Suasana club malam ini kondusif. Semua orang bekerja dengan santai namun tetap waspada, karena di tempat hiburan malam apa pun dapat terjadi. Jack masih bekerja satu malam lagi sebelum memulai posisi barunya sebagai manager club cabang di kota tetangga.
Alex dan Diana sedang mengobrol santai saat handphone Diana berbunyi. Matanya berbinar melihat nomor Mikaela yang menelepon. "Mama?" sapa Diana. "Ehm... Diana." Suara Ben terdengar dingin. "Papa?" Hati Diana menciut. Alex yang mendengar itu langsung terlihat serius. Dia memberi tanda supaya Diana menyalakan speaker. Diana melakukannya. "Lama tidak dengar kabarmu, Nak," kata Ben. "Kami baik-baik saja," cetus Diana. "Kudengar kalian sudah menikah." "Betul." "Baik." "Ada apa lagi, Pa?" "Diana, ada sesuatu yang mau kutanyakSudah beberapa malam wanita yang menuntut pertanggungjawaban Alex datang membuat keributan di club. Jika tidak mengoceh di bar, wanita itu akan membuat resah dengan berteriak-teriak di depan pintu masuk. Diana yang awalnya mengabaikan lama-kelamaan merasa terganggu. "Tidak bisakah kamu berbuat sesuatu terhadap wanita gila itu?" keluh Diana. "Untuk apa? Biarkan saja, nanti juga capek sendiri," ujar Alex dengan santai. "Aku pusing." "Kenapa? Oh," Alex tertawa. "Wanita itu membuatmu pusing?" "Ya iyalah, tiap malam harus lihat dan dengar keributan yang dia buat. Pusing tahu." "Istriku yang malang." Alex menciumi Diana dengan gemas. "Ih kamu ini...." "Aku akan berhenti kalau kamu bilang berhenti," goda Alex. Dia tahu Diana menikmatinya. "Geli tahu!" Diana tertawa. "Kamu mau aku berbuat a
Suasana sore hari yang tenang di kediaman Benyamin Hartanto. Sejak mengetahui bahwa Alex tidak memperhitungkan dendamnya demi Diana, Benyamin sedikit tergerak. Dia berpikir lelaki muda ini masih memiliki hati nurani sebagai manusia, belum sepenuhnya menjadi binatang. Ada secercah harapan untuk mendapatkan putrinya kembali. Ben bisa menebak kalau Alex sangat mempedulikan Diana dan bahkan mungkin akan berbuat apa saja untuk kebahagiaan Diana. Sekarang tidak masalah putrinya telah menikah dengan anak jalanan itu. Ben harus mencari cara untuk menempatkan Alex di bawah kendalinya. Bukan tidak mungkin Alex akan menjadi seekor anjing yang setia kepadanya. "Bagaimana menurutmu? Rencana bagus bukan? Diana akan kembali pada kita dan Alex pun akan berada di bawah naunganku," tutur Ben pada istrinya. "Kamu mau mengendalikan Alex?" Mikaela mengernyit. Suaminya tidak akan menyerah semudah itu rupanya.&
"Wah, kupikir siapa!" Jack tampak gembira. "Apa kabarmu, Jack!" Diana memberikan pelukan hangat untuk Jack. "Baik, masih hidup." Jack tertawa. "Bagaimana seminggu ini? Ada masalah?" tanya Alex. Dia langsung meletakkan tas laptop di meja dan mengeluarkan isinya. "Ah, tidak jauh berbeda dengan di pusat. Tidak ada yang tidak bisa kutangani." "Tidak ada masalah dengan stok?" Alex segera menghubungkan laptopnya dengan jaringan club. Seluruh data yang ada langsung terlihat olehnya. "Sejauh ini aman. Aku hanya menambahkan black light di sudut-sudut tertentu untuk menambah sensasi bagi pengunjung," jelas Jack. "Oh ya? Keren sekali?" timpal Diana. "Aku tidak akan berkata begitu, Princess. Black light dapat memperlihatkan noda tersembunyi di kursi dan sofa yang digunakan oleh pasangan mesum," kata Alex kemudian.  
Lewat tengah malam Alex melajukan mobil ke kawasan Puncak. Dia memesan sebuah kamar hotel yang terbilang bagus untuk menghabiskan malam bersama Diana. Jika satu malam terlalu singkat Alex tidak segan menambah satu malam lagi. Hotel yang mereka tuju terletak di bagian teratas kawasan Puncak. Setelah check in mereka menuju pondokan yang tersedia. Diana menghirup nafas dalam-dalam. Dingin. Menyegarkan. "Wah, bagus banget," puji Diana begitu melihat bagian dalam pondok. "Syukurlah kamu suka." Alex meletakkan barang bawaan mereka di meja. Fasilitas pondok begitu lengkap, dari tempat tidur, kamar mandi, pantry, ruang tamu, teras dengan akses ke taman yang sangat luas. Sepasang jendela kaca besar mengarah ke lembah. Pemandangannya pasti luar biasa di pagi hari. "Mandilah dulu. Aku pesan makan malam untuk kita," kata Alex. "Oke," sahut Diana dengan ceria.&nbs
Sinar matahari pagi menerobos masuk lewat sela tirai jendela. Diana terbangun mendadak. Melihat di sebelahnya Alex masih terlelap dengan wajah begitu manis. Diana tersenyum mengingat perlakuan suaminya yang begitu lembut semalam. Dia memberikan kecupan ringan di pipi dan beranjak. Diana mengambil kaos Alex. Memakainya memberikan rasa nyaman. Diana membuka tirai lebar-lebar. Pemandangan menakjubkan segera menyergap indera penglihatannya. Mulutnya ternganga. Kabut tipis menggantung di lembah, membuat pandangan mata terbatas sekitar satu hingga dua kilometer. Rerumputan hijau berkilau membiaskan cahaya matahari akibat menampung embun. Benar-benar cantik mempesona! Alex mengerang, "Kenapa kamu meninggalkanku sendiri? Kembali kemari, Princess, aku kedinginan." Diana tersenyum geli, "Manja ih. Ayo bangun, kita lihat-lihat taman." Alex memaksa diri untuk bangkit. Dia masih ingin ber
Diana mencuri pandang ke arah Alex yang sedang menekuni data-data di laptop. Sejak obrolan di hotel dia jadi lebih banyak berpikir, apakah memang harus berbicara soal masa depan dengan lebih serius? Sekarang usia pernikahan baru satu bulan, apakah terlalu cepat untuk memikirkan soal anak? Alex juga sesekali melirik ke arah Diana. Dia tahu belakangan ini Diana disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang mereka. Dirinya akan menahan senyum saat Diana berpikir tentang kemungkinan memiliki anak di masa depan, bukan dalam waktu dekat. Tidak jadi masalah bagi Alex, selama bukan pikiran untuk berpisah. Handphone Diana berdenting tanda ada pesan singkat masuk. 'Diana, Mama mau kasih kabar, lusa William tiba di rumah. Kalian mampir ya?' isi pesan singkat yang dikirim Mikaela. 'Diusahakan ya, Ma. Aku tanya Alex dulu,' balasku. 'Oke, ditunggu kabarnya.' Diana mengerucut
Ada perkataan bahwa darah lebih kental dari air, dalam hal ini artinya bahwa sebuah hubungan kekeluargaan tidak dapat diputus begitu saja. Itulah yang dirasakan Diana. Meskipun dia telah resmi menjadi istri Alex dan menyetujui kesepakatan meninggalkan keluarga demi keselamatan nyawa Benyamin, namun sebagai anak dia tidak dapat benar-benar lepas dari orang tuanya. Alex menyadari hal ini. Seberapa pun besarnya kebencian terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembantaian keluarganya, Alex tidak menjadikan balas dendam sebagai hal yang mutlak, terlebih lagi karena orang itu adalah ayah dari wanita yang dicintainya. Mengingat Ben telah terlebih dahulu menelepon Diana dan berbicara dengan baik, maka Alex berusaha menepis dendam itu, lagi-lagi demi sang istri. Alex tahu Ben memiliki motivasi tersembunyi. Dia ingin tahu apa yang dilakukan Ben saat mereka bertemu. Tanpa terasa mobil yang membawa Alex dan Diana telah men
"Apa kabarmu, Kak? Sibuk apa aja belakangan? Kok jarang pulang?" tanya Diana membuka percakapan. "Biasa lah, sibuk kerja. Kebetulan sedang ada masalah sedikit di jajaran pimpinan perusahaan jadi semua bawahan bekerja keras." Will berbicara dengan Diana tapi sesekali matanya melirik Alex. "Oh? Sejauh ini bagaimana? Apakah perusahaannya bisa bertahan? Kamu kembali saja bekerja di perusahaan Papa. Toh nanti kamu yang akan mengambil alih," timpal Ben. "Lihat situasi, Pa. Akan kupikirkan." Will tertawa. "Biar tidak mencolok kamu bisa pegang anak perusahaan yang terkecil. Setahun dua tahun jika sudah terbiasa kamu bisa pindah ke pusat," lanjut Ben dengan bangga. William adalah anak lelaki kebanggaannya. Seandainya saja Mikaela melahirkan lebih banyak anak lelaki. Alex mendengus. Dia geli melihat pikiran Ben. Diana mendesis, "Kamu lihat apa...?"
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny