“Memangnya kalau tinggal di kota ini masalah banget, Mas? Padahal aku nyaman di sini.” Tanyaku seraya memandangnya memasukkan semua barang kami ke dalam tas besar. Menjadi pasien koma selama 2 bulan lamanya membuatku susah bergerak jadinya suamiku yang membereskan semuanya.
“Mas maunya kamu memulai hidup baru tanpa ada yang menuduhmu melakukannya. Bukan salahmu kecelakaan itu terjadi.” Jawab Mas Alvis semenit kemudian.
Nabhila Pramuditia. Katanya lahir 26 tahun lalu, menjadi ibu rumah tangga sekitar 3 tahunan lalu. Katanya lagi, aku suka di rumah, memasak banyak kue lalu membagikannya ke banyak tetangga atau meminta suamiku membawanya ke panti asuhan ternama. Intinya, aku benar-benar seorang ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Kami berdua telah mempunyai bayi cantik yang lahir 3 bulan lalu. Dan selama aku koma, Kanza di asuh oleh perawat yang suamiku sewa.
Lalu nama lengkap Mas Alvis? Alvis Pramuditia. Seorang CEO tapi aku tidak ingat bekerjanya di bidang apa atau suamiku ini sudah umur berapa. Aku tidak tahu bagaimana pertemuan pertama kami, siapa yang mengajak pacaran atau bagaimana megahnya pernikahan kami. Intinya, katanya kami sangat bahagia selama 3 tahun ini.
Dan selama 2 mingguan, aku benar-benar merasakannya.
“Sudah sanggup berdiri?” kugelengkan kepalaku manja, Mas Alvis segera mendekat dan memapahku menuju mobil.
“Mas, aku bener-bener minta maaf karena harus melupakan semua kenangan kita semasa pacaran dan selepas menikah. Kamu pasti kecewa banget sama aku.” Ya, sejam setelah bangun dari koma 2 minggu lalu. Dokter mengatakan aku mengalami amnesia setelah kecelakaan besar yang menimpaku bersama saudari kembarku. Sayangnya dia tidak bisa diselamatkan membuat semua keluarga besar menyalahkanku.
Katanya, akulah penyebab kecelakaan itu terjadi. Andaikan aku tidak memaksa Nadhila untuk mengantarku ke kantornya Mas Alvis mungkin saat ini aku masih bersamanya.
“Tidak masalah, kamu selamat dan masih ada di sisiku saja sudah lebih dari cukup. Kenangan masih bisa kita ciptakan sedangkan kehidupan tidak bisa diulang kembali, melihat kamu duduk di sini saja sudah lebih dari cukup untuk Mas dan anak kita.” Semua perkataan Mas Alvis selalu membuatku tenang, terlihat sekali dia sangat mencintaiku.
Setelah mendudukkanku di kursi mobil, Mas Alvis pamit ke dalam untuk mengambil barang-barang yang cukup banyak terutama bayi kecil kami. Sambil menunggu, aku menatap rumah sakit ini. Katanya, demi menjauhkanku dari keluargaku sendiri dia sengaja memindahkanku kemari. Mas Alvis tidak sanggup melihat tatapan kebencian dari semua orang kepadaku. Apa aku memang seegois itu?
Mereka bahkan sudah menganggapku ikut mati bersama Nadhila saking bencikah?
“Padahal sudah Mas beritahu tidak baik melamun. Memangku baby masih bisa kan?” Mas Alvis kembali, sampai kapanpun aku akan berusaha mengingat kembali kenangan kami agar bisa membuatnya bahagia.
Aku tersenyum manis saat bertemu pandang dengan perawat baby kami, dia menunduk sopan barulah berlalu pergi, dia adalah orang baik.
“Bisa, sini sayang sama Bunda. Anaknya Bunda cantik banget sih? pasti karena Ayahnya ganteng ya?” sedetik setelah aku mengatakan itu, Mas Alvis malah tertawa di belakang sana. Dia sibuk memasukkan barang ke dalam begasi belakang.
Tak lama mobil mulai melaju meninggalkan rumah sakit kecil ini, aku tidak akan lupa bagaimana berjasanya dokter-dokter di sana untuk menyembuhkanku.
Sepertinya aku akan merindukan Bandung atau apapun yang ada di sini.
“Aku beneran sedih karena engga bisa kasi ASI ke anak kita, Mas.” Kataku sembari mengelus pipi gembulnya, bayi cantik kami harus minum dari dot.“Sayang, suatu hari nanti. Dia pasti akan paham kenapa Bundanya tidak bisa melakukannya, andaikan baby bisa bicara dia akan bilang, Bunda masih ada di sini saja aku sudah bahagia.” Senyumku langsung melebar, merasa bahagia karena mempunyai suami seperti Mas Alvis.Saat semua orang menjauhiku, mengataiku, bahkan membenciku. Dia tetap merangkul, malah membawaku pergi. Aku mana mungkin meninggalkan suami tersayangku ini, selama proses pemulihan, tidak pernah sedetikpun Mas Alvis meninggalkanku.“Pekerjaan Mas di sini engga papa kalau ditinggal? Bukannya Mas bilang sebelum kecelakaan aku ingin ke kantor Mas. Apa tidak menim-““Nabhila.”Aku langsung diam, mengangguk pertanda paham. Setiap kali aku bertanya perihal pekerjaan ataukah ke makamnya Nadhila, Mas Alvis pasti akan kesal katanya tidak perlu memikirkan semua itu. Aku hanya perlu memulihkan
“Sudah membaik?” kuanggukkan kepalaku. “Ada apa? Kamu ingat apa?” kenapa Mas Alvis terlihat ketakutan sekali?“Sepertinya apa yang Mas katakan tadi memang benar, aku suka makanan manis. Dalam ingatanku saja Nadhila kesal karena aku tidak membelikan martabak kesukaannya, aku malah membeli martabak manis dan melupakan pesanannya.” Kali ini aku melihatnya, Mas Alvis lega. Seolah beban yang ada di pundaknya menghilang entah ke mana.Mobil kembali Mas Alvis lajukan, aku menatapnya dengan senyuman juga. Tentu saja Mas Alvis khawatir aku kenapa-napa, hampir kehilangan istrinya adalah hal mengerikan yang untuknya. Jadi melihatku pusing saja cukup membuatnya ketakutan. Baby masih tertidur lelap di pangkuanku, aku menatapnya penuh kasih sayang.Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan tapi Mas Alvis pasti tidak suka.“Mas Alvis sukanya kopi?”“Engga masalah sih suka apa saja, dia di suguhkan air putih di pagi hari saja sudah membuatnya senang bukan kepalang.”Kepalaku pening kem
Yogyakarta.Daerah yang Mas Alvis pilih ternyata ini, katanya tempat ini selalu ingin aku kunjungi malah maunya tinggal di sini. Dan sekarang Mas Alvis berhasil mewujudkannya, entah jadi apa aku seandainya tidak menikah dengan suami tersayangku itu.“Fotonya mau di gantung di mana Sayang?”Mas Alvis datang membawa figura besar bergambar foto kami, foto pernikahan yang diadakan sehari setelah aku bangun dari koma. Katanya, agar aku memiliki kenangan indah tentang pernikahan maka kami perlu menikah kembali jadinya aku iyakan. Meskipun latarnya adalah ranjang rumah sakit tapi sudah lebih dari cukup untuk dijadikan kenangan indah.“Di kamar saja, tepat di atas ranjang. Takutnya kalau di luar malah menghalangi hiasan yang lain, supaya aku selalu happy tiap masuk kamar.” Jawabku dengan suara amat pelan takutnya Kanza bangun padahal baru tidur 3 menit lalu.“Mas gantung di sana, kalau Kanza-nya sudah nyaman kamu ke kamar untuk istirahat.”“Iya Mas.” Entah sudah berapa kali Mas Alvin mengatak
“Anak Bunda, padahal baru tidur tapi bangun lagi. Lapar ya? Sebentar Sayang, Bunda buatin dulu.” Dengan sigap aku membuatkan susu untuk Kanza, padahal aku sangat berharap bisa memberinya ASI tapi sepertinya takdir berkata lain. Tidak papalah, setidaknya Kanza tetap sehat dan hidup bahagia bersamaku dan Mas Alvis.“Sayang, Mas keluar sebentar mungkin pulangnya agak sorean.”Di belakang sana Mas Alvis sudah siap dengan setelan jasnya. “Sudah mau kerja?” kagetku, aku kira dia mulainya besok.“Harusnya kemarin tapi tertunda, hanya sebentar. Mas usahakan pulang sebelum magrib, bisa kan?”“Bisa, hati-hati di jalan.” Karena aku sibuk mengurus Kanza, jadinya Mas Alvis yang mendekat memelukku singkat sebelum berangkat kerja.Ku lirik jam dinding, jam 3 sore? Dan pulangnya sebelum magrib? Memangnya bisa kerja secepat itu? Tapi sudahlah, pasti Mas Alvis akan cerita pas pulang nanti. Mending aku fokus ke baby kecilku, mengganti pakaiannya barulah mengajaknya jalan-jalan keliling kompleks sekalian
Dengan senang ku ulurkan tanganku padanya, “Namaku Nabhila Pramuditia. Tinggalnya di nomor 13 blok A. Kayaknya aku perginya jauh deh, malah sampai di blok sini. Di depan biasanya ada jajanan begitu? Wah aku bisa ikutan beli dong.” Jabat tangan kami terlepas, senyumku bahkan tidak memudar sama sekali. menyenangkan sekali punya teman baru.Kami bercerita banyak, ternyata Mba Laila sudah punya dua anak Cuman rajin olahraga saja makanya masih keliatan sehat, kalau diperhatikan memang sudah agak tua. Umurnya saja sudah 38 tahun, tapi wajahnya masih mulus, rambutnya coklat lurus habis di warnain kayaknya.“Dulu pas selesai lahiran, stretchmark Mba hilangnya makan waktu berapa lama?” tanyaku santai padahal dalam hati penasaran sekali.“Mungkin setahun sehabis lahiran? Pas anakku umur 1 tahun, itupun harus bolak balik ke spa atau ke dokter supaya perutnya bisa mulus lagi. Tapi tergantung cara kita menangani sih, ada yang berhasil di 6 bulan? 8 bulan kayaknya.”Masa sih?“Kenapa? Kamu pasti ke
Mengantar suami kerja sampai teras rumah adalah hal menyenangkan bagi ibu rumah tangga sepertiku.“Jangan kemana-mana, kalaupun mau ke suatu tempat langsung telepon Mas saja.” Itu katanya sebelum pergi.Padahal aku mau keliling Jogja, setidaknya hapal jalanan sini. Sudah seminggu di sini tapi belum tahu menahu soal daerahnya, ini di desa mana atau kacamatan. Atau jogja ini sebenarnya adalah kacamatan? Aduh, aku mendadak pening memikirkannya padahalkan ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan apalagi Mas Alvis tidak mau memperkerjakan pembantu permanen. Hanya bekerja di jam 5 pagi sampai 8.“Apa kita jalan-jalan saja tanpa memberitahu Ayah?” gumamku sambil menatap Kanza di gendonganku.“Tapi mau ke mana?” karena lelah berdiri, aku memutuskan masuk ke dalam untuk bermain dengan Kanza. Aku sudah mandi tadi pagi dan Mas Alvis yang menjaga Kanza katanya tidak baik memperkerjakan pembantu nanti malah terjadi hal yang tidak-tidak. Sarapan pun sudah, kami sarapan bersama tadi.“Kanza, Bund
“Kembaran dari Nadhila yaitu Nabhila juga meninggalkan duka mendalam untuk semua orang, pemilik N’Beauty dan N’Fashion ini bahkan langsung meninggal di tempat karena duduk di kursi pengemudi. Saat ini suami dan anaknya menghilang tanpa kabar, perwakilan keluarga Meeaz mengatakan mereka berdua memilih menenangkan diri dan menjauh dari keramaian.” Suara TV yang menggema di kamar mewah itu terus terdengar, membuat perempuan paruh baya di ranjang hanya bisa terpaku menatap gambar-gambar kedua putrinya.“Kami dari HSQnews mengucapkan turut berduka atas kecelakaan yang menimpa dua putri keluarga Meeaz. Terimakasih.”“Alvis dan Kanza belum ada kabarnya?” tanyanya dengan suara parau pada pelayan.“Sebelum menghilang 2 bulan lalu, Tuan Alvis meminta kami untuk tidak mencarinya lagi. Tuan ingin memulai kehidupan baru tanpa bayang-bayang kematian Nona Nabhila. Ingin membesarkan Nona Kanza tanpa ada yang membicarakan kematian mengerikan itu. Jadinya kami dan tim keamanan memutuskan untuk mengikut
“Jangan bilang Anda mau mencarinya dengan status dan wajah baru? Saya tahu keluarga Anda terkenal dengan keahliannya mencari orang, tapi Anda yakin mau mencari orang yang sudah terkubur?” Feira tertawa sebentar, membuka gambar-gambar hasil otopsi Nadhila.“Apa yang membuat Anda begitu yakin, mayat itu bukan Nona kami?”Tunangan dari Nadhila itu mengeluarkan ponselnya memperlihatkan foto hasil pemotretan milik Nadhila setahun lalu saat mereka jalan-jalan ke Bali. Austin memperbesar bagian lengan atasnya, terdapat bekas luka memanjang hingga pundak atas.“Anda tahu alasan Nadhi tidak pernah menyepakati brand pakaian yang terbuka kan? Atau pemotretan yang harus memperlihatkan lengan kanannya? Karena luka ini.”Feira dengan cepat memeriksa gambar hasil otopsi sebelah kanan, tidak ada. Bagian lengan kanannya hanya terbakar sedikit tapi warna kulitnya masih terlihat jelas. Sama sekali tidak ada tanda bekas luka di sana.“Saya dengan hati-hati bertanya pada pihak kepolisian, mereka tidak men
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
“Mas kemarin khawatir banget kamu kenapa-napa mana katanya engga bisa video call. Anaknya Ayah lagi manja ke Bundanya ya?” Aku tersenyum manis. Tau apa hal paling aku syukuri? Ditengah-tengah gilanya rasa penasaranku akan ingatanku yang aneh? Mempunyai suami bernama Alvis Pramuditia. Dia adalah suami paling pengertian, sangat percaya padaku. Sayangnya kemarin, aku malah berbohong padanya. “Kanza kayaknya mau jalan-jalan, Mas. Tapi aku bingung mau bawa ke mana. Laila kayaknya sibuk banget dari kemarin susah di hubungi.” Tuhan, betapa berdosanya diriku. Mas Alvis mendekat, mengambil alih Kanza yang terus menerus di gendong olehku sedari pagi. Mas Alvis sudah pulang, untungnya tidak curiga sama sekali. Hidupku benar-benar mirip drama yang biasa aku tonton akhir-akhir ini, karena tidak punya ingatan apapun soal buku jadi aku tidak bisa membandingkan hidupku dengan buku. “Memikirkan apa Sayang?”Ku tatap Mas Alvis lama. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi semasa Mas ke luar kota kem
Karena tidak bisa menunggu lagi dan muak dengan segala pertanyaan gila yang terus menerus menghantuiku. Aku memilih ke Bandung tanpa ditemani Laila, itupun kesananya naik bus berbekal keberanian. Katanya perjalanannya sangatlah panjang dan lama. Bagaimana jika pradugaku benar? Itu mengerikan bukan? Terus- sudahlah Nabhila, tidak baik menggali sesuatu yang tidak pasti. Dan aku sampai di tempat ini menjelang malam. Warna jingga dibalik kaca taksi terlihat cantik. Setelah membayar taksi, kubawa stroller Kanza mengelilingi daerah asing ini. Beberapa orang sering kali menoleh, sebagian lagi sibuk dengan urusannya sendiri. “Kemana aku harus pergi? Apa yang aku cari di kota ini? Bagaimana jika Mas Alvis tau aku kembali ke Bandung?” Dan pertanyaan ini hanya untuk diriku sendiri. Selama sejam lamanya, aku dan Kanza benar-benar bagai orang hilang. Kesana kemari tanpa tujuan, keluar masuk restoran, cafe, mall dan berakhir di taman. Memperhatikan bagaimana ramainya kanak-kanak bermain. “Apa
Setelah menjadi orang tak tau apapun selama 3 mingguan lebih, akhirnya ada kesempatan untuk membuktikan ingatanku. “Jangan kemana-mana, kalaupun mau keluar harus hubungi Mas dulu.” Hari ini dan 2 hari kedepannya, Mas Alvis harus keluar kota. “Palingan kalau aku keluar ke supermarket, Mas. Beliin Kanza pempres dan kebutuhannya yang lain, yang itu harus aku laporin juga?” Karena takut kangen, aku memeluk Mas Alvis erat. Ini pertama kalinya kami tidur berpisah semenjak pindah. Atau LDR. “Apapun itu, lapor ke Mas. Mas akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaan jadinya bisa pulang cepat.” Perkataannya kubalas dengan gumaman. Aku fokus mendengarkan bagaimana menyenangkannya mendengar detak jantung Mas Alvis. 3 minggu aku menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ingatanku, mengapa modeling? Mengapa mereka tidak mengenalku? Dan kenapa aku mulai merasa aku bukanlah aku.Tidak tau kenapa, semenjak kata ‘modeling’ terus terngiang, aku merasa ini bukan jalan yang benar. “M
