Ardhan terdiam melihat foto yang ditunjukkan oleh Prama. “Jawab Pak Ardhan! Kau menyukai kekasihku ‘kan?” bentak Prama“Itu sama sekali tidak benar, Pak,” bantah Ardhan dengan sopan, nada bicaranya juga pelan. “Apa yang terjadi tak seperti apa yang anda kira. Pertemuan antara saya dan mbak Kinanthi tadi siang karena kami tak sengaja bertemu. Karena saya mengenal beliau maka saya menyapa, hanya itu saja. Tak ada yang lebih,” urai Ardhan panjang lebar.Ia benar-benar kesal pada anak buah Prama yang tadi mengajaknya makan siang, ternyata salah satu dari mereka ada yang memotretnya dan megirimkannya pada Prama. Tentu saja Prama cemburu dan naik pitam.“Jangan bohong Pak! Apa yang anda lakukan selalu ingin terlihat mirip dengan saya, mulai motor hingga jaket. Anda sampai sewa motor ‘kan,” cerocos Prama, ia terus menyerang Ardhan.“Itu sama sekali tak benar Pak, sama tidak pernah ingin meniru anda. Motor yang saya pakai kemarin adalah pemberian ayah saya bukan sewa,” timpal Ardhan, ia tak t
Sosok Kakek itu terdiam, bukan karena tak tahu jawabannya, ia hanya ingin memberi waktu untuk Ardhan berpikir dulu. Tetapi bukannya mencari tahu jawabannya, Ardhan justru panik dan terus memanggil sosok itu. Mau tak mau si Kakek pun bersuara.“Sebaiknya tetap di sini sambil memantau mereka atau kita putar balik saja?”“Tentu saja putar balik, Kek. Jika tetap di sini maka aku akan ketahuan,” ujar Ardhan sembari memutar sepeda motornya.“Gitu saja pakai tanya,” cicit si Kakek, untung saja Ardhan tak bisa mendengarnya.Sekarang Ardhan dan pria tua yang selalu melindunginya itu dalam pelariannya, mereka tak tahu harus ke mana. Kakek dan Ardhan belum menemukan tempat untuk berhenti.“Kek, sebenarnya apa yang Kinanthi lakukan di rumahku? Berapa lama dia di sana?” cerocos Ardhan.“Mana aku tahu, aku bukan asisten pribadinya,” jawab si Kakek ketus.“Katanya tahu semua tentang aku.”Kesal dengan ucapan pria muda di depannya itu si Kakek pun memukul Ardhan. “Aku hanya tahu tentang dirimu bukan
“Ah tidak jadi, tidak penting. Semuanya sudah terjadi,” kata Kakek itu membuat Ardhan membulatkan matanya. “Tidur sana, sudah malam.”Kakek itu menghilang begitu saja seketika Ardhan bangkit dari duduknya. Ia mencari sosok itu ke sana ke mari. Apa yang dilakukannya itu tentu saja menarik perhatian ayahnya.“Apa yang sedang kamu cari, Dhan?”Ardhan membalikkan badannya, menatap ayahnya yang berdiri di depan pintu kamarnya. “Ehmm ... anu Yah ... Burung,” jawabnya tergagap.“Burung? Burung apa? Burung siapa?”“Tadi aku lihat ada burung terbang ke mari, aku kira punya Ayah lepas ternyata bukan,” kilahnya. Karena tak mau ditanya lebih lanjut oleh ayahnya, Ardhan cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya. Ia mengintip dari jendela kamarnya, sang Ayah masih mencari keberadaan burung yang dimaksud olehnya.Setelah itu Ardhan berjalan menuju ranjangnya, ia merebahkan tubuh kurusnya di kasur yang empuk itu. Ia memikirkan tentang ucapan si Kakek tadi. Ia tak mengerti maksud sosok itu bicara demikian
“Jangan Dhan, ibumu tidak perlu tahu apa yang terjadi kemarin,” larang Kakek tersebut.“Kenapa jadi diam, Ardhan? Apa yang dia lakukan padamu?” desak ibunya.“Gara-gara dia ... kita bertengkar seperti ini,” jawab Ardhan, ia mengubah jawabannya. Wanita paruh baya yang semula tegang menantikan jawabannya kini bisa bernapas lega, tak ada yang perlu dikhawatirkannya. “Jadi jangan bawa dia ke mari, Bu. Aku tidak ingin bertemu dia.”“Bilang padamu ibumu, nanti kekasih Kinanthi marah jika pergi ke rumah laki-laki lain,” ujar si Kakek memberi saran.“Nanti jika kekasih Kinanthi marah bagaimana? Dia pergi ke rumah lelaki lain. Kekasih Kinanthi itu rekan bisnis perusahaan tempatku bekerja, Bu,” imbuh Ardhan, ia mengikuti saran Kakek tersebut.“Ya sudah, kalau begitu, kamu tidak perlu menemui dia,” kata ibunya, akhirnya ia mendengarkan anaknya dan mengalah. “Pergi sana, katanya kamu ada janji dengan temamu.”“Baik Bu, aku siap-siap sekarang ya.”Ardhan masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian k
