Malam telah tiba saat Diana terbangun. Kamar kosong dan dingin. Di manakah Alex? Diana menggeliat. Dia mengambil kaos Alex dari lemari dan memakainya. Rasanya lebih nyaman memakai kaos kebesaran milik kekasih.
Diana mengambil segelas air dingin di kulkas. Diteguknya dengan nikmat. Perutnya merasa lapar. Dia menghangatkan makanan yang tadi sore mereka beli, seporsi besar seafood platter. Sambil menunggu Diana mengambil handphone barunya. Daftar kontak baru terisi dengan nomor Alex. Diana mencoba menelepon. Tidak dijawab? Coba sekali lagi. "Princess-ku sudah bangun?" Suara Alex terdengar menggoda. Diana mendengar suara orang pura-pura muntah di latar. Matanya melebar. Itu suara Jack! "Alex, kamu di mana? Aku mendengar suara Jack," tanya Diana. "Benar sekali. Orang ini tidak bisa lepas dariku." Alex tertawa. Jack meneriakkan sesuatu. "Sedang apa kalAkhirnya Alex menceritakan apa yang terjadi di lobby. Diana mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap emosi yang muncul di hati Alex mengalir kepadanya tanpa hambatan. Diana tersipu. "Kamu melihat atau merasakan?" tanya Alex. "Keduanya." "Tidak ada lagi yang dapat kusembunyikan ya?" desah Alex. "Sekarang aku mengerti perasaanmu. Mengetahui isi hati dan pikiran orang lain tidak selalu menyenangkan. Membuatku lelah." Alex menyeringai. Dia setuju. "Lalu sekarang bagaimana?" tanya Diana sambil menusuk potongan udang terakhir dengan garpu. "Aku masih ingin bermesraan denganmu tanpa gangguan," ucap Alex tanpa perlu berpikir. "Kalau Papa mengirim orang lagi?" "Kemungkinan dia akan datang sendiri." "Menurutmu?" Alex mengangkat bahu, "Perasaanku mengatakan begitu."
Pagi hari ini kediaman Benyamin tampak seperti persiapan demonstrasi. Orang-orang berpakaian serba hitam berbaris di taman dengan Jack ikut serta di barisan terbelakang. Benyamin mengawasi bawahannya. Sebuah Rolls Royce hitam berkilat bergulir menuju mereka. Benyamin memicingkan mata. Dia tahu mobil mewah itu milik Sanjaya. Mau apa mereka di sini? Penjaga gerbang bodoh, kenapa mereka diijinkan masuk? Budiman Sanjaya turun dengan anggun diikuti sang ayah, Sugito Sanjaya. Keduanya memiliki wajah yang mirip hanya dibedakan oleh kerutan. Benyamin mengangguk dan mendahului masuk ke dalam rumah. "Selamat pagi, Saudara. Aku percaya kamu sedang menangani masalah yang ada," kata Sugito dengan pongah. Kakinya disilangkan tinggi-tinggi memperlihatkan sepatu kulit buaya yang berkilat tanpa cela. "Betul sekali, Saudara. Tenang saja, aku akan membawa Diana kembali ke sisi putramu." Benyamin tersenyum t
Benyamin menatap pasangan kekasih yang duduk di hadapannya. Tampak jelas sekali kedekatan mereka berbeda dari sebelumnya. Hati Benyamin was-was. "Diana, calon suamimu menginginkan untuk segera menikah," kata Ben. Diana bertukar pandang dengan Alex. "Aku tidak mau, Pa. Orang itu sakit jiwa. Tanya saja Jack," ketus Diana. Benyamin memandang ke arah Jack yang berdiri di sampingnya, "Benar begitu?" "Benar Pak." Benyamin tidak menyangka. "Tuh kan. Papa tidak tahu sih, masa baru makan malam sudah mau berbuat yang aneh-aneh," timpal Diana. "Jadi kamu tidak mau?" tanya Benyamin. Diana menggeleng. "Papa kurang hati-hati dalam menyeleksi. Pulanglah. Kita akan mencari calon suami untukmu dengan cara yang lebih baik." "Aku tidak mau, Pa. Aku sudah menetapkan pilihan." Diana m
Televisi menayangkan acara komedi kesukaan Diana, tapi matanya menatap kosong. Kedua lengannya memeluk lutut seperti anak hilang. Alex merangkul tubuh mungil Diana dengan penuh kasih sayang. "Diana," panggil Alex. "Hmm?" "Kupikir kamu tidak mau menjawab." Alex tersenyum. Jarinya memainkan helaian rambut Diana. "Hmmm...." "Kamu harus keluar dari sini. Sudah tiga hari kita tidak terkena sinar matahari." "Hmmm...." "Satu-satunya reaksi berbeda yang kudapat darimu hanya saat kita bercinta," goda Alex. Diana menyembunyikan wajah di lengan. "Aku tahu ke mana harus membawamu. Ayo mandi dulu," kata Alex. "Hmmm...," gumam Diana dari balik tirai rambut. Alex geleng-geleng kepala. Tanpa peringatan dia membopong Diana ke kamar mandi. Alex menyalakan pancuran air tanpa melepas
Hari-hari kembali normal. Diana kembali mendampingi Alex dalam pekerjaan. Kini semua karyawan club sudah mengenal Diana sebagai Nyonya Alex, sebuah sebutan yang masih diterimanya dengan tersipu malu. Suatu malam yang kebetulan adalah akhir bulan di mana pembukuan harus dirampungkan sedetil mungkin. Diana bekerja keras menarik data dari Alex dan memasukkannya ke dalam tabel-tabel yang telah diprogram dengan rumus rumit. Karena bukan jurusan akuntansi, Diana membuat tabel dan rumus sesuai keperluan mereka. Dari monitor CCTV Diana dapat melihat Alex sedang mengontrol situasi di club. Semua orang disapa dengan bersahabat. Kemampuan indera keenam Alex sangat membantu dalam menyaring orang-orang yang dapat dipercaya. Pada salah satu layar terlihat ada perdebatan kecil di pintu masuk. Siapa gerangan? Diana melihat Alex segera menuju lokasi keributan. "Matamu buta, hah?? Aku di tempat ini selama
Pekerjaan Diana baru selesai satu jam setelah club tutup. Jack tertidur di kamar sementara Alex menunggui dengan setia. Sebenarnya Diana dapat menyelesaikan lebih cepat, hanya saja konsentrasinya buyar oleh colekan Alex. "Aku bisa tidur sampai sore nih." Diana menggeliat di pangkuan Alex. "Yakin? Tidak mau menemaniku bergadang?" Alex mengulum daun telinga Diana. "Kamu ih, ada waktu bermesraan, ada waktu beristirahat..." Mata Diana terpejam. Kepalanya bersandar ke bahu Alex. "Kamu tidak usah bergerak, biar aku yang bekerja," rayu Alex. "Mmmh..." Alex nyaris tertawa saat Diana tertidur. Tidak tega membangunkan, Alex membopong Diana. Dia membangunkan Jack dengan tendangan. "Heh! Sial kau--" "Sssssttttt...!" Jack langsung diam. "Tolong matikan semua peralatan listrik. Kita pulang."
"Bagaimana rasanya memiliki partner tetap, huh?" tanya Jack usai sesi sparring di atap. "Menyenangkan," sahut Alex dengan wajah berbinar. Jack tertawa, "Sudah saatnya." "Kau betul. Untung aku bertemu Diana, kalau tidak--" "Seumur hidup jadi petualang." Jack menepuk bahu Alex. Alex menyeringai. "Aku belum memberi selamat, Vorst. Semoga kalian sehidup semati." "Thanks, Kawan." "Kapan pernikahannya?" "Akan kuatur secepat mungkin." "Jaga dia baik-baik, Vorst. Setelah memilih jalan bersamamu bisa dikatakan dia tidak punya siapa-siapa." "Tentu saja. Tidak usah kau beritahu." Wajah Jack berubah serius, "Berhati-hatilah terhadap Benyamin. Kau tahu dia bukan orang sembarangan. Kudengar dia berencana untuk menghancurkanmu." "Biarkan dia
Pilih mana, lakukan apa yang kuperintahkan, atau kehilangan tangan dan kakimu. Semua terjadi begitu cepat. Teriakan, bentakan, jeritan, suara hantaman benda tumpul. Kemudian hening. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam... Seharusnya ada satu lagi. Di mana anak muda Vorst itu? Temukan dia! Atau, cukup sampai di sini. Toh Jan dan Elisa sudah dihabisi. Seorang pemuda berusia delapanbelas tahun bisa berbuat apa? Benyamin tersentak. Matanya berputar liar. Keparat! Mimpi buruk di siang bolong! Ben memukul meja. Bayangan masa lalu mulai menghantuinya sejak Alexander Vorst menampakkan wajah. Ben segera mengenali ciri khas Jan Vorst pada wajah Alex. Ayah dan anak itu sangat mirip. Segala hal yang dilakukan memiliki konsekuensi, baik atau buruk. Ben menolak segala bentuk konsekuensi yang mungkin terjadi. Dia telah berusaha untuk memisahkan Diana dari Alex. Gagal. Kini dia harus men