Di dalam mobil yang dikemudikan driver, Cinta dan Jingga duduk di kabin belakang.
Cinta menengadah menyandarkan kepala dengan matanya terpejam.Jingga jadi begitu khawatir karena Cinta tampak sangat tidak berdaya.Sesampainya di depan IGD, Jingga meminta perawat membawa brankar sebab Cinta sudah tidak ada tenaga lagi untuk menggerakan tubuhnya.Jingga melipir keluar dari bangsal saat dokter melakukan pemeriksaan, dia mengecek pesan yang dikirim kepada Biru dan pria itu belum juga membacanya.Biru masih berjuang menolong pasien di atas meja operasi.“Bu, ijin untuk ambil darah pasien.” Seorang perawat meminta ijin kepada Jingga berhubung Cinta tidak bisa diajak komunikasi.“Ya, Silahkan.” Jingga memberi ijin sembari membuka tirai, ternyata dokter yang tadi memeriksa Cinta sudah tidak ada di dalam sana.Cinta hanya berjengit sedikit saat perawat memasukan jarum suntik untuk mengambil darahCinta tidak bisa mengatakan siapa ayah dari janin yang ada di dalam rahimnya demi melindungi keselamatan Davian. Dia belum sempat mengenalkan Davian kepada keluarganya karena saat kemarin dia siap membawa Davian ke rumah—abangnya sedang tersandung masalah. Tadi Biru berhasil ditenangkan oleh Jingga yang membawanya keluar dari kamar Cinta. Buru-buru Cinta mengunci pintu kamar agar sang abang yang tengah murka tidak bisa masuk begitu saja untuk kembali menginterogasi perihal siapa ayah dari janin ini. Yang harus dia lakukan sekarang adalah memberitahu Davian. Cinta menekan nomor Davian, menempelkan ponsel pada telinga lalu nada panggil terdengar. Sekali … dua kali, panggilannya terputus begitu saja tanpa jawaban. Cinta melakukan panggilan ketiga bersama resah yang mulai melanda. “Hallo … Cinta?” Suara bariton Davian membuat hati Cinta seketika dibanjiri kelegaan. “Ayaaaan
Atas perintah Biru, sekarang Cinta pulang dan pergi kuliah di antar oleh driver guna mencari tahu pria mana yang sering Cinta temui. Drivernya mami sekarang merangkap detektif swasta yang disewa Biru untuk memata-matai Cinta. Dan Cinta yang polos, tidak menyadari kalau sang Abang sedang mencari tahu siapa kekasihnya. Dia hanya berpikir kalau Biru overprotective karena sekarang dirinya tengah mengandung mengingat dia juga yang begitu overprotective memperlakukan Jingga. Di antara jeda jam mata kuliah selanjutnya, Cinta memilih tiduran di dalam mobil yang sengaja sang driver nyalakan AC-nya agar sejuk. Dia membuka ruang pesan dengan Davian dan harus menelan kecewa karena tidak ada satu pun pesan yang dikirim pria itu untuknya padahal katanya Davian akan menghubunginya lagi nanti. Akhirnya Cinta memutuskan untuk mengirim pesan kepada Davian. Cinta : Yang …. Cinta : Kamu lagi apa?
Jingga tidak berani menceritakan kepada Biru apa yang dia ketahui tentang siapa ayah dari janin dalam rahim Cinta. Tapi hidupnya tidak tenang, dia gundah memikirkan apa yang mungkin akan dilakukan Biru kepada Davian bila mengetahui hal tersebut. Bukan karena dia masih mencintai Davian sehingga mengkhawatirkannya, tidak! Jingga justru mengkhawatirkan Biru yang bisa lepas kendali. Karena dendam Davian sungguh tidak beralasan, apa yang dilakukannya tidak adil. Pasalnya Biru melakukan kesalahannya bukan atas keinginannya sendiri bahkan dia tidak sadar saat melakukannya sedangkan Davian berniat melakukan semua ini. Jingga yakin sekali kalau Davian telah merencanakannya. Logikanya saja, berapa persen kemungkinan Davian yang merupakan mantan tunangan Jingga bertemu dengan Cinta yang tidak lain adalah adik dari Biru, kemudian mereka menjalin kasih begitu intim. Apalagi Jingga mendengar dari penga
Davian masih berada di kantor meski jam kerja sudah lama berakhir. Seharian ini tidak ada pesan maupun panggilan telepon dari Cinta seperti hari-hari kemarin. Dia sempat berpikir kalau Cinta sudah lelah dan menyerahkan masalah ini kepada Biru. Namun sampai diakhir hari, tidak ada satu pun pihak Cinta yang menemuinya. Apalagi alasannya jika bukan karena Cinta belum memberitahu kalau Davian adalah ayah dari janin yang dikandungnya. Cinta sangat mencintai Davian dan pasti tidak ingin pria itu disakiti oleh ayah dan kakak yang menuntut pertanggung jawaban. Lalu bila seperti itu, bagaimana bisa dendam Davian terbalaskan? Sampai kapan pun tidak ada yang tahu jika dia adalah ayah dari janin yang ada dalam rahim Cinta. “Aaarrgghh … Brengsek!” Davian mengumpat sebab rencananya tidak berjalan lancar. Kesal sekali kepada Cinta yang terlalu dalam mencintainya. Dav
Lewat tengah malam, pintu rumah papi dan mami diketuk kencang. Sekuriti yang berjaga tidak bisa menahan rombongan orang berpakaian preman seperti intel menyerbu kediaman pribadi sang Jendral Panglima TNI. Papi sudah tahu kalau ini akan terjadi. Ayah mana yang akan diam saja mengetahui sang putra babak belur dihajar seseorang apapun masalahnya. “Mami tidur aja, biar papi yang hadapi.” Papi terlihat tenang dan meyakinkan. “Enggak, Mami mau ikut ….” Mami turun dari atas ranjang memakai nightrobe. Di kamar lain di rumah itu, Jingga dan Biru yang baru sebentar saja terlelap langsung terjaga mendengar suara berisik dari luar. Biru bergerak ke jendela untuk melihat situasi dan dia mendapati ayahnya Davian baru saja turun dari mobil dan sudah banyak pria berperawakan kekar di halaman rumahnya. “Kamu tidur lagi aja, aku temenin papi bertemu ayahnya Davian.” “Apa? Yang datang itu Ayahn
“Biru enggak setuju, Pi … kita enggak perlu pertanggung jawaban Davian … kita bisa merawat anak Cinta, pokoknya Biru enggak mau Davian menjadi bagian dari keluarga kita … Cinta enggak boleh nikah sama Davian karena Biru masih punya urusan sama dia,” tegas Biru di dalam setiap katanya. Pagi ini di saat mereka sedang sarapan pagi, papi memberitahu hasil diskusinya tadi malam dengan ayah Roni. Papi juga sudah meminta pendapat mami dan mereka memutuskan untuk menikahkan Cinta dengan Davian. Alasan yang paling utama adalah agar aksi saling balas dendam antara Biru dan Davian berakhir sampai di sini. Dan mendengar ucapan Biru barusan yang berapi-api membuat mami dan papi semakin yakin dengan keputusan tersebut. Terkadang cara berpikir orang tua memang sering tidak sejalan dengan cara berpikir anak muda yang masih mengedepankan ego dan emosional. “Justru itu, Papi sama ayahnya Davian tidak ingin ada balas dendam balas
Langkah Cinta berhenti tepat di depan pintu ruang ICU. Setelah melakukan operasi besar, Davian dimasukan ke ICU. Hingga saat ini, pria itu belum sadarkan diri. Alasan satu-satunya ayah Davian tidak menuntut papi dan Biru adalah karena mereka akan menjadi sebuah keluarga. Cinta sudah diberitahu papi mengenai keputusannya. Dia akan menikah dengan Davian. Padahal Cinta sudah memberitahu papi kalau dia tidak mencintai Davian namun papi tetap pada keputusannya dan setelah aib yang dia timbulkan bagi keluarga Dewangga—Cinta tidak memiliki keberanian untuk membantah papi. “Boleh saya masuk?” Cinta bertanya kepada perawat yang baru saja keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengijinkan, malah membantu Cinta memakai pakaian pelindung, masker dan penutup kepala. Cinta melangkah pelan menuju sebuah ranjang di mana Davian terbaring tidak berdaya. Jujur, Cinta tidak membenci Dav
“Saya mau catering-nya dari restoran besan saya … dari tadi Jeng Widya udah milih sendiri Wedding Planner sama tempatnya … sekarang saya mau saya yang milih sisanya.” Mami mengatakannya dengan cara paling lembut dan sopan agar tidak memicu perdebatan apalagi pertengkaran. “Tapi ‘kan tadi Jeng Dian terlambat datang, makanya saya memutuskan sendiri.” Bunda Widya menyalahkan. “Maka dari itu, sekarang saya pilih sisanya.” Mami mengatakannya dengan tegas tidak menerima bantahan. Anggota Wedding Planner yang berada di antara mereka sudah pias wajahnya karena setengah panik, khawatir dua istri Jendral ini baku hantam. “Ya sudaaaah, bagaimana Jeng Dian saja.” Dan bila bunda Widya mengalah seperti ini, sudah bisa dipastikan ke depannya dia akan menuntut keinginannya harus dipenuhi. Mami sudah tahu dengan karakter serakah beliau tapi tetap ingin membuat bunda mengalah sekarang. Akhirnya catering untuk pernikah