Beberapa hari ini Diana heran melihat Benyamin kedatangan banyak tamu. Tidak biasanya. Tamu-tamu itu selalu pasangan suami isteri paruh baya. Sesekali Ben akan memanggil Diana dan menyuruhnya menyalami mereka. Diana merasa orang-orang itu mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Aneh sekali. Pagi ini pun aneh. Seisi rumah tampak sibuk. Pelayan-pelayan bekerja maksimal mempercantik rumah. Juru masak juga menyiapkan bahan makanan dalam jumlah banyak. Diana termenung, apakah akan ada pesta? Kok dia tidak diberitahu? "Sssttt... Jack, kamu tahu apa yang sedang terjadi?" Diana mencolek Jack yang sedang ikut memotong bawang merah. "Aku juga tidak terlalu tahu, Nona. Coba tanyakan Pak Ben langsung. Sepertinya ini acara dia." Jack mengusap matanya yang merah. "Ada pesta ya?" "Mungkin." Jack melanjutkan mengiris. "Kamu harus pakai kacamataProses seleksi yang dilakukan Benyamin berlangsung secepat kilat. Dia tahu semuanya harus beres sebelum hari Sabtu, hari di mana Alex berkunjung. Pilihan Benyamin jatuh pada seorang putra konglomerat pemilik grup garmen dan tekstil. Wajahnya cukup tampan, pembawaannya pun tenang. Dia memperkenalkan diri sebagai Budiman Sanjaya. Benyamin mengatur sebuah makan malam romantis untuk Diana dan Budiman di sebuah restoran bintang lima. Benyamin berharap Budiman dapat menunjukkan kepribadiannya yang terpuji kepada Diana. Diana mondar-mandir gelisah di dalam kamar. Benyamin menguncinya sejak semalam. Handphonenya juga disita. Kini kemungkinan untuk kabur nyaris nol besar. Diana tahu kesempatan satu-satunya yang dapat dimanfaatkan adalah saat berada di restoran. Untung dompet dan kartu identitas Diana tidak disita. Cukup uang untuk membeli tiket kereta malam. Pintu dibuka dan seorang pelayan wanita mengantarkan makan siang
Sepanjang hari perasaan Alex tidak enak. Dia khawatir terjadi sesuatu pada Diana. Hatinya semakin resah saat handphone Diana tidak dapat dijangkau. Alex menelepon Jack dan mendapat informasi bahwa Diana menjatuhkan handphone ke air. Alex bukan orang biasa. Dia tahu Jack berbohong, tapi apa yang dapat dilakukan? Dia mempercayai Jack. Kesulitan apa pun yang dihadapi Diana, Alex tahu Jack dapat membantu. Sore hari Alex pergi ke club. Dia butuh kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang kusut. Sayangnya tidak banyak yang bisa dilakukan. Tidak ada perkelahian maupun insiden berarti. Malamnya Alex masih mencoba menelepon Diana. Tidak berhasil. Malah Jack yang menelepon. "Hei, ada kabar apa?" tanya Alex tanpa semangat. "Vorst, sedang di mana kau? Di club? Cepat pulang! Kekasihmu sedang menuju ke sana!" seru Jack. "Apa?? Bagaimana??" Alex melompat berdiri. Dia segera berlari ke mobil.
"Untung pakaianku masih banyak di sini, kalau tidak aku bisa memakai bajumu terus." "Aku tidak keberatan." Alex tersenyum. "Kamu ih." "Lagipula bukankah kamu akan lebih sering tidak berpakaian?" goda Alex. "Alex! Tidak sopan!" Diana membenamkan wajah dalam selimut. "Sembunyi di mana kamu? Aku akan menemukanmu." Alex turut masuk ke dalam selimut. "Pergi sana, ini tempat berlindungku!" Diana tertawa. Tawa Diana terhenti saat Alex melumat bibirnya. Perlahan hasrat mereka terbangkit. Alex membawa Diana melayang ke langit ke tujuh, berkali-kali. Usai pergumulan mereka rebah tanpa jarak. "Tidak takut dijemput paksa?" Alex memainkan rambut Diana di jari-jarinya. "Tidak takut." Diana tersenyum. Jari telunjuknya menyusuri torehan tinta di lengan Alex. "Hmmm..., anak nakal."
