Diana sedang menatap bayangan dirinya di cermin. Dia berputar ke segala sisi dengan wajah aneh. Hal ini tidak luput dari perhatian Alex.
"Kamu sudah cantik, Istriku," goda Alex. "Hmm...." Alex bangkit menghampiri Diana, "Ada yang aneh?" "Sepertinya aku tambah gemuk...," keluh Diana. Alex tertegun. Baginya Diana masih tampak menarik. Matanya mencoba menemukan apa yang membuat wanita itu resah, tapi tidak ada. "Ini loh, pakaianku tambah sempit." Diana menarik-narik legging yang dipakainya. "Oh ya? Aku tidak melihat ada yang aneh." Alex sedikit membungkuk untuk memperhatikan area yang dimaksud sang istri. Lekukan tubuhnya masih menggairahkan. "Kamu mah...," keluh Diana lagi. "Apakah ini cara baru untuk menggodaku? Karena sepertinya berhasil." Alex menyeringai. "A...pa?" &nbDua minggu telah berlalu sejak kedatangan Mikaela. Semua pelatihan yang dijalani Alex dan Diana memperlihatkan hasil yang baik. Komunikasi batin mereka sudah semakin lancar tanpa terhalang oleh waktu dan tempat. Karena itu Mikaela memutuskan untuk pulang. "Tidak dicariin papa?" goda Diana. "Mana berani dia cariin Mama. Semua masalah ini kan karena William. Papamu tahu Mama kemari untuk memperbaiki keadaan." "Ooo..." "Kami antar pulang, Bu," kata Alex dengan nada yang tidak bisa ditawar. "Ah, tidak usah. Aku bisa minta sopir menjemput. Kamu kan baru pulih, sebaiknya tidak memaksa diri dulu." "Tidak apa-apa. Mungkin saya juga perlu bicara sedikit dengan William." Alex tersenyum. "Begitu ya. Baiklah, tapi kalau merasa lelah bilang saja ya, aku bisa menggantikan menyetir." Mikaela mengalah. Alex mengangguk. Dia tahu dirinya
"Kurasa kita harus adakan pesta pernikahan yang pantas untuk kalian. Mengundang keluarga besar, teman-teman. Bagaimana?" Mikaela menatap pasangan muda di hadapannya dengan antusias. Ekspresi Ben berubah. Dia tampak masih belum tulus menerima Alex sebagai suami putrinya. "Kalian kan sudah tiga bulan menikah, nanti kalau keluarga besar bertanya-tanya kita bisa menjawab apa?" Mikaela berbicara dengan Ben. Alex menyunggingkan senyum sinis. Diana menggenggam tangan Alex erat-erat sebagai tumpuan. "Karena kalian sudah menikah, pesta kali ini kita adakan seperti acara kumpul-kumpul santai. Yang penting kalian berdua hadir, tersenyum, basa-basi, sudah!" lanjut Mikaela. "Orang sudah menikah masih perlu?" cetus Ben. "Sayang, apa maksud pertanyaanmu?" Mikaela tersenyum dingin. "Kamu tidak mau memberitahukan keberadaan menantu dalam keluarga kita?"
Tiba di penthouse Diana ingin langsung tidur. Lelah juga perjalanan bolak-balik seperti tadi. Dilihatnya Alex masih terlihat normal. Apakah lelaki ini tidak pernah merasa lelah ya? "Kamu kok tidak terlihat capek?" tanya Diana. "Karena masih ada yang harus kulakukan." Alex melepas jaket dan melemparnya begitu saja ke sofa. "Pekerjaan apa?" Diana meneguk segelas air dingin. "Kamu. Letakkan gelasnya." Suara Alex terdengar berbahaya. "Aku mau mandi dulu," elak Diana. Dia menaruh gelas di counter. "Ide bagus...." Tanpa peringatan Alex mengangkat Diana. "Kamu nih," gerutu Diana. "Kenapa aku? Kamu tidak mau?" Alex tersenyum lebar. "Bukannya istirahat...." "Setelah ini kita berdua akan tidur lebih nyenyak." Diana berusaha menyembunyikan wajahnya y
"Kamu saja deh yang pergi. Aku masih ngantuk," rajuk Diana. "Tidak boleh. Kalau kamu sendirian siapa yang melindungimu? Bahkan kakakmu saja tidak bisa dipercaya." Sikap Alex semakin posesif setelah kasus penculikan Diana oleh Han. "Aku tidak akan keluar dari penthouse. Ya?" bujuk Diana. Matanya dibuat berkaca-kaca. "Tidak. Kamu ikut." Diana menghela nafas. "Bukannya kamu senang bisa bertemu Jack?" "Biarkan aku bolos sehari?" "Kamu bisa tidur di sana, aku tidak akan mengganggumu." Diana menghela nafas lagi. Keputusan Alex sulit dirubah. Dia harus menemukan cara untuk membuatnya menyerah. Bagaimana kalau pura-pura pingsan? "Jangan coba-coba. Aku berbuat ini untuk kebaikanmu, Princess." "Huss keluar dari kepalaku!" Dalam hal keteguhan hati Diana kalah dari Alex. Perd
Wajah seorang lelaki tampan tampak sangat puas. Jarinya menyentuh bibir yang tadi mencium wanita bernama Diana itu. Bibir yang mungil dan lembut. Li Wei tahu dialah wanita yang memenuhi syarat untuk menjadi pasangannya. Senyum licik tersungging di bibirnya yang tipis. Sayangnya sebelum dapat berbuat lebih jauh wanita itu telah memanggil orang lain. Suaminya? Li Wei mendengus. Dia tidak peduli jika wanita itu telah menikah. Jika Diana sudah takluk, maka suaminya juga tidak dapat berbuat apa-apa. "Diana...," desahnya. "Sebentar lagi kamu akan jadi milikku." Suara ketukan di pintu menginterupsi khayalan tingkat tinggi Li Wei. Dia memandang ke arah pintu dengan sorot mata penuh amarah. Siapa yang berani mengganggu? "Siapa??" bentaknya. "Tuan Muda, maaf mengganggu...." Suara lembut seorang pelayan wanita terdengar dari balik pintu. "Masuk!" Pi
"Apa? Ada yang masuk ke dalam mimpimu?" Mikaela berseru kaget. Tangannya menggenggam erat gagang telepon. Hal seperti ini pun bisa terjadi? "Iya, seminggu ini sudah tiga kali," kata Diana dengan suara lemah. Hening sesaat. "Sekarang juga Mama ke sana. Kalian jangan kemana-mana." Usai berkata Mikaela langsung memutus percakapan. Diana terbengong. "Apa katanya?" tanya Alex. "Mama mau ke sini." Diana mengerucutkan bibir. "Gerak cepat." Alex tersenyum geli. "Hmm...," gumam Diana. Tiga jam kemudian Mikaela sudah berada di penthouse. Dia sangat khawatir tapi wajahnya tetap tenang. "Mama mau nginap lagi?" tanya Diana. "Satu malam saja, Nak. Mama kan harus menpersiapkan pesta kalian." Mikaela tersenyum. "Sekarang ceritakan semua tentang mimpi kamu. Jangan ada yang ketingg
Beberapa hari terakhir wajah Tuan Muda keluarga Li sangat suram. Semua pelayan akan menganggap diri mereka sial jika mendapat tugas melayani Tuan Mudanya. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya sejak menyusup ke dalam mimpi Diana, hari-hari berikutnya Li Wei seperti menghadapi tembok penghalang di sekitar wanita itu. Tembok kuat yang membuatnya tidak dapat menemui Diana. Itulah penyebab suasana hati Li Wei menjadi suram. Kini satu-satunya cara menemui Diana adalah dengan datang ke pesta yang akan berlangsung lusa. Li Wei harus melihat langsung siapa saja orang yang berada di sekitar Diana, siapakah yang memiliki kekuatan untuk menghalangi infiltrasinya di dunia mimpi. Li Wei mengangkat wajah saat pintu kamarnya diketuk. Hatinya yang suram bertambah gusar karena diganggu. Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya dengan kasar. Seorang pelayan wanita berdiri dengan wajah pucat. "Tuan Muda,
Pesta baru akan dimulai pukul enam sore tapi sejak pagi Mikaela sudah sibuk mengatur orang-orang. Alex dan Diana bersantai di kamar lama Diana di kediaman Hartanto. Sebelum kesibukan yang sesungguhnya dimulai Alex bermanja-manja dalam pelukan sang istri. "Kamu khawatir?" tanya Alex. "Kenapa harus khawatir? Kan ada kamu." Diana mengelus rambut ikal Alex. "Jawaban yang bagus. Aku tidak akan meninggalkanmu meskipun cuma satu detik." Diana tersenyum manis. Cuma kehadiran Alex yang dapat mengikis perasaan tidak nyaman yang dia rasakan sejak insiden terakhir dalam mimpinya. "Aku lebih mengkhawatirkan mamamu, dia tampak terlalu sibuk," kata Alex. "Biarkan saja. Sudah lama mama tidak memiliki kesibukan berarti. Kan baru pertama kali mama mengurusi anaknya yang menikah." "Mama yang baik." "Dia mamamu juga, Sayang." &
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny