Nahwa merangkul tubuh sang Ayah yang sudah terbaring lemah dipangkuannya. Dengan ketakutan, bibir mungilnya mencoba memanggil sang ayah. Namun, kelopak mata sang empu masih tertutup rapat. Tangan kokoh Basyah mencoba menggenggam jemari Nahwa.
Dengan ceketan Daren membopong tubuh Basyah ke dalam mobil. Lelaki bertubuh tegap itu menyetir kemudi, melaju dengan cepat tanpa menghiraukan klakson yang sangat memekakan telinga.
"Ayah, sadar, Yah. Nahwa gak mau ayah kayak begini." Tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi sang Ayah, berharap sang empu sedia membuka mata.
Daren melihat situasi yang semakin sulit, sesekali dirinya melihat ke belakang. Tangisan Nahwa pecah, ketika jemari Basyah perlahan mengendurkan genggamannya dengan sang putri tercinta. Sesaat bersamaan dengan itu, napas sang Ayah tersengal, membuat keadaan semakin pelik, tanpa sengaja Daren menghantam trotoar jalan. Untungnya stir kemudi masih bisa ia kendalikan.
"Kak, ay-ah ... na-pasnya terhenti." Ucapan Nahwa berhasil membuat Daren mengerem mendadak, membuat ban belakang sedikit tergelincir. Kesedihan wanita itu semakin tak terkendali, ia meraung kesakitan sesekali menepuk pipi sang Ayah, reflek Nahwa mengguncang tubuh lelaki yang telah pucat pasi itu dengan kuat. Namun, sang empu tak kunjung bangun dari tidur panjangnya.
"Ayah! Bangun, Yah. Jangan tinggalin Nahwa sendiri, Yah, i-ni Nahwa ... ayah, gak boleh ninggalin Nahwa." Isakan tangisnya semakin menjadi.
Daren menghela napas gusar, kali ini ujian datang bertubi-tubi. Ia memakirkan mobilnya, dengan cepat pindah ke bangku belakang. Lelaki itu memeriksa keadaan dan Ayah mertuanya, dengan cepat ia meraih pergelangan tangan yang telah keriput termakan usia senja, Daren meraba denyut nadi. Namun, nihil tak ia temukan denyut nadi.
"Innalilahi w* innailaihi ro'jiun." Reflek ia mengusap bahu Nahw* yang masih terguncang hebat, tangisannya meledak tak karuan. Sedangkan lelaki yang masih memakai kemeja putih polos berdiri mematung di sebelah Nahw*.
Mobil belakang ikut menepi, segerombolan keluarga mulai memeriksa keadaan yang mulai tak terkendalikan.
"Pak Basyah, tak tertolong," kata Daren.
"Innalilahi w* innailaihi ro'jiun." Keluarga Daren tak berdaya. Sementara, Mayda terkulai lemas melihat kondisi sang suami tengah terbaring kaku dipangkuan Nahw*.
"Mas!" Bibirnya keluh tanpa suara, hanya isakan tangis yang semakin menjadi. Detik kemudian tubuh Mayda terjatuh tak berdaya.
Dengan cepat mereka bergegas ke rumah sakit, sembari membawa jasad almarhum serta sang istri yang tak kunjung sadarkan diri.
Mata lentiknya menatap kosong wajah sang ayah. Bayang-bayang kenangan sang ayah kini memenuhi pikirannya. Bibir mungil sang empu terkatup rapat menahan jeritan, terkadang terdengar lirih isakan tangis yang semakin pilu.
"Ayah, ke mana Nahwa akan pulang? Jika sewaktu-waktu rumah ayah kosong. Gak ada lagi ayah yang selalu manjain Nahwa. Ayah, ke mana lagi Nahwa akan bercerita? Tentang hari yang selalu memojokkan kita, ayah janji untuk mendengar semua keluh kesah Nahwa, tapi ...di mana lagi Nahwa akan menemukan pendengar yang baik, seperti ayah." Sesaat ia menarik napas.
'Nahwa belum siap untuk kehilangan kesekian kalinya,' gumamnya lemah. Isakan tangis yang sengaja ia tahan, nyatanya pecah.
Daren hanya terdiam membisu, tatapannya nanar melihat ketidaksiapan sang istri akan sebuah kehilangan.
"Bagaimana jika suatu saat aku meninggalkannya? Ke mana ia akan mengadu rasa sakitnya," batin Daren lemah.
Di hari pernikahannya ia mengalami nasib tragis. Ujian semakin menghantam raganya bertubi-tubi tanpa henti. Membuat yang kuat menjadi lemah dan yang lemah semakin bingung bagaimana caranya menjadi kuat seperti sedia kala.
