"Mama harus kasih aku resep ayam panggang ini! Enak banget!" seru Diana.
"Nanti Mama kirimkan. Senang juga lihat kamu jadi rajin masak," puji Mikaela. "Iya, aku kan jarang keluar, kecuali untuk belanja bahan makanan. Itu pun tidak pergi lama." Mikaela mengangguk paham, "Makanya di rumah Mama minta Papa buatkan rumah kaca. Daripada bosan di rumah terus kan?" "Ooo ternyata begitu." Supaya Diana dan Mikaela dapat mengobrol dengan leluasa Alex berdiam di kamar, bekerja dari laptop. Sesekali dia tersenyum mendengar celoteh Diana. Sudah lama sekali sejak Alex mendengarkan percakapan keluarga yang hangat seperti ini. Ada sebuah sudut yang tak pernah tersentuh dalam hatinya. Mikaela tertegun. Dia menyentuh lengan Diana. "Ajaklah Alex kemari," pinta Mikaela. "Sepertinya dia sedang bekerja, Ma." "Percayalah samMenyembuhkan luka hati tidaklah mudah. Luka tersebut harus diangkat ke permukaan terlebih dahulu untuk dapat dilakukan proses penyembuhan. Banyak orang yang menyerah pada tahap ini karena tidak tahan terhadap rasa sakitnya. Alex juga tidak menyangka hatinya akan kembali berdenyut dengan aktif. Obrolan bersama Diana dan Mikaela mengangkat banyak kenangan manis yang dialami Alex bersama keluarganya. Pemuda yang dahulu suka memberontak itu telah menyadari bahwa dia mencintai keluarga yang selalu dilawannya. Pertengkaran dapat mereda. Kabur dari rumah dapat kembali. Permusuhan dapat didamaikan. Kehilangan karena dipisahkan oleh maut, siapa yang dapat membatalkan? Penyesalan yang dalam dan melukai diri sendiri pun tidak dapat memutar ulang waktu. Luka hati itu pula yang membuat Alex tidak mau kehilangan Diana. Dia telah membuka hati terhadap cinta, dia tahu rasa sakit kehilangan, dia menolak untuk melaluinya lagi.
Banyak hal yang dibagikan Mikaela selama menginap di penthouse. Dia benar-benar memperlakukan Alex seperti putranya sendiri, dalam batasan wajar tentunya. Mikaela mengajari mereka berdua cara untuk membentengi pikiran, bukan hanya dari pembaca pikiran, tapi juga terhadap serangan mental. Diana pun belajar bagaimana menyentuh alam bawah sadar Alex dari jarak jauh, mengirim pesan berupa gambaran atau kata-kata. Semua merupakan hal baru. Pembelajaran ini menguras tenaga dan pikiran. Seringkali Diana akan kelelahan di penghujung hari hingga tertidur di sofa. Alex harus membopongnya masuk ke kamar dibantu oleh Mikaela. "Beres. Biarkan dia istirahat." Mikaela selesai menyelimuti Diana yang tidur seperti bayi. Alex berinisiatif menemai wanita paruh baya itu di counter dapur. Mikaela mengambil gelas dan menuang air dingin untuknya. Alex memperhatikan saat Mikaela meneguk air sampai habis. "Kamu mau men
"Bagaimana Shi Fu? Apakah semakin jelas hari ini?" Seorang lelaki tua berpostur tinggi gagah bertanya. "Masih seperti kemarin, Paman Lao Hu. Namun menurut perhitungan beberapa minggu ke depan naga itu akan bersinar cerah dan kita dapat menemukan posisi jelasnya. Hari ini saya lihat masih ada awan putih yang melindungi dari penglihatan dunia luar," tutur seorang lelaki tampan yang dipanggil Shi Fu, atau guru dalam bahasa Mandarin. Lelaki tua yang dipanggil Lao Hu, mengepalkan tangan menggebrak meja. "Tidak boleh melewatkan kesempatan seperti ini! Awasi terus!" bentak Lao Hu pada semua orang yang hadir di ruangan. "Baik, Lao Hu!" Semua orang berteriak serempak, kecuali Shi Fu muda tadi. "Kalau sudah tidak diperlukan saya mohon diri." Shi Fu muda mengatupkan tangan di depan dada. Benar-benar gestur penuh hormat. "Antarkan Shi Fu Li keluar." Lao Hu melambaikan
Diana sedang menatap bayangan dirinya di cermin. Dia berputar ke segala sisi dengan wajah aneh. Hal ini tidak luput dari perhatian Alex. "Kamu sudah cantik, Istriku," goda Alex. "Hmm...." Alex bangkit menghampiri Diana, "Ada yang aneh?" "Sepertinya aku tambah gemuk...," keluh Diana. Alex tertegun. Baginya Diana masih tampak menarik. Matanya mencoba menemukan apa yang membuat wanita itu resah, tapi tidak ada. "Ini loh, pakaianku tambah sempit." Diana menarik-narik legging yang dipakainya. "Oh ya? Aku tidak melihat ada yang aneh." Alex sedikit membungkuk untuk memperhatikan area yang dimaksud sang istri. Lekukan tubuhnya masih menggairahkan. "Kamu mah...," keluh Diana lagi. "Apakah ini cara baru untuk menggodaku? Karena sepertinya berhasil." Alex menyeringai. "A...pa?" &nb
Dua minggu telah berlalu sejak kedatangan Mikaela. Semua pelatihan yang dijalani Alex dan Diana memperlihatkan hasil yang baik. Komunikasi batin mereka sudah semakin lancar tanpa terhalang oleh waktu dan tempat. Karena itu Mikaela memutuskan untuk pulang. "Tidak dicariin papa?" goda Diana. "Mana berani dia cariin Mama. Semua masalah ini kan karena William. Papamu tahu Mama kemari untuk memperbaiki keadaan." "Ooo..." "Kami antar pulang, Bu," kata Alex dengan nada yang tidak bisa ditawar. "Ah, tidak usah. Aku bisa minta sopir menjemput. Kamu kan baru pulih, sebaiknya tidak memaksa diri dulu." "Tidak apa-apa. Mungkin saya juga perlu bicara sedikit dengan William." Alex tersenyum. "Begitu ya. Baiklah, tapi kalau merasa lelah bilang saja ya, aku bisa menggantikan menyetir." Mikaela mengalah. Alex mengangguk. Dia tahu dirinya
"Kurasa kita harus adakan pesta pernikahan yang pantas untuk kalian. Mengundang keluarga besar, teman-teman. Bagaimana?" Mikaela menatap pasangan muda di hadapannya dengan antusias. Ekspresi Ben berubah. Dia tampak masih belum tulus menerima Alex sebagai suami putrinya. "Kalian kan sudah tiga bulan menikah, nanti kalau keluarga besar bertanya-tanya kita bisa menjawab apa?" Mikaela berbicara dengan Ben. Alex menyunggingkan senyum sinis. Diana menggenggam tangan Alex erat-erat sebagai tumpuan. "Karena kalian sudah menikah, pesta kali ini kita adakan seperti acara kumpul-kumpul santai. Yang penting kalian berdua hadir, tersenyum, basa-basi, sudah!" lanjut Mikaela. "Orang sudah menikah masih perlu?" cetus Ben. "Sayang, apa maksud pertanyaanmu?" Mikaela tersenyum dingin. "Kamu tidak mau memberitahukan keberadaan menantu dalam keluarga kita?"
Tiba di penthouse Diana ingin langsung tidur. Lelah juga perjalanan bolak-balik seperti tadi. Dilihatnya Alex masih terlihat normal. Apakah lelaki ini tidak pernah merasa lelah ya? "Kamu kok tidak terlihat capek?" tanya Diana. "Karena masih ada yang harus kulakukan." Alex melepas jaket dan melemparnya begitu saja ke sofa. "Pekerjaan apa?" Diana meneguk segelas air dingin. "Kamu. Letakkan gelasnya." Suara Alex terdengar berbahaya. "Aku mau mandi dulu," elak Diana. Dia menaruh gelas di counter. "Ide bagus...." Tanpa peringatan Alex mengangkat Diana. "Kamu nih," gerutu Diana. "Kenapa aku? Kamu tidak mau?" Alex tersenyum lebar. "Bukannya istirahat...." "Setelah ini kita berdua akan tidur lebih nyenyak." Diana berusaha menyembunyikan wajahnya y
"Kamu saja deh yang pergi. Aku masih ngantuk," rajuk Diana. "Tidak boleh. Kalau kamu sendirian siapa yang melindungimu? Bahkan kakakmu saja tidak bisa dipercaya." Sikap Alex semakin posesif setelah kasus penculikan Diana oleh Han. "Aku tidak akan keluar dari penthouse. Ya?" bujuk Diana. Matanya dibuat berkaca-kaca. "Tidak. Kamu ikut." Diana menghela nafas. "Bukannya kamu senang bisa bertemu Jack?" "Biarkan aku bolos sehari?" "Kamu bisa tidur di sana, aku tidak akan mengganggumu." Diana menghela nafas lagi. Keputusan Alex sulit dirubah. Dia harus menemukan cara untuk membuatnya menyerah. Bagaimana kalau pura-pura pingsan? "Jangan coba-coba. Aku berbuat ini untuk kebaikanmu, Princess." "Huss keluar dari kepalaku!" Dalam hal keteguhan hati Diana kalah dari Alex. Perd
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny