Diana mencuri pandang ke arah Alex yang sedang menekuni data-data di laptop. Sejak obrolan di hotel dia jadi lebih banyak berpikir, apakah memang harus berbicara soal masa depan dengan lebih serius? Sekarang usia pernikahan baru satu bulan, apakah terlalu cepat untuk memikirkan soal anak?
Alex juga sesekali melirik ke arah Diana. Dia tahu belakangan ini Diana disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang mereka. Dirinya akan menahan senyum saat Diana berpikir tentang kemungkinan memiliki anak di masa depan, bukan dalam waktu dekat. Tidak jadi masalah bagi Alex, selama bukan pikiran untuk berpisah. Handphone Diana berdenting tanda ada pesan singkat masuk. 'Diana, Mama mau kasih kabar, lusa William tiba di rumah. Kalian mampir ya?' isi pesan singkat yang dikirim Mikaela. 'Diusahakan ya, Ma. Aku tanya Alex dulu,' balasku. 'Oke, ditunggu kabarnya.' Diana mengerucutAda perkataan bahwa darah lebih kental dari air, dalam hal ini artinya bahwa sebuah hubungan kekeluargaan tidak dapat diputus begitu saja. Itulah yang dirasakan Diana. Meskipun dia telah resmi menjadi istri Alex dan menyetujui kesepakatan meninggalkan keluarga demi keselamatan nyawa Benyamin, namun sebagai anak dia tidak dapat benar-benar lepas dari orang tuanya. Alex menyadari hal ini. Seberapa pun besarnya kebencian terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembantaian keluarganya, Alex tidak menjadikan balas dendam sebagai hal yang mutlak, terlebih lagi karena orang itu adalah ayah dari wanita yang dicintainya. Mengingat Ben telah terlebih dahulu menelepon Diana dan berbicara dengan baik, maka Alex berusaha menepis dendam itu, lagi-lagi demi sang istri. Alex tahu Ben memiliki motivasi tersembunyi. Dia ingin tahu apa yang dilakukan Ben saat mereka bertemu. Tanpa terasa mobil yang membawa Alex dan Diana telah men
"Apa kabarmu, Kak? Sibuk apa aja belakangan? Kok jarang pulang?" tanya Diana membuka percakapan. "Biasa lah, sibuk kerja. Kebetulan sedang ada masalah sedikit di jajaran pimpinan perusahaan jadi semua bawahan bekerja keras." Will berbicara dengan Diana tapi sesekali matanya melirik Alex. "Oh? Sejauh ini bagaimana? Apakah perusahaannya bisa bertahan? Kamu kembali saja bekerja di perusahaan Papa. Toh nanti kamu yang akan mengambil alih," timpal Ben. "Lihat situasi, Pa. Akan kupikirkan." Will tertawa. "Biar tidak mencolok kamu bisa pegang anak perusahaan yang terkecil. Setahun dua tahun jika sudah terbiasa kamu bisa pindah ke pusat," lanjut Ben dengan bangga. William adalah anak lelaki kebanggaannya. Seandainya saja Mikaela melahirkan lebih banyak anak lelaki. Alex mendengus. Dia geli melihat pikiran Ben. Diana mendesis, "Kamu lihat apa...?"
"Aku mau mengobrol sedikit dengan kakakmu, setelah itu kita pulang," bisik Alex saat semua orang selesai makan siang. "Kamu kenal Will?" bisik Diana. "Itu yang mau kupastikan." Alex meremas tangan Diana. Diana mengangguk. Pasti ada perkara penting sampai Alex harus membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan. Suasana setelah makan siang lebih santai. Perut yang penuh menurunkan kewaspadaan. Alex mendekati William yang sedang bersandar di ambang pintu utama. "Aku pernah melihatmu," kata Alex tanpa basa-basi. William terkejut karena dihampiri Alex, "Kamu tidak salah lihat?" "Mataku belum buta dan ingatanku masih bagus. Kamu termasuk orang yang jarang muncul di depan umum, tapi waktu itu nasibmu kurang beruntung sehingga berpapasan denganku." "Kalau pernah bertemu aku pasti ingat," ketus Will.  
Tiga hari berselang... Pagi hari ketika Diana sedang asyik berlari di treadmill. Handphonenya berdering. Diana terheran-heran karena William menelepon. Dia menjawab dengan hati-hati. "Halo?" "Diana? Nanti malam aku mau mampir di club Alex. Kita bicara sebentar ya?" kata William. "Ya, boleh. Jam berapa Kakak sampai?" "Kira-kira jam delapan." "Oke. Aku ada di sana. Kalau sudah sampai telepon aja." "Oke, sampai nanti." Diana termenung. Apa yang mau dibicarakan William? Kedengarannya serius. Apakah masalah dengan gangster bernama Han itu? Sudahlah, nanti saja dipikirkan. Sekarang saatnya mandi. Tubuh yang berkeringat akan terasa nyaman di bawah aliran air hangat. Dilihatnya Alex masih terlelap. Diana mengendap-endap ke kamar mandi. Diana mandi dengan cepat. Sehabis mandi dia ingin tidur
Diana melihat William melalui monitor CCTV. Kakaknya baru saja tiba. Dia memesan minuman di bar dan mencari meja kosong. "Will baru sampai. Kamu mau ikut ngobrol?" tanya Diana. "Tidak usah. Dia sudah tahu siapa aku, tidak akan berani macam-macam di tempatku." "Oke lah kalau begitu. Istrimu ke depan sebentar." Diana mengecup pipi Alex. "Tunggu, cuma begitu?" Alex menarik Diana dan melumat bibirnya dengan posesif. "Kamu yakin tidak mau ikut ngobrol...?" Wajah Diana bersemu. "Tidak. Biar kalian lebih leluasa ngobrol. Kalau aku ikut dia akan tertekan." Diana mengangguk perlahan. "Aku akan mengawasi dari sini." Alex tersenyum menenangkan. Tanpa dikatakan pun Diana tahu, jika melihat gerak-gerik mencurigakan Alex akan segera menyelamatkannya. William terlihat tegang. Matanya bergerak liar
Alex adalah orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Kedatangan William beserta informasi yang dibawa membuatnya khawatir dengan keselamatan Diana. Karena tidak ingin menambah beban pikiran istrinya Alex tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia akan melindungi Diana dalam bayang-bayang. "Alex, kamu mau makan apa?" seru Diana dari dapur. "Apa saja, asal kamu yang masak aku pasti makan," balas Alex yang berada di kamar. Diana merenung sejenak di depan kulkas. Setelah melalui beberapa pertimbangan dia mengeluarkan sekotak daging sapi. "Aku masak semur!" seru Diana. "Iya, Istriku." Sebentar saja Diana sudah sibuk di dapur. Mempersiapkan bahan masakan terasa lebih rumit dibanding proses masaknya, tapi Diana sudah terbiasa. Tinggal sendiri selama beberapa tahun telah melatihnya menjadi wanita mandiri. Sejak pagi Alex sudah menghubungi orang-or
Sepulang dari club Alex dan Diana terlelap hingga matahari tinggi. Suara dering handphone menyeruak atmosfer yang hening. Diana bergerak sedikit tapi dering handphone berhenti. Dia pun kembali terlelap. Menit berikutnya handphone kembali berdering. Diana duduk dengan mata masih terpejam. Tangannya menggapai ke kepala tempat tidur. Biasanya dia meletakkan handphone di bawah bantal. Diana mengejapkan mata melihat nama penelepon. William? "Halo?" jawab Diana. Hening. "Kakak?" Diana mengernyit. Terdengar suara teriakan di latar, lalu suara seperti tulang beradu. Kembali hening. "Will?" Diana sudah sadar sepenuhnya. Panik. "Kalau tidak mau melihat mayat kakakmu segera datang ke alamat yang terkirim. Sendiri," kata suara kasar lelaki. "Siapa ini??" Percakapan sudah terputus. &
Han menoleh ke arah William yang menampakkan diri dengan takut-takut. "Kamu akan mendapat imbalan besar," kata Han lambat. "Bos, Anda tidak akan menyakiti adikku kan?" tanya Will dengan kepala tertunduk. Ada secercah penyesalan dalam hati karena bagaimanapun juga Diana adalah adik kandungnya. "Adikmu adalah tambang emas bagiku. Bagaimana mungkin aku menyakitinya? Dia akan melayaniku seumur hidup!" Han mendongak tertawa. "Bagaimana dengan Alex?" Han menyeringai, "Biarkan dia datang. Setelah aku menyerap kekuatan wanitanya, dia bukan tandinganku." William bergidik melihat wajah Han yang dipenuhi nafsu membunuh. "Sudah, pergilah kau. Uang akan ditransfer ke rekeningmu." Han mengibaskan tangan. William tidak berkata apa-apa. Dia langsung menghilang ke dalam. Diana mencoba menyalakan handphone. Berhasil! D
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny