“Kenapa kamu tidak suka ya?” tanya sang Ayah. Ardhan tak menjawab ia masih sibuk mengamati motor yang ada dihadapannya itu. “Motor yang kamu pilih kemarin stoknya sedang kosong. Kalau kamu tidak suka bisa –“
“Suka kok Yah, yang ini justru lebih bagus daripada yang aku pilih kemarin,” ucapnya. Ardhan tak menyangka ayahnya membelikannya motor yang mirip dengan motor milik Prama. Sekilas motor ber-cc besar itu mirip namun dari segi harga, motor Prama lebih mahal.
“Jadi kamu suka motornya?”
“Suka Yah, terima kasih,” kata Ardhan sembari memeluk ayah dan juga ibunya. Ia tahu pasti mereka membeli motor tersebut dari uang tabungan keduanya. Sang Ayah mengatakan jika semua surat-suratnya sudah ditaruh di meja kamarnya. “Aku coba test dulu ya.”
Dengan dibantu sang Ayah, Ardhan mengeluarkan motor gede itu. Suara motor barunya sungguh
Ardhan tentu saja terkejut mendengar kalimat umpatan meluncur dari mulut lelaki itu. “Apa maksud Pak Prama mengatakan saya begitu?” ujarnya. Namun bukannya menjawab Prama justru tak menggubris perkataan Ardhan.Lelaki itu malah pergi setelah mendapat telepon dari seseorang. Ardhan yang masih penasaran mengejar pria itu hingga ke teras gedung tiga lantai tersebut. Ia menunggu Prama hingga selesai bicara dengan orang yang menelponnya.“Pak, saya masih ingin tahu kenapa Bapak –“Ucapannya berhenti karena ada seseorang yang datang dan langsung menyapa Prama. “Pak, maaf saya terlambat Pak tadi mobilnya bannya kempes,” ujar lelaki itu yang disinyalir merupakan anak buah Prama. “Sendirian Pak?”“Iya Pak tim kita belum ada yang datang,” jawabnya. Mereka pun terlibat obrolan mengenai internal perusahaan tersebut, Ardhan tahu diri sebagai pihak luar ia tak boleh mendengarkan pembicaraan mereka. Alhasil ia tak tahu jika pegawai tersebut menanyakan keberadaannya. “Ada tetapi sekarang tidak tahu k
Ia terkejut bukan main saat menyadari hal tersebut. “Tidak mungkin,” batinnya. Karena tidak percaya, Ardhan kembali mencobanya. Lelaki itu berdiri di depan Prama, ia ingin mengatakan sesuatu padanya.Tetapi Prama lebih dahulu bertanya padanya. “Ada apa Pak Ardhan? Ada yang salah dengan ucapanku?”“Tidak, Bapak bebas mengatakan apapun tentang saya. Tetapi saya tidak pernah berniat untuk menandingin anda, Pak. Jika permasalahannya dikarenakan motor kita sama, menurut saya itu terlalu kekanakan.”Prama tertawa mendengar perkataan Ardhan barusan dan tersebut membuat dirinya bertambah kesal. Pria itu terlihat semakin meremehkan dirinya. “Begini ya Pak Ardhan, kekanakan atau tidak itu adalah keluhan saya terhadap anda. Terima saja.”“Saya terima Pak meskipun itu tidak masuk akal, tidak pantas dikeluhkan untuk laki-laki seumuran kita.” 
“Sewa? Saya tidak menyewa motor Pak,” kata Ardhan tak terima jika disebut demikian.“Saya bercanda Pak,” ucap Prama lagi. “Jangan dibawa serius begitu.”Ardhan ingin sekali marah pada pria tersebut sayangnya tidak bisa ia lakukan, mau tak mau Ardhan harus menahannya. Prama yang ketus berubah dengan cepat menjadi pria yang baik. Karena kantor mereka dekat dengan salah satu coffe shop terbesar dan terkenal maka ia menawari Ardhan minum kopi.“Tidak usah Pak, terima kasih,” tolak Ardhan. Bukannya ia tak suka kopi, Ardhan hanya tak mau merima kopi dari pria yang berulang kali membuatnya sakit hati. Usai menolak kopi dirinya segera masuk ke dalam ruang kerjanya.Rupanya Prama mengekor di belakang, setibanya di ruangan tersebut Ardhan langsung bersih-bersih mejanya.Hal yang sama juga dilakukan oleh lelaki itu. Ia meniru apapun yang Ardhan lakukan. Lama kelamaan ruangan kerja tersebut dengan para pegawai lainnya.Jam kerja sudah tiba mereka semua mengerjakan tugasnya masing-masing. Ardhan ta
“Bagaimana bisa kacamata seperti bisa dipakai untuk melihat setan?” ucap Ardhan. “Bapak ini ada-ada saja.” “Liat kacamatanya saja masih dipakai anaknya,” imbuh sang Ibu. “Lagipula mana bisa jual kacamata bisa beli sepeda motor.”Karena malu atas perbuatannya tanpa berpamitan lelaki itu pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian ayahnya datang bersama dengan motor yang diimpikan oleh anak semata wayangnya.“Ayah dari mana?”“Aku harus mencoba motormu sebelum kamu memakainya. Barangkali ada yang salah ternyata semuanya aman,” ungkapnya seraya turun dari motor. Pria berkulit coklat itu menyuruh anaknya untuk mecoba motornya.Tentu saja Ardhan langsung mengiyakannya tanpa basa-basi ia menaiki motor tersebut kemudian berkeliling kampung. Ia meneruskan rute berkelilingnya hingga kampung sebelah lalu pulang melalui jalur alternatif depan rumah Kinanthi.Dari jauh dirinya sudah memelankan motornya, barangkali ia kembali melihat Prama dan Kinanthi. Sesuai harapannya, ia melihat Kinanthi masuk ke d