Saat tubuh bersatu, roh pun turut melebur. Kepekaan mereka terhadap pasangan semakin bertambah. Bukanlah sesuatu yang buruk untuk dapat turut merasakan perasaan dan pikiran sang kekasih. Inilah yang dialami Alex dan Diana setelah malam pertama mereka. "Kamu mau ke mana?" tanya Alex. "Aku tidak--" "Ke rumah hantu??" Alex mengernyit. "Apaan sih? Keluar dari kepalaku, hush hush!" Bukannya dia penakut? batin Alex. "Hei, aku bukan penakut ya. Ayo buktikan!" cetus Diana keki. Alex menatapnya dengan takjub. "Apa??" tantang Diana. "Ada sesuatu yang menarik." Alex menarik Diana hingga tersungkur dalam pelukannya. "Apa?" Diana menunggu Alex melakukan apa yang ada dalam pikirannya. "Kamu bisa lihat?" Alex tersenyum nakal. Pikirannya membayangkan banyak hal yang akan dilakuka
Malam telah tiba saat Diana terbangun. Kamar kosong dan dingin. Di manakah Alex? Diana menggeliat. Dia mengambil kaos Alex dari lemari dan memakainya. Rasanya lebih nyaman memakai kaos kebesaran milik kekasih. Diana mengambil segelas air dingin di kulkas. Diteguknya dengan nikmat. Perutnya merasa lapar. Dia menghangatkan makanan yang tadi sore mereka beli, seporsi besar seafood platter. Sambil menunggu Diana mengambil handphone barunya. Daftar kontak baru terisi dengan nomor Alex. Diana mencoba menelepon. Tidak dijawab? Coba sekali lagi. "Princess-ku sudah bangun?" Suara Alex terdengar menggoda. Diana mendengar suara orang pura-pura muntah di latar. Matanya melebar. Itu suara Jack! "Alex, kamu di mana? Aku mendengar suara Jack," tanya Diana. "Benar sekali. Orang ini tidak bisa lepas dariku." Alex tertawa. Jack meneriakkan sesuatu. "Sedang apa kal
Akhirnya Alex menceritakan apa yang terjadi di lobby. Diana mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap emosi yang muncul di hati Alex mengalir kepadanya tanpa hambatan. Diana tersipu. "Kamu melihat atau merasakan?" tanya Alex. "Keduanya." "Tidak ada lagi yang dapat kusembunyikan ya?" desah Alex. "Sekarang aku mengerti perasaanmu. Mengetahui isi hati dan pikiran orang lain tidak selalu menyenangkan. Membuatku lelah." Alex menyeringai. Dia setuju. "Lalu sekarang bagaimana?" tanya Diana sambil menusuk potongan udang terakhir dengan garpu. "Aku masih ingin bermesraan denganmu tanpa gangguan," ucap Alex tanpa perlu berpikir. "Kalau Papa mengirim orang lagi?" "Kemungkinan dia akan datang sendiri." "Menurutmu?" Alex mengangkat bahu, "Perasaanku mengatakan begitu."
Pagi hari ini kediaman Benyamin tampak seperti persiapan demonstrasi. Orang-orang berpakaian serba hitam berbaris di taman dengan Jack ikut serta di barisan terbelakang. Benyamin mengawasi bawahannya. Sebuah Rolls Royce hitam berkilat bergulir menuju mereka. Benyamin memicingkan mata. Dia tahu mobil mewah itu milik Sanjaya. Mau apa mereka di sini? Penjaga gerbang bodoh, kenapa mereka diijinkan masuk? Budiman Sanjaya turun dengan anggun diikuti sang ayah, Sugito Sanjaya. Keduanya memiliki wajah yang mirip hanya dibedakan oleh kerutan. Benyamin mengangguk dan mendahului masuk ke dalam rumah. "Selamat pagi, Saudara. Aku percaya kamu sedang menangani masalah yang ada," kata Sugito dengan pongah. Kakinya disilangkan tinggi-tinggi memperlihatkan sepatu kulit buaya yang berkilat tanpa cela. "Betul sekali, Saudara. Tenang saja, aku akan membawa Diana kembali ke sisi putramu." Benyamin tersenyum t
Benyamin menatap pasangan kekasih yang duduk di hadapannya. Tampak jelas sekali kedekatan mereka berbeda dari sebelumnya. Hati Benyamin was-was. "Diana, calon suamimu menginginkan untuk segera menikah," kata Ben. Diana bertukar pandang dengan Alex. "Aku tidak mau, Pa. Orang itu sakit jiwa. Tanya saja Jack," ketus Diana. Benyamin memandang ke arah Jack yang berdiri di sampingnya, "Benar begitu?" "Benar Pak." Benyamin tidak menyangka. "Tuh kan. Papa tidak tahu sih, masa baru makan malam sudah mau berbuat yang aneh-aneh," timpal Diana. "Jadi kamu tidak mau?" tanya Benyamin. Diana menggeleng. "Papa kurang hati-hati dalam menyeleksi. Pulanglah. Kita akan mencari calon suami untukmu dengan cara yang lebih baik." "Aku tidak mau, Pa. Aku sudah menetapkan pilihan." Diana m