Alvin mengangguk-angguk yakin. Padahal ucapannya itu jelas salah. Typo yang meresahkan.
"Tuh, Bunda. Dengerin kata Alvin. Bunda harus nenenin Ayah." Rafael memberi dukungan. Aku mendelik sebal. Ayah sama anak sama saja.
**
Seperti permintaan Alvin, hari ini aku stay di rumah untuk menemani Rafael. Catat, ya! Menemani, bukan meneneni!
Bocah itu tak mau jauh dari Ayahnya. Dia tetap berada di pelukan Rafael. Di atas perut laki-laki itu lebih tepatnya. Keduanya terlihat sangat romantis. Ah, rasanya aku jadi diasingkan begini.
"Ih! Alvin, kok, dari tadi Ayah terus yang dipeluk? Bundanya enggak?" Aku bersuara setelah hanya diam mengamati mereka.
"Enggak. Bunda, kan, nggak akit."
Aku mendengkus. Rafael mengejekku dengan semakin mempererat pelukannya pada Alvin. Aku beranjak dari sana.
"Bunda pergi kalau gitu. Mau beli laruta
Belum sempat kami balas, pesan kembali masuk.[Maaf kemarin aku masih terlalu gugup buat berbalas pesan sama kamu, jadi aku blokir tiba-tiba.]Aku dan Rafael saling pandang. Aku pikir juga, kami memiliki pikiran yang sama: takut. Entahlah. Aku takut dengan kehadiran Talita lagi. Rasanya hidupku seperti terancam."Akan aku blokir nomornya." Jemari Rafael bergerak cepat di atas layar ponsel. Aku sendiri masih tercenung. Masih tak menyangka kalau Talita bisa keluar dari penjara secepat itu."Aku takut." Akhirnya setelah lama diam, dua kata itu meluncur dari bibirku.Kurasakan usapan lembut tangan kekar Rafael di pundakku. Usapan yang biasanya bisa membuatku langsung tenang, tapi kini rasanya tetap saja aku ketakutan."Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Siapa tahu Talita sudah berubah. Siapa tahu dia mendapat pelajaran berharga di dalam penjara sana." 
"Maaf, Anda siapa, ya?" tanyaku.Laki-laki itu berbalik. Seulas senyum langsung tersungging di bibirnya. Seperti biasa saat dia bertemu denganku akhir-akhir ini."Mas Fatih? Kok, bisa ada di sini?""Ini rumahmu, May? Kok, bisa kebetulan begini, ya? Aku keponakan Dokter Fadil. Beliau memintaku menggantikannya malam ini karena ada kepentingan mendadak. Beliau juga menyampaikan maaf untuk kamu sekeluarga.""Oh, gitu? Tapi, kok, beliau nggak hubungi aku?""Dia buru-buru banget pergi tadi. Sepertinya nggak sempat menghubungi kamu."Aku masih belum bisa sepenuhnya percaya. Terlebih lagi setelah beberapa kali kami kebetulan bertemu. Seakan-akan ini adalah sebuah settingan."Masih belum percaya? Kamu bisa hubungi beliau sekarang."Demi keamanan bersama, akhirnya aku menghubungi Dokter Fadil sebelum mempersilakan Fatih masuk.
Rafael meringis. "Iya, Sayang, iya. Matanya dikondisikan itu. Elah!"Terdengar tawa kecil dari Fatih. Perawat muda itu lalu mendekat. Seperti biasa, memeriksa tensi adalah hal utama."Biasanya berapa tekanan darah Pak Rafael ini normalnya?" Fatih bertanya sembari menatapku dan Rafael secara bergantian.Baru saja mulutku akan terbuka, Rafael sudah menjawab lebih dulu. "Seratus sepuluh, sih, biasanya. Kadang juga seratus.""Tekanan darah Anda rendah. Ini hanya sembilan puluh. Sering mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi, ya. Nanti akan aku beri obat juga.""Aku disuruh makan besi gitu?"Astaga! Aku ingin sekali tertawa mendengar pertanyaan konyol Rafael. Fatih pun menutup mulutnya untuk menahan tawa."Kalau Anda mau, ya, terserah saja," balas Fatih santai."Yah, emangnya aku ini Limbad."
Matahari yang terik seakan membakar kulit. Jika bukan karena telepon dari Fira, aku tidak akan pergi ke mana-mana sekarang.Keluar dari kantor menuju area parkir saja kulitku seperti melepuh. Aku tak bisa membayangkan betapa sengsaranya orang-orang di luar sana yang rela berpanas-panasan hanya demi sesuap nasi. Terkadang jerih payahnya pun mendapat imbalan yang tak sesuai.Terkadang juga aku malu masih sering mengeluh saat keadaan sulit bertandang. Aku selalu mengeluh seakan-akan hanya aku yang bercucuran peluh. Padahal di luar sana banyak sekali yang lebih dan lebih sengsara daripada aku.Mobil kulajukan menuju toko kue. Fira baru saja mengabari bahwa ada beberapa pelanggan yang protes mengalami keracunan setelah mengonsumsi kue dari toko kami.Aku masih tak percaya. Bukankah selama ini baik-baik saja? Lalu kenapa sekarang jadi ada tragedi seperti ini?Lampu sein kuhidupkan saat
Lalu sebuah tarikan di tangan membuat cekalanku mengendur pada baju Talita."Sudah, Bu Mayang. Jangan bar-bar begini! Nggak enak dilihat orang-orang." Fira memegangi tanganku. Pandanganku menyapu keadaan sekeliling. Beberapa orang yang berada di sekitar toko menatap dengan heran.Akhirnya aku melepaskan cekalan dengan kasar. Membuat tubuh gadis itu terhuyung ke belakang."Dengarkan saya dulu, Mbak. Saya datang ke sini hanya ingin meminta maaf sama Mbak. Nggak ada maksud lain. Lagi pula setelah keluar dari penjara, baru kali ini saya datang ke sini." Talita berucap dengan tangan memegangi lehernya. Ada bekas kemerahan di sana. Mungkin karena cengkeramanku terlalu kuat."Saya tidak butuh maafmu! Tunggu saja sampai saya dapatkan bukti tentang kejahatanmu lagi!" Aku menunjuk-nunjuk wajah munafiknya."Fir, jangan pernah biarkan orang ini berkeliaran di toko. Besok saya akan carikan sa
"Mencari buktinya ke mana? Udahlah. Nanti kalau ada orang macam-macam lagi, kita bisa awasi dari CCTV. Masalah orang yang mengaku keracunan itu biarkan saja. Nanti kalau diperpanjang, justru tokomu yang akan tercoreng namanya."Dia menepuk kepalaku beberapa kali, lalu beranjak berdiri."Ayo makan siang dulu. Kamu belum makan, kan?" Dia mengulurkan tangan. Berniat membantuku bangun.Aku mendongak. Kuterima uluran tangannya. Tangan kiriku lalu menepuk-nepuk belakang celana. Siapa tahu kotor karena baru saja duduk lesehan."Belum, sih. Tapi nggak nafsu makan sekarang." Aku mengeluh, sementara tangan bergelayut manja di lengannya."Aku suapi nanti. Ayo!"**Begitu banyak suara di sini. Suara sendok yang beradu dengan piring, suara kendaraan berlalu lalang di jalanan, juga suara percakapan pengunjung warung yang sedang makan.&nbs
Perasaanku campur aduk. Ada rasa takut, marah, kesal, dan perasaan entah lainnya saat melihat sosok perempuan di sana.Aku melangkah cepat menghampiri mereka. Tanpa basa-basi kutarik rambut perempuan itu hingga si empunya memekik kesakitan. Sontak saja suasana di rumah menjadi kacau. Papa, Mama, dan Rafael berteriak memintaku untuk melepaskan tarikan pada rambut Talita."Mau apa lagi ke sini? Mau mencari gara-gara lagi, iya?" Aku bertanya nyalang. Tarikan di rambutnya makin kupererat. Dia semakin memekik sembari memegangi tanganku."Mbak, dengar dulu penjelasan saya. Saya ke sini bukan untuk mencari masalah sama Mbak dan keluarga. Saya hanya ingin minta maaf," jelasnya dengan bibir sesekali mendesis kesakitan.Aku tak peduli. Tarikan tidak kukendorkan sama sekali meski Rafael bersusah payah memintaku berhenti."Sudah, May. Kasihan dia." Mama menegur."Hentikan, Mayang. Niatnya datang ke sini baik. Dengarkan dia dulu." Papa pun ikut membela Talita."Sayang, please! Jangan main tangan s
"Ta, lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau lihat kamu ada di sini. Pergilah!" Rafael bersuara setelah lama diam. Mungkin dia memberi ruang bagiku untuk meluapkan semua kekesalan selama ini. Padahal jika bisa, aku ingin menjambak rambutnya sampai botak."Ya sudah kalau begitu. Saya permisi semuanya. Terima kasih Om dan Tante sudah mengizinkan saya masuk." Talita berdiri, melangkah perlahan meninggalkan rumah kami.Aku mendengkus. Kusandarkan punggung di sofa. Rasanya tenggorokan sampai sakit karena menahan emosi yang seharusnya kuledakkan."Apa dia sudah lama berada di sini?" tanyaku pada Papa dan Mama. Aku menatap mereka secara bergantian."Mungkin ada sekitar setengah jam, May. Tapi kalau menurut Mama, sih, dia benar-benar minta maaf dengan tulus. Dia benar-benar merasa bersalah."Sudut bibirku terangkat sebelah. "Orang seperti dia bisa berganti topeng kapan saja, Ma. Kapan harus baik, kapan harus licik, dia sudah lihai." Kutatap semua orang dengan tajam. "Jangan pernah menerima kehad
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund