Share

Kena Macet

Penulis: Duarta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ah tidak jadi, tidak penting. Semuanya sudah terjadi,” kata Kakek itu membuat Ardhan membulatkan matanya. “Tidur sana, sudah malam.”

Kakek itu menghilang begitu saja seketika Ardhan bangkit dari duduknya. Ia mencari sosok itu ke sana ke mari. Apa yang dilakukannya itu tentu saja menarik perhatian ayahnya.

“Apa yang sedang kamu cari, Dhan?”

Ardhan membalikkan badannya, menatap ayahnya yang berdiri di depan pintu kamarnya. “Ehmm ... anu Yah ... Burung,” jawabnya tergagap.

“Burung? Burung apa? Burung siapa?”

“Tadi aku lihat ada burung terbang ke mari, aku kira punya Ayah lepas ternyata bukan,” kilahnya. Karena tak mau ditanya lebih lanjut oleh ayahnya, Ardhan cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya. Ia mengintip dari jendela kamarnya, sang Ayah masih mencari keberadaan burung yang dimaksud olehnya.

Setelah itu Ardhan berjalan menuju ranjangnya, ia merebahkan tubuh kurusnya di kasur yang empuk itu. Ia memikirkan tentang ucapan si Kakek tadi. Ia tak mengerti maksud sosok itu bicara demikian
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Salesman Biasa   Pelarian Ardhan

    “Jangan Dhan, ibumu tidak perlu tahu apa yang terjadi kemarin,” larang Kakek tersebut.“Kenapa jadi diam, Ardhan? Apa yang dia lakukan padamu?” desak ibunya.“Gara-gara dia ... kita bertengkar seperti ini,” jawab Ardhan, ia mengubah jawabannya. Wanita paruh baya yang semula tegang menantikan jawabannya kini bisa bernapas lega, tak ada yang perlu dikhawatirkannya. “Jadi jangan bawa dia ke mari, Bu. Aku tidak ingin bertemu dia.”“Bilang padamu ibumu, nanti kekasih Kinanthi marah jika pergi ke rumah laki-laki lain,” ujar si Kakek memberi saran.“Nanti jika kekasih Kinanthi marah bagaimana? Dia pergi ke rumah lelaki lain. Kekasih Kinanthi itu rekan bisnis perusahaan tempatku bekerja, Bu,” imbuh Ardhan, ia mengikuti saran Kakek tersebut.“Ya sudah, kalau begitu, kamu tidak perlu menemui dia,” kata ibunya, akhirnya ia mendengarkan anaknya dan mengalah. “Pergi sana, katanya kamu ada janji dengan temamu.”“Baik Bu, aku siap-siap sekarang ya.”Ardhan masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Senjata makan Tuan

    “Terserah kamu saja, Dhan.”Ardhan tak sabar untuk menunjukkan foto itu pada ibunya. Wanita yang melahirkan dan merawatnya itu harus tahu seperti apa sosok Kinanthi. Perempuan yang selalu dipuji dan dibanggkan oleh ibunya.“Punya pacar tetapi masih jalan dengan lelaki lain, pantas saja Pak Prama langsung ingin menghabisiku ternyata kekasihnya berkelakuan seperti itu,” ocehnya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Ia segera menghidupkan mesin motornya yang terdengar gahar dan keren. Lelaki itu sudah tak peduli lagi dengan para penguntitnya, Ardhan hanya ingin segera sampai rumah dan menunjukkan hasil tangkapannya kepada orang tuanya.Ia ingin mereka tahu bahwa calon istrinya-lah yang paling baik. Tanpa sadar ia memacu gas dalam-dalam, meliuk-liuk di antara kendaraan lain. Yang terpenting baginya sekarang adalah sampai di rumah dengan cepat.Semua terjadi sesuai rencananya, ia tiba di rumah ketika ibu dan ayahnya sedang menyantap makanan yang dikirimkannya tadi. Dengan langkah tegap ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Hilang Ingatan

    “Di luar saja agar tak mengganggu pegawai yang lain seperti kata anda kemarin, Pak.”Ardhan mengikuti ke mana kaki Prama melangkah, rupanya lelaki itu mengajak Ardhan pergi ke sisi paling pojok lantai tersebut. “Apa yang ingin anda bicarakan, Pak?”“Begini Pak Ardhan, saya bicara soal kemarin. Kamu –“Ucapan Prama terhenti karena ponselnya berdering, ada sebuah telepon dari seseorang. Lelaki itu mengangkatnya seraya menjauh dari Ardhan sehingga ia berpikir jika itu telepon penting. Ia berdiri menyandarkan kepalanya di tembok, sekilas Ardhan melihat sosok Kakek mengacungka dua jempolnya dan tersenyum.“Apa ini ulah Kakek?” batinnya.“Pak Ardhan, saya minta maaf karena kita tak jadi bicara. Mendadak saya harus kembali ke pusat. Kita bicara lain waktu saja,” jelas Prama, Ardhan menganggukkan kepalanya tanda ia paham dengan situasi yang dihadapi oleh rekan bisnisnya itu. “Maaf sudah mengganggu waktu anda, Pak.”“Tak apa Pak Prama, hati-hati di jalan,” balas Ardhan.Jika Prama melangkah me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Deep Talk

    “Aku hanya ingin menguji mentalmu saja, karena mungkin di masa depan akan terjadi hal seperti ini,” jelas si Kakek. Ardhan yang semula kesal menjadi mengerti alasan Kakek membohonginya. Pria tua misterius itu mengajarkan sesuatu padanya.“Hampir saja Kakek kuturunkan di tengah jalan,” ucap Ardhan.“Tak masalah, aku bisa pulang sendiri,” balas Kakek itu.Keduanya terus mengobrol banyak hal, Ardhan bertanya tentang hal-hal yang tidak diketahuinya mengenai kacamata tersebut. Ada yang dijawab oleh Kakek ada juga yang diabaikan olehnya. Kakek itu mengatakan jika Ardhan harus mencari tahu sendiri.Selain bertanya tentang kacamatanya, Ardhan juga bertanya tentang pekerjaannya. Apakah kariernya akan meningkat atau tetap seperti ini. “Sebenarnya aku tidak boleh memberitahumu tetapi karena kita berhubungan baik maka aku akan membocorkannya,” kata sang Kakek. Ardhan menyimak dengan seksama. “Kamu harus mundur satu langkah untuk maju beberapa langkah.”“Apa maksudnya itu Kek,” tanya Ardhan sembar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Kembali ke Awal

    “Tidak mau, aku harus ke kantor,” jawab Ardhan tegas.“Pintar, jawaban yang bagus. Jangan-jangan kamu sudah tahu kalau di mobil itu tidak ada Kinanthi ya.”Ardhan membulatkan matanya, ia terkejut mendengar perkataan si Kakek. “Di mobil itu tidak ada mbak Kinanthi?” ucapnya sangsi.“Kalau tidak percaya coba kejar saja mobil itu,” ujar Kakek itu santai. Ardhan mendengus kesal, gas motornya dipacu lebih keras lagi, alhasil tak perlu waktu lama dirinya sampai di kantor. Karena datang lebih awal, dirinya bisa memilih tempat parkir. Ardhan kemudian ‘menyimpan’ motornya di sisi kiri baris ketiga bersama dengan motor-motor mahal lainnya.Setelah itu ia melangkah masuk ke dalam kantor, kaki jenjangnya membawanya cepat menuju lift. Ia sudah aman sekarang berada dalam bujur besi. Detik berikutnya ia sudah sampai di lantai yang dituju. Ia melangkah menuju ruang kerjanya. Suasana ruangan super besar sangat sepi. Hanya ada beberapa karyawan di sana.Seperti biasa, ia menyapa mereka dengan ramah. Me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Mata Turun ke Hati

    “Kinanthi.”“Kinanthi? Dia bukan orang terdekatku, Kek. Sejak kapan dia jadi orang terdekatku,” oceh Ardhan tak terima jika Kinanthi disebut sebagai orang yang dekat dengannya. Si Kakek tak lagi meneruskan kalimatnya, yang terpenting ia sudah menyampaikan apa yang perlu Ardhan ketahui.Sosok pria itu menghilang setelah Ardhan sampai di rumahnya. Sore ini dirinya diminta sang Ibu untuk menemani pergi berbelanja kebutuhan rumah di Mall. Tentu saja pria itu bersedia, setelah berganti baju keduanya berangkat menggunakan motor ayahnya.Ardhan senang bisa menemani ibunya berbelanja karena sebelumnya ia tak punya kesempatan untuk melakukan tersebut. Selama jadi salesman, ia selalu pulang malam, komunikasi dengan kedua orang tuanya juga tidak berjalan lancar sehingga mereka sering bertengkar.Tempat yang dituju mereka adalah supermarket, ibunya membeli banyak barang kebutuhan rumah. Sesekali Ardhan memberikan saran dalam memilih produk yang tepat. Semua belanjaan sudah dibeli namun mereka tak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Pengalaman Salesman

    “Tidak bisalah, mana mungkin aku bisa menghapus ingatan seseorang,” tolak si Kakek.“Bukannya waktu itu Kakek bisa menghapus ingatan Prama juga, waktu kita bicara di tanah kosong itu,” ujar Ardhan, ia berusaha mengingatkan si Kakek.“Tidak bisa Ardhan! Tidak ada kemampuan seperti itu, kamu ini aneh-aneh saja.”Sosok itu menghilang entah ke mana, meninggalkan Ardhan yang berdiri kebingungan. Ia mendengus kesal kemudian kembali ke atas ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, perlahan-lahan matanya coklatnya itu mulai tertutup dan ia tertidur pulas.“Tidak usah kamu suruh, aku juga akan melakukannya, Dhan,” gerutu si Kakek. “Demi masa depanmu, aku sudah melanggar aturan dua kali.”Rasanya baru sebentar ia tertidur kini Ardhan sudah harus bangun lagi dan bersiap untuk kerja. Usai mematikan alarm, ia turun dari ranjangnya dan beralih ke luar kamar. Mandi, ganti baju, bersiap dan sarapan, semua itu harus dilakukannya setiap pagi.“Bawa bekal lagi?” tanya ibunya.“Iya Bu, aku bawa bekal

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Kepergian Prama

    “Masalah yang semalam ... saya ... ““Pak Ardhan setuju ‘kan dengan pendapat saya,” ujar Prama. Ardhan meneguk salivanya, ia bingung harus merespon apa. “Tanah itu luas dan letaknya strategis lho, Pak.”“Tanah apa ya Pak?” tanya Ardhan bingung.“Kok tanah apa, tanah yang kita bicarakan semalam.”“Maaf Pak tetapi semalam kita tidak bicara tentang tanah, mungkin Pak Prama salah orang.”Prama terdiam, sepertinya ia mencoba mengingat sesuatu. Ardhan yang tegang memandang ke arah Kakek. Jantungnya berdegup dengan kencang. “Oh iya benar, semalam kita tidak bicara tentang tanah,” kata Prama. Ardhan menyunggingnya senyum simpul. “Bahkan semalam kita tidak bertemu ya Pak.”“I –iya Pak,” sahut Ardhan.“Maaf Pak saya salah orang, akhir-akhir ini banyak orang yang saya temui jadi semua memori tercampur,” ujar Prama. “Lupakan saja Pak yang tadi, sekarang kita fokus saja kerja.”Prama kemudian melangkah masuk menuju ruangan besar itu sedangkan Ardhan berjalan menghampiri Kakek yang tersenyum kepada

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Bukan Salesman Biasa   Akhir Cerita Bahagia

    Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas

  • Bukan Salesman Biasa   Titik Terang

    “Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post

  • Bukan Salesman Biasa   Kinanthi Disekap!

    “Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar

  • Bukan Salesman Biasa   Kenangan Masa Lalu

    “Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah

  • Bukan Salesman Biasa   Cari Mati

    Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa

  • Bukan Salesman Biasa   Saksi Kunci

    “Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati

  • Bukan Salesman Biasa   Perjuangan Kinanthi untuk Ardhan

    “Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan

  • Bukan Salesman Biasa   Kejadian Tak Terduga

    Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih

  • Bukan Salesman Biasa   Tindakan Medis

    “Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s

DMCA.com Protection Status