Bab 83) Jangan Menangis, OliviaOlivia mendesah. Tubuhnya seperti disengat aliran listrik. Sentuhan itu begitu menggodanya. Olivia memejamkan mata, sementara kedua tangannya mencengkeram seprai. Tubuhnya meliuk seperti cacing kepanasan.Namun tak lama kemudian, ia merasakan tubuhnya ringan, tak ada lagi berat beban yang menindihnya. Olivia membuka mata, melihat Keanu yang terbaring di sisinya sembari menyukar rambutnya kasar. Lelaki muda itu terlihat frustasi."Keano, ada apa? Kenapa berhenti?" tanya Olivia."Maaf Liv, aku tidak bisa....""Tidak bisa apanya?!" Olivia menggeram, lantas memiringkan tubuh menghadap lelaki itu. "Ini sudah selangkah lebih baik. Aku menyukai sentuhanmu, Keano. Aku mencintaimu.""Tetapi aku tidak bisa, Olivia. Setiap kali aku menyentuhmu, selalu saja wajahmu berubah menjadi wajah Aira dalam pandanganku. Aku tidak bisa...."Hati Olivia kembali seperti tersengat lebah. Sakit sekali dan perih."Kalau kamu begini terus, kamu nggak akan mungkin bisa membuka hatim
Bab 84) Kenyataan PahitWajah Aira masih saja menari-nari dibenaknya. Wajah cantik nan polos seperti memintanya untuk tidak melakukan semua ini. Namun persetan dengan semuanya. Sungguhpun yang tengah dicumbunya sekarang adalah Aira, dia tetap tak akan peduli. Dia benar-benar sakit. Dia harus melampiaskan rasa sakitnya dengan cara seperti ini.Mencintai Aira dalam diam membuat akal pikirannya seperti kurang waras. Kenyataan bahwa Aira adalah istri sahabatnya sendiri, ditambah lagi ternyata Aira adalah adiknya, putri mom Alia dari suami keduanya. Kenyataan apa lagi yang lebih pahit dari ini?Keano merasa semuanya tak adil baginya!Tangannya begitu aktif bergerilya menyusuri seluruh tubuh Olivia. Wanita itu mendesah. Desahan yang lantas menyadarkannya bahwa yang berada di bawahnya sekarang adalah Olivia, bukan AiraTangannya gemetar membuka kain penutup terakhir di tubuh Olivia. Lelaki itu melorotkan tubuhnya, hingga bibirnya menyentuh belahan cinta yang menjadi pintu gapura surga milik
Bab 85) Menuju Apartemen KeanoAthar mengecup kening istrinya sekilas. Sedetik kemudian dia menyadari jika wajah cantik itu sedikit pucat. Namun sebelum ia sempat protes, Aira buru-buru mengatakan bahwa ia baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan. Athar membimbing sang istri masuk ke dalam kamar pribadinya."Sepertinya kamu terlalu banyak aktivitas hari ini, Sayang." Lelaki itu membantu Aira berbaring di tempat tidur.Athar teringat jika mereka pagi-pagi buta sudah harus melakukan perjalanan dari rumah Bunda Amirah ke gedung pusat Bumi Berkah Group. Aira yang harus kuliah, kemudian berlanjut ke salah satu workshop Maharani Jewellery menemui Devanka.Wanita itu menggeleng lemah."Tidak, Athar. Aku senang menjalani semua ini. Aku juga senang bertemu dengan Bunda Amirah. Hanya mungkin fisikku yang kurang kuat, mungkin lantaran kehamilan ini." Aira mengusap pelan perutnya.Athar merendahkan tubuh, hingga akhirnya duduk menyentuh lantai. Jari jemarinya mulai memijat kaki Aira. "Maaf jika s
Bab 86) Barang Bekas "Kamu...." lirih Olivia. "Kenapa kamu berada di sini? Ada hubungan apa kamu dengan Keano?" Suara Athar terdengar dingin. "Athar, ini yang namanya Olivia yang aku ceritakan barusan," jelas Aira antusias. Athar mengibaskan tangan, memberi isyarat Olivia untuk menyingkir, lalu menerobos masuk ke dalam ruangan apartemen. "Loh, Athar, Aira," tegur Keano. Lelaki itu kaget sekali. Dia buru-buru masuk ke dalam kamarnya, lantaran menyadari pada saat ini ia hanya mengenakan celana pendek. Athar terkesiap dan menoleh kepada istrinya. Sesaat sepasang suami istri itu saling memandang. Mereka bukan anak kecil lagi dan sangat tahu apa yang sudah terjadi di apartemen ini. Melihat penampilan Olivia dan Keano yang seperti itu, otak keduanya seketika travelling, membayangkan hal yang hanya dilakukan oleh orang dewasa. Athar mendudukkan tubuhnya di sofa, sementara Aira menyusul duduk beberapa detik kemudian. "Kenapa kamu bisa berada di sini? Bukankah seharusnya kamu berada d
Bab 87) Mengusir Olivia"Barang bekas?! Jadi sebenarnya kamu itu bukan model biasa?!" Dada lelaki itu seketika bergemuruh. Pantas saja Olivia sebegitu mudahnya menyerahkan diri kepadanya, bahkan jauh sebelum hari ini. Saat ia masih berada di Manila, Olivia bahkan pernah telanjang di hadapannya di dalam apartemennya yang ada di Manila.Athar dan Aira tidak mungkin bohong. Seumur-umur ia belum pernah mendapati lelaki sahabatnya ini berbohong. Jika apa yang dikatakan Athar dan Olivia berlawanan, berarti Olivia-lah yang sudah berbohong kepadanya."Keano, ini sama sekali tidak benar. Fitnah. Perusahaan kamu pernah bekerja sama dengan agensi kami. Kamu tahu sendiri. Apa pernah agensi kami menawarkan para modelnya untuk memberikan pelayanan seperti itu, hah?!" Wajah Olivia seketika memerah. Dia merasa terhina, meski kenyataannya, ia memang melayani para lelaki hidung belang kelas kakap. Bahkan jauh sebelum ia kenal Keano, ia adalah sugar baby seorang seorang pengusaha terkenal di Filipina."
Bab 88) Jodoh Ibarat Cermin"Perkembangan janinnya bagus, hanya saja Ibu perlu menjaga pola makan, supaya asupan nutrisinya terpenuhi. Jangan lupa cukup istirahat. Satu hal lagi ya, Bu, tolong jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kalau ibunya stres, nanti janinnya ikut stres, Bu," pesan lelaki setengah baya itu sebelum Athar dan Aira meninggalkan ruangannya.Sang asisten mengantar mereka sampai pintu depan klinik."Kamu dengar, kan apa kata dokter?" Kini keduanya sudah berada di mobil. Athar menghidupkan mesin dan langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.Aira mengangguk. "Aku dengar. Maaf ya. Belakangan ini aku memang banyak pikiran. Semenjak aku bertemu Kakek Albana, aku sedikit merasa tertekan....""Kamu bisa cerita apapun kepadaku. Aku ini suamimu dan akan selalu mensupport. Kamu tidak perlu meragukan itu," ujarnya."Aku tahu. Banyak hal yang mengejutkan setelah kita menikah....""Aku minta maaf soal perjanjian itu dan aku sudah merobeknya. Kita benar-benar suami istri sah d
Bab 89) Titik TerendahDia segera mengenali sosok itu. Wanita muda pemilik wajah oriental dan merupakan asisten pribadi Rani. Namanya Devanka. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang, Keano menyambar tubuh itu, membopongnya sembari berjalan cepat menuju mobilnya."Bertahanlah Deva. Aku mohon," gumam Keano sembari terus melarikan mobilnya menuju sebuah rumah sakit terdekat.Sesampainya di rumah sakit, Keano membaringkan tubuh Devanka di brankar, kemudian membiarkan orang-orang berpakaian putih-putih itu mendorongnya menuju ruang IGD, sementara ia sendiri duduk bersandar di bangku di depan ruangan itu.Lelaki itu memijat kepalanya sembari memainkan ponsel. Tak ada yang bisa di lakukannya kini kecuali menghubungi Rani. Dia tak terlalu dekat bahkan jarang bertegur sapa dengan Devanka. Tentu saja tak tahu siapa saja keluarganya."Iya Keano. Tumben kamu menelpon Mommy? Ada apa?" Suara Rani terdengar dengan background suara deru kendaraan bermotor."Mom, Devanka mengalami kecelakaan. Dia bera
Bab 90) Siapa Lelaki Itu?"Devanka!" seru Rani tertahan. Gadis itu kembali meronta. Tangannya bermaksud mencabut selang infus dan akan turun dari pembaringan. Secepat kilat Keano menangkap tubuh itu, menekan kedua bahunya supaya Devanka tetap dalam posisi berbaring.Rani memencet bel. Tak sampai semenit, para petugas medis berdatangan. Salah seorang dari mereka menyuntikkan sesuatu yang membuat gadis itu terkulai lemas dan kembali tertidur."Beliau menderita depresi kategori ringan. Sepertinya ada peristiwa yang membuat jiwanya sangat terpukul. Kalau boleh tahu, apa yang sudah terjadi?" Lelaki berpakaian putih itu menatap Rani dan Keano bergantian. Mereka duduk berhadapan di batasi oleh sebuah meja.Kedua orang itu nampak saling berpandangan, kemudian menggeleng secara bersamaan."Kami tidak mengetahui apapun, Dok. Sehari-hari Devanka selalu ceria dan terlihat tak punya masalah," jawab Rani hati-hati."Apa Devanka perlu di tangani psikiater?" timpal Keano."Kalau Bapak dan Ibu setuj