Happy Reading*****"Di pikiranmu kenapa selalu ada kata rebut, Ma? Tidak bisakah kamu berpikir lain. Andai benar yang dibawa Hanum tadi adalah cucu kita. Tetap Aryan tidak berhak atas anak itu. Dia terlahir di luar pernikahan sehingga nasab jatuh pada ibunya." Lingga kembali melajukan kendaraan setelah menginjak rem secara mendadak."Papa ini bagaimana? Bukankah darah daging Aryan mengalir dalam diri anak itu jika benar dia anaknya Hanum. Sesuatu yang seharusnya menjadi milik kita, apa tidak boleh direbut jika berada di tangan orang lain." Nada suara mulai meninggi. Septi sungguh tak tahu jalan pikiran sang suami. Jelas-jelas Meilia akan kesulitan mempunyai anak. Mengapa yang sudah ada tidak diambil alih saja."Bisa tidak Mama berpikir jernih? Sampai kapan pun kita tidak bisa memiliki anak itu kecuali ada kebaikan Hanum, tapi tetap nasab itu tidak akan berpindah pada kelurga kita. Dia milik ibunya sampai kapan pun." Lingga melirik sang putra dari kaca di depannya."Semua karena kesal
Happy Reading*****Saraswati segera mengajak Hanum berdiri dan masuk ke kamar yang sudah disiapkan oleh Dirga tadi. Lalu, perempuan itu mengunci sang putri di kamar itu. Entah mengapa, perasaannya mulai tidak tenang. "Pokoknya, kita jangan keluar sampai perempuan itu dan keluarganya pergi. Mama tidak ingin terjadi sesuatu pun di sini. Jelas niat perempuan tadi tidak baik. Apalagi ketika menatap Azri. Untung saja kita bisa pergi tanpa sepengetahuannya."Hanum mengangguk patuh. Memang ada rasa takut ketika melihat wajah Septi tadi. Bayangan masa lalu dan kata-kata penghinaan yang terlontar dari mulutnya begitu membekas dalam diri Hanum. Beruntung, ada seorang perempuan yang tadi memanggil Septi sehingga Hanum dan Saraswati bisa meninggalkannya tanpa diketahui.*****Selesai berbincang dengan salah satu klien garment, Septi mencari sosok Hanum dan perempuan yang berada di sampingnya. Sekilas tadi, dia melihat wajah bayi dalam gendongan yang sangat mirip Aryan kecil. Dari jarak dekat b
Happy Reading*****Sejak saat itu, setiap kali Septi datang mengikuti acara tahlil meninggalnya Rahmi. Selalu saja menanyakan tentang Hanum membuat Dirga sangat jengah. Rasanya tak sabar menunggu acara tahlil itu selesai karena sekarang adalah hari terakhir. Esok, Dirga akan langsung terbang ke Lombok. Jika sang atasan tak mengijinkan untuk cuti, maka dengan terpaksa dia akan melepas jabatan di garment.Biarkan saja si anak manja dan malas itu yang mengurus semua. Bukankah, Aryan akan menggantikan posisi Lingga setelah ini. Lalu, mengapa Dirga harus berusaha payah. Jika bukan karena desakan sang Bunda tentu lelaki itu tidak akan pernah mau bekerja di sana. Sekarang, Rahmi sudah berpulang. Maka, Dirga akan dengan senang hati melepas jabatannya di garment. Dia akan kembali mengurus restoran yang sudah dibangunnya dengan susah payah."Ga, Bapak rasa mulai besok kamu harus masuk kerja. Banyak pekerjaan terbengkalai selama kamu ijin. Asistenmu kurang bisa menyelesaikan pekerjaan dengan b
Happy Reading*****Masuk ke dalam ruangannya, Hanum disambut dengan buket mawar serta senyuman termanis dari lelaki gagah di samping Lathif. Perempuan itu bahkan tidak bisa menolak ketika buket mawar diserahkan di depan sang Papa."Kok, ada di sini, Mas? Bukannya, masih dalam keadaan berkabung?" Hanum terpaksa mengambil buket itu setelah menyerahkan Azri kepada Lathif."Sudah selesai tujuh hari, Num. Mas, kangen sama Azri. Pengen cepet-cepet ke sini," alibi Dirga. Lelaki itu mengambil si bayi dalam gendongan Lathif."Kangen sama Azri apa bundanya, Nak?" goda Lathif, "kalian ngobrol saja. Papa lanjutkan kerjaan." Lelaki paruh baya itu duduk di meja Hanum. Dirga kepalang senang mendengar perkataan Lathif. Akan tetapi setelah melihat lelaki itu tetap berada di ruangan Hanum, semua buyar. Wajah Dirga seketika masam. Sudut bibir Hanum terangkat melihat lelaki yang dulu suka sekali jahil itu. "Duduk, Mas," pintanya."Tidak ingin jalan-jalan, Num?" bisik Dirga. Entahlah, dia sedikit cang
Happy Reading*****Kaisar serta Dirga berlarian ke arah jeritan Hanum. Mereka meninggalkan sahabatnya begitu saja. Begitu terlihat riak air dalam kolam. Tanpa pikir panjang Dirga langsung menceburkan diri ke kolam. Si Abang pun melakukan hal yang sama karena kedua tangan Hanum mengangkat tubuh Azri tinggi-tinggi supaya tidak tenggelam. Hanum sendiri sudah tidak mempedulikan keadaannya. Dirga dengan cepat mengapit tubuh sang pujaan menepi, sedangkan Kaisar segera mengambil Azri. Di dekatnya bayi mungil itu yang malah tersenyum kegirangan."Hai ponakan uncle, kenapa kamu malah tertawa bahagia? Tidakkah kamu lihat bundamu hampir tenggelam?" Kaisar memegang kedua pipi Azri dengan jempol dan telunjuknya. Dia kini sedang duduk di tepian kolam sambil menunggu Dirga dan Hanum.Napas si perempuan terengah-engah bahkan sampai terbatuk-batuk karena banyak meminum air. Mereka semua kini basah kuyup. Masih dengan napas memburu, Dirga menatap Hanum."Kamu tidak bisa berenang?"Hanum menggelengka
Happy Reading*****Setengah jam kemudian, ketiga lelaki itu sudah selesai dengan semua pembahasan bisnis mereka. Hanum yang sejak tadi berada dalam kamar dipanggil untuk pulang. Sengaja tidak menyuruh perempuan itu keluar, Dirga tidak ingin mata Tio melihat keindahan tubuh Hanum. Tahu persis bagaimana watak sahabat satu itu. Tidak bisa melihat cewek cantik dengan body aduhai. Sekalipun Hanum mengenakan piyama yang cukup tertutup, tetapi bahannya sangat tipis. Menit selanjutnya, Dirga keluar bersama dengan Hanum yang menggendong Azri."Sudah, Ga?" tanya Kaisar."Ayo, Kai." "Yo, kita pulang dulu, ya. Kalau ada perubahan rencana langsung hubungi aku saja. Besok mungkin Dirga sudah pulang ke Bali." Kaisar berusaha memindahkan tubuh Azri dalam gendongan Hanum. Namun, bayi mungil yang semakin gembul itu menolak dengan mengeluarkan tangisannya. Sejenak, Tio terpaku melihat bentuk tubuh Hanum yang terlihat sempurna dengan pakaian tipis. Apalagi disela-sela kancing piyama yang dikenakan t
Happy Reading*****Dirga masih betah mengelus rambut dan punggung Hanum. Sampai saat ini, wanita itu masih betah menangis di pelukannya. "Nangisnya udahan, ya. Sekarang ceritakan ada apa? Om Lathif sudah mengusir orang itu," kata Dirga. Hanum mengurai pelukannya dan menatap lelaki yang dipeluknya tadi. Isakannya masih sangat keras saat ini."Dia melecehkan aku, Mas. Kenapa semua orang berpikir rendah tentang diriku? Apa di mata mereka, aku hanyalah perempuan yang akan mudah tergoda dengan rayuan harta." Hanum menyusut ingus yang akan keluar dari hidung. "Dari dulu, aku nggak pernah berpikir untuk mendekati lelaki kaya mana pun. Dekat dengan Papa juga bukan kehendakku. Mereka keluarga yang baik, jika bukan karena Papa dan Mama mungkin aku sudah masuk ke rumah sakit jiwa saat ini. Nggak terlintas sedikitpun dalam pikiranku menjadi selingkuhan Papa. Apa segitu hinanya aku di mata orang lain?" Tangis Hanum pecah. Tak peduli lagi kini dirinya berada di restoran yang sudah buka dengan
Happy Reading*****Sesaat sebelum Dirga kembali mencecar Lathif dengan pertanyaan seputar kelahiran Azri, Saraswati datang membawa obat dengan tergopoh. "Pa, di mana putriku?" tanya Saraswati panik. Dia sudah membawakan obat sekaligus pakaian ganti sesuai suruhan suaminya.Lathif mengarahkan jari telunjuknya pada pada kamar mandi sementara Dirga masih berdiri mematung di depan pintunya. "Papa apakah Hanum?" teriak Saraswati sambil mengguncang pelan lengan suaminya."Tante, mana obatnya. Dirga takut Hanum kedinginan di sana." Dirga segera menyadari keberadaan Saraswati saat itu juga karena mendengar suara teriakan.Saras melangkahkan kaki mendekati Dirga dan menyerahkan botol kecil berisi obat yang dikonsumsi Hanum jika tubuhnya mulai merasakan depresi. Melebarkan mata, Saras melihat Hanum terduduk di lantai kamar mandi. Kedua lututnya tertekuk dan gadis itu memeluknya erat. Di sebelah Hanum duduk ada sapu tangan yang baru Dirga lepaskan. "Apa yang terjadi sebenarnya, Nak Dirga? Ke
Happy Reading*****"Apakah saya harus keluar," tanya Dirga. Dia sendiri bingung harus berbuat apa jika tetap di dalam. Namun, untuk meninggalkan sang istri yang tengah berjuang melahirkan buah hatinya yang diprediksi perempuan, dia tidak sanggup."Sebaiknya di sini saja, Pak. Bu Hanum lebih membutuhkan kehadiran Pak Dirga," ucap sang dokter.Keluar dan memanggil para perawat serta bidan. Beberapa saat kemudian, mereka semua masuk dan langsung menangani Hanum. Dirga bahkan diminta untuk berada di belakang sang istri dan membantu proses persalinan.Tak terhitung berapa banyak ketegangan yang kini dialami lelaki yang akan segera menjadi ayah yang sebenarnya dari putri kandungnya sendiri. Bulir-bulir keringat mulai turun. Andai bisa menggantikan posisi Hanum saat ini, tentu sudah lelaki itu lakukan. Hanum begitu banyak mengeluarkan tenaga demi menghadirkan buah hati mereka ke dunia ini. Kedua tangannya mencengkeram erat pergelangan Dirga hingga lelaki itu juga merasakan kesakitan. Namun
Happy Reading*****"Ma, Bunda kenapa?" tanya Azri yang ikut-ikutan panik ketika mengetahui Hanum memegangi perutnya. Tak jarang wanita berperut buncit itu mendesis kesakitan."Bunda sakit perut, Sayang. Kayaknya dedek mau minta keluar," jelas Sabrina, "Mbak, bisa minta tolong panggilkan orang rumah.""Manggil siapa, Bu?" tanya si Mbak yang membantu menjaga Azri selama Sabrina dinyatakan hamil."Siapa saja boleh. Papa kan selalu ada di rumah. Katakan pada beliau jika Mbak Hanum mulai merasakan sakit perut. Kalau ada Mas Dirga malah lebih bagus."Si Mbak mengangguk. "Bagaimana sama Mas Azri, Bu?""Azri biarkan sama saya dulu. Cepat, Mbak. Kasihan Mbak Hanum. Kita harus bawa dia ke rumah sakit," suruh wanita bercadar tersebut. Melihat si Mbak yang menjaga Azri berlari menuju rumah mereka, Sabrina membawa kakak iparnya untuk duduk. "Sakit sekali, ya, Mbak? Sabar, ya. Bentar lagi Papa atau mas Dirga pasti datang. ucapkan istighfar setiap kali sakitnya terasa," saran Sabrina.Patuh, Hanum
Happy Reading*****Sang dokter cum tersenyum dengan perkataan si sulung. Keluarga Lingga semuanya masuk ke ruang perawatan Sabrina.Perempuan bercadar itu tengah berbaring. Melihat seluruh keluarganya datang menjenguk, senyumnya tampak. Sewaktu diperiksa tadi, Aryan memang membuka cadar yang dikenakan sang istri. "Bagaimana keadaanmu, Yang?" tanya Aryan. mencium kening perempuan yang sudah memberikan begitu banyak kebahagiaan padanya.Sabrina mengambil tangan kanan sang suami, lalu menciumnya penuh hormat dan bahagia. Menatap satu per satu seluruh keluarganya. "Alhamdullilah keadaanku sangat baik, Mas.""Apa kata dokter, Nak?" tambah Septi."Kamu pasti kelelahan menjaga Azri yang sangat aktif. Padahal aku sudah ngasih saran. Sebaiknya, kita nyari orang untuk menemani Azri. Eh, kamu malah nggak mau. Aku jadi nggak enak kalau kamu sampai sakit gini, Bi," kata Hanum. Terlalu lama duduk menyebabkan wanita hamil itu memegang pinggangnya."Aku tidak sakit, lho. Cuma tadi mencium aroma so
Happy Reading *****Secepat mungkin, Aryan menghubungi Dirga dan meminta saudaranya itu menjemput dengan kendaraan roda empat. Papa kandung Azri itu juga meminta si sulung untuk memanggil dokter ke rumah mereka."Ar, kelamaan kalau kita panggil dokter ke rumah. Minta masmu untuk mengantar ke klinik terdekat saja," sahut Septi.Menganggukkan kepala, Aryan meminta Dirga untuk segera datang dan membawa mereka ke klinik terdekat. "Kenapa kamu, Bi. Padahal tadi baik-baik saja," gumam Aryan.Melihat para orang dewasa kebingungan, Azri menarik-narik ujung kaos yang digunakan oleh kakeknya. Mukanya menatap penuh tanya pada Lingga."Mama lagi sakit, Nak. Azri diam dulu, ya. Sebentar lagi, Ayah datang menjemput." Lingga mencoba memberi pengertian pada bocah kecil itu."He em," ucap si kecil sambil menganggukkan kepala.Tak berselang lama, Dirga sudah datang bersama dengan Hanum. Mereka berdua turun dari mobil dan menghampiri Aryan yang sudah mengangkat istrinya di sebuah bangku taman."Kenapa
Happy Reading*****Waktu berjalan begitu cepat, kandungan Melati dan Hanum kini sudah memasuki bulan ke tujuh. Aryan dan keluarga juga sudah kembali ke Indonesia setelah pengobatan panjang yang harus dia jalani.Perlahan, tetapi pasti. Kesehatan suami Sabrina itu berangsur membaik. Aryan sudah mulai hidup normal selayaknya dulu sebelum kecelakaan walau benih yang dihasilkan masih belum bagus. Semua berkat ketelatenan Sabrina. Setiap sesi pengobatan Aryan, perempuan bercadar itu ikut dan bertanya ini itu. Sama sekali tidak malu sekalipun yang perempuan itu tanyakan sedikit vulgar menurut suaminya.Antara bangga dan juga malu, tentu dirasakan Aryan. Mungkin perbedaan kultur yang membuat perempuan itu menjadi lebih terbuka membicarakan masalah seks. Setiap kali sang suami bertanya mengapa dia berani bertanya pada dokter. Jawaban Sabrina adalah karena apa yang ditanyakan bukanlah menjurus pada mesum, tetapi ilmu yang harus dia pelajari demi kesembuhan Aryan.Pagi ini, Aryan berjanji pada
Happy Reading*****Mendapat kabar gembira dari sang istri, Dirga segera menelepon orang tuanya yang masih berada di luar negeri menemani Aryan. Berkali-kali Hanum mendapat selamat dan juga ciuman baik dari ibu, adik maupun sang suami. Mereka semua sangat bahagia mendapat kabar kehamilan perempuan itu.Panggilan terangkat oleh Septi, wajah perempuan paruh baya itu terlihat. "Ya, Mas. Apa kabar? bagaimana keadaan cucu Mama? Apa dia sehat-sehat saja."Selalu saja, para orang tua tiap kali menelepon atau ditelepon pertama kali yang ditanyakan adalah keadaan Azri. sepenting itu memang bocah gembul yang sudah bisa berjalan itu."Azri baik, Ma. Gimana kabar Mama sama Papa?""Papa baik, Mas," jawab Lingga. Wajahnya sudah muncul di layar ponsel milik Septi. "Mas, kameranya arahin ke Azri, dong. kangen nih," sahut Aryan yang hanya terdengar suaranya saja.Dirga mengarah kamera pada Azri yang tengah berjalan dengan ditemani sang adik ipar. bocah gembul itu tertawa-tawa ketika bisa mencapai ad
Happy Reading*****Lingga menepuk bahu putranya. "Tidak perlu bersedih. Mas Dirga sama Hanum masih muda dan bisa mencoba lagi nanti.""Bener, Ga. Lagian kalian berdua kan baru menikah. Nikmati waktu berduaan dulu, biar Papa sama Mama yang momong Azri. Kalian bertiga pergilah berlibur ke mana gitu," tambah Lathif."Hmm, kalau itu tidak bisa, Pak Lathif. Aryan harus menjalani proses pengobatannya. Mungkin, Mas Dirga sama Kaisar saja yang pergi berlibur," saran Septi.Dirga tersenyum kecut, lalu meraup tubuh sang istri ke pelukannya. "Tidak masalah buat Mas, Yang. Kita masih bisa mencoba lagi seperti kata Papa. Jangan sedih, dong. Hari ini adalah hari bahagia buat kita semua. Jadi, senyum." Si sulung menaikkan garis bibir sang istri menggunakan jempol dan jari telunjuknya."Aku cuma takut Mas kecewa saja." Mengerjakan mata beberapa kali, Hanum pun tersenyum lega ketika melihat kepala Dirga menggeleng."Sudahlah, lupakan kejadian ini. Sebaiknya, kamu istirahat, Nak," kata Saras, "biarka
Happy Reading*****Melati menatap sedih pada sang suami. "Maaf, Bang. Pas mau berangkat tadi, aku dapat tamu bulanan.""Hmm. Ya, sudah." Kaisar melepas pelukannya. "Kita makan saja. Mau di kamar atau ke restoran bawah?""Aku mandi dulu saja, ya." Melati memasang wajah paling imut untuk menarik simpati si Abang yang mukanya manyun. Satu kecupan di bibir. Akan tetapi hal yang dilakukannya malah membuat bibir sang suami maju beberapa senti."Jangan mancing-mancing kalau pada akhirnya tidak bisa menuntaskan.""Nanti, pasti aku bantu menuntaskan, tapi mandi dulu, ya.""Hmm," jawab Kaisar malas, "jadi, mau makan di mana, Honey?""Terserah Abang saja." Setelah itu, Melati memberi kecupan ke udara."Nakal," kata Kaisar.Memegang gagang telepon, dia menghubungi pihak layanan hotel. Sepertinya makan di kamar lebih menyenangkan. Dirinya dan sang istri memerlukan banyak ruang untuk berduaan. Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya Kaisar tidak berjumpa dengan Melati.Di kamar berlainan, Sabrina d
Happy Reading*****Mendengar perdebatan anaknya, Lingga kembali merebut ponsel miliknya dari tangan si putra bungsu. "Ma, ada apa sebenarnya? Kenapa lama sekali kalian datang. Sudah telat setengah jam ini," kata Lingga tak sabaran."Pa, ada sedikit masalah dengan gaunnya Sabrina. Tadi kami sudah akan berangkat, tapi mendadak tamu bulanan Bina datang dan menyebabkan gaun putih yang dia kenakan ada bercak darah. Jadi, kami harus membersihkan dulu karena tidak ada gaun pengganti lagi," jelas Septi begitu lancar ketika sang suami yang bertanya.Namun, dia tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya kepada sang putra tadi. Tentunya karena alasan tidak ingin mengecewakan Aryan."Mama, kirain ada apa sampai tidak bisa menjelaskan tentang keadaan Sabrina padaku. Ternyata cuma masalah datang bulan," sahut Aryan. Ternyata Lingga mengeraskan suara ponselnya dengan menghidupkan ikon loud speaker. "Hmm, Papa sengaja men-loud speaker suara Mama, ya?""Iya, habisnya Mama terdengar takut dan khawatir p