Beranda / Urban / Bukan Salesman Biasa / Sandiwara Pak Bobby

Share

Sandiwara Pak Bobby

Penulis: Duarta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Masih mau cari masalah denganku? Lupa ini masih area kantor.”

“Tenang saja Pak, kami hanya ingin bicara saja,” ujar Jonas.

“Ikut aku ke luar,” titah Moritz. Ardhan mengikuti langkah musuhnya itu menuju luar bangunan. Mereka pergi ke bagian kantor yang sepi.

“Cepat katakan apa yang mau kalian katakan,” desak Ardhan, ia merasa curiga karena kedua orang itu membawanya menuju tempat yang sepi.

“Begini Dhan kami berterima kasih karena kamu mengusulkan pada Pak Bobby untuk memberikan kami kesempatan serupa. Itu sungguh menyenangkan hati kami,” ungkap Moritz. Ardhan mengerutkan keningnya, ia sama sekali tak melakukan hal tersebut. Dirinya saja baru tahu diberi tahu atasannya dan melihat surat pernyataan mereka.

"Harusnya kalian berterima kasih pada Pak Bobby,” sahut Ardhan.

“Kami sudah melakuka

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Salesman Biasa   Cinta Lama Belum Kelar

    “Kenapa kamu tidak suka ya?” tanya sang Ayah. Ardhan tak menjawab ia masih sibuk mengamati motor yang ada dihadapannya itu. “Motor yang kamu pilih kemarin stoknya sedang kosong. Kalau kamu tidak suka bisa –““Suka kok Yah, yang ini justru lebih bagus daripada yang aku pilih kemarin,” ucapnya. Ardhan tak menyangka ayahnya membelikannya motor yang mirip dengan motor milik Prama. Sekilas motor ber-cc besar itu mirip namun dari segi harga, motor Prama lebih mahal.“Jadi kamu suka motornya?”“Suka Yah, terima kasih,” kata Ardhan sembari memeluk ayah dan juga ibunya. Ia tahu pasti mereka membeli motor tersebut dari uang tabungan keduanya. Sang Ayah mengatakan jika semua surat-suratnya sudah ditaruh di meja kamarnya. “Aku coba test dulu ya.”Dengan dibantu sang Ayah, Ardhan mengeluarkan motor gede itu. Suara motor barunya sungguh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Pria Berengsek

    Ardhan tentu saja terkejut mendengar kalimat umpatan meluncur dari mulut lelaki itu. “Apa maksud Pak Prama mengatakan saya begitu?” ujarnya. Namun bukannya menjawab Prama justru tak menggubris perkataan Ardhan.Lelaki itu malah pergi setelah mendapat telepon dari seseorang. Ardhan yang masih penasaran mengejar pria itu hingga ke teras gedung tiga lantai tersebut. Ia menunggu Prama hingga selesai bicara dengan orang yang menelponnya.“Pak, saya masih ingin tahu kenapa Bapak –“Ucapannya berhenti karena ada seseorang yang datang dan langsung menyapa Prama. “Pak, maaf saya terlambat Pak tadi mobilnya bannya kempes,” ujar lelaki itu yang disinyalir merupakan anak buah Prama. “Sendirian Pak?”“Iya Pak tim kita belum ada yang datang,” jawabnya. Mereka pun terlibat obrolan mengenai internal perusahaan tersebut, Ardhan tahu diri sebagai pihak luar ia tak boleh mendengarkan pembicaraan mereka. Alhasil ia tak tahu jika pegawai tersebut menanyakan keberadaannya. “Ada tetapi sekarang tidak tahu k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Halusinasi

    Ia terkejut bukan main saat menyadari hal tersebut. “Tidak mungkin,” batinnya. Karena tidak percaya, Ardhan kembali mencobanya. Lelaki itu berdiri di depan Prama, ia ingin mengatakan sesuatu padanya.Tetapi Prama lebih dahulu bertanya padanya. “Ada apa Pak Ardhan? Ada yang salah dengan ucapanku?”“Tidak, Bapak bebas mengatakan apapun tentang saya. Tetapi saya tidak pernah berniat untuk menandingin anda, Pak. Jika permasalahannya dikarenakan motor kita sama, menurut saya itu terlalu kekanakan.”Prama tertawa mendengar perkataan Ardhan barusan dan tersebut membuat dirinya bertambah kesal. Pria itu terlihat semakin meremehkan dirinya. “Begini ya Pak Ardhan, kekanakan atau tidak itu adalah keluhan saya terhadap anda. Terima saja.”“Saya terima Pak meskipun itu tidak masuk akal, tidak pantas dikeluhkan untuk laki-laki seumuran kita.” 

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Kabar dari Kekasih

    “Sewa? Saya tidak menyewa motor Pak,” kata Ardhan tak terima jika disebut demikian.“Saya bercanda Pak,” ucap Prama lagi. “Jangan dibawa serius begitu.”Ardhan ingin sekali marah pada pria tersebut sayangnya tidak bisa ia lakukan, mau tak mau Ardhan harus menahannya. Prama yang ketus berubah dengan cepat menjadi pria yang baik. Karena kantor mereka dekat dengan salah satu coffe shop terbesar dan terkenal maka ia menawari Ardhan minum kopi.“Tidak usah Pak, terima kasih,” tolak Ardhan. Bukannya ia tak suka kopi, Ardhan hanya tak mau merima kopi dari pria yang berulang kali membuatnya sakit hati. Usai menolak kopi dirinya segera masuk ke dalam ruang kerjanya.Rupanya Prama mengekor di belakang, setibanya di ruangan tersebut Ardhan langsung bersih-bersih mejanya.Hal yang sama juga dilakukan oleh lelaki itu. Ia meniru apapun yang Ardhan lakukan. Lama kelamaan ruangan kerja tersebut dengan para pegawai lainnya.Jam kerja sudah tiba mereka semua mengerjakan tugasnya masing-masing. Ardhan ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Menantu Idaman

    “Bagaimana bisa kacamata seperti bisa dipakai untuk melihat setan?” ucap Ardhan. “Bapak ini ada-ada saja.” “Liat kacamatanya saja masih dipakai anaknya,” imbuh sang Ibu. “Lagipula mana bisa jual kacamata bisa beli sepeda motor.”Karena malu atas perbuatannya tanpa berpamitan lelaki itu pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian ayahnya datang bersama dengan motor yang diimpikan oleh anak semata wayangnya.“Ayah dari mana?”“Aku harus mencoba motormu sebelum kamu memakainya. Barangkali ada yang salah ternyata semuanya aman,” ungkapnya seraya turun dari motor. Pria berkulit coklat itu menyuruh anaknya untuk mecoba motornya.Tentu saja Ardhan langsung mengiyakannya tanpa basa-basi ia menaiki motor tersebut kemudian berkeliling kampung. Ia meneruskan rute berkelilingnya hingga kampung sebelah lalu pulang melalui jalur alternatif depan rumah Kinanthi.Dari jauh dirinya sudah memelankan motornya, barangkali ia kembali melihat Prama dan Kinanthi. Sesuai harapannya, ia melihat Kinanthi masuk ke d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Bunga Tidur

    “Apa kemungkinan yang pertama, Yah?” desak Ardhan, ia tak sabaran mendengar ucapan ayahnya selanjutnya.“Dijaga dan berkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atau,” jawab pria itu. Ayahnya lagi-lagi menggantung kalimatnya.“Atau kamu dijaga oleh makhluk pendamping kamu,” lanjutnya.“Makhluk halus lagi, mana ada hal seperti itu dijaman modern begini,”Ardhan kesal, ayahnya ikutan Pak Romli mengaitkan semuanya dengan keberadaan makhluk tak kasat mata. “Tetapi apapun itu aku senang karena kau baik-baik saja. Mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati, ada orang yang berniat mencelakaimu.”“Dunia kerja memang begitu, Yah.”“Maka dari itu, kamu harus ekstra waspada. Berbuat baiklah pada semua orang sekalipun orang itu membencimu,” lanjut ayahnya.Ardhan menjawab dengan anggukan kepala. Semua yang perlu disampaikan kepada anaknya, sudah ia lakukan. Ayah Ardhan lanta keluar dari ruang tidur, membiarkan anaknya untuk beristirahat. Namun lelaki muda itu justru tidak bisa tidur.Ia memikirkan ucapan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Menghindari Prama

    “Endingnya?”“Iya, akhir mimpi itu. Kelanjutannya bagaimana Pak Ardhan?”“Tidak ada kelanjutannya, Pak. Karena takut saya jadi terbangun,” ungkap Ardhan.“Yah sayang sekali ya kita berdua tidak tahu bagaimana ending dari mimpi kita itu,” timpal Prama. “Tetapi bagaimana bisa kita mimpi yang sama ya.”Ardhan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan rekan bisnisnya itu. Ia juga tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena mereka berdua sering bertemu akhir-akhir ini. Keduanya menyudahi pembahasan mengenai mimpi dan beralih ke rutinitas yang harus dijalani.Setibanya di lantai tempat mereka bekerja, Ardhan segera fokus bekerja. Pak Bobby turut membantu mengalihkan pikiran Ardhan tentang mimpi karena lelaki itu terus membuat Ardhan sibuk. Ia meminta laporan ini dan itu, Ardhan sampai kewalahan dalam mengerjakannya.Namun hasil yang didapatkan dari kerepotannya setimpal, pujian dari atsannya serta janji pencairan bonus sudah membuat lelahnya hilang. Ardhan akan menyimpan bonusnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Salesman Biasa   Kejadian Berbahaya

    “Pak Ardhan ... tunggu sebentar Pak,” kata anak buah Prama.“Ada apa ya Pak,” tanya Ardhan tanpa mematikan mesin motornya.“Pak Ardhan diharap menemui Pak Prama di lobby,” jawab lelaki itu. “Sekarang.”“Maaf Pak, aku harus pulang sekarang. Ada urusan penting yang harus aku kerjakan,” tolak Ardhan. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada Pak Prama,” lanjutnya. “Jika ada sesuatu yang penting toong beritahu melalui telepon atau email. Aku permisi dulu Pak.”Tanpa menunggu respon pria itu, Ardhan memacu kendaraannya lagi dengan cepat. Semua moment itu dilihat dengan jelas oleh Prama dari balkon lantai tiga. “Dia pasti takut mimpinya jadi kenyataan,” gumam Prama. “Aku juga takut pada akhir cerita mimpi itu.”Demi menghindari Prama, Ardhan menempuh rute lain untuk pulang yaitu lewat jalur alternatif. Meskipun lebih jauh dan sepi namun saat ini adalah pilihan yang terbaik untuknya. Ia mengendara dengan tidak tenang sesekali lelaki itu melihat spion kanan dan kiri memastikan jika Prama tak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Bukan Salesman Biasa   Akhir Cerita Bahagia

    Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas

  • Bukan Salesman Biasa   Titik Terang

    “Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post

  • Bukan Salesman Biasa   Kinanthi Disekap!

    “Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar

  • Bukan Salesman Biasa   Kenangan Masa Lalu

    “Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah

  • Bukan Salesman Biasa   Cari Mati

    Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa

  • Bukan Salesman Biasa   Saksi Kunci

    “Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati

  • Bukan Salesman Biasa   Perjuangan Kinanthi untuk Ardhan

    “Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan

  • Bukan Salesman Biasa   Kejadian Tak Terduga

    Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih

  • Bukan Salesman Biasa   Tindakan Medis

    “Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s

DMCA.com Protection Status