Semenjak bangun di pagi hari, Jingga merasa tidak bersemangat.
Tubuhnya lemas disertai pening di kepala.Wajah Jingga juga pucat dengan kantung di bagian bawah matanya yang sayu.Biru yang baru keluar dari dalam kamar mandi langsung datang menghampiri melihat keadaan istrinya yang mengkhawatirkan di depan meja rias.“Kamu sakit?” tanyanya khawatir.“Lemes… enggak enak badan.” Jingga menjawab kemudian bersandar di tubuh Biru.Biru menempelkan punggung tangan di kening Jingga tapi tidak merasakan suhu tubuh istrinya yang tinggi.“Kamu ijin enggak usah kerja dulu ya, ikut sama aku sekarang ke rumah sakit… kita ke dokter.”Jingga menggelengkan kepalanya. “Aku ada meeting hari ini.”Biru mengembuskan napas panjang, karena istrinya ini adalah perempuan mandiri jadi dia sedikit keras kepala.“Atau enggak ijin dulu setengah hari, kita ke dokter dulu ya?” bujuk Biru lagi.Usai meeting dengan pimpinan pusat, Jingga yang masih lemas dan bertambah lemas saja itu pun akhirnya meminta ijin untuk pergi ke dokter. Dengan diantar supir kantor, Jingga mengunjungi rumah sakit tempat Biru berpraktik. Jingga mengecek ponselnya, tidak ada pesan dari Biru yang mengabarkan tentang nomor antrian padahal sebelumnya pria itu mengatakan akan mendaftarkannya agar dia tidak perlu mengantri. Jingga berpikir mungkin Biru sibuk atau harus melakukan operasi mendadak. Sebagai perempuan mandiri, Jingga bisa daftar sendiri terlebih dia juga menggunakan asuransi kesehatan dari kantornya. Setelah mengunjungi bagian pendaftaran, Jingga duduk di kursi ruang tunggu poli umum. Dia mengirim pesan kepada Biru, memberitahu kalau dirinya sudah sampai di rumah sakit dan menunggu di poli umum. Tapi setelah menunggu beberapa saat, Biru belum juga membaca pesannya. Nama Jingga dipanggil untuk mela
Meski anak tunggal, dari kecil Jingga sudah dididik menjadi anak yang mandiri. Jingga tumbuh menjadi gadis kuat dan pemberani. Pola pikirnya dewasa meski dulu Jingga masih belia. Itu kenapa ketika beranjak dewasa, dia bisa jadi sukses tanpa campur tangan papanya. Dan ketika sebuah tragedi besar dalam hidupnya terjadi, Jingga tidak berontak seperti anak kecil. Dia mencoba memahami, menjalani meski awalnya sulit kemudian menerima. Namun kali ini Jingga menyerah, dia membutuhkan Papa karena terlampau berat beban di pundaknya yang membuat hatinya retak nyaris hancur. Jingga tidak mampu. Begitu mengetahui berita buruk tentang sang suami dari mertuanya, Jingga langsung menghubungi papa. Jingga menceritakan semua yang dia ketahui kepada papa. Segera saja papa datang menjemput ditemani seorang driver. Sekarang Jingga sudah duduk di mobil MPV premium papa di kab
Ternyata dengan niat yang besar untuk mengabulkan permohonan dari wanita yang dicintainya—meski bukan tugas dan ranahnya—Davian berhasil membantu pihak-pihak yang tengah mendalami kasus Biru sehingga bisa menemukan fakta bahwa Geisha yang memancing Biru datang ke apartemennya dibantu sang asisten. Ada indikasi kalau minuman yang Biru habiskan telah dicampur obat yang membuat pria itu tidak sadar dengan tindakannya namun tidak ada tindakan pemaksaan, mungkin Geisha sengaja membuat Biru menyetubuhinya agar Biru bisa menghasilkan sperma yang digunakan Geisha sebagai bukti palsu. Dan dibantu dengan sang asisten—Geisha membuat kondisi seolah-olah dirinya dipaksa oleh Biru. Bukti-bukti cukup untuk mengubah posisi secara telak. Biru berhasil dibebaskan kurang dari seminggu, nama baiknya telah kembali. Orang-orang sesama aktris dan penyanyi yang mengetahui kalau pernah ada hubungan antara Biru dengan Geisha di masa lalu angkat bica
“Bebasin Geisha, Ayaaah … bebasin, Gheisha.” Gheisa menangis sesenggukan saat ayah bundanya menjenguk ke Lapas. Dia sudah dijatuhi hukuman dua tahun delapan bulan Penjara yang merupakan vonis yang cukup ringan dari vonis sebelumnya yang telah ditetapkan yaitu lima tahun penjara. Ayahnya Gheisa menyewa pengacara handal meski begitu tetap tidak bisa membebaskan Gheisha karena bukti-bukti yang memberatkannya sangat banyak dan kuat. “Kamu harus sabar Geisha, tiap hari bunda akan kirim makanan untuk kamu … bunda janji, kamu tetap akan makan-makanan yang sehat dan bergizi tapi kamu harus sabar ya, sayang.” Bunda menangis sembari memeluk putrinya. “Karir Geisha hancur karena Biru, Yah … balaskan dendam Geisha sama Biru dan istrinya.” Geisha meraung-raung membuat tahanan lain yang sedang dijenguk oleh keluarganya pun menjadikan mereka pusat perhatian. “Enggak Geisha, kamu udah salah dari awal … Ayah sama bunda enggak akan melakukan
“Jangan bilang kamu mempertahankan rumah tangga kamu sama Biru karena kamu sedang mengandung.” Meski Biru terbukti tidak bersalah tapi sebagai ayah dari Jingga—papa Reza tetap harus hati-hati menanggapi kasus ini. Beliau tidak langsung begitu saja mau menerima Biru kembali. Meski tidak mengusir Biru saat datang ke rumah membawa kabar kehamilan Jingga. Papa bahagia tapi papa takut Biru mengecewakan putrinya lagi. “Enggak, Pa … Jingga memang udah mencintai Biru.” Jingga memberikan alasan. Papa mengembuskan napas panjang, dia menyerongkan posisi duduknya menghadap Jingga. “Papa enggak mau kamu terluka … apa kamu yakin kalau Biru sudah mencintai kamu?” “Nih … bukti cintanya tertanam di perut Jingga … Biru yang duluan minta anak, Pa … katanya dia akan membuktikan kalau dia sungguh-sungguh mencintai Jingga … lagian, kalau Jingga enggak membuka hati dan mempercayai Biru … Jingga e
Davian berhasil mengendalikan Cinta. SCinta terlalu polos dan berharap banyak kepada Davian. Cinta akan selalu siap setiap kali Davian mengajak bertemu. Dan setiap kali mami dan papi pergi keluar kota, Cinta akan menginap di apartemen Davian. Hubungan mereka semakin panas dan semakin intim saja. Sentuhan Davian layaknya heroin, Cinta akan gila bila seminggu lamanya tidak bercinta dengan Davian. Seperti malam ini, Cinta membawa banyak tugas kuliah ke apartemen Davian. Cinta menyogok orang di rumahnya agar tidak memberitahu mami papi kalau dia menginap di tempat lain. Sekarang, Cinta sedang duduk di lantai sementara MacBook dan buku serta alat tulis berserakan di atas meja. Davian sendiri tengah asyik main playstation. Sesekali Cinta akan bertanya mengenai tugasnya kepada Davian. Ada yang Davian mengerti dan bisa menjawab tapi ada juga yang tidak.
“Cintaaa … sayang, bangun! Mami sama papi mau pergi ke Papua tiga hari, nanti kamu ….” Suara mami mengecil di akhir kalimatnya yang menggantung. Kening beliau mengkerut melihat anak gadisnya masih meringkuk di atas tempat tidur di saat hari hampir siang. Hari ini memang hari minggu tapi bukan berarti Cinta bisa bangun siang. “Kamu sakit?” gumam mami seraya menempelkan telapak tangan di kening Cinta yang matanya masih terpejam. “Tapi enggak hangat.” Mami bicara sendiri. “Kamu kenapa?” Mami bertanya menaikkan intonasi suaranya agar terdengar oleh Cinta. “Emmh ….” Cinta mengerang dengan mata masih tertutup rapat. “Kamu sakit?” Mami mengulang pertanyaannya. “Enggak tahu, Cinta lemes banget.” “Kamu pasti begadang nih,” tuduh mami kesal. “Enggak ….” Cinta mendudukan tubuhnya dengan sisa tenaga yang dia punya. “Mi …,” panggil papi bersama suara langkah mendeka
Di dalam mobil yang dikemudikan driver, Cinta dan Jingga duduk di kabin belakang. Cinta menengadah menyandarkan kepala dengan matanya terpejam. Jingga jadi begitu khawatir karena Cinta tampak sangat tidak berdaya. Sesampainya di depan IGD, Jingga meminta perawat membawa brankar sebab Cinta sudah tidak ada tenaga lagi untuk menggerakan tubuhnya. Jingga melipir keluar dari bangsal saat dokter melakukan pemeriksaan, dia mengecek pesan yang dikirim kepada Biru dan pria itu belum juga membacanya. Biru masih berjuang menolong pasien di atas meja operasi. “Bu, ijin untuk ambil darah pasien.” Seorang perawat meminta ijin kepada Jingga berhubung Cinta tidak bisa diajak komunikasi. “Ya, Silahkan.” Jingga memberi ijin sembari membuka tirai, ternyata dokter yang tadi memeriksa Cinta sudah tidak ada di dalam sana. Cinta hanya berjengit sedikit saat perawat memasukan jarum suntik untuk mengambil darah
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,