"Bagaimana ini?" tanya Andre tanpa suara. Sementara sebentar lagi acara akad segera dimulai.
"Nak Fandi, ayo penghulunya sudah datang." Panggilan mang Edi membuyarkan keduanya yang sedari tadi terdiam bimbang.
"Halo, Andre!" Suara Yulia dari seberang telepon masih terdengar.
"Atur saja, jangan sampe ketahuan." Bisik Fandi nyaris tak terdengar dan berlalu meninggalkan Andre.
"I-iya, tante, aduh sinyalnya susah, halo hallo,” sahut Andre seraya mematikan ponsel sepihak dan berlalu menyusul Fandi dirinya akan menjadi saksi pernikahan sahabatnya itu.
Dirumahnya Yulia amat kesal, Fandi dan Andre sulit dihubungi.
"Penghulu? pernikahan siapa?" batin Yulia bertanya-tanya curiga, sekilas ia yakin mendengar nama anaknya dipanggil. "Ah, mungkin saja mereka sedang ada pesta pernikahan teman dan tempatnta sangat pelosok sehingga tidak ada sinyal,” lirih Yulia menepis kecurigaa, setidaknya dirinya sudah sedikit tenang ada Andre bersama putranya.
"SAH!! jawab saksi serentak. Kemudian dilanjutkan doa untuk mereka berdua. Acara pernikahan yang sangat sederhana hanya dihadiri beberapa orang saja sebagai saksi. Hasna dengan polesan make up tipis natural tampak cantik. Keduanya kini telah menjadi sepasang suami isteri, sudah sah di mata agama. Fandi terlihat amat bahagia meski ada rasa sesak menyelimuti. Wanita ayu itu adalah cinta pertama yang berhasil memporakporandakan hatinya. Entah mengapa cintanya begitu dalam sejak pertama bertemu. Malam itu Fandi yang tengah berpesta merayakan kelulusannya bersama-temannya.
"Ayo Fand, jangan cemen begitu." Seru Alex sambil menyodorkan minuman keras.
"Mana berani dia minum, bro. Anak mami. Hahaha." Gelak tawa Jeri meremehkan.
"Betul, kalau saja tidak kita paksa mana mungkin akan mau ke sini. Ayolah bro pokoknya malam ini kita senang-senang,” tmpal Rudi disambung gelak tawa teman-tamannya mengangkat gelas berisi minuman yang sudah membuat mereka setengah sadar dan meneguknya bersamaan. Fandi yang sempat ragu, karena cemohan dan pojokan dari mereka akhirnya tergiur ikut menikmati pesta malam itu.
"Fandi, dimana kamu. Cepat pulang!" Bentak Yulia diseberang telepon. Fandi yang sudah setengah mabok mengakhiri pestanya. Menyetir dalam keadaan mabok membuat mobilnya limbung menabrak pohon besar dekat swalayan. Seorang wanita yang baru saja keluar swalayan berlari melihat kecelakan tunggal itu dan mencari bantuan. Dia adalah Hasna seorang pelayan swalayan toserba itu. Beberapa warga menolong dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
"Neng, saya pulang dulu yah."
"Saya juga, saya pulang."
Semuanya berpamitan pulang, tidak dengan Hasna. Ia merasa bertanggung jawab, sementara keluarga pemuda itu belum datang ia menunggu Fandi hingga pemuda itu siuman. Berawal dari kecelakaan tak disengaja itu tumbuh benih-benih cinta di hati. Senyuman Hasna yang manis mampu meluluhkan hati Fandi.
"Ehem, senyum-senyum ada apa?" Fandi menoleh, mengingat awal pertemuan mereka membuatnya tersenyum sendiri.
"Bahagia rasanya akhirnya kita sah menjadi suami isteri," Jawab Fandi seraya menarik Hasna kedalam pelukannya. Dadanya yang bidang membuat Hasna terasa nyaman.
"Bagaimana rencana kamu selanjutnya, tidak mungkin kita numpang bersama mamang terus."
"Ya, besok kita akan mencari kontrakan." Fandi sendiri bingung mereka akan tinggal dimana, sedangkan ia sendiri belum memiliki pekerjaan. Semua tabungannya sudah ia berikan untuk mahar Hasna. Itu syarat bi Rusti menyetujui pernikahannya. Ia meminta mahar yang besar dan biaya untuk menggelar acara mereka yang sangat sederhana.
"Bang, ma'af sebagian mahar darimu harus diserahkan ke bi Rusti katanya ia sedang sangat butuh. Tapi cukuplah untuk keperluan hidup kita, dan perhiasan ini bisa kita jual selagi kamu menambah-nambah selagi kita belum mendapat pekerjaan." Mereka berniat memulai semuanya dari nol. Ada rasa sesak bergelanyut dalam hati pemuda itu. Kini ia menyesal tidak mengindahkan ucapan papinya. Semenjak ia masih menjadi mahasiswa Surya selalu meminta Fandi untuk belajar mengelola perusahaan. Namun dengan pembelaan maminya ia hanya bersenang-senang saja, berfoya-foya. Ia pikir harta orang tuanya banyak tidak habis tujuh turunan, dan memiliki banyak karyawan kenapa harus susah bekerja? Sekarang ia mengerti pentingnya mandiri, bagi seorang lelaki pekerjaan adalah harga dirinya.
Siang itu mereka sampai di Jakarta dengan bantuan Andre sebelumnya untuk mencari sebuah rumah kontrakan.
"Sayang, aku akan pulang ke rumah dulu."
Wanita yang sedang beberes menoleh menghentikan aktifitasnya dengan senyum mengembang terlukis dibibir mungilnya.
"Kalau begitu aku siap-siap dulu." Sudah tidak sabar wanita itu bertemu dengan orang tua Fandi. Setidaknya mereka akan meminta restu secara langsung, karena pernikahan kemarin tidak ada orang tua maupun saudaranya yang hadir.
"Tidak, maksud aku tidak untuk sekarang. Oh iya, aku ingin meminta sesuatu darimu. Bisa?"
"Ada apa, apa ada yang kamu tutupi?" Binar mata Hasna meredup, ia merasa ada sesuatu pada diri suaminya itu.
"Tolong, hapus foto pernikahan kita yang kamu posting di sosmed. Tolong jaga pernikahan kita di jakarta sini, rahasiakan dari siapapun."
Hasna mengeryitkan dahi, "kenapa? Sekarang jujur saja padaku!"
Dengan berat hati Fandi menceritakan semuanya, ia tak ingin ada lagi yang ditutupi dari wanita yang sekarang sudah sah menjadi isterinya. Fandi yakin hubungan yang baik berawal dari kejujuran. Iamenunduk merutuki diri sendiri, kenapa tidak bilang dari awal. Ia benar-benar takut Hasna akan meninggalkannya.
"Yasudah, lebih baik kamu pulang sekarang. Orang tuamu pasti khawatir kamu tidak pulang beberapa hari." Hasna menyangka pernikahannya tanpa restu dari pihak suami. Bagaimana jika pernikahannya gagal seperti yang dulu? Ia tak ingin menyandang status sebagai janda lagi. Baru saja ia merasa di atas awan kini terasa terlempar begitu saja.
"Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri? Aku hanya sebentar. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku." Kini ia merasa lega, setidaknya Hasna sudah mengetahui beban yang berhari-hari lalu mengganjalnya.
Hasna terdiam dan mengangguk. Fandi mengecup keningnya sebelum pergi. "Hati-hati aku pergi dulu," ucap Fandi yang lagi-lagi hanya dijawab anggukan oleh Hasna.
Selang beberapa lama Andre datang menurutnya ia akan membantu Hasna membereskan semua yang masih tersisa.
"Tidak usah, sedikit lagi selesai. Aku bisa mengerjakannya sendiri. Terima kasih, tapi ma'af lebih baik kamu pulang, tidak baik seorang wanita sudah menikah bersama lelaki lain dalam satu rumah. Takut ada fitnah." Hasna menjelaskan dengan hati-hati, ia tak enak hati pada Andre yang sudah berniat baik.
"Iya, tidak apa-apa saya mengerti. Fandi yang menelponku untuk membantumu." Andre juga tidak habis pikir kenapa sahabatnya begitu mempercayakan segala sesuatu padanya, termasuk menjaga isterinya. Tidak takutkaj jika ia tikung? Andre tersenyum menggelengakan kepala memikirkan itu.
"Aku permisi dulu, Hasna. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya. Fandi sahabatku begitu juga kamu." Andre pamit meninggalkan Hasna yang berdiri didepan pintu.
Sudah hampir larut malam Fandi belum juga pulang membuat Hasna cemas. Ponselnya juga sulit dihubungi. Ingin menyusulnya tapi kemana? Ia juga tidak tahu rumah mertuanya. Sementara itu di seberang rumahnya sebuah mobil jeep hitam berhenti, sepasang matanya terus mengawasi rumah petak mereka dan menyeringai sinis.
Sudah hampir larut malam Fandi belum juga pulang membuat Hasna cemas. Ponselnya juga sulit dihubungi. Ingin menyusulnya tapi kemana? Ia juga tidak tahu rumah mertuanya. Sementara itu diseberang jalan ada sepasang mata yang tengah mengawasi rumah petak mereka. "Iya, juragan. Siap!" Seru lelaki dibalik mobil jeep itu menjawab telepon bosnya dan berlalu. Juragan Sardi masih belum terima atas pernikahan Hasna dengan Fandi. Ia merasa harga dirinya di injak- injak baru kali ini ada yang menolaknya. Juragan Sardi menyuruh anak buahnya untuk mengikuti kemana Hasna pergi dan mencari tahu siapa Fandi sebenarnya. "Kau harus jadi milikku Hasna!" geramnya kemudian terkekeh sendiri. Hasna yang lelah menunggu Fandi akhirnya tertidur. Tok tok tok!
"Hasna!" teriak Fandi dari dalam membuat mereka yang sedang mengobrol menoleh. Hasna semakin gelisah, pandangannya menatap ke seberang jalan. Mobil SUV hitam itu berhenti sejenak kemudian melaju kembali. Hasna menghela napas lega, ternyata seorang laki-laki keluar dari mobil itu membeli minuman di sebuah warung dan mobil kembali melaju. Ya, jelas dia bukan ibu mertuanya."Neng, ibu pulang dulu ya.""Saya juga, itu suamimu sudah manggil." Rima dan bu haji undur diri, mereka merasa tak enak karena panggilan Fandi tadi. Keduanya pun segera berlalu. Begitu pun Hasna gegas ia masuk menemui panggilan suaminya.Baru saja Hasna masuk dan menutup pintu, Fandi langsung menyerbunya, memeluk erat wanita itu."Ada apa, bang?" Dahi Hasna berkerut dalam di
Banyak pertanyaan dalam benak Hasna. Bukankah malam pertama menjadi keinginan setiap lelaki. Sebaliknya menjadi momok menakutkan bagi wanita. Namun ada apa dengan suaminya kini, apakah ia yang terlalu agresif? Tapi bukankah suaminya juga menginginkan? Ataukah lelaki disampingnya itu punya masalah kesehatan? Hasna menggelengkan kepala mencoba berpikir positif. 'Ini pasti yang pertama baginya, ah.. dasar anak manja. Sepolos itukah kamu. Belum rela melepas keperjakaannya.' Batin Hasna seraya mengulum senyum. Malam itu mereka habiskan dengan tidur saling membelakangi.Sementara itu, Yulia nampak kecewa apartemen itu kosong tidak ada Fandi disana. Ditelepon pun putranya tak memberi tahu kediamannya sekarang ini. Yulia sengaja menemui Fandi karena ada maksud tertentu. Ia ingin memberikan kartu kredit baru untuk putranya. Ia tahu Surya telah memblokir kartu kredit Fandi beserta menghentikan transferan uang jajan
"Benarkah begitu, apa disana terjadi sesuatu dengan Fandi?" cecar Surya. Deg.. Bagaimana ini? Andre bagai makan buah simalakama, apa yang harus dikatakan? "Eehh … em …" Andre menjawab gugup sembari berpikir apa yang harus di katakannya. Kedua tangan dan kakinya terasa dingin. "Hallo, Andre!" bentak Surya dari seberang telepon membuat Andre semakin gemetar. "Ti-tidak ada apa-apa, Om. Kami baik-baik saja. Maksud Om terjadi sesuatu bagaimana?" tanya Andre pura-pura. "Baiklah jika begitu. Om, percaya sama kamu. Aku hanya berharap jangan ada yang kau tutupi dari kami. Apapun perbuatan Fandi di luar sana yang menurutmu kurang pantas, bicarakanlah dengan kami. Fandi akhir-akhir ini sulit di atur. Om, sangat percaya
"Siapa mereka?" Hasna mencoba mengingat-ngingat dua orang itu. Sepertinya ia mengenal kedua orang itu. Namun tidak terlalu jelas, wajah mereka tertutup helm rapat, ia hanya merasa mengenalnya dari postur tubuh mereka. Salah satu dari mereka berbadan besar dan satunya lagi kurus tinggi dan keduanya memakai jaket hitam dan bercelana jeans sobek bagian lutut. Segera ditepisnya pikiran negatifnya itu. "Ah, mungkin saja orang sini, tapi kenapa berbadan besar itu sepertinya menunjuk-nunjuk Fandi dan kemudian mengikutinya? dan sudah sejak subuh motor mereka juga sudah ada diujung jalan."Hasna hanya berdo'a, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suaminya.Setelah beberapa menit, Fandi sampai ditempat yang sudah dijanjikan oleh Andre. Cafe tempat biaaa mereka nongkrong, tidak jauh dari kantor Andre. Pemuda itu segera menuju meja dimana seorang pemuda duduk seorang
"Aku pengennya sekarang, obat lelah biar tidur kita tambah nyenyak." Fandi mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum seraya membuka pakaiannya. Hasna hanya pasrah apa yang akan dilakukan suaminya."Paling juga gagal lagi, lelaki itu hanya bisa mendekatinya saja. Tidak berani mencampurinya," batin Hasna, maka ia membiarkan tangan suaminya berkelana kemana-mana dan mencium setiap inci tubuh indah miliknya. Hasna mulai mendesah menikmati, tapi tiba-tiba Fandi terbangun dan berlalu ke dapur. Hasna hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Ia sudah tahu lelaki itu pasti belum berani melakukannya.Sementara Fandi di dapur membuat teh hangat untuk Hasna."Ma'afkan aku, sayang," ucapnya lirih seraya mengeluarkan satu butir pil dari plastik kecil dan mencampurinya ke dalam teh hangat yang akan ia berikan untuk sang ist
Fandi menyusuri gang kecil menuju lapangan yang lebih luas dimana mobilnya terparkir. Gang kecil itu hanya bisa dilalui satu motor sehingga terpaksa semalam mobil itu diparkir lumayan jauh dari rumahnya.Sesampainya di lapangan kedua mata Fandi terbelalak, pupilnya seperti akan keluar. Kedua tangannya mengepal erat terlihat otot-otot kekarnya keluar, setelah melihat dimana mobil itu berada."Citra!" Wanita yang dipanggilnya menoleh, segera tangannya menepis pada dua pria berbadan besar tanda ia menyuruhnya segera pergi."Owh, jadi kamu yang mengikutiku. Mereka orang-orang suruhanmu?" tanya Fandi marah. Citra bergeming bingung apa yang dituduhkan Fandi padanya."Jawab, Cit! Mengakulah!" gertak Fandi mulai meninggi suaranya.
Mendengar jawaban Yulia dan Surya membuat Fandi bingung dengan apa yang terjadi, dahinya mengeryit dalam. Jika bukan mereka atau Citra, lalu siapa yang selama ini menguntitnya hingga ia terpaksa harus pindah. Namun pada akhirnya ia hanya berpikir positif saja. Mungkinkah hanya persasann ia saja? Dering ponsel Fandi di dalam kantong celana jeansnay terdengar nyaring menyadarkan lamunan sesaat. Setelah dilihat siapa sang penelpon ternyata Hasna. Ia mematikan panggilan dari istrinya. "Mih, Pih, aku pamit dulu. Jangan khawatir aku baik-baik saja. Pasti aku akan sering main-main kesini. Jika mami kangen panggil saja, aku yang akan datang. Mami tak perlu mencariku." Setelah mengucapkan pamit Fandi mengecup tangan Surya dan Yulia dengan takzim. Yulia sedikit kecewa ingin protes baru saja mereka bertemu dan harus ditingg
"Batalkan saja. Bilang saja sudah tidak menerima karyawan baru untuk di bagian mana pun." Meskipun ragu akan keputusannya, lelaki paruh baya itu berbicara dengan tegas. "Tapi, pak hari ini …"Belum selesai berbicara sambungan telepon sudah diputus secara sepihak. Itulah kebiasaan Surya selalu memutuskan sambungan secara sepihak. Rencana Surya gagal,terpatahkan oleh pendapat istrinya. Surya bekerja sama dengan Andre agar Fandi memulai semuanya dari nol. Meskipun anak sendiri, ia ingin Fandi bekerja dengan sungguh-sungguh. Dimulai dari jabatan yang dianggap sebagian orang rendah. Karena Fandi anak lelaki satu-satunya, lelaki paruh baya itu ingin menguji mentalnya. "Tidak! Aku tidak terima Fandi harus menjadi pelayan di kantor kita sendiri. Seharusnya dia yang jadi Bosnya." Yulia murka mengetahui rencana suaminya. "Batalkan, pih!" protesnya lagi.Tatapannya tajam mengarah ke Surya. Tidak habis pikir bagaimana mungkin suaminya merencanakan sesuatu di belakangnya. Beruntung ia sendir
Setelah menemukan yang dicari Fandi segera ke arah dapur dan mengeluarkan butiran dalam kemasan plastik itu. Perlahan ia masukan ke dalam gelas kaca."Kenapa obat itu dicampurkan pada minuman itu? Apa obat itu sebenarnya untukku?" Hasna hanya membatin melihat apa yang dilakukan Fandi dari balik gorden yang menjadi pembatas antara ruang tidur dan dapur. "Sebenarnya obat apa itu? Ada rahasia apa? Berbagai pertanyaan dalam benak Hasna. Memang kemasan obat itu kosong tak ada tulisan atau petunjuk pemakaian apapun. Hanya ada beberapa butir dalam plastik kecil itu. "Ehem..!"Sengaja Hasna mengeluarkan suaranya keras. Kemudian ia berjalan perlahan menghampiri Fandi yang berdiri terpaku. Tanpa sengaja lelaki itu menjatuhkan obat dalam genggaman tangannya. Tampak raut wajahnya putih memucat, tangannya bergetar. "Apa ini?" Hasna bertanya seraya membungkuk mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai. "Emm.. itu.. itu." Lidah Fandi terasa kelu untuk menjelaskannya. "Ku mohon, jangan salah paham
Perdebatan yang terjadi dengan suaminya, membuat Hasna menjadi malas melakukan apapun. Apalagi melihat sarapan sudah susah payah dibuat tidak tersentuh sama sekali oleh Fandi. Niatnya akan memasak menjadi urung.Rebahan di depan televisi yang menyala tapi entah pikirannya kemana. Karena bosan juga hanya berguling di lantai, akhirnya Hasna memutuskan untuk merapikan dan membereskan rumah mungil itu. Dimulai dari kamar mandi, ia sikat bersih dan wangi. Dilanjutkan merapikan dapur yang hanya ada kompor satu tungku di atas meja.Setelah itu ruang tengah, dimana terdapat kasur lantai tempat mereka tidur, dan ruang depan yang hanya ada televisi dan kulkas. Semua ruangan ia sapu bersih dan di pel. Sampai akhirnya tertuju pada lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka karena tadi Fandi mengambil jaket sebelum pergi.
"Hush, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya dengar, loh! Tak baik juga ngomongin orang," potong bu Sri pemilik warung seraya mengacungkan jari telunjuknya menutup mulutnya sendiri. Spontan membuat ibu-ibu yang sedang bergosip terdiam sesaat dan saling melirik satu sama lain. Baru sadar jika Hasna belum dari tempat mereka berkumpul membicarakannya.Demi tidak ingin mendengar pembicaraan yang tidak mengenakan tentang dirinya, kaki jenjang Hasna mengurai langkah lebar-lebar. Ia berjalan cepat meninggalkan orang-orang yang sedang asyik membicarakan tentang dirinya. Hatinya begitu kesal dengan sikap mereka, baru sebulan tinggal daerah sini sudah menjadi pembicaraan umum. Apakah kebiasan warga sini senang bergosip? Pikirnya dan berlalu. Ingin segera ia cepat sampai ke rumah.Sesampainya di rumah, terlihat Fandi masih asyik dengan ponsel dalam genggamanny
Sudah hampir sebulan Fandi juga masih belum juga bekerja. Kesehariannya hanya bermain game online. Hasna mulai gemas dengan suaminya. Bukannya keluar mencari pekerjaan melainkan hanya dirumah saja."Bang, tabungan semakin menipis. Bukannya kamu sudah janji akan mencari pekerjaan, kalau di rumah terus bagaimana bisa dapat kerja," keluh Hasna sembari tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang berserakan di lantai."Hmm.." jawab lelaki yang tengah asyik bermain game diponselnya."Bang!" panggil Hasna lagi merasa ucapannya tak didengarnya, geram sendiri melihat tingkah suaminya yang nampak acuh.Pasalnya keuangan mereka benar-benar semakin menipis dengan pengeluaran sehari-hari tanpa pemasukan. Diam-diam juga Hasna mencari pekerjaan, bertanya-tanya sekiranya a
Mendengar jawaban Yulia dan Surya membuat Fandi bingung dengan apa yang terjadi, dahinya mengeryit dalam. Jika bukan mereka atau Citra, lalu siapa yang selama ini menguntitnya hingga ia terpaksa harus pindah. Namun pada akhirnya ia hanya berpikir positif saja. Mungkinkah hanya persasann ia saja? Dering ponsel Fandi di dalam kantong celana jeansnay terdengar nyaring menyadarkan lamunan sesaat. Setelah dilihat siapa sang penelpon ternyata Hasna. Ia mematikan panggilan dari istrinya. "Mih, Pih, aku pamit dulu. Jangan khawatir aku baik-baik saja. Pasti aku akan sering main-main kesini. Jika mami kangen panggil saja, aku yang akan datang. Mami tak perlu mencariku." Setelah mengucapkan pamit Fandi mengecup tangan Surya dan Yulia dengan takzim. Yulia sedikit kecewa ingin protes baru saja mereka bertemu dan harus ditingg
Fandi menyusuri gang kecil menuju lapangan yang lebih luas dimana mobilnya terparkir. Gang kecil itu hanya bisa dilalui satu motor sehingga terpaksa semalam mobil itu diparkir lumayan jauh dari rumahnya.Sesampainya di lapangan kedua mata Fandi terbelalak, pupilnya seperti akan keluar. Kedua tangannya mengepal erat terlihat otot-otot kekarnya keluar, setelah melihat dimana mobil itu berada."Citra!" Wanita yang dipanggilnya menoleh, segera tangannya menepis pada dua pria berbadan besar tanda ia menyuruhnya segera pergi."Owh, jadi kamu yang mengikutiku. Mereka orang-orang suruhanmu?" tanya Fandi marah. Citra bergeming bingung apa yang dituduhkan Fandi padanya."Jawab, Cit! Mengakulah!" gertak Fandi mulai meninggi suaranya.
"Aku pengennya sekarang, obat lelah biar tidur kita tambah nyenyak." Fandi mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum seraya membuka pakaiannya. Hasna hanya pasrah apa yang akan dilakukan suaminya."Paling juga gagal lagi, lelaki itu hanya bisa mendekatinya saja. Tidak berani mencampurinya," batin Hasna, maka ia membiarkan tangan suaminya berkelana kemana-mana dan mencium setiap inci tubuh indah miliknya. Hasna mulai mendesah menikmati, tapi tiba-tiba Fandi terbangun dan berlalu ke dapur. Hasna hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Ia sudah tahu lelaki itu pasti belum berani melakukannya.Sementara Fandi di dapur membuat teh hangat untuk Hasna."Ma'afkan aku, sayang," ucapnya lirih seraya mengeluarkan satu butir pil dari plastik kecil dan mencampurinya ke dalam teh hangat yang akan ia berikan untuk sang ist
"Siapa mereka?" Hasna mencoba mengingat-ngingat dua orang itu. Sepertinya ia mengenal kedua orang itu. Namun tidak terlalu jelas, wajah mereka tertutup helm rapat, ia hanya merasa mengenalnya dari postur tubuh mereka. Salah satu dari mereka berbadan besar dan satunya lagi kurus tinggi dan keduanya memakai jaket hitam dan bercelana jeans sobek bagian lutut. Segera ditepisnya pikiran negatifnya itu. "Ah, mungkin saja orang sini, tapi kenapa berbadan besar itu sepertinya menunjuk-nunjuk Fandi dan kemudian mengikutinya? dan sudah sejak subuh motor mereka juga sudah ada diujung jalan."Hasna hanya berdo'a, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suaminya.Setelah beberapa menit, Fandi sampai ditempat yang sudah dijanjikan oleh Andre. Cafe tempat biaaa mereka nongkrong, tidak jauh dari kantor Andre. Pemuda itu segera menuju meja dimana seorang pemuda duduk seorang