“Mungkin saja Pak, saya ini hanya salesman biasa yang diberi kepercayaan oleh atasannya saya menjadi wakil kantor untuk ikut mengawasi kelancara proyek kerjasama antara perusahaan tempat saya bekerja dengan anak perusahaan Pak Prama,” jelas Ardhan panjang lebar, ia bicara tak hanya untuk Prama tetapi juga dihadapan para pegawai yang lain.Prama hanya terdiam mendengar ocehan Ardhan. Berbeda dengan pegawai lainnya yang mengeluarkan berbagai reaksi atas pengakuan lelaki itu itu.“Jadi jika Pak Prama ingin membicarakan masalah bisnis lebih baik dengan atasan saya, saja saya ini hanya pelaksana, Pak. Bekerja sesuai perintah atasan,” imbuh Ardhan.Ia perlu menjelaskan semuanya secara detail, ia tak peduli dengan satu bola mata Prama yang berubah ke arah merah pekat. Dirinya tidak boleh takut, hanya harus waspada dan bertindak cerdas.“Kenapa jadi panjang begini, Pak. Sebenarnya saya hanya ingin membicarakan tentang bisnis pribadi saja. Bukan tentang bisnis denga om-““Kalau begitu tak perl
“[Ini semua karena sikapmu. Pokoknya kamu besok menghadap saya dulu, ada yang ingin saya bicarakan.]”Panggilan tersebut diakhiri oleh pria tambun itu dengan cepat. Tanpa menunggu jawaban dari dirinya. Karena besok harus datang ke kantornya lebih dahulu sehingga ia harus tidur cepat agar tak terlambat.Hari baru datang dengan cepat, alarm membangunkannya di saat yang tepat. Ardhan mengusap kedua matanya agar terbuka sempurna, setelah itu berjaan keluar untuk membersihkan dirinya. Meski harus pergi ke kantor utamanya dahulu namun Ardhan masih sempat sarapan.“Hati-hati di jalan ya,” ujar sang Ibu ketika mengantarkan Ardhan di pagar rumahnya.“Ibu tidak usah khawatir,” sahutnya. Usai menenangkan ibunya yang masih mengkhawatirkan dirinya barulah Ardhan pergi ke kantor. Pagi ini Ardhan memilih jalur alternatif, kejadian kemarin tak membuatnya trauma melewati jalur baru tersebut.Tepat pukul delapan pagi lelaki penyuka warna biru itu tiba di kantornya. Ia memakirkan kendaraannya di spot fa
Ardhan mendekat ke arah Moritz, ia tersenyum simpul. “Tidak sudi!” kata Prama dengan tegas. “Aku tidak akan mengotori tanganku dengan memukulmu.”Usai mengatakan hal tersebut, ia berbalik badan, menekan ulang tombol di dinding kemudian masuk ke dalam lift. Setelah kotak besi itu menurunkannya di lantai bawah, Ardhan segera melanjutkannya menuju ke parkiran.Ia melihat stpam yang biasanya menolongnya ketika si hijau mogok sedang memandangi motornya. “Si hijau sudah saya pensiunkan, Pak,” ujar Ardhan memberikan nformasi.“Jadi ini motor Pak Ardhan?” tanya satpam itu terkejut. Ardhan membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum bahagia. “Wah naik jabatan langsung ganti motor.”“Ini pemberian orang tua saya Pak, mereka kasihan pada anaknya,” kata Ardhan.Satpam tersebut mendekat ke arah Ardhan dan berbicara setengah berbisik. “Pak jadi berita tentang sabotase motor Pak Ardhan itu benar ya?”“Ya begitulah Pak, dunia kerja memang keras,” sahut Ardhan tanpa menjawab pertanyaan kepala secur
“Apa maksud Pak Prama bertanya begitu? Itu urusan intern perusahaan kami,” jawab Ardhan.“Tidak ada maksud apapun Pak,” sahut Prama seraya bangkit dari kursi Ardhan. “Tadi secara tidak sengaja saya membaca berkas-berkas Pak Ardhan. Sejujurnya saya tidak bermaksud apapun, Pak Ardhan.”Tidak ingin berlama-lama bicara dengan orang tersebut, Ardhan segera menyudahinya. “Baik Pak, saya mengerti maksud Pak Prama kok,” ucapnya dengan senyum palsu.Prama kembali ke kursi kerjanya begitu juga dengan Ardhan yang buru-buru melihat berkas apa yang membuat Prama bertanya seperti itu padanya. Ia memeriksa semua berkas yang ada di mejanya, tak ada satupun berkas yang memancing rasa ingin tahu lelaki itu.“Memang orang aneh,” pikirnya.Ardhan berusaha melupakan kejadian tadi dan mulai fokus kembali bekerja. Kebetulan banyak tugas yang Pak Bobby berikan padanya. Ia tak memikirkan hal lain kecuali segera menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke rumah.Karena bekerja sesuai dengan rencananya semula akh
