Han menoleh ke arah William yang menampakkan diri dengan takut-takut.
"Kamu akan mendapat imbalan besar," kata Han lambat. "Bos, Anda tidak akan menyakiti adikku kan?" tanya Will dengan kepala tertunduk. Ada secercah penyesalan dalam hati karena bagaimanapun juga Diana adalah adik kandungnya. "Adikmu adalah tambang emas bagiku. Bagaimana mungkin aku menyakitinya? Dia akan melayaniku seumur hidup!" Han mendongak tertawa. "Bagaimana dengan Alex?" Han menyeringai, "Biarkan dia datang. Setelah aku menyerap kekuatan wanitanya, dia bukan tandinganku." William bergidik melihat wajah Han yang dipenuhi nafsu membunuh. "Sudah, pergilah kau. Uang akan ditransfer ke rekeningmu." Han mengibaskan tangan. William tidak berkata apa-apa. Dia langsung menghilang ke dalam. Diana mencoba menyalakan handphone. Berhasil! DPuas memporakporandakan isi villa Han, Alex kembali memacu motor. Kalau perlu dia akan memeriksa semua villa yang ada di kawasan pegunungan ini satu persatu. Hatinya diliputi kecemasan dan ketakutan. Alex tahu orang seperti apa Han. Lelaki tua itu akan menghancurkan Diana sampai tak bersisa. Belasan tahun menghadapi lawan-lawan dari dunia hitam belum pernah Alex khawatir seperti ini. Dia yang sudah tidak memiliki siapa pun kini hanya memiliki Diana. Jika dirinya kehilangan Diana bukankah tidak ada gunanya lagi hidup? "Bos, kami menemukan lokasi terakhir!" "Kirimkan padaku," kata Alex dingin. Tatapan matanya dipenuhi keinginan membunuh. "Siap." "Kirimkan lokasinya pada yang lain." "Oke, Bos!" Lokasi yang dikirimkan anak buahnya berada di puncak gunung. Alex geram. Tidak akan ada seorang pun yang menyadari bahwa ada penyekapan di tempat ter
"Kakak! Jangan!" Diana maju ke depan saat William mengayunkan batang besi. Alex menarik Diana tepat pada waktunya. Batang besi mengenai lengan Alex. "Aku akan membiarkanmu pergi karena kau kakak Diana," kata Alex. "Tidak bisa. Tinggalkan dia." Suara Will bergetar karena rasa takut terhadap Han dan Alex. Posisinya terjepit. "Wah, wah, urusan keluarga." Han masuk ke kamar sambil terbahak. "Sial!" Alex tahu anak buahnya sudah dilumpuhkan tanpa kecuali. "Tinggalkan gadis kecil itu, akan kubiarkan kau hidup." Han menatap Alex dingin. "Mimpi kau!" bentak Alex. "Kau kalah jumlah, Nak. Tinggalkan satu lenganmu, mungkin aku akan berbelas kasihan." William menatap kedua lelaki yang siap bertarung ini dengan gelisah. Tangannya masih menggenggam erat batangan besi. Diana memekik saat Will menye
"Alex...." Suara siapa yang memanggilnya? Di mana ini? "Alex...." Alex berusaha membuka mata. Semuanya terlihat putih menyilaukan. Dia terbatuk. "Dokter! Panggil dokter!" seru Diana. Segera saja beberapa perawat masuk ke kamar pasien. Mereka memeriksa tanda-tanda vital Alex dengan sigap. Ketika dokter tiba para perawat menepi. Kelelahan menghampiri Alex. Dia memejamkan mata dan kembali ke alam bawah sadar. Hatinya tenang karena mendengar suara Diana. "Adik Kecil, istirahatlah sebelum tumbang. Kamu sudah dua malam tidak tidur. Alex sudah melihatmu, dia akan hidup." Jack meletakkan tangan di bahu Diana. "Kalau ada di posisiku apakah kamu bisa istirahat?" tanya Diana. "Dia butuh Diana yang sehat, bukan turut sakit. Tidurlah sejenak. Aku akan menjaganya." Jack bersikeras. Diana memandan
Alex sedang berjemur matahari pagi di atap gedung. Matanya terpejam menikmati kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Pergerakannya masih terbatas, hanya kedua kaki dan tangan kanan yang dapat bergerak bebas. Alex bergantung pada Diana untuk hal-hal kecil. "Wah, hari ini cerah sekali!" seru Diana. Dia membawa nampan berisi dua gelas susu cokelat dan sepiring biskuit. "Hmm...." Alex membuka mata. "Kenapa tidak biarkan Jack pindah kemari lagi? Dia kan sedang mengambil alih tugasmu?" Diana duduk manis di sebelah Alex. "Tidak perlu, cukup kita berdua." Alex melingkarkan lengan di bahu Diana dan mengecup dahinya sayang. "Kamu tidak bosan? Aku teman ngobrol yang begitu-begitu saja." "Kiamatlah kalau aku bosan terhadap istriku." Alex tersenyum geli. "Kamu ya...." Diana tersipu. Hatinya tersanjung dengan perkataan Alex. "Ada kaba
"Hei, cepatlah sembuh. Aku butuh cuti," gerutu Jack. Dia berkunjung ke penthouse untuk melihat keadaan Alex. "Kau pikir aku tidak mau cepat sembuh?" geram Alex. "Kulihat kau menikmati kehidupan sekarang. Dimanja, diladeni." Jack mengambil sepotong apel dan menggigitnya dengan kesal, seolah dia menggigit kepala Alex. "Bagaimana keadaan di luar?" Alex mengabaikan pikiran Jack yang mengesalkan. "Niko mengambil alih kelompok Han, tapi tidak sekuat sebelumnya. Tidak menjadi ancaman." "Bagus. Kelompok yang kehilangan kepala sama seperti binatang dalam kurungan." "Pihak berwajib mengawasi club dengan ketat. Kita tidak bisa bergerak sembarangan sekarang." "Kenapa takut? Aku selalu mematuhi peraturan yang ada. Pajak selalu kubayar tepat waktu." Jack mengangkat bahu. Dia sudah mengambil potongan apel ke empat.
Larut malam ketika sudah waktunya beristirahat. Diana baru saja membantu Alex mandi. Sekarang dia sendiri mandi air hangat untuk mengusir kepenatan. Berbalut handuk Diana melangkah keluar dari kamar mandi. "Kemari, Princess," panggil Alex yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. "Aku berpakaian dulu." Diana tersenyum geli. "Oke, aku bisa menunggu." Mata Alex tidak lepas dari sosok Diana. Setelah memilih, Diana memutuskan untuk memakai gaun tidur pendek yang memamerkan lekuk tubuhnya. Baru saja hendak memanjat ke tempat tidur handphone Diana berbunyi. "Sebentar ya, sepertinya dari mama." Diana mengambil handphone. Dia memang menyetel nada dering yang berbeda untuk Mikaela. "Jangan lama-lama." Diana menjulurkan lidah. "Hai, Ma, tumben malam begini teleponnya?" "Diana? Kamu sedang apa? Mama ga
"Mama harus kasih aku resep ayam panggang ini! Enak banget!" seru Diana. "Nanti Mama kirimkan. Senang juga lihat kamu jadi rajin masak," puji Mikaela. "Iya, aku kan jarang keluar, kecuali untuk belanja bahan makanan. Itu pun tidak pergi lama." Mikaela mengangguk paham, "Makanya di rumah Mama minta Papa buatkan rumah kaca. Daripada bosan di rumah terus kan?" "Ooo ternyata begitu." Supaya Diana dan Mikaela dapat mengobrol dengan leluasa Alex berdiam di kamar, bekerja dari laptop. Sesekali dia tersenyum mendengar celoteh Diana. Sudah lama sekali sejak Alex mendengarkan percakapan keluarga yang hangat seperti ini. Ada sebuah sudut yang tak pernah tersentuh dalam hatinya. Mikaela tertegun. Dia menyentuh lengan Diana. "Ajaklah Alex kemari," pinta Mikaela. "Sepertinya dia sedang bekerja, Ma." "Percayalah sam
Menyembuhkan luka hati tidaklah mudah. Luka tersebut harus diangkat ke permukaan terlebih dahulu untuk dapat dilakukan proses penyembuhan. Banyak orang yang menyerah pada tahap ini karena tidak tahan terhadap rasa sakitnya. Alex juga tidak menyangka hatinya akan kembali berdenyut dengan aktif. Obrolan bersama Diana dan Mikaela mengangkat banyak kenangan manis yang dialami Alex bersama keluarganya. Pemuda yang dahulu suka memberontak itu telah menyadari bahwa dia mencintai keluarga yang selalu dilawannya. Pertengkaran dapat mereda. Kabur dari rumah dapat kembali. Permusuhan dapat didamaikan. Kehilangan karena dipisahkan oleh maut, siapa yang dapat membatalkan? Penyesalan yang dalam dan melukai diri sendiri pun tidak dapat memutar ulang waktu. Luka hati itu pula yang membuat Alex tidak mau kehilangan Diana. Dia telah membuka hati terhadap cinta, dia tahu rasa sakit kehilangan, dia menolak untuk melaluinya lagi.
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny