"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.
Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya.
"Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang.
"Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis.
Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf.
"Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teriak wanita paruh baya tersebut. Nela tak percaya akan semua sandiwara keluarga mempelai wanita, ia yakin ada hal tak beres saat pertama kali bertemu Naswah di acara lamaran keponakannya.
Pak Basyah hanya menunduk malu sambil meminta maaf atas perlakuan putri sulungnya. Lelaki bermata teduh itu hanya bisa menatap lantai yang bersejajar di titik terendah dalam hidupnya.
Di tengah-tengah keributan. Ruangan akad tengah penuh, bisik-bisik tamu mulai mengusik kedua keluarga yang akan terikat. Sementara Daren mengacak rambutnya frustasi, membuatnya hampir gila.
"Kami akan bertanggung jawab, atas perlakuan anak kami yang sangat memalukan bagi keluarga kita." Daren tak perduli pembicaraan kedua orangtuanya dengan pihak wanita. Pikirannya kalut, perasaanya semakin hancur mendengar kepergian Nashwa, tepatnya selama mereka berpacaran selama 4 tahun. Kepergian wanita yang sangat dicintainya menimbulkan luka yang semakin dalam.
"Nahwa, akan menggantikan posisi Nashwa. Keluarga kita sudah menanggung malu, bagaimanapun juga akad akan tetap berjalan." Perempuan berhijab putih polos tersebut menganga tatkala mendengar namanya yang terucap oleh sang Ibu.
"Kenapa aku yang nanggung, Bu? Aku gak mau!" Netranya berembun, tak percaya akan keputusan yang diambil sepihak oleh ibunya.
Daren hanya terduduk lemas, raganya tak kuat untuk berdiri seakan separuh hidupnya telah kehilangan kendali.
"Bu! Itu keputusan gila. Jangan mengada-ada. Tak seharusnya Nahwa menanggung bebannya, kita yang salah, bukan Nahwa," tukas Pak Basyah dengan tenang. Namun, tegas.
"Nama kita tercoreng, Pak!"
"Biar saja nama kita yang tercoreng! Asalkan jangan masa depan Nahwa yang ikutan tercoreng!" ucap lelaki paruh baya itu dengan setiap penekanan di kalimatnya.
"Aku bersedia."
Semua keluarga menatap sumber suara. Gadis tersebut tampaknya berubah pikiran dengan keputusannya. Meskipun begitu, pihak keluarga lelaki tetap menyalahkan keluarga mempelai wanita, sementara keluarga Basyah hanya bisa meminta maaf dan bertanggung jawab akan peristiwa nahas di hari yang seharusnya bahagia.
"Nahwa! Apa yang kau ucapkan?!" bentak Basyah sambil menatap putri bungsunya. Sama seperti sang Ayah, putrinya hanya bisa menunduk malu atas kejadian yang mencoreng nama serta reputasi keluarganya.
"Kita gak punya pilihan lagi, Yah," ucapnya sedikit bergetar. Netranya hanya menunduk tak kuasa menatap kehancuran cinta pertamanya, ia lebih memilih untuk hancur kesekian kalinya.
"Jangan mempertaruhkan masa depanmu, dengan menikahi lelaki pilihan kakakmu! Bukan pilihanmu sendiri Nahwa."
"Bukan ini yang Nahwa mau, Ayah. Tapi takdir … takdir yang membuat kita begini," balas Nahwa dengan nada nyaris tercekat. Detik kemudian pertahanannya runtuh, bulir air mata mulai menganak di sudut netranya. Perlahan ia mulai menangis, melihat kehancuran yang semakin menjadi.
Para tamu undangan mulai pergi satu per satu, hanya keluarga inti saja yang akan mengikuti acara akad yang sempat tertunda, tidak. Lebih tepatnya akad yang tergantikan. Aurez mencoba meyakinkan putranya bahwa semua akan membaik seiring berjalannya waktu. Sementara, Pak Basyah hanya bisa terdiam melihat keputusan yang tak adil bagi putri bungsunya.
