Dua anak manusia itu masih mengumbar tawa, ketika ponsel Rangga meraung minta diangkat. "Sebentar, Vin. Aku angkat telfon dulu." Rangga merogoh saku celananya, mengambil benda pipih yang dari tadi berisik mengganggu momen romantisnya dengan Vina. Nampak nama ibunya terpampang di layar lima inch itu. "Iya, Bu. Gimana?" Wajah Rangga menegang seketika mendengar jawaban dari sambungan. "Oke. Rangga kesana sekarang!" Pungkas Rangga mengakhiri panggilan. Melihat wajah tegang Rangga, tak urung membuat Vina penasaran juga. "Ibu kenapa, Mas?" Bukannya menjawab, Rangga justru menghela nafas panjang. Dia menatap sendu wajah Vina, membuat wanita cantik itu semakin penasaran. "Mas! Ibu kenapa?" Vina mengulangi pertanyaannya. "Ibu nggak kenapa-napa, Vin. Hanya saja ada sedikit masalah di rumah." Kening Vina berkerut-kerut, mendapat jawaban ambigu dari Rangga, yang tak cukup memuaskan hati Vina. "Masalah apa?" Kejar Vina. Rangga bingung, tak tahu harus bagaimana menjelaskan pada Vina, tanpa
"Masuk penjara? Dengan tuduhan apa? Membawa kabur istri orang? Ha .... ha .... kami lucu! Yang bakal membusuk di penjara itu, lo! Kamu lupa sudah membuat istri lo babak belur? Eh, salah. Calon mantan istri. Karena Vina sudah mengajukan gugatan cerai." Ucap Rangga sengaja memprovokasi Abra. Tanpa diduga, Abra melayangkan bogemnya pada Rangga. Dia tak sempat mengelak, karena tak menyangka akan mendapat serangan mendadak. Hingga kepalan tangan Abra itu sukses mendarat di wajah Rangga, hingga hidungnya mengeluarkan darah.Untung keadaan sepi, dan pukulan yang dilayangkan Abra tidak menimbulkan keributan. Sehingga ibu Rangga yang punya penyakit jantung lemah itu, tidak mengetahui kejadian ini. Bisa gawat kalau wanita sepuh itu tahu, putra sulungnya dianiaya. "Lo memang nggak bisa diajak ngomong baik-baik, ya?" Rangga berkata sambil mengusap darah yang keluar dari hidungnya, dengan lengan baju. "Gue nggak butuh bacotan, Lo. Kembalikan Vina! Habis perkara!" Sumbar Abra dengan pongahnya.
"Mas, itu mukamu kenapa?" Vina menatap khawatir pada Rangga yang datang dengan wajah penuh lebam. Vina bingung dan panik, mendapati Rangga kembali dengan keadaan mengenaskan. Jauh dalam lubuk hatinya terselip rasa bersalah, semua ini karena dirinya. Hasil baku hantam dengan Abra, muka Rangga babak belur semua. Untung teriakan Bu Iis didengar tetangga, hingga perkelahian sengit itu bisa dilerai dan berakhir dengan keduanya sama-sama babak belur. Rangga menolak diobati, dia langsung kabur ke rumah sakit karena Vina sudah menunggu. Dia tak mau Vina khawatir, apalagi sampai panik karena menunggu dia datang. Dan kekhawatirannya itu benar adanya"Nggak pa-pa, tadi ada sedikit insiden." Rangga sengaja menutupi kejadian yang sebenarnya. Dia lupa, Vina itu wanita dewasa yang tak mudah dibohongi. "Nggak pa-pa gimana? Orang bonyok semua gitu. Kalian berantem?" Vina memindai wajah Rangga intens. Vina tahu betul bagaimana kerasnya watak Abra, dia sudah merasakan sendiri. Apalagi ini menyangku
Rasa nyeri mendera sekujur tubuh Rangga, meski begitu dia tetap turun dari bed tanpa meminta bantuan Vina. Bisa jatuh harga dirinya, kalau meminta bantuan pujaan hatinya itu. Dia harus terlihat kuat, meski sebenarnya pengen mengadu kesakitan. Saat bersamaan datang dua perawat, mendorong brangkar masuk ke IGD. Sontak Vina dan Rangga menoleh, dan alangkah kagetnya mereka melihat siapa yang tergolek di atas bed tersebut. "Pasien pingsan dengan luka lebam dan tusukan dibagian perut!" Suara itu terdengar begitu lantang.Vina dan Rangga saling pandang. Belum hilang rasa kaget mereka, demi melihat siapa yang di dorong oleh perawat itu, kini ditambah lagi dengan kondisi mengenaskan pria itu. Ya, laki-laki yang tergeletak di atas bed dengan berlumuran darah itu adalah Abra. Meski hanya sekilas mereka melihat, tapitapi mereka yakin itu adalah suami Vina. "Ma---Mas, itu ...." Wajah Vina yang sudah pucat, kini semakin memucat. Mendengar nama Abra disebut saja, dia sudah gemeteran. Apalagi se
"Rangga ditangkap polisi, Vin. Dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Rangga tidak bersalah, dia bukan pembunuh. Dia difitnah!" Entah apalagi yang diucapkan Bu Iis untuk menjelaskan keadaan sebenarnya, Vina sudah tak mendengar lagi. Karena ponsel sudah meluncur ke lantai, andai tak ada karpet mungkin benda itu sudah hancur. Vina terduduk lemas. Rangga membunuh siapa? Itu yang Vina pertanyakan sekarangBiasanya, ada Rangga yang selalu menenangkannya kalau di menangis seperti ini. Ada Rangga yang selalu siap mendekap nya, saat ketakutan seperti. Tapi sekarang, Rangga dalam masalah. Lalu apa yang bisa Vina lakukan untuk menolong orang yang begitu baik padanya itu? Kalau Rangga dipenjara, siapa yang akan melindunginya?Yang Vina tahu, hanya Abra satu-satunya musuh Rangga. Apakah pria itu yang jadi korbannya? Tapi terakhir melihat Abra di IGD dalam keadaan terluka parah. Apa mungkin itu perbuatan Rangga? Bukankah mereka terlibat perkelahian sebelumnya? Kepala Vina berdenyut nyeri memikirka
"Oke-oke, saya kesana sekarang! Saya dalam perjalanan." Erlita menutup panggilan sepihak. "Siapa yang masuk rumah sakit, Er?" Tanya Vina cemas. Pikirannya langsung tertuju pada Rangga, laki-laki yang begitu ingin menikahinya itu dalam keadaan sakit, saat ditangkap polisi. Apa kondisinya makin parah saat ini? Pertanyaan itu kini memenuhi kepala Vina. Erlita menatap wajah Vina dengan tatapan iba, tapi hanya sekilas, kemudian dia kembali fokus dengan setirnya. Dia bingung harus bagaimana menyampaikan kabar ini pada Vina. Dia sendiri tak tahu harus mensikapi masalah ini seperti apa. Ini pertama kalinya keluarganya dalam masalah terkena masalah berat, yang menimpa pemimpin keluarganya. Rangga menjadi kepala keluarga untuk Erlita dan ibunya, sejak ayah mereka meninggal. Biasanya kalau ada apa-apa, dalam keluarga mereka. Rangga orang yang paling sibuk mencari jalan keluar dan mengatasi masalah mereka. Dan sekarang Erlita harus menggantikan peran Rangga itu? Auto pening kepala Erlita. "Er
"Vin---na .... " Suara itu terdengar parau dan begitu lemah, membuat siapapun yang mendengarnya jatuh iba. Termasuk Vina. Air mata Vina mengalir semakin deras, rasa bersalah makin menyiksanya. Ini semua salahku, semua karena aku. Mas Rangga akan baik-baik saja, andai aku bisa mencegahnya pergi. Teriak batin Vina. "Iya, Mas. Ini aku,Vina" Vina mendekat, meraih tangan yang nampak menggapai-gapai itu. Vina meraih tangan yang nampak lebih kurus dari biasanya itu, merengkuhnya ke kedalam pangkuan. Hatinya teriris, melihat kondisi Rangga yang memprihatinkan. Lebam di wajahnya memang sudah menipis, tapi tubuh atletis itu nampak kurus. Padahal baru tiga hari mereka tidak bertemu, tapi perubahan Rangga begitu drastis. "Kamu jaga diri baik-baik, ya? Mungkin setelah ini, aku tidak selalu ada buat kamu. Atau bahkan mungkin tak bisa lagi menemani kamu." Vina terisak mendengar ucapan Rangga, yang seolah besok akan mati saja. "Mas Rangga ngomong apa, sih? Ngomong kok nglantur gitu! Semuanya aka
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s