“Berbeda bagaimana maksudnya, Pak?” tanya Ardhan, ia memasang wajah serius.“Kinanthi cerita kalau ka—““Pak Ardhan, maaf menganggu, saya sudah terima kabar dari pusat?” ujar salah satu pegawainya tiba-tiba datang menyela pembicaraan serius. Prama terpaksa menyudahi percakapannya dengan Ardhan dan memilih pergi bersama dengan anak buahnya.Ardhan yang masih penasaran dengan cerita versi Kinanthi mengejar Prama. “Tunggu Pak, saya tahu anda sibuk tetapi saya harus tahu apa yang diceritakan pacar bapak tentang saya.”“Mohon pengertiannya ya Pak Ardhan, pekerjaan saya ini jauh lebih penting,” sahut Prama, ia meninggalkan Ardhan yang masih berdiri melihat punggung mereka.Ardhan masih berusaha untuk mengejar langkah kaki Prama. “Maaf Pak, saya hanya ingin mengingatkan sekali lagi jika saya tidak pernah bertemu secara diam-diam dengan mbak Kinanthi. Jadi saya mohon untuk tidak salah paham, terima kasih.”Usai mengatakan hal tersebut, Ardhan lantas meneruskan langkahnya menuju lobby kantor.
Bab 36.“Sejak lahir saya sudah menjadi anak mamah, kalau ditanya malu atau tidak tentu saja tidak. Karena saya anak tunggal jadi saya mendapatkan perhatian yang lebih dan lebih memperhatikan kedua orang tua saya,” jawab Ardhan panjang lebar.Ia sengaja berkata demikian untuk membuat Prama iri. Padahal yang sebenarnya terjadi, orang tua Ardhan saja tak setuju lelaki itu bekerja menjadi salesman bahkan suasana rumahnya saja dingin dan kaku. Ia bersyukur akhir-akhir ini mereka menjadi lebih akrab dan bisa memamerkan hal tersebut kepada Prama.“Begitu ya, enak sekali ya kalau tidak punya rasa malu,” timpal Prama.“Kenapa harus malu, Pak? Kami anak dan ibu memang sebaiknya bersikap hangat seperti itu. Supaya saya bisa menularkan ke calon anak saya nanti,” balas Ardhan lagi, ia terus ‘menyerang’ Prama.“Stop Pak Ardhan! Stop membicarakan tentang keluarga, hentikan! Saya sensitif mengenai hal tersebut,” larang Prama.“Maaf ya Pak,” timpal Ardhan, ia berusaha tetap tenang dan bersikap baik m
“Ayo minggir, Dhan. Jangan ditengah jalan begini,” ucap sosok itu. Ia tampak panik dan terus menepuk pundak Ardhan berulang kali. Tersadar karena berhenti di tengah jalan raya, Ardhan segera menepi. “Nah gitu dong, ‘kan kita jadi aman sekarang.”Sosok itu turun dari motor Ardhan lalu berdiri di depan pria muda tersebut. “Kek, kenapa dia melakukan itu padaku?”“Tidak apa-apa orang iri itu bebas melakukan apapun sebagai pelampiasannya,” ujar sosok itu. “Sudah pulanglah, ibumu menunggumu di rumah.”“Baik Kek,” jawabnya. Tanpa banyak bicara lagi, lelaki itu lantas menghidupkan mesin motornya. Dan perlahan meninggalkan sosok misterius yang bisa muncul kapanpun itu sendirian. Ardhan fokus mengemudi agar sampai di rumah dengan selamat.Setelah satu jam berkendara akhirnya ia sampai di rumah. Begitu bunyi motornya berhenti sang Ibu langsung keluar dari dalam rumah. “Kamu baik-baik saja ‘kan Dhan?”Ardhan terdiam, ia dilema antara bercerita tentang kejadian yang baru sja dialaminya atau meraha
Mata coklatnya bergerak gelisah, pikirannya terus menerawang jauh. “Berarti ada kemungkinan aku mati di lain waktu,” batinnya. “Tetapi aku tidak boleh takut, hanya perlu waspada.”Hatinya menjadi lebih tenang dan kini bisa tidur dengan nyenyak. Tak ada hal yang mengganggu tidurnya, sehingga saat bangun dirinya merasa lebih segar daripada sebelumnya. Handuknya sudah ditangan dan kini dirinya pergi menuju kamar mandi.Lelaki itu memeriksa tubuhnya sekali lagi, memang tak ada bekas luka apapun dari kejadian semalam. Selesai mandi Ardhan kembali ke kamar untuk berganti baju dan bersiap. Selang 15 menit kemudian ia keluar kamar, ibunya sudah menantinya untuk sarapan.“Kamu yakin akan masuk kantor hari ini?”“Tenang saja Bu, aku baik-baik saja,” jawab Ardhan sembari mengambil lauk.“Ayah antar atau mau naik taksi saja?” tawar ayahnya.“Aku naik motorku saja Yah lagipula motornya kan tidak ada yang rusak,” tolaknya.“TIDAK BOLEH!!” kata kedua orangtuanya berbarengan.“Pilihannya hanya ayah y
“Mungkin saja Pak, saya ini hanya salesman biasa yang diberi kepercayaan oleh atasannya saya menjadi wakil kantor untuk ikut mengawasi kelancara proyek kerjasama antara perusahaan tempat saya bekerja dengan anak perusahaan Pak Prama,” jelas Ardhan panjang lebar, ia bicara tak hanya untuk Prama tetapi juga dihadapan para pegawai yang lain.Prama hanya terdiam mendengar ocehan Ardhan. Berbeda dengan pegawai lainnya yang mengeluarkan berbagai reaksi atas pengakuan lelaki itu itu.“Jadi jika Pak Prama ingin membicarakan masalah bisnis lebih baik dengan atasan saya, saja saya ini hanya pelaksana, Pak. Bekerja sesuai perintah atasan,” imbuh Ardhan.Ia perlu menjelaskan semuanya secara detail, ia tak peduli dengan satu bola mata Prama yang berubah ke arah merah pekat. Dirinya tidak boleh takut, hanya harus waspada dan bertindak cerdas.“Kenapa jadi panjang begini, Pak. Sebenarnya saya hanya ingin membicarakan tentang bisnis pribadi saja. Bukan tentang bisnis denga om-““Kalau begitu tak perl
“[Ini semua karena sikapmu. Pokoknya kamu besok menghadap saya dulu, ada yang ingin saya bicarakan.]”Panggilan tersebut diakhiri oleh pria tambun itu dengan cepat. Tanpa menunggu jawaban dari dirinya. Karena besok harus datang ke kantornya lebih dahulu sehingga ia harus tidur cepat agar tak terlambat.Hari baru datang dengan cepat, alarm membangunkannya di saat yang tepat. Ardhan mengusap kedua matanya agar terbuka sempurna, setelah itu berjaan keluar untuk membersihkan dirinya. Meski harus pergi ke kantor utamanya dahulu namun Ardhan masih sempat sarapan.“Hati-hati di jalan ya,” ujar sang Ibu ketika mengantarkan Ardhan di pagar rumahnya.“Ibu tidak usah khawatir,” sahutnya. Usai menenangkan ibunya yang masih mengkhawatirkan dirinya barulah Ardhan pergi ke kantor. Pagi ini Ardhan memilih jalur alternatif, kejadian kemarin tak membuatnya trauma melewati jalur baru tersebut.Tepat pukul delapan pagi lelaki penyuka warna biru itu tiba di kantornya. Ia memakirkan kendaraannya di spot fa
Ardhan mendekat ke arah Moritz, ia tersenyum simpul. “Tidak sudi!” kata Prama dengan tegas. “Aku tidak akan mengotori tanganku dengan memukulmu.”Usai mengatakan hal tersebut, ia berbalik badan, menekan ulang tombol di dinding kemudian masuk ke dalam lift. Setelah kotak besi itu menurunkannya di lantai bawah, Ardhan segera melanjutkannya menuju ke parkiran.Ia melihat stpam yang biasanya menolongnya ketika si hijau mogok sedang memandangi motornya. “Si hijau sudah saya pensiunkan, Pak,” ujar Ardhan memberikan nformasi.“Jadi ini motor Pak Ardhan?” tanya satpam itu terkejut. Ardhan membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum bahagia. “Wah naik jabatan langsung ganti motor.”“Ini pemberian orang tua saya Pak, mereka kasihan pada anaknya,” kata Ardhan.Satpam tersebut mendekat ke arah Ardhan dan berbicara setengah berbisik. “Pak jadi berita tentang sabotase motor Pak Ardhan itu benar ya?”“Ya begitulah Pak, dunia kerja memang keras,” sahut Ardhan tanpa menjawab pertanyaan kepala secur
“Apa maksud Pak Prama bertanya begitu? Itu urusan intern perusahaan kami,” jawab Ardhan.“Tidak ada maksud apapun Pak,” sahut Prama seraya bangkit dari kursi Ardhan. “Tadi secara tidak sengaja saya membaca berkas-berkas Pak Ardhan. Sejujurnya saya tidak bermaksud apapun, Pak Ardhan.”Tidak ingin berlama-lama bicara dengan orang tersebut, Ardhan segera menyudahinya. “Baik Pak, saya mengerti maksud Pak Prama kok,” ucapnya dengan senyum palsu.Prama kembali ke kursi kerjanya begitu juga dengan Ardhan yang buru-buru melihat berkas apa yang membuat Prama bertanya seperti itu padanya. Ia memeriksa semua berkas yang ada di mejanya, tak ada satupun berkas yang memancing rasa ingin tahu lelaki itu.“Memang orang aneh,” pikirnya.Ardhan berusaha melupakan kejadian tadi dan mulai fokus kembali bekerja. Kebetulan banyak tugas yang Pak Bobby berikan padanya. Ia tak memikirkan hal lain kecuali segera menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke rumah.Karena bekerja sesuai dengan rencananya semula akh