Acara akad akan dimulai, hiasan dinding di sebelah pelaminan membuat dada Nahwa semakin sesak. Nashwa Aghirah Abasyah, nama kakaknya tersemat indah dengan bentuk italic bersambung dengan nama yang akan menjadi suaminya.
Takdir begitu miris. Acara lamaran untuk sang kakak. Namun, saat akad nikah malah namanya-lah yang bersandingkan dengan pria yang telah melamar sang kakak.
4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, jika alasan Nashwa pergi hanya karena tak cinta, ke mana saja perasaannya selama 4 tahun belakangan ini? Semua tampak ganjil menurut pemikiran Nahwa.
"Apakah kedua mempelai sudah siap?"
Nahwa tersenyum getir, semua keluarga telah berkumpul di tengah ruangan yang akan berlangsungnya akad. Sementara dirinya masih mematung didepan cermin. Gadis itu sangat cantik dengan polesan tipis make up, serta lesung pipinya membuat Nahwa semakin anggun. Kulitnya yang putih bersih sangat senada dengan gamis seragam keluarga berwarna gading. Gamis yang akan dipakai di resepsi sang kakak malah menjadi saksi pakaian pernikahannya seumur hidup ataupun tidak.
Jatuh cinta adalah ujian terbesar dari-Nya. Saat manusia cinta dengan rasa berlebihan, saat itu juga keimanannya serta cintanya pada sang Pencipta sedang dipertaruhkan.
Bagaimana ia memilih. Memilih ciptaan-Nya atau memilih penciptanya. Semua ini hanya diniatkan Nahwa. Untuk tidak jatuh. Melainkan jatuh pada pria yang mencintainya, pria yang akan menyebutkan namanya di Ijab qabul.
"Kamu tak bisa berencana dengan siapa dirimu akan menikah. Namun, apa yang menjadi takdir tak akan melewatkanmu, dan apa yang Nahwa rencanakan belum tentu terbaik bagi-Nya. Namun, saat Allah berencana dengan caranya yang bertentangan dengan cara kita. Saat itu juga Allah sedang menyiapkan hal terbaik dalam hidupmu." Lelaki paruh baya itu menyadarkan lamunannya. Tangan kokohnya memegang bahu Nahwa yang sedikit terguncang dengan isakan tangis.
Pak Basyah mencoba menenangkan hati putri bungsunya. "Masyaallah, cantik sekali anaknya ayah. Kamu sangat mirip dengan almarhumah umi," ucap Pak Basyah melontarkan pujiannya. Detik kemudian mereka berdua tertawa kecil sembari menutupi luka masing-masing. Terlihat buliran bening yang tengah menganak di sudut pelupuk mata mereka, sekuat tenaga mereka tahan agar tak lolos membasahi pipi.
"Kita gak tau 'kan, rencana apa yang telah disusun-Nya. Tapi kita tau kalau ini takdir yang terbaik yang telah dirancang-Nya ribuan tahun lalu."
Nahwa mengangguk menanggapi nasihat sang Ayah. Perlahan perasaannya mulai tenang tatkala zikir tak henti-hentinya ia senandungkan setengah berbisik. Sekuat tenaga dirinya menahan isakan tangis saat acara akad terlaksana.
Pak Basyah menuntun putri bungsunya yang sangat cantik. Dengan khimar polos berwarna putih menjuntai indah menutupi dadanya serta gamis berwarna gading yang senada. Polesan make up natural serta postur tubuh yang mendukung membuat siapa saja akan terpana dengan kecantikannya, terkecuali Daren … pria yang sangat mencintai kakaknya bahkan tak menatap sedikit pun ke arah Nahwa.
"Apakah mempelai wanita sudah siap?" tanya Pak penghulu. Gadis itu hanya mengangguk sembari menunduk.
"Baiklah mari kita mulai."
"Saudara Daren Brajawijaya bin Wijaya saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Nahwa Akhira Abbasyah dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat salat dibayar tunai."
Daren menghela napas panjang sembari membaca basmallah. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Nash-w*." Sesaat, Daren menjeda kalimatnya. Pak penghulu mengulangi akad nikah.
Daren hanya beristighfar sementara hati wanita itu semakin sakit melihat calon suaminya mengingat nama sang kakak yang memang seharusnya diucapkan di acara bahagia ini.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nahwa Akhira Abbasyah binti Basyah dengan maskawinnya yang tersebut tunai!" ucap Daren dengan lantang. Seisi ruangan terharu bahagia, tapi tak dengan mempelai pengantin baru.
"Sah!"
"Dasar lelaki brengs*k!"
"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. "Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. "Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. "Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. "Loh, Nahwa kamu belum tidur?" Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. "Darennya udah pulang, kan?" "Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. "Kamu k
"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren.Wanita itu menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang selaras dengan langkah Daren yang semakin mendekat. Perlahan Nahwa merasakan jemari lelaki tersebut yang menarik selimutnya secara perlahan. Nahwa semakin menutup rapat matanya buliran keringat mulai membasahi pelipisnya."Aku tahu ini berat bagimu, Nahwa. Maafkan aku, karna telah membuatmu semakin menderita. Entah apa yang telah dilakukan kakakmu hingga dia membuat kita menjadi begini." Ucapan Daren terdengar pelan nyaris setengah berbisik, detik kemudian ia menyeka air matanya."Hanya lima bulan saja. Lima bulan." Jenjang langkahnya kian menjauh. Detik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Wanita itu terduduk. Pandangannya mengarah ke pintu yang telah ditutup rapat.Gelenyar perasaan membu
"Ini, mau bulan madu, Oma," ucap Daren. Gadis berkerudung hijau botol tersebut terkejut mendengar penuturan Daren yang terdengar sembrono.Wanita baya itu menatap Nahwa, tampak raut wajahnya yang berharap jawaban dari bibir sang empu. Nahwa semakin gugup melihat tatapan Oma Lusia yang tampak seperti melakukan penyidikan. "I-yah, Oma. Kami tunggu kedatangan, Oma dulu." Dengan cepat Nahwa menguasai gerak-gerik tubuhnya. Sangat susah baginya untuk berbohong.Pria tersebut memandang sepintas netra Nahwa. Ada rasa kagum ketika melihat wanita yang kini telah menjadi istrinya. Wanita berparas anggun dengan kepolosannya membuat Daren lebih memerhatikan gadis tersebut. Hatinya berdesir ketika menatap indah bola mata berwarna cokelat terang tersebut. Sangat berbeda dengan Nashwa yang penuh dengan kesabaran untuk menghadapinya, bahkan sangat keras kepala. Namun, Nashwa lah cinta pertamanya."Mau hone
"Ma! Di mana dasi Daren?" Nahwa terperanjat, matanya mendelik ketika menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul tujuh pagi."Astagfirullah! Kenapa bisa kesiangan, sih."Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin membersihkan diri lalu menunaikan salat subuh.Daren memerhatikan Nahwa sedari tadi, kendati demikian ia menyunggingkan senyuman ketika melihat tingkah Nahwa yang lari tunggang-langgang seperti orang kesetanan."Ini semua gara-gara dia," gerutunya kesal sambil melipat mukena miliknya. Daren yang sedang berkutat di depan cermin tanpa sengaja mendengar penuturan gadis itu. Nahwa dengan sengaja menaikkan suaranya agar sang empu dapat mendengar kekesalannya.Daren tersenyum penuh kemenangan, hingga pada akhirnya malam itu telah dimenangkan Daren Wijaya.1-0, skor kalah te
"Apakah Daren mencintaimu, Nak?" Nahwa tersentak mendapatkan pertanyaan tersebut dari Oma. Bibir mungilnya terkatup rapat, entahlah kali ini tak ada Daren yang biasanya selalu mengalihkan pembicaraan ke ranah yang sangat sensitif, bagi Nahwa. Gadis itu hanya mengangguk kemudian tertunduk. Ia tak bisa membohongi wanita baya tersebut. Lusia membetulkan posisi pada kacamata berukuran besar yang bertengger di hidung bangirnya. Jemarinya dengan lembut mengangkat dagu Nahwa, mensejajarkan pandangan mereka. "Hmm? Ada yang bisa oma bantu?" Nahwa menggeleng cepat. Ia mulai mengendalikan perasaan gugupnya. "Bu-kan, Oma," elaknya dengan cepat. Oma masih menatap dirinya dengan curiga. "Ada sedikit masalah, Oma. Mungkin karena kami baru saja memulai lembaran baru," ucap Nahwa berbohong. Ia menggigit bibir bawahnya. Oma Lusia menuntun langkahnya di bangku taman. Cuaca hari ini sangat bersahabat. "Terkadang memang dalam sebuah perjalanan selalu ada batu kerikil-kerikil kecil maupun besar. Ada
"Mas, Bro?" Oma lusia terperanjat mendengar teriakan Nahwa, gadis itu merutuki kebodohannya pasalnya ia tak sadar kalimat aneh apa yang ia katakan, tubuh tegap Daren berbalik menghadap Nahwa, dirinya mematung melihat lengkungan garis bibir Daren yang sedang menahan tawa, lelaki itu memijit pelipisnya entah apa yang dirinya pikirkan melihat senyum bodoh Nahwa yang malah membuatnya semakin salah tingkah. Daren mengulurkan tangannya sementarra gadis itu masih mematung menertawakan dirinya sendiri. "Terima kasih," kata Daren sambil mengambil benda pipih miliknya, Nahwa hanya mengangguk pelan. Daren bergegas pergi ke cafe, dirinya membuat janji dengan Rio seorang detektif swasta yang mencari keberadaan Nashwa. Dengan setelan santai lelaki bertubuh atletis tersebut tampak sangat berkharisma dipadupadankan dengan kaus polos berwarna hitam. "Hei, Bung," panggil seseorang dari meja seberang. Tampilannya sedikit formal dengan dipadukan setelan kemeja lekaki bernama Rio Argaska adalah teman s
Semua mata menatap ke arah sumber suara. Terlihat lelaki berpostur tegap itu berdiri diambang pintu. Emosi kian mencuat, terlihat geraman rahang yang kian menguat menahan segala amarah. Wanita itu terperanjat, mendengar cacian dari pria asing di acara akadnya."Apa maksud, Anda?" tanya Daren bingung. Semua keluarga mencoba menahan pria asing tersebut. Nyalinya semakin menjadi tatkala tangan kanannya menyembunyikan sebilah pisau kecil."Kau! Kau yang aku maksud!" Teriakannya menggelegar membuat wanita disamping Daren semakin ketakutan, pasalnya Nahwa tak biasa mendengar bentakan lelaki.Hari kebahagiaan yang tengah dirancang kini kandas, tepat hanya menyisakan nelangsa yang membuat raga hancur tak berupa. Nahwa hanya memilin ujung khimarnya, perasaannya semakin kalut. Kala melihat pertikaian, sementara Daren tak terima atas caci makian Jiran."Apa maksud kau? Hah?!" Langkahnya kian mendekat. Detik selanjutnya pukulan bogem mentah be
Nahwa merangkul tubuh sang Ayah yang sudah terbaring lemah dipangkuannya. Dengan ketakutan, bibir mungilnya mencoba memanggil sang ayah. Namun, kelopak mata sang empu masih tertutup rapat. Tangan kokoh Basyah mencoba menggenggam jemari Nahwa.Dengan ceketan Daren membopong tubuh Basyah ke dalam mobil. Lelaki bertubuh tegap itu menyetir kemudi, melaju dengan cepat tanpa menghiraukan klakson yang sangat memekakan telinga."Ayah, sadar, Yah. Nahwa gak mau ayah kayak begini." Tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi sang Ayah, berharap sang empu sedia membuka mata.Daren melihat situasi yang semakin sulit, sesekali dirinya melihat ke belakang. Tangisan Nahwa pecah, ketika jemari Basyah perlahan mengendurkan genggamannya dengan sang putri tercinta. Sesaat bersamaan dengan itu, napas sang Ayah tersengal, membuat keadaan semakin pelik, tanpa sengaja Daren menghantam trotoar jalan. Untungnya stir kemudi masih bisa ia kendalikan."Kak, ay-
"Mas, Bro?" Oma lusia terperanjat mendengar teriakan Nahwa, gadis itu merutuki kebodohannya pasalnya ia tak sadar kalimat aneh apa yang ia katakan, tubuh tegap Daren berbalik menghadap Nahwa, dirinya mematung melihat lengkungan garis bibir Daren yang sedang menahan tawa, lelaki itu memijit pelipisnya entah apa yang dirinya pikirkan melihat senyum bodoh Nahwa yang malah membuatnya semakin salah tingkah. Daren mengulurkan tangannya sementarra gadis itu masih mematung menertawakan dirinya sendiri. "Terima kasih," kata Daren sambil mengambil benda pipih miliknya, Nahwa hanya mengangguk pelan. Daren bergegas pergi ke cafe, dirinya membuat janji dengan Rio seorang detektif swasta yang mencari keberadaan Nashwa. Dengan setelan santai lelaki bertubuh atletis tersebut tampak sangat berkharisma dipadupadankan dengan kaus polos berwarna hitam. "Hei, Bung," panggil seseorang dari meja seberang. Tampilannya sedikit formal dengan dipadukan setelan kemeja lekaki bernama Rio Argaska adalah teman s
"Apakah Daren mencintaimu, Nak?" Nahwa tersentak mendapatkan pertanyaan tersebut dari Oma. Bibir mungilnya terkatup rapat, entahlah kali ini tak ada Daren yang biasanya selalu mengalihkan pembicaraan ke ranah yang sangat sensitif, bagi Nahwa. Gadis itu hanya mengangguk kemudian tertunduk. Ia tak bisa membohongi wanita baya tersebut. Lusia membetulkan posisi pada kacamata berukuran besar yang bertengger di hidung bangirnya. Jemarinya dengan lembut mengangkat dagu Nahwa, mensejajarkan pandangan mereka. "Hmm? Ada yang bisa oma bantu?" Nahwa menggeleng cepat. Ia mulai mengendalikan perasaan gugupnya. "Bu-kan, Oma," elaknya dengan cepat. Oma masih menatap dirinya dengan curiga. "Ada sedikit masalah, Oma. Mungkin karena kami baru saja memulai lembaran baru," ucap Nahwa berbohong. Ia menggigit bibir bawahnya. Oma Lusia menuntun langkahnya di bangku taman. Cuaca hari ini sangat bersahabat. "Terkadang memang dalam sebuah perjalanan selalu ada batu kerikil-kerikil kecil maupun besar. Ada
"Ma! Di mana dasi Daren?" Nahwa terperanjat, matanya mendelik ketika menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul tujuh pagi."Astagfirullah! Kenapa bisa kesiangan, sih."Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin membersihkan diri lalu menunaikan salat subuh.Daren memerhatikan Nahwa sedari tadi, kendati demikian ia menyunggingkan senyuman ketika melihat tingkah Nahwa yang lari tunggang-langgang seperti orang kesetanan."Ini semua gara-gara dia," gerutunya kesal sambil melipat mukena miliknya. Daren yang sedang berkutat di depan cermin tanpa sengaja mendengar penuturan gadis itu. Nahwa dengan sengaja menaikkan suaranya agar sang empu dapat mendengar kekesalannya.Daren tersenyum penuh kemenangan, hingga pada akhirnya malam itu telah dimenangkan Daren Wijaya.1-0, skor kalah te
"Ini, mau bulan madu, Oma," ucap Daren. Gadis berkerudung hijau botol tersebut terkejut mendengar penuturan Daren yang terdengar sembrono.Wanita baya itu menatap Nahwa, tampak raut wajahnya yang berharap jawaban dari bibir sang empu. Nahwa semakin gugup melihat tatapan Oma Lusia yang tampak seperti melakukan penyidikan. "I-yah, Oma. Kami tunggu kedatangan, Oma dulu." Dengan cepat Nahwa menguasai gerak-gerik tubuhnya. Sangat susah baginya untuk berbohong.Pria tersebut memandang sepintas netra Nahwa. Ada rasa kagum ketika melihat wanita yang kini telah menjadi istrinya. Wanita berparas anggun dengan kepolosannya membuat Daren lebih memerhatikan gadis tersebut. Hatinya berdesir ketika menatap indah bola mata berwarna cokelat terang tersebut. Sangat berbeda dengan Nashwa yang penuh dengan kesabaran untuk menghadapinya, bahkan sangat keras kepala. Namun, Nashwa lah cinta pertamanya."Mau hone
