Menyembuhkan luka hati tidaklah mudah. Luka tersebut harus diangkat ke permukaan terlebih dahulu untuk dapat dilakukan proses penyembuhan. Banyak orang yang menyerah pada tahap ini karena tidak tahan terhadap rasa sakitnya.
Alex juga tidak menyangka hatinya akan kembali berdenyut dengan aktif. Obrolan bersama Diana dan Mikaela mengangkat banyak kenangan manis yang dialami Alex bersama keluarganya. Pemuda yang dahulu suka memberontak itu telah menyadari bahwa dia mencintai keluarga yang selalu dilawannya. Pertengkaran dapat mereda. Kabur dari rumah dapat kembali. Permusuhan dapat didamaikan. Kehilangan karena dipisahkan oleh maut, siapa yang dapat membatalkan? Penyesalan yang dalam dan melukai diri sendiri pun tidak dapat memutar ulang waktu. Luka hati itu pula yang membuat Alex tidak mau kehilangan Diana. Dia telah membuka hati terhadap cinta, dia tahu rasa sakit kehilangan, dia menolak untuk melaluinya lagi.Banyak hal yang dibagikan Mikaela selama menginap di penthouse. Dia benar-benar memperlakukan Alex seperti putranya sendiri, dalam batasan wajar tentunya. Mikaela mengajari mereka berdua cara untuk membentengi pikiran, bukan hanya dari pembaca pikiran, tapi juga terhadap serangan mental. Diana pun belajar bagaimana menyentuh alam bawah sadar Alex dari jarak jauh, mengirim pesan berupa gambaran atau kata-kata. Semua merupakan hal baru. Pembelajaran ini menguras tenaga dan pikiran. Seringkali Diana akan kelelahan di penghujung hari hingga tertidur di sofa. Alex harus membopongnya masuk ke kamar dibantu oleh Mikaela. "Beres. Biarkan dia istirahat." Mikaela selesai menyelimuti Diana yang tidur seperti bayi. Alex berinisiatif menemai wanita paruh baya itu di counter dapur. Mikaela mengambil gelas dan menuang air dingin untuknya. Alex memperhatikan saat Mikaela meneguk air sampai habis. "Kamu mau men
"Bagaimana Shi Fu? Apakah semakin jelas hari ini?" Seorang lelaki tua berpostur tinggi gagah bertanya. "Masih seperti kemarin, Paman Lao Hu. Namun menurut perhitungan beberapa minggu ke depan naga itu akan bersinar cerah dan kita dapat menemukan posisi jelasnya. Hari ini saya lihat masih ada awan putih yang melindungi dari penglihatan dunia luar," tutur seorang lelaki tampan yang dipanggil Shi Fu, atau guru dalam bahasa Mandarin. Lelaki tua yang dipanggil Lao Hu, mengepalkan tangan menggebrak meja. "Tidak boleh melewatkan kesempatan seperti ini! Awasi terus!" bentak Lao Hu pada semua orang yang hadir di ruangan. "Baik, Lao Hu!" Semua orang berteriak serempak, kecuali Shi Fu muda tadi. "Kalau sudah tidak diperlukan saya mohon diri." Shi Fu muda mengatupkan tangan di depan dada. Benar-benar gestur penuh hormat. "Antarkan Shi Fu Li keluar." Lao Hu melambaikan
Diana sedang menatap bayangan dirinya di cermin. Dia berputar ke segala sisi dengan wajah aneh. Hal ini tidak luput dari perhatian Alex. "Kamu sudah cantik, Istriku," goda Alex. "Hmm...." Alex bangkit menghampiri Diana, "Ada yang aneh?" "Sepertinya aku tambah gemuk...," keluh Diana. Alex tertegun. Baginya Diana masih tampak menarik. Matanya mencoba menemukan apa yang membuat wanita itu resah, tapi tidak ada. "Ini loh, pakaianku tambah sempit." Diana menarik-narik legging yang dipakainya. "Oh ya? Aku tidak melihat ada yang aneh." Alex sedikit membungkuk untuk memperhatikan area yang dimaksud sang istri. Lekukan tubuhnya masih menggairahkan. "Kamu mah...," keluh Diana lagi. "Apakah ini cara baru untuk menggodaku? Karena sepertinya berhasil." Alex menyeringai. "A...pa?" &nb
Dua minggu telah berlalu sejak kedatangan Mikaela. Semua pelatihan yang dijalani Alex dan Diana memperlihatkan hasil yang baik. Komunikasi batin mereka sudah semakin lancar tanpa terhalang oleh waktu dan tempat. Karena itu Mikaela memutuskan untuk pulang. "Tidak dicariin papa?" goda Diana. "Mana berani dia cariin Mama. Semua masalah ini kan karena William. Papamu tahu Mama kemari untuk memperbaiki keadaan." "Ooo..." "Kami antar pulang, Bu," kata Alex dengan nada yang tidak bisa ditawar. "Ah, tidak usah. Aku bisa minta sopir menjemput. Kamu kan baru pulih, sebaiknya tidak memaksa diri dulu." "Tidak apa-apa. Mungkin saya juga perlu bicara sedikit dengan William." Alex tersenyum. "Begitu ya. Baiklah, tapi kalau merasa lelah bilang saja ya, aku bisa menggantikan menyetir." Mikaela mengalah. Alex mengangguk. Dia tahu dirinya
"Kurasa kita harus adakan pesta pernikahan yang pantas untuk kalian. Mengundang keluarga besar, teman-teman. Bagaimana?" Mikaela menatap pasangan muda di hadapannya dengan antusias. Ekspresi Ben berubah. Dia tampak masih belum tulus menerima Alex sebagai suami putrinya. "Kalian kan sudah tiga bulan menikah, nanti kalau keluarga besar bertanya-tanya kita bisa menjawab apa?" Mikaela berbicara dengan Ben. Alex menyunggingkan senyum sinis. Diana menggenggam tangan Alex erat-erat sebagai tumpuan. "Karena kalian sudah menikah, pesta kali ini kita adakan seperti acara kumpul-kumpul santai. Yang penting kalian berdua hadir, tersenyum, basa-basi, sudah!" lanjut Mikaela. "Orang sudah menikah masih perlu?" cetus Ben. "Sayang, apa maksud pertanyaanmu?" Mikaela tersenyum dingin. "Kamu tidak mau memberitahukan keberadaan menantu dalam keluarga kita?"
Tiba di penthouse Diana ingin langsung tidur. Lelah juga perjalanan bolak-balik seperti tadi. Dilihatnya Alex masih terlihat normal. Apakah lelaki ini tidak pernah merasa lelah ya? "Kamu kok tidak terlihat capek?" tanya Diana. "Karena masih ada yang harus kulakukan." Alex melepas jaket dan melemparnya begitu saja ke sofa. "Pekerjaan apa?" Diana meneguk segelas air dingin. "Kamu. Letakkan gelasnya." Suara Alex terdengar berbahaya. "Aku mau mandi dulu," elak Diana. Dia menaruh gelas di counter. "Ide bagus...." Tanpa peringatan Alex mengangkat Diana. "Kamu nih," gerutu Diana. "Kenapa aku? Kamu tidak mau?" Alex tersenyum lebar. "Bukannya istirahat...." "Setelah ini kita berdua akan tidur lebih nyenyak." Diana berusaha menyembunyikan wajahnya y
"Kamu saja deh yang pergi. Aku masih ngantuk," rajuk Diana. "Tidak boleh. Kalau kamu sendirian siapa yang melindungimu? Bahkan kakakmu saja tidak bisa dipercaya." Sikap Alex semakin posesif setelah kasus penculikan Diana oleh Han. "Aku tidak akan keluar dari penthouse. Ya?" bujuk Diana. Matanya dibuat berkaca-kaca. "Tidak. Kamu ikut." Diana menghela nafas. "Bukannya kamu senang bisa bertemu Jack?" "Biarkan aku bolos sehari?" "Kamu bisa tidur di sana, aku tidak akan mengganggumu." Diana menghela nafas lagi. Keputusan Alex sulit dirubah. Dia harus menemukan cara untuk membuatnya menyerah. Bagaimana kalau pura-pura pingsan? "Jangan coba-coba. Aku berbuat ini untuk kebaikanmu, Princess." "Huss keluar dari kepalaku!" Dalam hal keteguhan hati Diana kalah dari Alex. Perd
Wajah seorang lelaki tampan tampak sangat puas. Jarinya menyentuh bibir yang tadi mencium wanita bernama Diana itu. Bibir yang mungil dan lembut. Li Wei tahu dialah wanita yang memenuhi syarat untuk menjadi pasangannya. Senyum licik tersungging di bibirnya yang tipis. Sayangnya sebelum dapat berbuat lebih jauh wanita itu telah memanggil orang lain. Suaminya? Li Wei mendengus. Dia tidak peduli jika wanita itu telah menikah. Jika Diana sudah takluk, maka suaminya juga tidak dapat berbuat apa-apa. "Diana...," desahnya. "Sebentar lagi kamu akan jadi milikku." Suara ketukan di pintu menginterupsi khayalan tingkat tinggi Li Wei. Dia memandang ke arah pintu dengan sorot mata penuh amarah. Siapa yang berani mengganggu? "Siapa??" bentaknya. "Tuan Muda, maaf mengganggu...." Suara lembut seorang pelayan wanita terdengar dari balik pintu. "Masuk!" Pi