“Bagaimana bisa kacamata seperti bisa dipakai untuk melihat setan?” ucap Ardhan. “Bapak ini ada-ada saja.” “Liat kacamatanya saja masih dipakai anaknya,” imbuh sang Ibu. “Lagipula mana bisa jual kacamata bisa beli sepeda motor.”Karena malu atas perbuatannya tanpa berpamitan lelaki itu pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian ayahnya datang bersama dengan motor yang diimpikan oleh anak semata wayangnya.“Ayah dari mana?”“Aku harus mencoba motormu sebelum kamu memakainya. Barangkali ada yang salah ternyata semuanya aman,” ungkapnya seraya turun dari motor. Pria berkulit coklat itu menyuruh anaknya untuk mecoba motornya.Tentu saja Ardhan langsung mengiyakannya tanpa basa-basi ia menaiki motor tersebut kemudian berkeliling kampung. Ia meneruskan rute berkelilingnya hingga kampung sebelah lalu pulang melalui jalur alternatif depan rumah Kinanthi.Dari jauh dirinya sudah memelankan motornya, barangkali ia kembali melihat Prama dan Kinanthi. Sesuai harapannya, ia melihat Kinanthi masuk ke d
“Apa kemungkinan yang pertama, Yah?” desak Ardhan, ia tak sabaran mendengar ucapan ayahnya selanjutnya.“Dijaga dan berkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atau,” jawab pria itu. Ayahnya lagi-lagi menggantung kalimatnya.“Atau kamu dijaga oleh makhluk pendamping kamu,” lanjutnya.“Makhluk halus lagi, mana ada hal seperti itu dijaman modern begini,”Ardhan kesal, ayahnya ikutan Pak Romli mengaitkan semuanya dengan keberadaan makhluk tak kasat mata. “Tetapi apapun itu aku senang karena kau baik-baik saja. Mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati, ada orang yang berniat mencelakaimu.”“Dunia kerja memang begitu, Yah.”“Maka dari itu, kamu harus ekstra waspada. Berbuat baiklah pada semua orang sekalipun orang itu membencimu,” lanjut ayahnya.Ardhan menjawab dengan anggukan kepala. Semua yang perlu disampaikan kepada anaknya, sudah ia lakukan. Ayah Ardhan lanta keluar dari ruang tidur, membiarkan anaknya untuk beristirahat. Namun lelaki muda itu justru tidak bisa tidur.Ia memikirkan ucapan
“Endingnya?”“Iya, akhir mimpi itu. Kelanjutannya bagaimana Pak Ardhan?”“Tidak ada kelanjutannya, Pak. Karena takut saya jadi terbangun,” ungkap Ardhan.“Yah sayang sekali ya kita berdua tidak tahu bagaimana ending dari mimpi kita itu,” timpal Prama. “Tetapi bagaimana bisa kita mimpi yang sama ya.”Ardhan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan rekan bisnisnya itu. Ia juga tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena mereka berdua sering bertemu akhir-akhir ini. Keduanya menyudahi pembahasan mengenai mimpi dan beralih ke rutinitas yang harus dijalani.Setibanya di lantai tempat mereka bekerja, Ardhan segera fokus bekerja. Pak Bobby turut membantu mengalihkan pikiran Ardhan tentang mimpi karena lelaki itu terus membuat Ardhan sibuk. Ia meminta laporan ini dan itu, Ardhan sampai kewalahan dalam mengerjakannya.Namun hasil yang didapatkan dari kerepotannya setimpal, pujian dari atsannya serta janji pencairan bonus sudah membuat lelahnya hilang. Ardhan akan menyimpan bonusnya
“Pak Ardhan ... tunggu sebentar Pak,” kata anak buah Prama.“Ada apa ya Pak,” tanya Ardhan tanpa mematikan mesin motornya.“Pak Ardhan diharap menemui Pak Prama di lobby,” jawab lelaki itu. “Sekarang.”“Maaf Pak, aku harus pulang sekarang. Ada urusan penting yang harus aku kerjakan,” tolak Ardhan. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada Pak Prama,” lanjutnya. “Jika ada sesuatu yang penting toong beritahu melalui telepon atau email. Aku permisi dulu Pak.”Tanpa menunggu respon pria itu, Ardhan memacu kendaraannya lagi dengan cepat. Semua moment itu dilihat dengan jelas oleh Prama dari balkon lantai tiga. “Dia pasti takut mimpinya jadi kenyataan,” gumam Prama. “Aku juga takut pada akhir cerita mimpi itu.”Demi menghindari Prama, Ardhan menempuh rute lain untuk pulang yaitu lewat jalur alternatif. Meskipun lebih jauh dan sepi namun saat ini adalah pilihan yang terbaik untuknya. Ia mengendara dengan tidak tenang sesekali lelaki itu melihat spion kanan dan kiri memastikan jika Prama tak m