"Biarkan aku sendiri," ucap Nahwa ketika mendengar derap langkah menuju kamarnya. Sudah satu bulan semenjak kepergian sang ayah. Nahwa masih ingin tinggal di rumah lamanya. Begitu banyak kenangan sang ayah yang masih setia membekas disetiap bangunan rumah ini.
"Nahwah, ada yang harus kubicarkan!" Suara bariton tersebut memecahkan keheningan, membuat Nahwa semakin tak berdaya mendengar suara yang sangat ia hindari selama ini.
"Masuklah, pintunya gak aku kunci."
Lelaki berkemeja biru soft tersebut masuk ke kamar Nahwa. Ia mulai duduk di sisi ranjang tepat disebelah Nahwa yang masih setia menatap ke arah jendela luar.
"Aku ingin mengatakan sesuatu. Oma dari desa akan datang, dia tak tahu akan semua kejadian ini. Jika dia tahu yang sebenarnya, maka oma akan drop karena mempunyai riwayat penyakit jantung koroner. Aku gak mau oma jatuh sakit. Jadi, aku mohon sama kamu untuk pulang dan menjalani kehidupan seperti suami istri pada umumnya."
Mukena miliknya masih melekat sempurna, wanita itu hanya menoleh sesaat. "Ini rumahku, untuk apa aku pulang? Jika ini rumahku," balasnya dengan nada datar sambil membuang muka ke sisi jendela.
Daren mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia sudah kehabisan akal untuk membujuk Nahwa yang sangat keras kepala, sangat berbeda dengan sang kakak yang penurut.
"Aku mohon sama kamu, sekali ini saja. Setelah ini terserah mau kamu gimana. Oma akan tiba lusa, aku akan memenuhi persyaratannya dan keputusanmu setelah oma kembali ke desa. Hanya beberapa waktu saja," bujuk Daren dengan nada memelas.
Mata lentiknya terlihat menghitam, serta area kantong mata yang tengah membengkak. Rasanya seperti mimpi ketika kehilangan dengan sosok orang yang sangat disayanginya.
"Aku mau pisah," kata Nahwa dengan nada sedikit bergetar. Lelaki disebelahnya terbelalak terkejut ketika mendengar penuturan Nahwa. Bukankah itu yang sangat diinginkan Daren, tanpa ada ikatan pada dua insan yang sangat asing, tapi keadaan malah berbalik padanya.
"Ini keputusan gila, Na." Lelaki itu masih berusaha membujuk Nahwa yang kini telah sah menjadi istrinya.
"Tapi membayangkan menjalani kehidupan pernikahan ini, hampir membuatku gila," kilahnya cepat.
Daren menghela napas panjang, ia tahu jika sang istri masih perlu waktu sendiri untuk beradaptasi dengan kehilangan. Namun, kali ini tenggat waktu hampir membunuhnya, membuat Daren harus berpikir seribu kali untuk membuat sang oma percaya jika hidupnya baik-baik saja.
"Jika itu maumu, baiklah, tapi dalam waktu enam bulan kita akan tinggal seatap. Maaf jika keputusanku tidak mendapat persetujuan darimu, saat ini aku masih suamimu dan wajib bagi seorang istri untuk ikut perintah suaminya. "
Luka itu kembali menganga di hati Nahwa, buliran bening kembali meluruh membasahi mukenanya.
Daren mengeluarkan selembar kertas.
"Tulislah persyaratan selama kita menjalani pernikahan ini. Tentu dengan kesepakatan bersama dan juga dalam kurun waktu yang kamu inginkan, kita akan pisah enam bulan kemudian." Nahwa meraih kembaran tersebut dan menuliskan kesepakatannya. Daren membaca isi lembaran tersebut dan menerima kesepakatan yang telah dibuat.
Mereka akan menjalani biduk rumah tangga dengan peraturan selembar kertas yang telah ditanda tangani di atas materai dan berdasarkan kesepakatan bersama.
"Kita akan tidur satu kamar, aku tak akan menyentuhmu," ucap Daren tenang. Wanita itu termenung meratapi kehidupan yang jauh lebih berat dari sebelumnya.
