“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?”
“Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut. “Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla. “Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis. Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.” Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu! Atau saya bisa masuk kapan saja,” imbuh Narendra, sengaja dia menggoda Sheilla yang masih kebingungan. Selesai mandi, Sheilla keluar kamar. Meninggalkan Narendra yang tengah sibuk dengan ponselnya. Perut Sheilla mulai terasa lapar, dia berjalan menuju meja makan. Sudah ada Om dan tantenya di sana. “Sendirian, Shei. Naren mana?” tanya Alma pada keponakannya yang baru keluar kamar. “Ada, tuh. Di kamar.” “Gak kamu ajak ke sini, makan bareng.” Wira menambahkan. “Biarin aja, nanti juga nyusul, Om.” Sheilla sudah menarik kursi, duduk di tempat biasa dia saat makan bersama. Posisi Sheilla menyiku dari keberadaan Wira. “Shei, jangan gitu, ah. Naren, kan, gak bisa ….” Alma tidak melanjutkan kalimatnya. Sheilla yang hendak mengambil nasi, terhenti. Tangannya menggantung dengan sendok nasi masih digenggamannya. “Iya, lho, Tan. Kak Naren itu, kan, gak bisa jalan, ya. Tapi, kok, dia bisa gitu mandi sendiri sampe selesai.” “Ekhem … terus kamu berharapnya gimana, Sheilla? Kamu bantuin dia begitu?” Wira tertawa. “Ih, apa, sih, Om. Ya, gak juga,” cebik Sheilla. “Gini, lho, maksudnya. Secara logika, apa bisa orang lumpuh melakukan hal yang sulit tanpa bantuan sama sekali. Masuk dan keluar sendiri dari bathtub, terus pakai, pakaian lengkap sendiri. Gak masuk akal banget menurut, Shei.” Alma jadi ikut termangu. Menoleh ke arah Wira yang juga tengah melempar pandangan padanya. “Papi curiga juga?” Wira tak segera menjawab. Pria itu membenahi kacamatanya. “Jangan berpikir yang bukan-bukan! Mungkin saja Naren gak mau merepotkan kamu, Shei. Lagi pula, dia sudah duduk di kursi roda sejak dua pekan terakhir. Jadi mungkin sudah terbiasa.” ‘Om Wira benar. Bukan soal sudah terbiasanya. Tapi, Narendra tidak di sini, orang-orang di rumahnya tentu yang lebih tau tentang dia.’ Pikir Sheilla. Gadis itu masih belum sepenuhnya yakin kalau Narendra betul-betul tidak bisa berjalan. Namun, menjelaskan kecurigaannya pada yang lain juga percuma. Sheilla pun hanya mengangguk saja kemudian melanjutkan niatnya. Menyendok nasi dan lauk yang terhidang di meja makan. Baru hendak mengambil satu suapan, lagi-lagi aksinya harus terhenti saat mendengar suara Narendra. Sheilla menengok ke belakang. “Bagus, ya, istri, gak ngajak-ngajak suaminya makan,” ucap Narendra datar. “Ih, apa, sih, Kak? Kak Naren, tuh, tadi lagi sibuk sama hape. Aku pikir gak laper. Jadi, ya … aku tinggalin.” Malas menanggapi lebih panjang lagi, Sheilla melakukan suapan pertama dan mengabaikan titah dari Wira yang memintanya membantu Narendra. “Gak apa-apa, Om.” Narendra mengulas senyum. “Kamu lanjut makan aja, ya, Shei. Saya bisa sendiri.” “Lagian, siapa juga yang mau bantuin,” gumam Sheilla. “Yakin? Mau Om bantu?” tawar Wira. Namun, Narendra sudah menarik kursi—meja makan—dan berusaha bangkit dari posisinya. Narendra hampir berhasil, tetapi dia terjatuh tepat di samping Sheilla. Bukannya menolong, Sheilla malah terbengong. Semetara Alma yang menyaksikan kejadian itu meringis tanpa pergerakan. “Tuh, kan. Hati-hati.” Wira membantu Narendra untuk bisa duduk. “Kamu, sih, Shei. Sudah om bilang, bantu Naren.” “Berat lah, Om. Gak lihat badannya segede apa? Om juga kewalahan, kan?” Narendra mengisyaratkan tangannya agar Wira tidak terus menyalahkan Sheilla. “Om minta maaf, ya, Ren.” Narendra mengangguk. “Bukan hanya soal ini, tapi juga soal Bella. Anak itu gak tau diuntung. Bisa-bisanya pergi dari rumah di hari pernikahan. Kita lihat berapa lama dia bisa bertahan hidup di luar sana. Om sudah bekukan semua rekening dan kartu kreditnya.” “Apa, Pi? Papi, kok, gak bilang-bilang mami dulu. Bella kita mau hidup pakai apa kalau semuanya dibekukan,” protes Alma. “Salah dia sendiri berani mempermalukan keluarga.” *** Narendra tersenyum saat mengingat apa yang tadi terjadi di meja makan. Walaupun tak acuh, Sheilla mengambilkan makanan untuknya tanpa diminta. Bukan hanya itu yang membuat Narendra senang, tapi juga ucapan Wira tentang membekukan semua akses keuangan Bella. Narendra sudah kembali ke kamar. Dia menoleh ketika suara derit pintu terbuka dari luar. Sheilla datang setelah cukup lama meninggalkannya sendirian. “Habis dari mana?” “Nonton tv. Kenapa? Kak Naren belum tidur?” Sheilla menyimpan ponselnya di atas meja rias. “Heum … bantu saya, bisa?” Mendengar permintaan Narendra, Sheilla menoleh sambil mengernyit dahi. “Saya tau kamu heran. Soal tadi di kamar mandi saya gak minta bantuan, itu karena saya gak mau buat kamu malu di hari pertama. Jadi, bisa bantu saya sekarang?” Sheilla menghela napas pendek, lantas melangkah mendekati Narendra. Pria berstatus suaminya itu menyunggingkan senyum. Sheilla membantu Narendra berpindah dari kursi roda ke atas tempat tidur. “Shei, makasih, ya?” “Iya, Kak.” Sheilla menjawab datar. Dia membenahkan kaki Narendra untuk menyelimutinya. Namun, tatapannya tertuju pada area kaki suaminya itu yang sedikit lebam. “Kaki Kak Naren ….” “Gak apa-apa, Shei. Memar dikit.” “Dikit juga harus diobati, Kak.” Sheilla menarik tuas kunci pada nakas di samping Narendra. Dia ingat menyimpan kotak obat di sana. “Maaf, ya, Kak.” Dengan telaten Sheilla mengoleskan salep pada kaki Narendra. “Kenapa harus minta maaf?” Narendra kembali menyunggingkan seulas senyum yang dibalas kaku oleh Sheilla. Gadis itu lantas menunduk. “Karena … gak bantu Kak Naren tadi.” Dapat Narendra lihat betapa tulus Sheilla merawatnya, terlepas sikap dingin yang ditunjukkan gadis itu sejak resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Saya bisa mengerti.” Selesai mengobati lebam pada kaki Narendra, Sheilla mengambil bantal. Dia hendak tidur di bawah dengan menggelar matras. Namun, aksinya itu diprotes Narendra. “Saya gak akan ngapa-ngapain kamu. Kalau kamu tetep ngotot tidur di bawah biar saya aja,” ancamnya seraya menyibak selimut. “I-iya. Bukan masalah takut diapa-apain, Kak. Tapi, aneh aja kalo tiba-tiba ada orang lain yang tidur di ranjang, yang biasanya ditempati sendiri, kan?” “Orang lain?” Narendra menunjukkan mimik kecewa. “Saya suami kamu, lho.” “Apa yang mau diharapkan. Aku ini cuma figuran, kan, Kak? Karena yang seharusnya ada di samping Kak Naren saat ini bukan aku. Tapi heran, harusnya Kak Naren yang merasa keadaan ini salah. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, sepertinya Kakak sama sekali tidak terbebani dengan semua yang terjadi saat ini.” Narendra hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat panjang Sheilla. Setelahnya, dia lebih dulu tertidur, meninggalkan Sheilla yang masih merasa tidak nyaman. *** "Mama kamu kenapa itu, Din?" Hasan menggerakkan dahi bertanya sekaligus memberi kode pada putri sulungnya. Dina menggendikkan bahu. Kakak kandung Narendra itu lantas menghampiri sang mama. Dina merangkul Jenar. "Mama ... baik-baik aja, kan?" tanyanya. "Dina tau, Mama masih syok sama kejadian tadi. Tapi ...." "Din, antar mama ke kamar, ya?" pinta Jenar. Ibu dua anak itu tersenyum simpul seraya mengusap punggung tangan putri sulungnya. "Mama gak mau makan dulu?" Jenar menggelengkan kepala. "Nanti mama sakit. Makan, ya? Sedikit. Dina suapin Mama." "Mama gak selera. Udah, mama mau ke kamar aja." Jenar yang tetap tidak mau makan, segera berdiri. Wanita paruh abad itu pergi menuju kamarnya ditemani Dina. "Mama, tuh, gak habis pikir sama adikmu, Din. Bisa-bisanya dia menikahi adiknya Bella tanpa pertimbangan lebih dulu. Gak pake nanya, apa mama setuju atau nggak," ucap Jenar begitu sampai di kamarnya. Dina menghela napas. Untuk sejenak dia pun berpikir hal yang sama dengan sang mama. Tapi, melihat Sheilla, Dina menilai gadis itu gadis yang cukup baik. "Mungkin, Naren juga sudah memikirkan ini. Dia mengenal Sheilla sebagai saudara Bella. Dia tau bagaimana gadis itu." "Ya, sekalipun dia lebih tau. Apa salahnya kalau mendiskusikan ini. Dia bisa menikah di lain waktu nanti." Jenar masih tidak terima. "Narendra pikir mamanya ini apa, coba? Mama, tuh, seperti tidak dianggap penting sama anak itu. Asal kamu tau, Dina, Naren sama Bella aja, kalau bukan karena gadis itu putri Wira sahabat papa kamu, mama mana setuju. Apalagi ini ...." "Iya, sih, Ma. Bella anaknya kayak gitu. Kalau ke sini juga ... ah, udah, lah. Jangan bahas mereka terus. Mama istirahat aja, jangan terlalu dipikirkan masalah Naren. Ini pilihan hidupnya. Dina gak mau kalau gara-gara ini, mama jadi sakit." Dina menggenggam tangan Jenar seraya tersenyum memohon. Setelahnya, Dina menyelimuti kaki sang mama dan meninggalkan wanita yang melahirkannya itu di kamar agar bisa beristirahat sambil menenangkan pikiran.Bagi seorang gadis yang baru saja menikah, meninggalkan rumah kedua orang tua adalah momen yang seharusnya paling menyedihkan. Namun, tidak berlaku bagi Sheilla. Gadis itu sudah bertekat untuk membuktikan kecurigaannya pada Narendra. Terlebih, sampai detik ini, masih belum juga ada kabar dari Bella. Mungkin dengan datang ke kediaman Narendra, dia bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Sheilla duduk di kursi penumpang tepat di samping Narendra. Sopir pula telah siap di bagian kemudi. Sheilla kembali menatap rumah yang sekian tahun dia tempati. Wira serta Alma melambaikan tangan padanya. Gadis itu menghempas punggung pada sandaran jok begitu mobil sudah melaju. "Tutup kacanya, Shei." Suara Narendra memecah sunyi. Tanpa menjawab, Sheilla mengulurkan tangannya memijit tombol yang ada di pintu, tepat di sisi jendela kendaraan roda empat tersebut. "Kamu masih sedih?" Sheilla menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kamu tenang aja. Rumah om sama tante kamu gak jauh dari rumahku. Ka
Sheilla berada di kamar baru saat ini, dan tentu saja kamar tersebut milik Narendra. Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper. Baju, sengaja Sheilla tidak membawa terlalu banyak. Dia pikir, dengan itu bisa ada alasan untuk bolak-balik ke rumah om-nya nanti."Baju-bajunya kamu simpan di lemari. Itu yang sebelah kanan masih ada ruang kosong." Suara Narendra memecah hening."Baju aku gak banyak, kok, Kak. Simpan di koper aja gak apa-apa."Seketika Narendra melongok ke arah tas di hadapan Sheilla. "Tetap aja harus disimpan, kan? Masa kalau mau ganti, musti buka-buka koper dulu. Lagian, pakaian segitu cukup? Biasanya perempuan ringkih, banyak banget barang yang dibawa padahal pergi cuma sehari dua hari. Ini kamu yang mau tinggal di sini selamanya masa cuma bawa segitu?"Kalimat panjang Narendra membuat Sheilla menoleh sejenak pada laki-laki tersebut. "Siapa juga yang mau selamanya tinggal di sini," gerutu Sheilla."Apa?!""Ish ... bukan apa-apa. Di mana harus aku simpan?" Ga
Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras.Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi."Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari."Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan
Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri. Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat. “Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?” Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di
"Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"
"Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal
Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja
"Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam
Pagi-pagi sekali Asisten pribadi Narendra sudah datang. Sudah berada di ruang kerja sejak pukul enam. Narendra menekuri layar kemudian mendongak. "Jadi bagaimana?" "Tuan Besar belum bereaksi apa pun, Tuan." "Papa belum bereaksi apa-apa padahal penanyangan film sudah hampir satu pekan?" Narendra menautkan ke sepuluh jemarinya. "Apa dia tidak memperhatikan berita? Apa mungkin seseorang yang memimpin perusahaan, yang bergerak di bidang industri media, sama sekali tidak update? Dia punya portal berita yang tentu ikut andil menayangkan promosi film ini, bukan?" "Sepertinya Tuan Besar memang tidak terlalu peduli. Saya rasa, Tuan harus mengajaknya menonton film itu. Mungkin dengan begitu dia baru akan bereaksi." Narendra mengangguk-angguk, kemudian meminta Asprinya turun untuk sarapan. "Saya harus ajak Papa nonton film nya, kan? Well, dengan bergabung di meja makan," ungkap Narendra ketika asisten pribadinya itu hanya menatap datar seolah sedang mempertanyakan, tumben mau ikut sarapan? B
Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida
Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t
Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg
"Jefri si*lan! Jefri as*. Gue benci lo! B*go banget, sih, gue, Tuhan!" Sheilla memukul kepala. "Kamu kenapa begini, Shei?" Narendra mencegah tangan Sheilla yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri."Lepas!""Jangan mukul diri sendiri. Pukul aku kalo mau?"Mata sayu Sheilla menatap Narendra. "Kamu? Kamu siapa? Kamu Narendra, ya." Sheilla tertawa sumbang sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi, si Jef br*ngs*k itu ... dia gak tau gue di sini susah payah kuat-kuatin iman. Ya! Dia pikir gampang hidup satu atap, satu kamar, berbagi udara sama lawan jenis dan parahnya dia Narendra. Na-ren-dra. Gue berusaha masih perjuangkan hubungan, dia enak-enakkan selingkuh. Emang dasar as*, kan, dia? Lo siapa?" Setelah puas ngoceh nggak jelas, Sheilla kembali bertanya 'siapa' pada Narendra, membuat laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.Seulas senyum tertahan di bibir Narendra. Kuat-kuatin iman, Sheilla bilang. Boleh Narendra gede rasa kali ini? "Shei ....""Oh, lo Jefri, ya, ngapain lo ke sini?" Telun
"Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla."Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja. Rugi tau, kalo lo ngikutin emosi."Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak saja. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha untuk positif thinkhing.Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kayak pernah lihat. Tapi, di mana, ya?"Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman."Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan."Gue mau sam
Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah."Andrew.""Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke dalam pelukan.Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau.""Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew."Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?""Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri?""Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku.""Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerja
"Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?"Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra."Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?"Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan.Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbal
"Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung. Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?""Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?""Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu." "Baju-baju kamu?""Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak. Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?""Kucing aku, Mbak.""Owh ... hah? Ku-kucing?" Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan bokong pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"