“Jangan Dhan, ibumu tidak perlu tahu apa yang terjadi kemarin,” larang Kakek tersebut.“Kenapa jadi diam, Ardhan? Apa yang dia lakukan padamu?” desak ibunya.“Gara-gara dia ... kita bertengkar seperti ini,” jawab Ardhan, ia mengubah jawabannya. Wanita paruh baya yang semula tegang menantikan jawabannya kini bisa bernapas lega, tak ada yang perlu dikhawatirkannya. “Jadi jangan bawa dia ke mari, Bu. Aku tidak ingin bertemu dia.”“Bilang padamu ibumu, nanti kekasih Kinanthi marah jika pergi ke rumah laki-laki lain,” ujar si Kakek memberi saran.“Nanti jika kekasih Kinanthi marah bagaimana? Dia pergi ke rumah lelaki lain. Kekasih Kinanthi itu rekan bisnis perusahaan tempatku bekerja, Bu,” imbuh Ardhan, ia mengikuti saran Kakek tersebut.“Ya sudah, kalau begitu, kamu tidak perlu menemui dia,” kata ibunya, akhirnya ia mendengarkan anaknya dan mengalah. “Pergi sana, katanya kamu ada janji dengan temamu.”“Baik Bu, aku siap-siap sekarang ya.”Ardhan masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian k
“Terserah kamu saja, Dhan.”Ardhan tak sabar untuk menunjukkan foto itu pada ibunya. Wanita yang melahirkan dan merawatnya itu harus tahu seperti apa sosok Kinanthi. Perempuan yang selalu dipuji dan dibanggkan oleh ibunya.“Punya pacar tetapi masih jalan dengan lelaki lain, pantas saja Pak Prama langsung ingin menghabisiku ternyata kekasihnya berkelakuan seperti itu,” ocehnya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Ia segera menghidupkan mesin motornya yang terdengar gahar dan keren. Lelaki itu sudah tak peduli lagi dengan para penguntitnya, Ardhan hanya ingin segera sampai rumah dan menunjukkan hasil tangkapannya kepada orang tuanya.Ia ingin mereka tahu bahwa calon istrinya-lah yang paling baik. Tanpa sadar ia memacu gas dalam-dalam, meliuk-liuk di antara kendaraan lain. Yang terpenting baginya sekarang adalah sampai di rumah dengan cepat.Semua terjadi sesuai rencananya, ia tiba di rumah ketika ibu dan ayahnya sedang menyantap makanan yang dikirimkannya tadi. Dengan langkah tegap ia
“Di luar saja agar tak mengganggu pegawai yang lain seperti kata anda kemarin, Pak.”Ardhan mengikuti ke mana kaki Prama melangkah, rupanya lelaki itu mengajak Ardhan pergi ke sisi paling pojok lantai tersebut. “Apa yang ingin anda bicarakan, Pak?”“Begini Pak Ardhan, saya bicara soal kemarin. Kamu –“Ucapan Prama terhenti karena ponselnya berdering, ada sebuah telepon dari seseorang. Lelaki itu mengangkatnya seraya menjauh dari Ardhan sehingga ia berpikir jika itu telepon penting. Ia berdiri menyandarkan kepalanya di tembok, sekilas Ardhan melihat sosok Kakek mengacungka dua jempolnya dan tersenyum.“Apa ini ulah Kakek?” batinnya.“Pak Ardhan, saya minta maaf karena kita tak jadi bicara. Mendadak saya harus kembali ke pusat. Kita bicara lain waktu saja,” jelas Prama, Ardhan menganggukkan kepalanya tanda ia paham dengan situasi yang dihadapi oleh rekan bisnisnya itu. “Maaf sudah mengganggu waktu anda, Pak.”“Tak apa Pak Prama, hati-hati di jalan,” balas Ardhan.Jika Prama melangkah me
“Aku hanya ingin menguji mentalmu saja, karena mungkin di masa depan akan terjadi hal seperti ini,” jelas si Kakek. Ardhan yang semula kesal menjadi mengerti alasan Kakek membohonginya. Pria tua misterius itu mengajarkan sesuatu padanya.“Hampir saja Kakek kuturunkan di tengah jalan,” ucap Ardhan.“Tak masalah, aku bisa pulang sendiri,” balas Kakek itu.Keduanya terus mengobrol banyak hal, Ardhan bertanya tentang hal-hal yang tidak diketahuinya mengenai kacamata tersebut. Ada yang dijawab oleh Kakek ada juga yang diabaikan olehnya. Kakek itu mengatakan jika Ardhan harus mencari tahu sendiri.Selain bertanya tentang kacamatanya, Ardhan juga bertanya tentang pekerjaannya. Apakah kariernya akan meningkat atau tetap seperti ini. “Sebenarnya aku tidak boleh memberitahumu tetapi karena kita berhubungan baik maka aku akan membocorkannya,” kata sang Kakek. Ardhan menyimak dengan seksama. “Kamu harus mundur satu langkah untuk maju beberapa langkah.”“Apa maksudnya itu Kek,” tanya Ardhan sembar
“Tidak mau, aku harus ke kantor,” jawab Ardhan tegas.“Pintar, jawaban yang bagus. Jangan-jangan kamu sudah tahu kalau di mobil itu tidak ada Kinanthi ya.”Ardhan membulatkan matanya, ia terkejut mendengar perkataan si Kakek. “Di mobil itu tidak ada mbak Kinanthi?” ucapnya sangsi.“Kalau tidak percaya coba kejar saja mobil itu,” ujar Kakek itu santai. Ardhan mendengus kesal, gas motornya dipacu lebih keras lagi, alhasil tak perlu waktu lama dirinya sampai di kantor. Karena datang lebih awal, dirinya bisa memilih tempat parkir. Ardhan kemudian ‘menyimpan’ motornya di sisi kiri baris ketiga bersama dengan motor-motor mahal lainnya.Setelah itu ia melangkah masuk ke dalam kantor, kaki jenjangnya membawanya cepat menuju lift. Ia sudah aman sekarang berada dalam bujur besi. Detik berikutnya ia sudah sampai di lantai yang dituju. Ia melangkah menuju ruang kerjanya. Suasana ruangan super besar sangat sepi. Hanya ada beberapa karyawan di sana.Seperti biasa, ia menyapa mereka dengan ramah. Me
“Kinanthi.”“Kinanthi? Dia bukan orang terdekatku, Kek. Sejak kapan dia jadi orang terdekatku,” oceh Ardhan tak terima jika Kinanthi disebut sebagai orang yang dekat dengannya. Si Kakek tak lagi meneruskan kalimatnya, yang terpenting ia sudah menyampaikan apa yang perlu Ardhan ketahui.Sosok pria itu menghilang setelah Ardhan sampai di rumahnya. Sore ini dirinya diminta sang Ibu untuk menemani pergi berbelanja kebutuhan rumah di Mall. Tentu saja pria itu bersedia, setelah berganti baju keduanya berangkat menggunakan motor ayahnya.Ardhan senang bisa menemani ibunya berbelanja karena sebelumnya ia tak punya kesempatan untuk melakukan tersebut. Selama jadi salesman, ia selalu pulang malam, komunikasi dengan kedua orang tuanya juga tidak berjalan lancar sehingga mereka sering bertengkar.Tempat yang dituju mereka adalah supermarket, ibunya membeli banyak barang kebutuhan rumah. Sesekali Ardhan memberikan saran dalam memilih produk yang tepat. Semua belanjaan sudah dibeli namun mereka tak
“Tidak bisalah, mana mungkin aku bisa menghapus ingatan seseorang,” tolak si Kakek.“Bukannya waktu itu Kakek bisa menghapus ingatan Prama juga, waktu kita bicara di tanah kosong itu,” ujar Ardhan, ia berusaha mengingatkan si Kakek.“Tidak bisa Ardhan! Tidak ada kemampuan seperti itu, kamu ini aneh-aneh saja.”Sosok itu menghilang entah ke mana, meninggalkan Ardhan yang berdiri kebingungan. Ia mendengus kesal kemudian kembali ke atas ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, perlahan-lahan matanya coklatnya itu mulai tertutup dan ia tertidur pulas.“Tidak usah kamu suruh, aku juga akan melakukannya, Dhan,” gerutu si Kakek. “Demi masa depanmu, aku sudah melanggar aturan dua kali.”Rasanya baru sebentar ia tertidur kini Ardhan sudah harus bangun lagi dan bersiap untuk kerja. Usai mematikan alarm, ia turun dari ranjangnya dan beralih ke luar kamar. Mandi, ganti baju, bersiap dan sarapan, semua itu harus dilakukannya setiap pagi.“Bawa bekal lagi?” tanya ibunya.“Iya Bu, aku bawa bekal
“Masalah yang semalam ... saya ... ““Pak Ardhan setuju ‘kan dengan pendapat saya,” ujar Prama. Ardhan meneguk salivanya, ia bingung harus merespon apa. “Tanah itu luas dan letaknya strategis lho, Pak.”“Tanah apa ya Pak?” tanya Ardhan bingung.“Kok tanah apa, tanah yang kita bicarakan semalam.”“Maaf Pak tetapi semalam kita tidak bicara tentang tanah, mungkin Pak Prama salah orang.”Prama terdiam, sepertinya ia mencoba mengingat sesuatu. Ardhan yang tegang memandang ke arah Kakek. Jantungnya berdegup dengan kencang. “Oh iya benar, semalam kita tidak bicara tentang tanah,” kata Prama. Ardhan menyunggingnya senyum simpul. “Bahkan semalam kita tidak bertemu ya Pak.”“I –iya Pak,” sahut Ardhan.“Maaf Pak saya salah orang, akhir-akhir ini banyak orang yang saya temui jadi semua memori tercampur,” ujar Prama. “Lupakan saja Pak yang tadi, sekarang kita fokus saja kerja.”Prama kemudian melangkah masuk menuju ruangan besar itu sedangkan Ardhan berjalan menghampiri Kakek yang tersenyum kepada