"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren.Wanita itu menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang selaras dengan langkah Daren yang semakin mendekat. Perlahan Nahwa merasakan jemari lelaki tersebut yang menarik selimutnya secara perlahan. Nahwa semakin menutup rapat matanya buliran keringat mulai membasahi pelipisnya."Aku tahu ini berat bagimu, Nahwa. Maafkan aku, karna telah membuatmu semakin menderita. Entah apa yang telah dilakukan kakakmu hingga dia membuat kita menjadi begini." Ucapan Daren terdengar pelan nyaris setengah berbisik, detik kemudian ia menyeka air matanya."Hanya lima bulan saja. Lima bulan." Jenjang langkahnya kian menjauh. Detik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Wanita itu terduduk. Pandangannya mengarah ke pintu yang telah ditutup rapat.Gelenyar perasaan membu
"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. "Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. "Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. "Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. "Loh, Nahwa kamu belum tidur?" Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. "Darennya udah pulang, kan?" "Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. "Kamu k
"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya."Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang."Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis.Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf."Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teria
Dengan cepat lelaki berkopiah itu berlari mencari kunci mobil. Ia tak menghiraukan sang istri yang masih terpaku menatap dirinya. Lampu kamar yang kian meredup menambah kesan monokrom yang sangat klasik"Hei, mau ke mana malam-malam begini?" Wanita berambut pirang sebahu meneriaki putra sulungnya yang tampak tegang. Dengan cepat ia bergegas pergi tanpa menghiraukan pertanyaan dari AurezJemari mungil miliknya bergegas mengambil gamis simpel berwarna moca senada dengan hijab instan sedada, ia mulai menyusul ibu mertua untuk memasak makanan malam."Ada yang bisa Nahwa bantu, Bu?" Wanita paruh baya itu masih berjibaku dengan bumbu-bumbu dapur, meracik dengan sempurna hingga menambah rempah ruah kuah gulai. Aroma khas ikan bandeng bercampur dengan santan yang lemak dan rempah lainnya membuat hidung mungil sang empu tergelitik."Ah, Nashwa tolong bantu ibu bawakan sayur ini ke meja," titah Aurez yang masih sibuk dengan s
Wanita bertubuh mungil itu berjalan menyusuri rumah keluarga Wijaya. Rumah nuansa arsitektur khas Eropa perpaduan kesan mewah dengan cat berwarna putih cream mendominasi setiap ruangan.Aurez istri Wijaya sangat menyukai gaya Eropa karena ibunya merupakan keturunan negara Eropa. Namun, sang oma memilih tinggal di desa terpencil di perkampungan Sumatera Utara, tanah kelahiran almarhum sang suami. Jauh dari hiruk-pikuk harta gono-gini."Perpaduan yang sempurna," decak Nahwa kagum.Nahwa merasa takjub akan rumah Wijaya, yang berbentuk minimalis, tak terlalu megah. Namun, kesan mewah tak lepas dari arsitekturnya.Wijaya menyambut hangat menantunya, begitupun dengan sang istri yang berusaha mencairkan suasana dingin. Sementara Daren mengikuti Nahwa dari belakang. Perempuan bermata teduh itu tersenyum hangat menatap keluarga barunya. Meski perasaannya tak karuan ia berusaha tersenyu