“Apa kemungkinan yang pertama, Yah?” desak Ardhan, ia tak sabaran mendengar ucapan ayahnya selanjutnya.“Dijaga dan berkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atau,” jawab pria itu. Ayahnya lagi-lagi menggantung kalimatnya.“Atau kamu dijaga oleh makhluk pendamping kamu,” lanjutnya.“Makhluk halus lagi, mana ada hal seperti itu dijaman modern begini,”Ardhan kesal, ayahnya ikutan Pak Romli mengaitkan semuanya dengan keberadaan makhluk tak kasat mata. “Tetapi apapun itu aku senang karena kau baik-baik saja. Mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati, ada orang yang berniat mencelakaimu.”“Dunia kerja memang begitu, Yah.”“Maka dari itu, kamu harus ekstra waspada. Berbuat baiklah pada semua orang sekalipun orang itu membencimu,” lanjut ayahnya.Ardhan menjawab dengan anggukan kepala. Semua yang perlu disampaikan kepada anaknya, sudah ia lakukan. Ayah Ardhan lanta keluar dari ruang tidur, membiarkan anaknya untuk beristirahat. Namun lelaki muda itu justru tidak bisa tidur.Ia memikirkan ucapan
“Endingnya?”“Iya, akhir mimpi itu. Kelanjutannya bagaimana Pak Ardhan?”“Tidak ada kelanjutannya, Pak. Karena takut saya jadi terbangun,” ungkap Ardhan.“Yah sayang sekali ya kita berdua tidak tahu bagaimana ending dari mimpi kita itu,” timpal Prama. “Tetapi bagaimana bisa kita mimpi yang sama ya.”Ardhan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan rekan bisnisnya itu. Ia juga tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena mereka berdua sering bertemu akhir-akhir ini. Keduanya menyudahi pembahasan mengenai mimpi dan beralih ke rutinitas yang harus dijalani.Setibanya di lantai tempat mereka bekerja, Ardhan segera fokus bekerja. Pak Bobby turut membantu mengalihkan pikiran Ardhan tentang mimpi karena lelaki itu terus membuat Ardhan sibuk. Ia meminta laporan ini dan itu, Ardhan sampai kewalahan dalam mengerjakannya.Namun hasil yang didapatkan dari kerepotannya setimpal, pujian dari atsannya serta janji pencairan bonus sudah membuat lelahnya hilang. Ardhan akan menyimpan bonusnya
“Pak Ardhan ... tunggu sebentar Pak,” kata anak buah Prama.“Ada apa ya Pak,” tanya Ardhan tanpa mematikan mesin motornya.“Pak Ardhan diharap menemui Pak Prama di lobby,” jawab lelaki itu. “Sekarang.”“Maaf Pak, aku harus pulang sekarang. Ada urusan penting yang harus aku kerjakan,” tolak Ardhan. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada Pak Prama,” lanjutnya. “Jika ada sesuatu yang penting toong beritahu melalui telepon atau email. Aku permisi dulu Pak.”Tanpa menunggu respon pria itu, Ardhan memacu kendaraannya lagi dengan cepat. Semua moment itu dilihat dengan jelas oleh Prama dari balkon lantai tiga. “Dia pasti takut mimpinya jadi kenyataan,” gumam Prama. “Aku juga takut pada akhir cerita mimpi itu.”Demi menghindari Prama, Ardhan menempuh rute lain untuk pulang yaitu lewat jalur alternatif. Meskipun lebih jauh dan sepi namun saat ini adalah pilihan yang terbaik untuknya. Ia mengendara dengan tidak tenang sesekali lelaki itu melihat spion kanan dan kiri memastikan jika Prama tak m
Ardhan mengedarkan pandangannya di sekitarnya. Hanya ada dirinya di tengah keramaian, meskipun tidak menemukan sosok Kakek tersebut Ardhan yakin jika sosok yang berbicara padanya adalah si Kakek.Ia sedikit menyesal kenapa tidak sempat menatap lawan bicaranya, ia fokus melihat aliran sungai. Ardhan merasa terhipnotis dengan bias cahaya yang tampak berkilauan. Sekarang ingin menyesali pun tak ada gunanya.Hari semakin sore, ia harus segera pulang. Ibunya sudah menunggunya di rumah. Ia memakai helm dan menghidupkan motornya dengan cepat. Tangannya memutar gas dalam-dalam, motor tingginya melaju kencang menuju rumahnya.Tak perlu waktu lama, ia sampai dirumah. Sang Ibu langsung menyambut anaknya, bibirnya tersenyum ketika melihat anaknya pulang selamat sampai dirumah. “Kenapa lama sekali? Kena macet juga lewat jalan itu?”“Nggak Bu, memang jalannya ‘kan panjang jadi lebih lama,” kata Ardhan bicara secukupnya.Ia masuk ke dalam bersamaan dengan sang Ibu, dirinya masuk kamar untuk mengamb