Suara tanpa wujud itu menghilang usai menyampaikan apa yang harus didengar oleh Ardhan meski pra tersebut tertidur pulas. Malam yang panjang dan dingin segera berganti menjadi pagi yang cerah. Leaki itu bangun seperti biasa, tangannya tergerak untuk membuka jendela kamarnya.Udara yang sejuk menerpa wajahnya yang tampan, sura burung-burung peliharaan menyambutnya. Matanya sudah terbuka lebar bahkan ia sempat memeriksa ponselnya lebih dahulu sebelum pergi mandi.“Dhan, kamu sudah bangun?” teriak Ibunya.“Sudah Bu,” jawabnya seraya mengambil handuk.“Segera mandi dan sarapan,” lanjut sang Ibu. Wanita paruh baya itu masih memperlakukan anaknya yang sudah bekerja seperti anak kecil. Ardhan sama sekali tak keberatan karena hubungan mereka memang baru dekat akhir-akhir ini.Karena sudah mendapatkan perintah dari ibunya, Ardhan segera membersihkan diri, bersiap lalu bergabung dengan orang tuanya di meja makan. Pagi ini tak ada menu makanan yang berat, ibunya sudah membelikan roti untuk sua
Ardhan terdiam melihat foto yang ditunjukkan oleh Prama. “Jawab Pak Ardhan! Kau menyukai kekasihku ‘kan?” bentak Prama“Itu sama sekali tidak benar, Pak,” bantah Ardhan dengan sopan, nada bicaranya juga pelan. “Apa yang terjadi tak seperti apa yang anda kira. Pertemuan antara saya dan mbak Kinanthi tadi siang karena kami tak sengaja bertemu. Karena saya mengenal beliau maka saya menyapa, hanya itu saja. Tak ada yang lebih,” urai Ardhan panjang lebar.Ia benar-benar kesal pada anak buah Prama yang tadi mengajaknya makan siang, ternyata salah satu dari mereka ada yang memotretnya dan megirimkannya pada Prama. Tentu saja Prama cemburu dan naik pitam.“Jangan bohong Pak! Apa yang anda lakukan selalu ingin terlihat mirip dengan saya, mulai motor hingga jaket. Anda sampai sewa motor ‘kan,” cerocos Prama, ia terus menyerang Ardhan.“Itu sama sekali tak benar Pak, sama tidak pernah ingin meniru anda. Motor yang saya pakai kemarin adalah pemberian ayah saya bukan sewa,” timpal Ardhan, ia tak t
Sosok Kakek itu terdiam, bukan karena tak tahu jawabannya, ia hanya ingin memberi waktu untuk Ardhan berpikir dulu. Tetapi bukannya mencari tahu jawabannya, Ardhan justru panik dan terus memanggil sosok itu. Mau tak mau si Kakek pun bersuara.“Sebaiknya tetap di sini sambil memantau mereka atau kita putar balik saja?”“Tentu saja putar balik, Kek. Jika tetap di sini maka aku akan ketahuan,” ujar Ardhan sembari memutar sepeda motornya.“Gitu saja pakai tanya,” cicit si Kakek, untung saja Ardhan tak bisa mendengarnya.Sekarang Ardhan dan pria tua yang selalu melindunginya itu dalam pelariannya, mereka tak tahu harus ke mana. Kakek dan Ardhan belum menemukan tempat untuk berhenti.“Kek, sebenarnya apa yang Kinanthi lakukan di rumahku? Berapa lama dia di sana?” cerocos Ardhan.“Mana aku tahu, aku bukan asisten pribadinya,” jawab si Kakek ketus.“Katanya tahu semua tentang aku.”Kesal dengan ucapan pria muda di depannya itu si Kakek pun memukul Ardhan. “Aku hanya tahu tentang dirimu bukan
“Ah tidak jadi, tidak penting. Semuanya sudah terjadi,” kata Kakek itu membuat Ardhan membulatkan matanya. “Tidur sana, sudah malam.”Kakek itu menghilang begitu saja seketika Ardhan bangkit dari duduknya. Ia mencari sosok itu ke sana ke mari. Apa yang dilakukannya itu tentu saja menarik perhatian ayahnya.“Apa yang sedang kamu cari, Dhan?”Ardhan membalikkan badannya, menatap ayahnya yang berdiri di depan pintu kamarnya. “Ehmm ... anu Yah ... Burung,” jawabnya tergagap.“Burung? Burung apa? Burung siapa?”“Tadi aku lihat ada burung terbang ke mari, aku kira punya Ayah lepas ternyata bukan,” kilahnya. Karena tak mau ditanya lebih lanjut oleh ayahnya, Ardhan cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya. Ia mengintip dari jendela kamarnya, sang Ayah masih mencari keberadaan burung yang dimaksud olehnya.Setelah itu Ardhan berjalan menuju ranjangnya, ia merebahkan tubuh kurusnya di kasur yang empuk itu. Ia memikirkan tentang ucapan si Kakek tadi. Ia tak mengerti maksud sosok itu bicara demikian
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s