Alex benci perpisahan. Dia yang pernah merasakan sakit karena perpisahan sangat membencinya. Keinginannya untuk membawa Diana serta sangatlah besar, namun belum dapat diwujudkan. Mereka harus berusaha meluluhkan hati Benyamin.
Malam telah tiba dan tidak lama lagi Alex harus pulang. Rasanya tidak ingin melepas tubuh mungil ini dari pelukannya. Alex menikmati aroma tubuh Diana. Dia punya ide. "Berikan baju ini untukku," kata Alex. "Sekarang?" "Kubantu melepasnya...." Alex tersenyum nakal. "Eh, tunggu...." Diana menahan tangan Alex yang hendak menyingkap baju tidurnya. "Aku bisa sendiri, kamu nih ya...." "Kutunggu." Diana ragu. Apa maksud Alex? "Ada aroma tubuhmu di baju ini. Aku akan membawanya tidur." "Oh, baiklah." Diana mendorong Alex. "Kamu menepi sedikit, aku ke kamar mandi." "KeBeberapa hari ini Diana heran melihat Benyamin kedatangan banyak tamu. Tidak biasanya. Tamu-tamu itu selalu pasangan suami isteri paruh baya. Sesekali Ben akan memanggil Diana dan menyuruhnya menyalami mereka. Diana merasa orang-orang itu mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aneh sekali. Pagi ini pun aneh. Seisi rumah tampak sibuk. Pelayan-pelayan bekerja maksimal mempercantik rumah. Juru masak juga menyiapkan bahan makanan dalam jumlah banyak. Diana termenung, apakah akan ada pesta? Kok dia tidak diberitahu? "Sssttt... Jack, kamu tahu apa yang sedang terjadi?" Diana mencolek Jack yang sedang ikut memotong bawang merah. "Aku juga tidak terlalu tahu, Nona. Coba tanyakan Pak Ben langsung. Sepertinya ini acara dia." Jack mengusap matanya yang merah. "Ada pesta ya?" "Mungkin." Jack melanjutkan mengiris. "Kamu harus pakai kacamata
Proses seleksi yang dilakukan Benyamin berlangsung secepat kilat. Dia tahu semuanya harus beres sebelum hari Sabtu, hari di mana Alex berkunjung. Pilihan Benyamin jatuh pada seorang putra konglomerat pemilik grup garmen dan tekstil. Wajahnya cukup tampan, pembawaannya pun tenang. Dia memperkenalkan diri sebagai Budiman Sanjaya. Benyamin mengatur sebuah makan malam romantis untuk Diana dan Budiman di sebuah restoran bintang lima. Benyamin berharap Budiman dapat menunjukkan kepribadiannya yang terpuji kepada Diana. Diana mondar-mandir gelisah di dalam kamar. Benyamin menguncinya sejak semalam. Handphonenya juga disita. Kini kemungkinan untuk kabur nyaris nol besar. Diana tahu kesempatan satu-satunya yang dapat dimanfaatkan adalah saat berada di restoran. Untung dompet dan kartu identitas Diana tidak disita. Cukup uang untuk membeli tiket kereta malam. Pintu dibuka dan seorang pelayan wanita mengantarkan makan siang
Sepanjang hari perasaan Alex tidak enak. Dia khawatir terjadi sesuatu pada Diana. Hatinya semakin resah saat handphone Diana tidak dapat dijangkau. Alex menelepon Jack dan mendapat informasi bahwa Diana menjatuhkan handphone ke air. Alex bukan orang biasa. Dia tahu Jack berbohong, tapi apa yang dapat dilakukan? Dia mempercayai Jack. Kesulitan apa pun yang dihadapi Diana, Alex tahu Jack dapat membantu. Sore hari Alex pergi ke club. Dia butuh kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang kusut. Sayangnya tidak banyak yang bisa dilakukan. Tidak ada perkelahian maupun insiden berarti. Malamnya Alex masih mencoba menelepon Diana. Tidak berhasil. Malah Jack yang menelepon. "Hei, ada kabar apa?" tanya Alex tanpa semangat. "Vorst, sedang di mana kau? Di club? Cepat pulang! Kekasihmu sedang menuju ke sana!" seru Jack. "Apa?? Bagaimana??" Alex melompat berdiri. Dia segera berlari ke mobil.
"Untung pakaianku masih banyak di sini, kalau tidak aku bisa memakai bajumu terus." "Aku tidak keberatan." Alex tersenyum. "Kamu ih." "Lagipula bukankah kamu akan lebih sering tidak berpakaian?" goda Alex. "Alex! Tidak sopan!" Diana membenamkan wajah dalam selimut. "Sembunyi di mana kamu? Aku akan menemukanmu." Alex turut masuk ke dalam selimut. "Pergi sana, ini tempat berlindungku!" Diana tertawa. Tawa Diana terhenti saat Alex melumat bibirnya. Perlahan hasrat mereka terbangkit. Alex membawa Diana melayang ke langit ke tujuh, berkali-kali. Usai pergumulan mereka rebah tanpa jarak. "Tidak takut dijemput paksa?" Alex memainkan rambut Diana di jari-jarinya. "Tidak takut." Diana tersenyum. Jari telunjuknya menyusuri torehan tinta di lengan Alex. "Hmmm..., anak nakal."
Saat tubuh bersatu, roh pun turut melebur. Kepekaan mereka terhadap pasangan semakin bertambah. Bukanlah sesuatu yang buruk untuk dapat turut merasakan perasaan dan pikiran sang kekasih. Inilah yang dialami Alex dan Diana setelah malam pertama mereka. "Kamu mau ke mana?" tanya Alex. "Aku tidak--" "Ke rumah hantu??" Alex mengernyit. "Apaan sih? Keluar dari kepalaku, hush hush!" Bukannya dia penakut? batin Alex. "Hei, aku bukan penakut ya. Ayo buktikan!" cetus Diana keki. Alex menatapnya dengan takjub. "Apa??" tantang Diana. "Ada sesuatu yang menarik." Alex menarik Diana hingga tersungkur dalam pelukannya. "Apa?" Diana menunggu Alex melakukan apa yang ada dalam pikirannya. "Kamu bisa lihat?" Alex tersenyum nakal. Pikirannya membayangkan banyak hal yang akan dilakuka
Malam telah tiba saat Diana terbangun. Kamar kosong dan dingin. Di manakah Alex? Diana menggeliat. Dia mengambil kaos Alex dari lemari dan memakainya. Rasanya lebih nyaman memakai kaos kebesaran milik kekasih. Diana mengambil segelas air dingin di kulkas. Diteguknya dengan nikmat. Perutnya merasa lapar. Dia menghangatkan makanan yang tadi sore mereka beli, seporsi besar seafood platter. Sambil menunggu Diana mengambil handphone barunya. Daftar kontak baru terisi dengan nomor Alex. Diana mencoba menelepon. Tidak dijawab? Coba sekali lagi. "Princess-ku sudah bangun?" Suara Alex terdengar menggoda. Diana mendengar suara orang pura-pura muntah di latar. Matanya melebar. Itu suara Jack! "Alex, kamu di mana? Aku mendengar suara Jack," tanya Diana. "Benar sekali. Orang ini tidak bisa lepas dariku." Alex tertawa. Jack meneriakkan sesuatu. "Sedang apa kal
Akhirnya Alex menceritakan apa yang terjadi di lobby. Diana mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap emosi yang muncul di hati Alex mengalir kepadanya tanpa hambatan. Diana tersipu. "Kamu melihat atau merasakan?" tanya Alex. "Keduanya." "Tidak ada lagi yang dapat kusembunyikan ya?" desah Alex. "Sekarang aku mengerti perasaanmu. Mengetahui isi hati dan pikiran orang lain tidak selalu menyenangkan. Membuatku lelah." Alex menyeringai. Dia setuju. "Lalu sekarang bagaimana?" tanya Diana sambil menusuk potongan udang terakhir dengan garpu. "Aku masih ingin bermesraan denganmu tanpa gangguan," ucap Alex tanpa perlu berpikir. "Kalau Papa mengirim orang lagi?" "Kemungkinan dia akan datang sendiri." "Menurutmu?" Alex mengangkat bahu, "Perasaanku mengatakan begitu."
Pagi hari ini kediaman Benyamin tampak seperti persiapan demonstrasi. Orang-orang berpakaian serba hitam berbaris di taman dengan Jack ikut serta di barisan terbelakang. Benyamin mengawasi bawahannya. Sebuah Rolls Royce hitam berkilat bergulir menuju mereka. Benyamin memicingkan mata. Dia tahu mobil mewah itu milik Sanjaya. Mau apa mereka di sini? Penjaga gerbang bodoh, kenapa mereka diijinkan masuk? Budiman Sanjaya turun dengan anggun diikuti sang ayah, Sugito Sanjaya. Keduanya memiliki wajah yang mirip hanya dibedakan oleh kerutan. Benyamin mengangguk dan mendahului masuk ke dalam rumah. "Selamat pagi, Saudara. Aku percaya kamu sedang menangani masalah yang ada," kata Sugito dengan pongah. Kakinya disilangkan tinggi-tinggi memperlihatkan sepatu kulit buaya yang berkilat tanpa cela. "Betul sekali, Saudara. Tenang saja, aku akan membawa Diana kembali ke sisi putramu." Benyamin tersenyum t
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny