Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
“Memangnya kalau tinggal di kota ini masalah banget, Mas? Padahal aku nyaman di sini.” Tanyaku seraya memandangnya memasukkan semua barang kami ke dalam tas besar. Menjadi pasien koma selama 2 bulan lamanya membuatku susah bergerak jadinya suamiku yang membereskan semuanya.“Mas maunya kamu memulai hidup baru tanpa ada yang menuduhmu melakukannya. Bukan salahmu kecelakaan itu terjadi.” Jawab Mas Alvis semenit kemudian.Nabhila Pramuditia. Katanya lahir 26 tahun lalu, menjadi ibu rumah tangga sekitar 3 tahunan lalu. Katanya lagi, aku suka di rumah, memasak banyak kue lalu membagikannya ke banyak tetangga atau meminta suamiku membawanya ke panti asuhan ternama. Intinya, aku benar-benar seorang ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Kami berdua telah mempunyai bayi cantik yang lahir 3 bulan lalu. Dan selama aku koma, Kanza di asuh oleh perawat yang suamiku sewa.Lalu nama lengkap Mas Alvis? Alvis Pramuditia. Seorang CEO tapi aku tidak ingat bekerjanya di bidang apa atau suamiku ini sudah u
“Aku beneran sedih karena engga bisa kasi ASI ke anak kita, Mas.” Kataku sembari mengelus pipi gembulnya, bayi cantik kami harus minum dari dot.“Sayang, suatu hari nanti. Dia pasti akan paham kenapa Bundanya tidak bisa melakukannya, andaikan baby bisa bicara dia akan bilang, Bunda masih ada di sini saja aku sudah bahagia.” Senyumku langsung melebar, merasa bahagia karena mempunyai suami seperti Mas Alvis.Saat semua orang menjauhiku, mengataiku, bahkan membenciku. Dia tetap merangkul, malah membawaku pergi. Aku mana mungkin meninggalkan suami tersayangku ini, selama proses pemulihan, tidak pernah sedetikpun Mas Alvis meninggalkanku.“Pekerjaan Mas di sini engga papa kalau ditinggal? Bukannya Mas bilang sebelum kecelakaan aku ingin ke kantor Mas. Apa tidak menim-““Nabhila.”Aku langsung diam, mengangguk pertanda paham. Setiap kali aku bertanya perihal pekerjaan ataukah ke makamnya Nadhila, Mas Alvis pasti akan kesal katanya tidak perlu memikirkan semua itu. Aku hanya perlu memulihkan
“Sudah membaik?” kuanggukkan kepalaku. “Ada apa? Kamu ingat apa?” kenapa Mas Alvis terlihat ketakutan sekali?“Sepertinya apa yang Mas katakan tadi memang benar, aku suka makanan manis. Dalam ingatanku saja Nadhila kesal karena aku tidak membelikan martabak kesukaannya, aku malah membeli martabak manis dan melupakan pesanannya.” Kali ini aku melihatnya, Mas Alvis lega. Seolah beban yang ada di pundaknya menghilang entah ke mana.Mobil kembali Mas Alvis lajukan, aku menatapnya dengan senyuman juga. Tentu saja Mas Alvis khawatir aku kenapa-napa, hampir kehilangan istrinya adalah hal mengerikan yang untuknya. Jadi melihatku pusing saja cukup membuatnya ketakutan. Baby masih tertidur lelap di pangkuanku, aku menatapnya penuh kasih sayang.Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan tapi Mas Alvis pasti tidak suka.“Mas Alvis sukanya kopi?”“Engga masalah sih suka apa saja, dia di suguhkan air putih di pagi hari saja sudah membuatnya senang bukan kepalang.”Kepalaku pening kem
Yogyakarta.Daerah yang Mas Alvis pilih ternyata ini, katanya tempat ini selalu ingin aku kunjungi malah maunya tinggal di sini. Dan sekarang Mas Alvis berhasil mewujudkannya, entah jadi apa aku seandainya tidak menikah dengan suami tersayangku itu.“Fotonya mau di gantung di mana Sayang?”Mas Alvis datang membawa figura besar bergambar foto kami, foto pernikahan yang diadakan sehari setelah aku bangun dari koma. Katanya, agar aku memiliki kenangan indah tentang pernikahan maka kami perlu menikah kembali jadinya aku iyakan. Meskipun latarnya adalah ranjang rumah sakit tapi sudah lebih dari cukup untuk dijadikan kenangan indah.“Di kamar saja, tepat di atas ranjang. Takutnya kalau di luar malah menghalangi hiasan yang lain, supaya aku selalu happy tiap masuk kamar.” Jawabku dengan suara amat pelan takutnya Kanza bangun padahal baru tidur 3 menit lalu.“Mas gantung di sana, kalau Kanza-nya sudah nyaman kamu ke kamar untuk istirahat.”“Iya Mas.” Entah sudah berapa kali Mas Alvin mengatak
“Anak Bunda, padahal baru tidur tapi bangun lagi. Lapar ya? Sebentar Sayang, Bunda buatin dulu.” Dengan sigap aku membuatkan susu untuk Kanza, padahal aku sangat berharap bisa memberinya ASI tapi sepertinya takdir berkata lain. Tidak papalah, setidaknya Kanza tetap sehat dan hidup bahagia bersamaku dan Mas Alvis.“Sayang, Mas keluar sebentar mungkin pulangnya agak sorean.”Di belakang sana Mas Alvis sudah siap dengan setelan jasnya. “Sudah mau kerja?” kagetku, aku kira dia mulainya besok.“Harusnya kemarin tapi tertunda, hanya sebentar. Mas usahakan pulang sebelum magrib, bisa kan?”“Bisa, hati-hati di jalan.” Karena aku sibuk mengurus Kanza, jadinya Mas Alvis yang mendekat memelukku singkat sebelum berangkat kerja.Ku lirik jam dinding, jam 3 sore? Dan pulangnya sebelum magrib? Memangnya bisa kerja secepat itu? Tapi sudahlah, pasti Mas Alvis akan cerita pas pulang nanti. Mending aku fokus ke baby kecilku, mengganti pakaiannya barulah mengajaknya jalan-jalan keliling kompleks sekalian
Dengan senang ku ulurkan tanganku padanya, “Namaku Nabhila Pramuditia. Tinggalnya di nomor 13 blok A. Kayaknya aku perginya jauh deh, malah sampai di blok sini. Di depan biasanya ada jajanan begitu? Wah aku bisa ikutan beli dong.” Jabat tangan kami terlepas, senyumku bahkan tidak memudar sama sekali. menyenangkan sekali punya teman baru.Kami bercerita banyak, ternyata Mba Laila sudah punya dua anak Cuman rajin olahraga saja makanya masih keliatan sehat, kalau diperhatikan memang sudah agak tua. Umurnya saja sudah 38 tahun, tapi wajahnya masih mulus, rambutnya coklat lurus habis di warnain kayaknya.“Dulu pas selesai lahiran, stretchmark Mba hilangnya makan waktu berapa lama?” tanyaku santai padahal dalam hati penasaran sekali.“Mungkin setahun sehabis lahiran? Pas anakku umur 1 tahun, itupun harus bolak balik ke spa atau ke dokter supaya perutnya bisa mulus lagi. Tapi tergantung cara kita menangani sih, ada yang berhasil di 6 bulan? 8 bulan kayaknya.”Masa sih?“Kenapa? Kamu pasti ke
Mengantar suami kerja sampai teras rumah adalah hal menyenangkan bagi ibu rumah tangga sepertiku.“Jangan kemana-mana, kalaupun mau ke suatu tempat langsung telepon Mas saja.” Itu katanya sebelum pergi.Padahal aku mau keliling Jogja, setidaknya hapal jalanan sini. Sudah seminggu di sini tapi belum tahu menahu soal daerahnya, ini di desa mana atau kacamatan. Atau jogja ini sebenarnya adalah kacamatan? Aduh, aku mendadak pening memikirkannya padahalkan ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan apalagi Mas Alvis tidak mau memperkerjakan pembantu permanen. Hanya bekerja di jam 5 pagi sampai 8.“Apa kita jalan-jalan saja tanpa memberitahu Ayah?” gumamku sambil menatap Kanza di gendonganku.“Tapi mau ke mana?” karena lelah berdiri, aku memutuskan masuk ke dalam untuk bermain dengan Kanza. Aku sudah mandi tadi pagi dan Mas Alvis yang menjaga Kanza katanya tidak baik memperkerjakan pembantu nanti malah terjadi hal yang tidak-tidak. Sarapan pun sudah, kami sarapan bersama tadi.“Kanza, Bund