“Terserah kamu saja, Dhan.”Ardhan tak sabar untuk menunjukkan foto itu pada ibunya. Wanita yang melahirkan dan merawatnya itu harus tahu seperti apa sosok Kinanthi. Perempuan yang selalu dipuji dan dibanggkan oleh ibunya.“Punya pacar tetapi masih jalan dengan lelaki lain, pantas saja Pak Prama langsung ingin menghabisiku ternyata kekasihnya berkelakuan seperti itu,” ocehnya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Ia segera menghidupkan mesin motornya yang terdengar gahar dan keren. Lelaki itu sudah tak peduli lagi dengan para penguntitnya, Ardhan hanya ingin segera sampai rumah dan menunjukkan hasil tangkapannya kepada orang tuanya.Ia ingin mereka tahu bahwa calon istrinya-lah yang paling baik. Tanpa sadar ia memacu gas dalam-dalam, meliuk-liuk di antara kendaraan lain. Yang terpenting baginya sekarang adalah sampai di rumah dengan cepat.Semua terjadi sesuai rencananya, ia tiba di rumah ketika ibu dan ayahnya sedang menyantap makanan yang dikirimkannya tadi. Dengan langkah tegap ia
“Di luar saja agar tak mengganggu pegawai yang lain seperti kata anda kemarin, Pak.”Ardhan mengikuti ke mana kaki Prama melangkah, rupanya lelaki itu mengajak Ardhan pergi ke sisi paling pojok lantai tersebut. “Apa yang ingin anda bicarakan, Pak?”“Begini Pak Ardhan, saya bicara soal kemarin. Kamu –“Ucapan Prama terhenti karena ponselnya berdering, ada sebuah telepon dari seseorang. Lelaki itu mengangkatnya seraya menjauh dari Ardhan sehingga ia berpikir jika itu telepon penting. Ia berdiri menyandarkan kepalanya di tembok, sekilas Ardhan melihat sosok Kakek mengacungka dua jempolnya dan tersenyum.“Apa ini ulah Kakek?” batinnya.“Pak Ardhan, saya minta maaf karena kita tak jadi bicara. Mendadak saya harus kembali ke pusat. Kita bicara lain waktu saja,” jelas Prama, Ardhan menganggukkan kepalanya tanda ia paham dengan situasi yang dihadapi oleh rekan bisnisnya itu. “Maaf sudah mengganggu waktu anda, Pak.”“Tak apa Pak Prama, hati-hati di jalan,” balas Ardhan.Jika Prama melangkah me
“Aku hanya ingin menguji mentalmu saja, karena mungkin di masa depan akan terjadi hal seperti ini,” jelas si Kakek. Ardhan yang semula kesal menjadi mengerti alasan Kakek membohonginya. Pria tua misterius itu mengajarkan sesuatu padanya.“Hampir saja Kakek kuturunkan di tengah jalan,” ucap Ardhan.“Tak masalah, aku bisa pulang sendiri,” balas Kakek itu.Keduanya terus mengobrol banyak hal, Ardhan bertanya tentang hal-hal yang tidak diketahuinya mengenai kacamata tersebut. Ada yang dijawab oleh Kakek ada juga yang diabaikan olehnya. Kakek itu mengatakan jika Ardhan harus mencari tahu sendiri.Selain bertanya tentang kacamatanya, Ardhan juga bertanya tentang pekerjaannya. Apakah kariernya akan meningkat atau tetap seperti ini. “Sebenarnya aku tidak boleh memberitahumu tetapi karena kita berhubungan baik maka aku akan membocorkannya,” kata sang Kakek. Ardhan menyimak dengan seksama. “Kamu harus mundur satu langkah untuk maju beberapa langkah.”“Apa maksudnya itu Kek,” tanya Ardhan sembar
“Tidak mau, aku harus ke kantor,” jawab Ardhan tegas.“Pintar, jawaban yang bagus. Jangan-jangan kamu sudah tahu kalau di mobil itu tidak ada Kinanthi ya.”Ardhan membulatkan matanya, ia terkejut mendengar perkataan si Kakek. “Di mobil itu tidak ada mbak Kinanthi?” ucapnya sangsi.“Kalau tidak percaya coba kejar saja mobil itu,” ujar Kakek itu santai. Ardhan mendengus kesal, gas motornya dipacu lebih keras lagi, alhasil tak perlu waktu lama dirinya sampai di kantor. Karena datang lebih awal, dirinya bisa memilih tempat parkir. Ardhan kemudian ‘menyimpan’ motornya di sisi kiri baris ketiga bersama dengan motor-motor mahal lainnya.Setelah itu ia melangkah masuk ke dalam kantor, kaki jenjangnya membawanya cepat menuju lift. Ia sudah aman sekarang berada dalam bujur besi. Detik berikutnya ia sudah sampai di lantai yang dituju. Ia melangkah menuju ruang kerjanya. Suasana ruangan super besar sangat sepi. Hanya ada beberapa karyawan di sana.Seperti biasa, ia menyapa mereka dengan ramah. Me