Wanita bertubuh mungil itu berjalan menyusuri rumah keluarga Wijaya. Rumah nuansa arsitektur khas Eropa perpaduan kesan mewah dengan cat berwarna putih cream mendominasi setiap ruangan.Aurez istri Wijaya sangat menyukai gaya Eropa karena ibunya merupakan keturunan negara Eropa. Namun, sang oma memilih tinggal di desa terpencil di perkampungan Sumatera Utara, tanah kelahiran almarhum sang suami. Jauh dari hiruk-pikuk harta gono-gini."Perpaduan yang sempurna," decak Nahwa kagum.Nahwa merasa takjub akan rumah Wijaya, yang berbentuk minimalis, tak terlalu megah. Namun, kesan mewah tak lepas dari arsitekturnya.Wijaya menyambut hangat menantunya, begitupun dengan sang istri yang berusaha mencairkan suasana dingin. Sementara Daren mengikuti Nahwa dari belakang. Perempuan bermata teduh itu tersenyum hangat menatap keluarga barunya. Meski perasaannya tak karuan ia berusaha tersenyu
Dengan cepat lelaki berkopiah itu berlari mencari kunci mobil. Ia tak menghiraukan sang istri yang masih terpaku menatap dirinya. Lampu kamar yang kian meredup menambah kesan monokrom yang sangat klasik"Hei, mau ke mana malam-malam begini?" Wanita berambut pirang sebahu meneriaki putra sulungnya yang tampak tegang. Dengan cepat ia bergegas pergi tanpa menghiraukan pertanyaan dari AurezJemari mungil miliknya bergegas mengambil gamis simpel berwarna moca senada dengan hijab instan sedada, ia mulai menyusul ibu mertua untuk memasak makanan malam."Ada yang bisa Nahwa bantu, Bu?" Wanita paruh baya itu masih berjibaku dengan bumbu-bumbu dapur, meracik dengan sempurna hingga menambah rempah ruah kuah gulai. Aroma khas ikan bandeng bercampur dengan santan yang lemak dan rempah lainnya membuat hidung mungil sang empu tergelitik."Ah, Nashwa tolong bantu ibu bawakan sayur ini ke meja," titah Aurez yang masih sibuk dengan s
"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya."Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang."Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis.Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf."Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teria
"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. "Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. "Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. "Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. "Loh, Nahwa kamu belum tidur?" Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. "Darennya udah pulang, kan?" "Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. "Kamu k
"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren.Wanita itu menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang selaras dengan langkah Daren yang semakin mendekat. Perlahan Nahwa merasakan jemari lelaki tersebut yang menarik selimutnya secara perlahan. Nahwa semakin menutup rapat matanya buliran keringat mulai membasahi pelipisnya."Aku tahu ini berat bagimu, Nahwa. Maafkan aku, karna telah membuatmu semakin menderita. Entah apa yang telah dilakukan kakakmu hingga dia membuat kita menjadi begini." Ucapan Daren terdengar pelan nyaris setengah berbisik, detik kemudian ia menyeka air matanya."Hanya lima bulan saja. Lima bulan." Jenjang langkahnya kian menjauh. Detik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Wanita itu terduduk. Pandangannya mengarah ke pintu yang telah ditutup rapat.Gelenyar perasaan membu
"Ini, mau bulan madu, Oma," ucap Daren. Gadis berkerudung hijau botol tersebut terkejut mendengar penuturan Daren yang terdengar sembrono.Wanita baya itu menatap Nahwa, tampak raut wajahnya yang berharap jawaban dari bibir sang empu. Nahwa semakin gugup melihat tatapan Oma Lusia yang tampak seperti melakukan penyidikan. "I-yah, Oma. Kami tunggu kedatangan, Oma dulu." Dengan cepat Nahwa menguasai gerak-gerik tubuhnya. Sangat susah baginya untuk berbohong.Pria tersebut memandang sepintas netra Nahwa. Ada rasa kagum ketika melihat wanita yang kini telah menjadi istrinya. Wanita berparas anggun dengan kepolosannya membuat Daren lebih memerhatikan gadis tersebut. Hatinya berdesir ketika menatap indah bola mata berwarna cokelat terang tersebut. Sangat berbeda dengan Nashwa yang penuh dengan kesabaran untuk menghadapinya, bahkan sangat keras kepala. Namun, Nashwa lah cinta pertamanya."Mau hone
"Ma! Di mana dasi Daren?" Nahwa terperanjat, matanya mendelik ketika menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul tujuh pagi."Astagfirullah! Kenapa bisa kesiangan, sih."Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin membersihkan diri lalu menunaikan salat subuh.Daren memerhatikan Nahwa sedari tadi, kendati demikian ia menyunggingkan senyuman ketika melihat tingkah Nahwa yang lari tunggang-langgang seperti orang kesetanan."Ini semua gara-gara dia," gerutunya kesal sambil melipat mukena miliknya. Daren yang sedang berkutat di depan cermin tanpa sengaja mendengar penuturan gadis itu. Nahwa dengan sengaja menaikkan suaranya agar sang empu dapat mendengar kekesalannya.Daren tersenyum penuh kemenangan, hingga pada akhirnya malam itu telah dimenangkan Daren Wijaya.1-0, skor kalah te
"Apakah Daren mencintaimu, Nak?" Nahwa tersentak mendapatkan pertanyaan tersebut dari Oma. Bibir mungilnya terkatup rapat, entahlah kali ini tak ada Daren yang biasanya selalu mengalihkan pembicaraan ke ranah yang sangat sensitif, bagi Nahwa. Gadis itu hanya mengangguk kemudian tertunduk. Ia tak bisa membohongi wanita baya tersebut. Lusia membetulkan posisi pada kacamata berukuran besar yang bertengger di hidung bangirnya. Jemarinya dengan lembut mengangkat dagu Nahwa, mensejajarkan pandangan mereka. "Hmm? Ada yang bisa oma bantu?" Nahwa menggeleng cepat. Ia mulai mengendalikan perasaan gugupnya. "Bu-kan, Oma," elaknya dengan cepat. Oma masih menatap dirinya dengan curiga. "Ada sedikit masalah, Oma. Mungkin karena kami baru saja memulai lembaran baru," ucap Nahwa berbohong. Ia menggigit bibir bawahnya. Oma Lusia menuntun langkahnya di bangku taman. Cuaca hari ini sangat bersahabat. "Terkadang memang dalam sebuah perjalanan selalu ada batu kerikil-kerikil kecil maupun besar. Ada
"Mas, Bro?" Oma lusia terperanjat mendengar teriakan Nahwa, gadis itu merutuki kebodohannya pasalnya ia tak sadar kalimat aneh apa yang ia katakan, tubuh tegap Daren berbalik menghadap Nahwa, dirinya mematung melihat lengkungan garis bibir Daren yang sedang menahan tawa, lelaki itu memijit pelipisnya entah apa yang dirinya pikirkan melihat senyum bodoh Nahwa yang malah membuatnya semakin salah tingkah. Daren mengulurkan tangannya sementarra gadis itu masih mematung menertawakan dirinya sendiri. "Terima kasih," kata Daren sambil mengambil benda pipih miliknya, Nahwa hanya mengangguk pelan. Daren bergegas pergi ke cafe, dirinya membuat janji dengan Rio seorang detektif swasta yang mencari keberadaan Nashwa. Dengan setelan santai lelaki bertubuh atletis tersebut tampak sangat berkharisma dipadupadankan dengan kaus polos berwarna hitam. "Hei, Bung," panggil seseorang dari meja seberang. Tampilannya sedikit formal dengan dipadukan setelan kemeja lekaki bernama Rio Argaska adalah teman s
"Apakah Daren mencintaimu, Nak?" Nahwa tersentak mendapatkan pertanyaan tersebut dari Oma. Bibir mungilnya terkatup rapat, entahlah kali ini tak ada Daren yang biasanya selalu mengalihkan pembicaraan ke ranah yang sangat sensitif, bagi Nahwa. Gadis itu hanya mengangguk kemudian tertunduk. Ia tak bisa membohongi wanita baya tersebut. Lusia membetulkan posisi pada kacamata berukuran besar yang bertengger di hidung bangirnya. Jemarinya dengan lembut mengangkat dagu Nahwa, mensejajarkan pandangan mereka. "Hmm? Ada yang bisa oma bantu?" Nahwa menggeleng cepat. Ia mulai mengendalikan perasaan gugupnya. "Bu-kan, Oma," elaknya dengan cepat. Oma masih menatap dirinya dengan curiga. "Ada sedikit masalah, Oma. Mungkin karena kami baru saja memulai lembaran baru," ucap Nahwa berbohong. Ia menggigit bibir bawahnya. Oma Lusia menuntun langkahnya di bangku taman. Cuaca hari ini sangat bersahabat. "Terkadang memang dalam sebuah perjalanan selalu ada batu kerikil-kerikil kecil maupun besar. Ada
"Ma! Di mana dasi Daren?" Nahwa terperanjat, matanya mendelik ketika menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul tujuh pagi."Astagfirullah! Kenapa bisa kesiangan, sih."Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin membersihkan diri lalu menunaikan salat subuh.Daren memerhatikan Nahwa sedari tadi, kendati demikian ia menyunggingkan senyuman ketika melihat tingkah Nahwa yang lari tunggang-langgang seperti orang kesetanan."Ini semua gara-gara dia," gerutunya kesal sambil melipat mukena miliknya. Daren yang sedang berkutat di depan cermin tanpa sengaja mendengar penuturan gadis itu. Nahwa dengan sengaja menaikkan suaranya agar sang empu dapat mendengar kekesalannya.Daren tersenyum penuh kemenangan, hingga pada akhirnya malam itu telah dimenangkan Daren Wijaya.1-0, skor kalah te
