Wanita bertubuh mungil itu berjalan menyusuri rumah keluarga Wijaya. Rumah nuansa arsitektur khas Eropa perpaduan kesan mewah dengan cat berwarna putih cream mendominasi setiap ruangan.
Aurez istri Wijaya sangat menyukai gaya Eropa karena ibunya merupakan keturunan negara Eropa. Namun, sang oma memilih tinggal di desa terpencil di perkampungan Sumatera Utara, tanah kelahiran almarhum sang suami. Jauh dari hiruk-pikuk harta gono-gini.
"Perpaduan yang sempurna," decak Nahwa kagum.
Nahwa merasa takjub akan rumah Wijaya, yang berbentuk minimalis, tak terlalu megah. Namun, kesan mewah tak lepas dari arsitekturnya.
Wijaya menyambut hangat menantunya, begitupun dengan sang istri yang berusaha mencairkan suasana dingin. Sementara Daren mengikuti Nahwa dari belakang. Perempuan bermata teduh itu tersenyum hangat menatap keluarga barunya. Meski perasaannya tak karuan ia berusaha tersenyum dan bahagia.
"Selamat datang, Nahwa. Kami sangat senang akan kehadiranmu." Aurez tersenyum hangat sembari memeluk Nahwa. Berbeda halnya dengan Nela, adik dari Wijaya. Wanita bertubuh gempal tersebut sangat menampilkan ketidaksukaan akan kehadiran Nahwa.
"Daren, tolong antar Nahwa ke kamar. Mungkin ia lelah selama perjalanan. Lihat, wajahnya terlihat pucat," titah Aurez dengan lembut. Lelaki yang di belakang Nahwa, kini mengambil alih koper milik sang istri. Mereka beriringan menaiki anak tangga menuju kamar utama.
"Segera turun! Makan malam sebentar lagi akan selesai!" Teriakan Aurez membuat sepasang pengantin baru itu menoleh dan menyahuti perintahnya.
Nahwa terkejut kala melihat kamar bernuansakan monokrom. Ornamen minimalis serta lukisan warna monokrom mendominasi kamar Daren Wijaya. Bahkan tempat tidur yang berukuran king size memadukan nuansa monokrom. Tanpa sadar Nahwa memijit pelipisnya, pikirannya semakin semrawut melihat warna yang sangat ia benci.
"Ada apa?" Daren terlihat bingung mendapati wanita tersebut masih berdiri diambang pintu.
"Ah, tidak. Hanya lelah saja," elaknya.
Daren membuka lemari."Ini lemarimu. Di sebelah sana lemariku. Sebagian lemari telah terisi, ibu kemarin yang membelanjakan sebagian hijab dan gamis untukmu," jelas Daren tanpa melihat sedikitpun ke arah Nahwa. Wanita itu hanya mengangguk sembari mengeluarkan pakaian dari koper.
"Sesuai kesepakatan, kita akan tidur terpisah. Aku akan tidur di sofa dan tak akan mengganggumu. Begitupun sebaliknya," cecar lelaki berambut klimis tersebut.
Wanita bertubuh mungil itu menimbang sebuah pertanyaan. "Hmm, bisakah seprainya diganti dengan warna lain?" tanyanya hati-hati.
Daren menoleh, membuat Nahwa semakin salah tingkah. "Kenapa? Kamu gak suka?"
"Tidak, hanya saja warnanya terlalu monoton," lirih Nahwa pelan. Namun, sang empu masih mendengar suaranya.
"Ganti saja sesukamu. Kamar ini tak hanya milikku, tapi juga milikmu yah, dalam enam bulan." Jawaban anarkis Daren berhasil membuat hatinya berdesir. Sedikit menohok membuat Nahwa sadar jika posisinya hanya pengantin pengganti.
"Lupakan," balas Nahwa tak kalah sengit. Detik kemudian Daren pergi ke kamar mandi. Sementara Nahwa sibuk berbenah pakaiannya.