Ardhan mengedarkan pandangannya di sekitarnya. Hanya ada dirinya di tengah keramaian, meskipun tidak menemukan sosok Kakek tersebut Ardhan yakin jika sosok yang berbicara padanya adalah si Kakek.Ia sedikit menyesal kenapa tidak sempat menatap lawan bicaranya, ia fokus melihat aliran sungai. Ardhan merasa terhipnotis dengan bias cahaya yang tampak berkilauan. Sekarang ingin menyesali pun tak ada gunanya.Hari semakin sore, ia harus segera pulang. Ibunya sudah menunggunya di rumah. Ia memakai helm dan menghidupkan motornya dengan cepat. Tangannya memutar gas dalam-dalam, motor tingginya melaju kencang menuju rumahnya.Tak perlu waktu lama, ia sampai dirumah. Sang Ibu langsung menyambut anaknya, bibirnya tersenyum ketika melihat anaknya pulang selamat sampai dirumah. “Kenapa lama sekali? Kena macet juga lewat jalan itu?”“Nggak Bu, memang jalannya ‘kan panjang jadi lebih lama,” kata Ardhan bicara secukupnya.Ia masuk ke dalam bersamaan dengan sang Ibu, dirinya masuk kamar untuk mengamb
“Berbeda bagaimana maksudnya, Pak?” tanya Ardhan, ia memasang wajah serius.“Kinanthi cerita kalau ka—““Pak Ardhan, maaf menganggu, saya sudah terima kabar dari pusat?” ujar salah satu pegawainya tiba-tiba datang menyela pembicaraan serius. Prama terpaksa menyudahi percakapannya dengan Ardhan dan memilih pergi bersama dengan anak buahnya.Ardhan yang masih penasaran dengan cerita versi Kinanthi mengejar Prama. “Tunggu Pak, saya tahu anda sibuk tetapi saya harus tahu apa yang diceritakan pacar bapak tentang saya.”“Mohon pengertiannya ya Pak Ardhan, pekerjaan saya ini jauh lebih penting,” sahut Prama, ia meninggalkan Ardhan yang masih berdiri melihat punggung mereka.Ardhan masih berusaha untuk mengejar langkah kaki Prama. “Maaf Pak, saya hanya ingin mengingatkan sekali lagi jika saya tidak pernah bertemu secara diam-diam dengan mbak Kinanthi. Jadi saya mohon untuk tidak salah paham, terima kasih.”Usai mengatakan hal tersebut, Ardhan lantas meneruskan langkahnya menuju lobby kantor.
Bab 36.“Sejak lahir saya sudah menjadi anak mamah, kalau ditanya malu atau tidak tentu saja tidak. Karena saya anak tunggal jadi saya mendapatkan perhatian yang lebih dan lebih memperhatikan kedua orang tua saya,” jawab Ardhan panjang lebar.Ia sengaja berkata demikian untuk membuat Prama iri. Padahal yang sebenarnya terjadi, orang tua Ardhan saja tak setuju lelaki itu bekerja menjadi salesman bahkan suasana rumahnya saja dingin dan kaku. Ia bersyukur akhir-akhir ini mereka menjadi lebih akrab dan bisa memamerkan hal tersebut kepada Prama.“Begitu ya, enak sekali ya kalau tidak punya rasa malu,” timpal Prama.“Kenapa harus malu, Pak? Kami anak dan ibu memang sebaiknya bersikap hangat seperti itu. Supaya saya bisa menularkan ke calon anak saya nanti,” balas Ardhan lagi, ia terus ‘menyerang’ Prama.“Stop Pak Ardhan! Stop membicarakan tentang keluarga, hentikan! Saya sensitif mengenai hal tersebut,” larang Prama.“Maaf ya Pak,” timpal Ardhan, ia berusaha tetap tenang dan bersikap baik m
“Ayo minggir, Dhan. Jangan ditengah jalan begini,” ucap sosok itu. Ia tampak panik dan terus menepuk pundak Ardhan berulang kali. Tersadar karena berhenti di tengah jalan raya, Ardhan segera menepi. “Nah gitu dong, ‘kan kita jadi aman sekarang.”Sosok itu turun dari motor Ardhan lalu berdiri di depan pria muda tersebut. “Kek, kenapa dia melakukan itu padaku?”“Tidak apa-apa orang iri itu bebas melakukan apapun sebagai pelampiasannya,” ujar sosok itu. “Sudah pulanglah, ibumu menunggumu di rumah.”“Baik Kek,” jawabnya. Tanpa banyak bicara lagi, lelaki itu lantas menghidupkan mesin motornya. Dan perlahan meninggalkan sosok misterius yang bisa muncul kapanpun itu sendirian. Ardhan fokus mengemudi agar sampai di rumah dengan selamat.Setelah satu jam berkendara akhirnya ia sampai di rumah. Begitu bunyi motornya berhenti sang Ibu langsung keluar dari dalam rumah. “Kamu baik-baik saja ‘kan Dhan?”Ardhan terdiam, ia dilema antara bercerita tentang kejadian yang baru sja dialaminya atau meraha