"Ini, mau bulan madu, Oma," ucap Daren. Gadis berkerudung hijau botol tersebut terkejut mendengar penuturan Daren yang terdengar sembrono.Wanita baya itu menatap Nahwa, tampak raut wajahnya yang berharap jawaban dari bibir sang empu. Nahwa semakin gugup melihat tatapan Oma Lusia yang tampak seperti melakukan penyidikan. "I-yah, Oma. Kami tunggu kedatangan, Oma dulu." Dengan cepat Nahwa menguasai gerak-gerik tubuhnya. Sangat susah baginya untuk berbohong.Pria tersebut memandang sepintas netra Nahwa. Ada rasa kagum ketika melihat wanita yang kini telah menjadi istrinya. Wanita berparas anggun dengan kepolosannya membuat Daren lebih memerhatikan gadis tersebut. Hatinya berdesir ketika menatap indah bola mata berwarna cokelat terang tersebut. Sangat berbeda dengan Nashwa yang penuh dengan kesabaran untuk menghadapinya, bahkan sangat keras kepala. Namun, Nashwa lah cinta pertamanya."Mau hone
"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren.Wanita itu menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang selaras dengan langkah Daren yang semakin mendekat. Perlahan Nahwa merasakan jemari lelaki tersebut yang menarik selimutnya secara perlahan. Nahwa semakin menutup rapat matanya buliran keringat mulai membasahi pelipisnya."Aku tahu ini berat bagimu, Nahwa. Maafkan aku, karna telah membuatmu semakin menderita. Entah apa yang telah dilakukan kakakmu hingga dia membuat kita menjadi begini." Ucapan Daren terdengar pelan nyaris setengah berbisik, detik kemudian ia menyeka air matanya."Hanya lima bulan saja. Lima bulan." Jenjang langkahnya kian menjauh. Detik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Wanita itu terduduk. Pandangannya mengarah ke pintu yang telah ditutup rapat.Gelenyar perasaan membu
"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. "Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. "Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. "Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. "Loh, Nahwa kamu belum tidur?" Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. "Darennya udah pulang, kan?" "Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. "Kamu k
"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya."Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang."Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis.Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf."Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teria
Dengan cepat lelaki berkopiah itu berlari mencari kunci mobil. Ia tak menghiraukan sang istri yang masih terpaku menatap dirinya. Lampu kamar yang kian meredup menambah kesan monokrom yang sangat klasik"Hei, mau ke mana malam-malam begini?" Wanita berambut pirang sebahu meneriaki putra sulungnya yang tampak tegang. Dengan cepat ia bergegas pergi tanpa menghiraukan pertanyaan dari AurezJemari mungil miliknya bergegas mengambil gamis simpel berwarna moca senada dengan hijab instan sedada, ia mulai menyusul ibu mertua untuk memasak makanan malam."Ada yang bisa Nahwa bantu, Bu?" Wanita paruh baya itu masih berjibaku dengan bumbu-bumbu dapur, meracik dengan sempurna hingga menambah rempah ruah kuah gulai. Aroma khas ikan bandeng bercampur dengan santan yang lemak dan rempah lainnya membuat hidung mungil sang empu tergelitik."Ah, Nashwa tolong bantu ibu bawakan sayur ini ke meja," titah Aurez yang masih sibuk dengan s
Wanita bertubuh mungil itu berjalan menyusuri rumah keluarga Wijaya. Rumah nuansa arsitektur khas Eropa perpaduan kesan mewah dengan cat berwarna putih cream mendominasi setiap ruangan.Aurez istri Wijaya sangat menyukai gaya Eropa karena ibunya merupakan keturunan negara Eropa. Namun, sang oma memilih tinggal di desa terpencil di perkampungan Sumatera Utara, tanah kelahiran almarhum sang suami. Jauh dari hiruk-pikuk harta gono-gini."Perpaduan yang sempurna," decak Nahwa kagum.Nahwa merasa takjub akan rumah Wijaya, yang berbentuk minimalis, tak terlalu megah. Namun, kesan mewah tak lepas dari arsitekturnya.Wijaya menyambut hangat menantunya, begitupun dengan sang istri yang berusaha mencairkan suasana dingin. Sementara Daren mengikuti Nahwa dari belakang. Perempuan bermata teduh itu tersenyum hangat menatap keluarga barunya. Meski perasaannya tak karuan ia berusaha tersenyu