"Hei! Bisakah kau ambilkan handuk di lemariku!" Teriakan Daren membuat Nahwa sedikit terperanjat. "Apakah kau tak dengar?!" jawabnya tak kalah lantang.
Nahwa hanya menggerutu kesal, pasalnya ia sangat malu jika harus berada satu ruangan dengan lelaki. Dan itu hal yang lumrah bukan? Bagi pasangan suami istri yang telah halal.
'Sabar Nahwa, istri harus patuh sama suaminya. Harus sabar, gak boleh marah-marah,' batin Nahwa berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri.
"Iyah, sebentar, Kak." Dengan cepat Nahwa mengambil handuk. Tangan kekar milik Daren terjulur dari kamar mandi. Memperlihatkan bulu tangan yang terlihat basah, Nahwa terpaku. Ia malu dan tentu saja membuat degupan jantung semakin tak karuan.
"Mana handuknya?" Daren menjulurkan tangannya sembari berusaha meraih handuk yang tak kunjung ada di genggamannya.
"Ah, i-yah." Nahwa sedikit gugup. Namun ia kembali menstabilkan dirinya untuk tidak terlihat gugup.
Dengan kasar Daren menarik handuk dari tangan Nahwa. Ia menggerutu kesal terhadap Nahwa yang membuatnya sedikit lebih lama menunggu di kamar mandi.
Azan Maghrib berkumandang dengan cepat Nahwa mengambil air wudhu dan membentangkan dua sajadah.
"Kak, ayo kita salat dulu." Daren tak menghiraukan panggilan Nahwa ia sibuk berselancar di layar handphone, membuatnya terlihat sibuk, padahal ia hanya menggeser-geserkan wallpaper handphone.
"Tak bisakah kau melihat aku sedang sibuk?" jawabnya dengan nada sedikit meninggi dan penuh penekanan.
Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum geli. "Tahu, Kakak lagi sibuk geser layar utama handphone, 'kan." Sontak jawaban Nahwa mampu menyadarkan Daren dari tindakan konyolnya.
"Jangan panggil sebutan kakak, kita suami istri setidaknya panggil sebutan yang lain, seperti mas atau apalah. Oma esok akan datang, ingat tujuan kita berbeda," dalih Daren mengalihkan topik pembicaraan.
Nahwa membeku, rasa sakitnya kembali menyeruak hingga membuat sang empu hampir meneteskan buliran bening dari pelupuk mata teduhnya.
"Tentu saja, Nahwa masih ingat tentang kesepakatan itu. Kesepakatan untuk Mas Daren menjadi imam Nahwa selama sandiwara ini. Sekarang mari kita salat, Mas. Jadilah imam yang baik bagi Nahwa, walaupun takdir ke depannya tak ada yang tahu kecuali Dia," ucap Nahwa sembari tersenyum paksa.
Pria dengan kaus oblong tersebut bergegas mengambil wudhu dengan perasaan tak karuan. Daren berdiri di depan Nahwa. Ia mulai melakukan takbiratul ihram, Nahwa bergetar hebat, ia menangis dalam diam tatkala Daren membacakan Al Fatihah. Untuk pertama kalinya ia melaksanakan salat dengan kekasih halal. Imam yang selama ini Nahwa impikan seusai salat.
Imam yang bisa membimbingnya menuju ridha sang Illahi, imam yang menyayangi dan menjadi ayah terbaik untuk anak-anaknya. Namun, semuanya pupus tatkala ia harus menjadi pengantin pengganti kakaknya sendiri.
Daren mengucapkan salam, ia dengan cepat berbalik ke arah Nahwa yang masih mengenakan mukena miliknya, membuat Nahwa terlihat menggemaskan dengan pipi yang sedikit gembul.
"Apa lagi?" tanya Daren dingin. Nahwa masih menunduk mencoba mengontrol dirinya untuk tidak larut dalam kesedihan dan kemarahan.
"Berdzikir dan berdoa, jika mas tak sanggup akan itu, setidaknya ingat pada-Nya," kilah Nahwa dengan pelan. Namun, kalimat itu berhasil menohok hati Daren yang telah mengeras akan hidayah.
"Kenapa harus seribet ini, sih? Kita hanya bersandiwara. Aku tak cinta padamu begitupun sebaliknya."
Nahwa menghentikan aktivitas berdzikir. Ia menatap nyalang lelaki di hadapannya.
"Kenapa? Mas mau sekalian bersandiwara di hadapan Tuhan? Yang maksa ke sini dan buat kesepakatan konyol ini siapa? Mas atau Nahwa? Nahwa juga gak mau menikah dengan mas yang telah meniduri Kak Nashwa," balas Nahwa dengan geram.
Setiap kesabaran ada batasnya, Nahwa merasa kesabarannya telah melampaui batas, membuat ia semakin sakit akan ikatan suci ini. Sang empu langsung terdiam tanpa kata, ucapan Nahwa benar, ia telah meniduri Nashwa, wanita yang amat sangat ia cintai meski tega menidurinya hingga hamil di luar
nikah.
"Maafkan aku, aku tak sanggup. Aku tak sanggup menjadi imam yang baik buat kamu." Daren menunduk dengan rasa penyesalan.
Nahwa meraih tangan imamnya dan menyalaminya dengan khidmat, tangan yang sama yang telah menjabat tangan dengan sang ayah untuk ijab qabul namanya. "Jadilah imam yang baik setidaknya selama enam bulan," ucap Nahwa dengan nada nyaris tercekat.
Suara dering telepon berhasil menyadarkan suasana haru yang sempat membeku, Daren mengangkat telepon. Terlihat ia sangat serius ketika melihat kontak panggilan.
"Apa?! Cepat temukan dia!"
Dengan cepat lelaki berkopiah itu berlari mencari kunci mobil. Ia tak menghiraukan sang istri yang masih terpaku menatap dirinya. Lampu kamar yang kian meredup menambah kesan monokrom yang sangat klasik"Hei, mau ke mana malam-malam begini?" Wanita berambut pirang sebahu meneriaki putra sulungnya yang tampak tegang. Dengan cepat ia bergegas pergi tanpa menghiraukan pertanyaan dari AurezJemari mungil miliknya bergegas mengambil gamis simpel berwarna moca senada dengan hijab instan sedada, ia mulai menyusul ibu mertua untuk memasak makanan malam."Ada yang bisa Nahwa bantu, Bu?" Wanita paruh baya itu masih berjibaku dengan bumbu-bumbu dapur, meracik dengan sempurna hingga menambah rempah ruah kuah gulai. Aroma khas ikan bandeng bercampur dengan santan yang lemak dan rempah lainnya membuat hidung mungil sang empu tergelitik."Ah, Nashwa tolong bantu ibu bawakan sayur ini ke meja," titah Aurez yang masih sibuk dengan s
"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya."Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang."Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis.Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf."Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teria
"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. "Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. "Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. "Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. "Loh, Nahwa kamu belum tidur?" Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. "Darennya udah pulang, kan?" "Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. "Kamu k
"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren.Wanita itu menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang selaras dengan langkah Daren yang semakin mendekat. Perlahan Nahwa merasakan jemari lelaki tersebut yang menarik selimutnya secara perlahan. Nahwa semakin menutup rapat matanya buliran keringat mulai membasahi pelipisnya."Aku tahu ini berat bagimu, Nahwa. Maafkan aku, karna telah membuatmu semakin menderita. Entah apa yang telah dilakukan kakakmu hingga dia membuat kita menjadi begini." Ucapan Daren terdengar pelan nyaris setengah berbisik, detik kemudian ia menyeka air matanya."Hanya lima bulan saja. Lima bulan." Jenjang langkahnya kian menjauh. Detik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Wanita itu terduduk. Pandangannya mengarah ke pintu yang telah ditutup rapat.Gelenyar perasaan membu
"Ini, mau bulan madu, Oma," ucap Daren. Gadis berkerudung hijau botol tersebut terkejut mendengar penuturan Daren yang terdengar sembrono.Wanita baya itu menatap Nahwa, tampak raut wajahnya yang berharap jawaban dari bibir sang empu. Nahwa semakin gugup melihat tatapan Oma Lusia yang tampak seperti melakukan penyidikan. "I-yah, Oma. Kami tunggu kedatangan, Oma dulu." Dengan cepat Nahwa menguasai gerak-gerik tubuhnya. Sangat susah baginya untuk berbohong.Pria tersebut memandang sepintas netra Nahwa. Ada rasa kagum ketika melihat wanita yang kini telah menjadi istrinya. Wanita berparas anggun dengan kepolosannya membuat Daren lebih memerhatikan gadis tersebut. Hatinya berdesir ketika menatap indah bola mata berwarna cokelat terang tersebut. Sangat berbeda dengan Nashwa yang penuh dengan kesabaran untuk menghadapinya, bahkan sangat keras kepala. Namun, Nashwa lah cinta pertamanya."Mau hone
"Ma! Di mana dasi Daren?" Nahwa terperanjat, matanya mendelik ketika menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul tujuh pagi."Astagfirullah! Kenapa bisa kesiangan, sih."Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin membersihkan diri lalu menunaikan salat subuh.Daren memerhatikan Nahwa sedari tadi, kendati demikian ia menyunggingkan senyuman ketika melihat tingkah Nahwa yang lari tunggang-langgang seperti orang kesetanan."Ini semua gara-gara dia," gerutunya kesal sambil melipat mukena miliknya. Daren yang sedang berkutat di depan cermin tanpa sengaja mendengar penuturan gadis itu. Nahwa dengan sengaja menaikkan suaranya agar sang empu dapat mendengar kekesalannya.Daren tersenyum penuh kemenangan, hingga pada akhirnya malam itu telah dimenangkan Daren Wijaya.1-0, skor kalah te
"Apakah Daren mencintaimu, Nak?" Nahwa tersentak mendapatkan pertanyaan tersebut dari Oma. Bibir mungilnya terkatup rapat, entahlah kali ini tak ada Daren yang biasanya selalu mengalihkan pembicaraan ke ranah yang sangat sensitif, bagi Nahwa. Gadis itu hanya mengangguk kemudian tertunduk. Ia tak bisa membohongi wanita baya tersebut. Lusia membetulkan posisi pada kacamata berukuran besar yang bertengger di hidung bangirnya. Jemarinya dengan lembut mengangkat dagu Nahwa, mensejajarkan pandangan mereka. "Hmm? Ada yang bisa oma bantu?" Nahwa menggeleng cepat. Ia mulai mengendalikan perasaan gugupnya. "Bu-kan, Oma," elaknya dengan cepat. Oma masih menatap dirinya dengan curiga. "Ada sedikit masalah, Oma. Mungkin karena kami baru saja memulai lembaran baru," ucap Nahwa berbohong. Ia menggigit bibir bawahnya. Oma Lusia menuntun langkahnya di bangku taman. Cuaca hari ini sangat bersahabat. "Terkadang memang dalam sebuah perjalanan selalu ada batu kerikil-kerikil kecil maupun besar. Ada
"Mas, Bro?" Oma lusia terperanjat mendengar teriakan Nahwa, gadis itu merutuki kebodohannya pasalnya ia tak sadar kalimat aneh apa yang ia katakan, tubuh tegap Daren berbalik menghadap Nahwa, dirinya mematung melihat lengkungan garis bibir Daren yang sedang menahan tawa, lelaki itu memijit pelipisnya entah apa yang dirinya pikirkan melihat senyum bodoh Nahwa yang malah membuatnya semakin salah tingkah. Daren mengulurkan tangannya sementarra gadis itu masih mematung menertawakan dirinya sendiri. "Terima kasih," kata Daren sambil mengambil benda pipih miliknya, Nahwa hanya mengangguk pelan. Daren bergegas pergi ke cafe, dirinya membuat janji dengan Rio seorang detektif swasta yang mencari keberadaan Nashwa. Dengan setelan santai lelaki bertubuh atletis tersebut tampak sangat berkharisma dipadupadankan dengan kaus polos berwarna hitam. "Hei, Bung," panggil seseorang dari meja seberang. Tampilannya sedikit formal dengan dipadukan setelan kemeja lekaki bernama Rio Argaska adalah teman s
"Mas, Bro?" Oma lusia terperanjat mendengar teriakan Nahwa, gadis itu merutuki kebodohannya pasalnya ia tak sadar kalimat aneh apa yang ia katakan, tubuh tegap Daren berbalik menghadap Nahwa, dirinya mematung melihat lengkungan garis bibir Daren yang sedang menahan tawa, lelaki itu memijit pelipisnya entah apa yang dirinya pikirkan melihat senyum bodoh Nahwa yang malah membuatnya semakin salah tingkah. Daren mengulurkan tangannya sementarra gadis itu masih mematung menertawakan dirinya sendiri. "Terima kasih," kata Daren sambil mengambil benda pipih miliknya, Nahwa hanya mengangguk pelan. Daren bergegas pergi ke cafe, dirinya membuat janji dengan Rio seorang detektif swasta yang mencari keberadaan Nashwa. Dengan setelan santai lelaki bertubuh atletis tersebut tampak sangat berkharisma dipadupadankan dengan kaus polos berwarna hitam. "Hei, Bung," panggil seseorang dari meja seberang. Tampilannya sedikit formal dengan dipadukan setelan kemeja lekaki bernama Rio Argaska adalah teman s
"Apakah Daren mencintaimu, Nak?" Nahwa tersentak mendapatkan pertanyaan tersebut dari Oma. Bibir mungilnya terkatup rapat, entahlah kali ini tak ada Daren yang biasanya selalu mengalihkan pembicaraan ke ranah yang sangat sensitif, bagi Nahwa. Gadis itu hanya mengangguk kemudian tertunduk. Ia tak bisa membohongi wanita baya tersebut. Lusia membetulkan posisi pada kacamata berukuran besar yang bertengger di hidung bangirnya. Jemarinya dengan lembut mengangkat dagu Nahwa, mensejajarkan pandangan mereka. "Hmm? Ada yang bisa oma bantu?" Nahwa menggeleng cepat. Ia mulai mengendalikan perasaan gugupnya. "Bu-kan, Oma," elaknya dengan cepat. Oma masih menatap dirinya dengan curiga. "Ada sedikit masalah, Oma. Mungkin karena kami baru saja memulai lembaran baru," ucap Nahwa berbohong. Ia menggigit bibir bawahnya. Oma Lusia menuntun langkahnya di bangku taman. Cuaca hari ini sangat bersahabat. "Terkadang memang dalam sebuah perjalanan selalu ada batu kerikil-kerikil kecil maupun besar. Ada
"Ma! Di mana dasi Daren?" Nahwa terperanjat, matanya mendelik ketika menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul tujuh pagi."Astagfirullah! Kenapa bisa kesiangan, sih."Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin membersihkan diri lalu menunaikan salat subuh.Daren memerhatikan Nahwa sedari tadi, kendati demikian ia menyunggingkan senyuman ketika melihat tingkah Nahwa yang lari tunggang-langgang seperti orang kesetanan."Ini semua gara-gara dia," gerutunya kesal sambil melipat mukena miliknya. Daren yang sedang berkutat di depan cermin tanpa sengaja mendengar penuturan gadis itu. Nahwa dengan sengaja menaikkan suaranya agar sang empu dapat mendengar kekesalannya.Daren tersenyum penuh kemenangan, hingga pada akhirnya malam itu telah dimenangkan Daren Wijaya.1-0, skor kalah te
"Ini, mau bulan madu, Oma," ucap Daren. Gadis berkerudung hijau botol tersebut terkejut mendengar penuturan Daren yang terdengar sembrono.Wanita baya itu menatap Nahwa, tampak raut wajahnya yang berharap jawaban dari bibir sang empu. Nahwa semakin gugup melihat tatapan Oma Lusia yang tampak seperti melakukan penyidikan. "I-yah, Oma. Kami tunggu kedatangan, Oma dulu." Dengan cepat Nahwa menguasai gerak-gerik tubuhnya. Sangat susah baginya untuk berbohong.Pria tersebut memandang sepintas netra Nahwa. Ada rasa kagum ketika melihat wanita yang kini telah menjadi istrinya. Wanita berparas anggun dengan kepolosannya membuat Daren lebih memerhatikan gadis tersebut. Hatinya berdesir ketika menatap indah bola mata berwarna cokelat terang tersebut. Sangat berbeda dengan Nashwa yang penuh dengan kesabaran untuk menghadapinya, bahkan sangat keras kepala. Namun, Nashwa lah cinta pertamanya."Mau hone
