Ardhan menoleh ke arah Kakek karena mendengar suara sosok tua itu. “Kakek bicara dengan siapa?” batinnya. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kakek hingga netranya menemukan satu sosok di tengah kerumunan, Moritz.“Kenapa Dhan? Kamu lihat apa?” tegur Pak Bobby.“Ah tidak Pak, saya tidak lihat siapa-siapa,” katanya berbohong.“Ayo kita turun sekarang, Dhan?” ajak Pak Bobby. Ardhan berjalan di belakang boss-nya seolah semakin menegaskan jika dirinya memanglah kaki kanan manajer perusahaan tersebut. Hal tersebut semakin membuat para pembenci Ardhan semakin kepanasan.Kakek merasa di atas angin saat melihat Ardhan berdiri di samping Pak Bobby ketika di dalam lift. Begitu pun saat mereka keluar dari bujur besi tersebut, Moritz dan Jonas serta beberapa pegawai lainnya memandang ke arahnya dengan tatapan kesal.“Lihat Dhan, mereka semua memandang ke arahmu. Ada yang kagum, kesal, ada pula yang benci,” kata Kakek. “Hafal satu-satu wajah mereka, Dhan. Mereka berpotensi jadi musuh dalam selimut.”
“Teman hayalmu itu?” lanjut ibunya.“Kakek Romli, bu,” ujar Ardhan sembari tersenyum lebar memamerkan giginya yang putih.“Hussh, belum punya cucu kok dipanggil Kakek,” larang ibunya. “Kalau dia tahu bisa marah lho.”“Makanya jangan sampai dia tahu, Bu.”Ardhan senang karena berhasil mengalihkan perhatian ibunya, tak lagi curiga si Kakek melainkan Pak Romli. Kini Ardhan menikmati cemilan yang dibeli oleh ibunya tadi dengan lahap. Selesai makan Ardhan duduk di ruang keluarga tak lama kemudian ayahnya ikut bergabung dengannya.Sore ini mereka berdua menonton acara berita di televisi, hampir semua menayangkan tentang kasus pembunuhan. “Manusia sekarang jauh lebih jahat ketimbang setan,” cicit ayahnya. “Nyawa seseorang itu tidak ada artinya lagi,” imbuhnya.Ardhan setuju dengan pendapat ayahnya, melihat apa yang dilihatnya memang kasus-kasus tersebut sangat mengerikan, para pembunuhnya benar-benar tidak punya hati nurani lagi. Mata mereka semuanya berwarna merah menyala.Ketika sedang asy
“Tidak apa-apa, mereka elamanya jadi perusuh. Orang yang tak suka dengan kesuksesan orang lain. Kamu mau seperti merek?” tanya Kakek.“Tentu saja tidak Kek, aku berbeda dari mereka. Jangan samakan aku,” cerocos Ardhan, ia tak mau disamakan dengan dua pembencinya itu.“Maka dari itu kamu harus semangat bekerja, lawan kantuknya,” kata Kakek. Ia merasa berslah karena turut andil membuat Ardhan terus mengantuk sepanjang hari ii. Sebagai pertanggung jawabnnya, ia akan membantu pekerjaan Ardhan. Apapun yang akan lelaki itu butuhkan.Ardhan menuruti saran kakek untuk mencuci mukanya agar lebih segar dan tidak mengantuk lagi. Ia keluar dari ruangannya lantas berjalan menuju toilet pria. Lelaki itu membasuk wajahnya berkali-kali, ia baru sadar jika wajahnya sangat tampan.“Tidak ada yang bilang padaku sebelumnya,” batinnya.Ardhan segera kembali ke ruangannya, berkas-berkas yang dibutuhkannya sudah tertawa rapi di atas meja kerjanya. “Kakek yang melakukan ini?” tanya Ardhan tersentuh. “Dalam r
“Hai mbak Kinanthi, kenapa ada di sini?” tanya Ardhan pada sosok cantik yang berdiri di tepi jalan dengan wajah kebingungan.Wanita itu menoleh dan terkejut melihat Ardhan berdiri di dekatnya. “Hai mas, ehmm .. . ini ... mobilku mogok. Aku sudah menghubungi beberapa bengkel tetapi mereka lagi ramai.”Ardhan menganggukkan kepalanya. “Boleh aku periksa?” tawar Ardhan melepaskan helm dan turun dari motornya.Kinanthi menatapnya sejenak tak lama, wanita itu menganggukkan kepala seraya mempersilakan Ardhan memeriksa mobilnya. Ardhan menggulung lengan kemejanya, ia lantas memeriksa ke bagian kap mobil yang terbuka. Dengan wajah serius, Ardhan memeriksa setiap komponen mobil berdasarkan pengalamannya.Ardhan menggeleng dan mendekati Kinanthi yang berdiri di samping pintu mobil. “Kurasa ini akan memakan waktu lama, beberapa komponennya mengalami gangguan.” Kinanthi mendesah lemas mendengar penjelasan Ardhan. “Aku ada kenalan montir mobil mungkin dia berkenan ke sini,” tawar Ardhan mengeluarka
Kakek yang geram mencoba mengejar penguntit itu, ia menjelma menjadi seorang laki-laki berbadan besar supaya bisa menangkap dan memenjarakannya. Si penguntit itu tahu jika Kakek mengejarnya, i masuk dalam kerumunan.Pria tua itu tidak dapat menemukannya, ia kehilangan jejak. Kakek kesal setengah mati karena gagl menangkap orang mencurigakan itu. Ia kembali ke wujud aslinya dan kembali menjaga Ardhan dan Kinanthi.Di tempat lain, Ardhan tengah terpesona dengan garis wajah Kinanthi yang tampak begitu sempurna di bawah kerlap-kerlip lampu dan cahaya bintang yang menghiasi langit ibukota malam itu.Tak terasa kora-kora sudah berhenti bergerak, Kinanthi menghembuskan napas lega. Ia lantas bangkit setelah sabuk pengamannya terbuka. Setelah menikmati kora-kora, Kinanthi membawa Ardhan menikmati permainan yang lainnya. Wanita itu terus bergerak semangat seakan tak ada kata lelah.“Mas, dulu ayah dan ibu sering membawaku ke sini lho,” ujar Kinanthi berhenti di tengah lapangan yang dikelilingi
“Kerja begitu saja tidak becus!! Apa susahnya menangkap si Ardhan lemah itu!!” omel Prama sembari meninggalkan tempatnya memantau Kinanthi dan Ardhan. Sebuah rencana tersusun rapi dibenaknya, kali ini rencananya pasti akan berhasil.Di tempat lain, orang yang menjadi sasaran Prama sedang makan makanan yang mereka beli, keduanya duduk di area belakang yang sepi namun penuh pencahayaan. Tercipta suasana romantis, apa yang tengah mereka nikmati ini tak pernah keduanya dapatkan dari pasangan mereka sebelumnya.Kinanthi tidak merasakan hal seperti itu karena Prama tidak suka pergi ke tempat ramai. Sedangkan Ardhan tidak pernah punya pengalaman seperti itu karena dia menjalani hubungan jarak jauh dengan Karina.“Mas Ardhan senang malam ini?” tanya Kinanthi.“Senang tetapi capek. Kamu memangnya tidak capek?”“Sedikit, banyak senangnya. Aku bisa mengingat kenangan masa kecilku, sekali lagi terima kasih ya Mas.”“Sama – sama,” ujar Ardhan.Rasa capek dan kesal Kakek yang baru kembali setelah m
Balok itu hampir mengenai kepala Kinanthi, untung saja ada yang menghalanginya. Anak buah terkejut setelah melihat siapa yang menangkis serangan mereka. Lelaki itu tak lain dan tidak bukan adalah Prama Danureja.“Awas kalian!!” ucapnya pelan.“Mas Prama.”“Pak Prama,” ucap keduanya berbarengan. Baik Kinanthi atau Ardhan tak menyangka jika lelaki itu muncul dan menolong mereka.“Kalian baik-baik saja,” tanya Prama sembari membuang balok itu. Kinanthi dan Ardhan mengatakan jika mereka berdua baik-baik saja. Ia sengaja bertanya begitu untuk memberi waktu anak buahnya untuk melarikan diri.“Eh jangan kabur kalian!” teriak Ardhan ketika melihat orang yang membuatnya babak belur lari begitu saja.“Jangan dikejar Pak Ardhan,” larang Prama.“Kenapa Pak?” tanya Ardhan.“I –iya Mas, jangan dikejar,” kata Kinanthi ikut melarang Ardhan. “Lebih baik kita pulang dan obati lukamu.”Meski ia masih kesal karena tidak bisa membalaskan perbuatan mereka namun Ardhan bersedia mengikuti apa yang Kinanthi k
Ardhan menengok ke arah sumber suara. “Mereka siapa ya?” tanya Ardhan dalam hati, dari ekor matanya Ardhan melihat dua pengendara motor trail lainnya mengikutinya.Jarak Ardhan dengan mereka semakin dekat, hal itu membuat Ardhan bingung dan semakin panik. Namun, pria itu mencoba untuk tetap fokus pada jalanan di depannya. Aksi kejar-kejaran tak terhindar lagi, dua motor di belakangnya semakin berani mendesak motor Ardhan.Ardhan memikirkan cara terlepas dari kejaran dua pria asing itu, hingga netranya menangkap pemandangan traffic light yang berada beberapa puluh meter di depannya. Ardhan menyiapkan dirinya dan juga motor trail kesayangannya.Ardhan merapalkan doa agar lampu tetap berwarna hijau hingga dirinya tiba di sana. Dalam hitungan detik, Ardhan memacu motornya lebih cepat dari sebelumnya. Bibirnya merapalkan doa-doa singkat yang ia ingat. Satu… dua… tiga…Motor Ardhan berhasil melewati traffic light tepat waktu, Ardhan menoleh ke belakang ia melihat dua motor yang mengejarnya