“Saya akan mendapatkan masalah besar jika ada yang tau soal ini, jadi tolong lindungi saya sebaik mungkin, Pak Austin.” Katanya sembari menyerahkan selembar berkas dan foto pada Pria bule di depannya. “Mendebarkan sekali mengotak-atik berkas rahasia demi biaya kuliah anak saya.” Ya, hanya berkas itu yang tersisa. “Kamu yakin ini wajahnya?”Dokter yang ada di depannya mengangguk mantap, “Saya bukannya merendahkan diri saya sebagai dokter, apalagi melanggar sumpah kedokteran. Sudah sepantasnya anda mendapatkan data ini karena anda adalah tunangannya.” Ya, jalan yang dipilihnya tidak salah sama sekali. Harusnya pria inilah yang bersama perempuan itu, bukan pria gila itu. Ia masih ingat dengan jelas betapa posesifnya pria kaya itu setiap kali ada dokter atau suster yang datang memeriksa pasien yang dijaganya. “Hanya struktur wajahnya yang tersisa, mengenai identitas, nama barunya, umurnya sekarang atau bagaimana keadaan terakhirnya. Saya tidak tau. Sepertinya sudah di hilangkan.” Ber
Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan nama Austin itu. Pasalnya, semakin dicari semakin tidak menemukan jawaban apapun. Mas Alvis semakin membatasi pergerakanku, arisan kemarin saja diminta tinggalkan saja. Uangnya, skip saja katanya. “Kanza tau tidak? Bunda menyayangkan uangnya, mana 15 juta lagi. Kok Ayah kamu segampang itu skip duit.” Galau sendiri kan diriku. Mana puyeng banget memikirkan siapa Austin itu, mau nonton TV eh kabelnya sudah dicabut sama Mas Alvis katanya engga baik bagi Kanza. “Kanza kan sudah 4 bulanan, Sayang. Jadi engga baik liat hal begituan mending kamu nemenin Kanza main saja.” Bosan sih tapi ada benernya juga. Ini Mas Alvis katakan seminggu lalu. Kanza engga boleh ketergantungan Nonton, apalagi kekurangan kasih sayang. Sekarang saja, dia sibuk memainkan mainannya sedangkan aku memperhatikan. Gabut parah. Yaudalah, mending keluar jalan-jalan saja. Biasanya jam segini, bagian taman akan ramai diisi orang-orang yang mau healing tapi waktunya sedikit
Tuan Meeaz menatap layar di depannya dengan pandangan sulit diartikan, bagaimana bisa wajah asing itu adalah putrinya? “Belum bisa kita pastikan, Tuan. Ini masih abu-abu karena wajahnya sangat berbeda. Tapi menurut perkataan bebe—““Jangan perlihatkan jika masih Abu-abu atau belum kamu pastikan. Jangan sampai Istri saya tau soal ini. Mari kembali ke Bandung, Alvis sangat membenci Yogya sedari dulu jadi dia mana mungkin ada di sini.” Untuk menghormati Tuannya, Fiera mengangguk paham. Memberikan intruksi untuk semua bodyguard agar ke posisinya masing-masing karena mereka semua akan kembali ke Bandung segera. Ya, Tuan Alvis memang membenci Yogyakarta karena ada masa lalu kelam di sini. Dan semua anggota keluarga Meeaz tau soal itu, mustahil Alvis kemari. Mungkin perempuan tadi namanya mirip saja, mana mungkin Alvis sebodoh itu memberikan nama yang sama kan? Itu namanya memberikan celah untuk rencana besarnya. “Berhenti memikirkannya apalagi membahasnya.” Peringat Meeaz sekali lagi.
Ternyata, masuk arisan tidak semenyenangkan itu. Aku pikir, kami akan membahas betapa indahnya keluarga, pertemanan ataukah ada pengalaman yang bisa dibagi agar rumah tangga kedepannya semakin baik. Nyatanya? Semua orang malah membahas betapa mahalnya perhiasan mereka, bajunya yang dibuat oleh desainer ternama ataukah sepatunya yang limited edition. “Arisan? Kamu dulu suka banget ikut arisan.” Masa sih? Tapi tidak mungkin kan Mas Alvis bohong sama istri kesayangannya ini? “Kalung yang Bu Nabhila pakai itu, belinya di mana? Sepertinya mahal sekali.” Sontak semua mata tertuju padaku. Aku ikut menunduk menatap kalung simple yang dibelikan Mas Alvis beberapa hari lalu. Katanya sih sebagai hadiah karena membuatnya bahagia di rumah apalagi Kanza tumbuh dengan baik. “Oh ini. Ini dikasi Mas Alvis, Suamiku. Hadiah katanya, aku kurang tau belinya di mana.” Mereka semua mengangguk paham, saling bersahutan iri karena keromantisan keluarga kami. Tentu saja aku merasa beruntung dengan hal it