"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren.Wanita itu menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang selaras dengan langkah Daren yang semakin mendekat. Perlahan Nahwa merasakan jemari lelaki tersebut yang menarik selimutnya secara perlahan. Nahwa semakin menutup rapat matanya buliran keringat mulai membasahi pelipisnya."Aku tahu ini berat bagimu, Nahwa. Maafkan aku, karna telah membuatmu semakin menderita. Entah apa yang telah dilakukan kakakmu hingga dia membuat kita menjadi begini." Ucapan Daren terdengar pelan nyaris setengah berbisik, detik kemudian ia menyeka air matanya."Hanya lima bulan saja. Lima bulan." Jenjang langkahnya kian menjauh. Detik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Wanita itu terduduk. Pandangannya mengarah ke pintu yang telah ditutup rapat.Gelenyar perasaan membu
"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. "Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. "Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. "Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. "Loh, Nahwa kamu belum tidur?" Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. "Darennya udah pulang, kan?" "Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. "Kamu k
"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya."Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang."Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis.Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf."Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teria
Dengan cepat lelaki berkopiah itu berlari mencari kunci mobil. Ia tak menghiraukan sang istri yang masih terpaku menatap dirinya. Lampu kamar yang kian meredup menambah kesan monokrom yang sangat klasik"Hei, mau ke mana malam-malam begini?" Wanita berambut pirang sebahu meneriaki putra sulungnya yang tampak tegang. Dengan cepat ia bergegas pergi tanpa menghiraukan pertanyaan dari AurezJemari mungil miliknya bergegas mengambil gamis simpel berwarna moca senada dengan hijab instan sedada, ia mulai menyusul ibu mertua untuk memasak makanan malam."Ada yang bisa Nahwa bantu, Bu?" Wanita paruh baya itu masih berjibaku dengan bumbu-bumbu dapur, meracik dengan sempurna hingga menambah rempah ruah kuah gulai. Aroma khas ikan bandeng bercampur dengan santan yang lemak dan rempah lainnya membuat hidung mungil sang empu tergelitik."Ah, Nashwa tolong bantu ibu bawakan sayur ini ke meja," titah Aurez yang masih sibuk dengan s
Wanita bertubuh mungil itu berjalan menyusuri rumah keluarga Wijaya. Rumah nuansa arsitektur khas Eropa perpaduan kesan mewah dengan cat berwarna putih cream mendominasi setiap ruangan.Aurez istri Wijaya sangat menyukai gaya Eropa karena ibunya merupakan keturunan negara Eropa. Namun, sang oma memilih tinggal di desa terpencil di perkampungan Sumatera Utara, tanah kelahiran almarhum sang suami. Jauh dari hiruk-pikuk harta gono-gini."Perpaduan yang sempurna," decak Nahwa kagum.Nahwa merasa takjub akan rumah Wijaya, yang berbentuk minimalis, tak terlalu megah. Namun, kesan mewah tak lepas dari arsitekturnya.Wijaya menyambut hangat menantunya, begitupun dengan sang istri yang berusaha mencairkan suasana dingin. Sementara Daren mengikuti Nahwa dari belakang. Perempuan bermata teduh itu tersenyum hangat menatap keluarga barunya. Meski perasaannya tak karuan ia berusaha tersenyu