • Bukan Sekadar Figuran   Hari Pernikahan

    Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca. Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya. Semua orang sudah menunggu. Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal? “Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14

Bab terbaru

  • Bukan Sekadar Figuran   Langkah Pertama Sheilla mencari Bella

    Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan

  • Bukan Sekadar Figuran   Parfum Narendra

    Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga

  • Bukan Sekadar Figuran   Rumah Suami

    Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Ka

  • Bukan Sekadar Figuran   Malam Pertama Pernikahan

    “Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?” “Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut.“Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla.“Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis.Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.”Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu!

  • Bukan Sekadar Figuran   Hari Pernikahan

    Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca. Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya. Semua orang sudah menunggu. Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal? “Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandan

  • Bukan Sekadar Figuran   Pengganti

    “Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?”Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang.“Om ….” “Kamu g

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status