"Hasna!" teriak Fandi dari dalam membuat mereka yang sedang mengobrol menoleh. Hasna semakin gelisah, pandangannya menatap ke seberang jalan. Mobil SUV hitam itu berhenti sejenak kemudian melaju kembali. Hasna menghela napas lega, ternyata seorang laki-laki keluar dari mobil itu membeli minuman di sebuah warung dan mobil kembali melaju. Ya, jelas dia bukan ibu mertuanya.
"Neng, ibu pulang dulu ya."
"Saya juga, itu suamimu sudah manggil." Rima dan bu haji undur diri, mereka merasa tak enak karena panggilan Fandi tadi. Keduanya pun segera berlalu. Begitu pun Hasna gegas ia masuk menemui panggilan suaminya.
Baru saja Hasna masuk dan menutup pintu, Fandi langsung menyerbunya, memeluk erat wanita itu.
"Ada apa, bang?" Dahi Hasna berkerut dalam diliputi rasa penasaran.
"Barusan mami telepon dan ternyata mami datang ke Apartemen, mami kira aku menginap di apartemen selama ini. Ah, kenapa aku tadi panik banget tidak bertanya dulu. Untung saja kita langsung mengontrak meski rumah petak ini kecil setidaknya mami tidak akan tahu." Fandi melepaskan pelukannya, masih terukir senyum di bibirnya.
"Cepat atau lambat mami pasti akan tahu, kita hanya beruntung saja untuk hari ini. Apa kamu yakin mami tidak akan berusaha mencari tahu keberadaanmu?"
Meskipun kini mereka bernapas lega tidak lantas membuat Hasna tenang, karena ia sangat yakin. Orang tua Fandi pasti akan mencari tahu. Menemukan mereka, bukankah membayar orang untuk mengikuti anak mereka itu sangat mudah?
"Ya, kamu benar sekali. Sementara ini aku hanya bisa mengulur waktu, aku akan sering mengunjunginya. Jadi tidak alasan dia menemuiku karena merindukanku," ucap Fandi seraya merebahkan dirinya di kasur.
Hasna masih bergeming, sampai kapan lelaki itu akan mengulur waktu. Ia hanya berharap lelaki itu segera berterus terang saja kepada keluarganya. Kali ini mereka beruntung tapi tidak menutup kemungkinan lain kali, entahlah…
Diraihnya handuk yang menggantung di dinding. Ia memutuskan untuk mandi, setidaknya air dingin mampu mengobati rasa gelisahnya sedari tadi. Namun langkahnya terhenti dan menoleh mendengar ucapan Fandi.
"Bagaimana kalau setiap bulan kita pindah rumah," ucapan Fandi membuat kening berkerut sekali lagi. Bagaimana mungkin lelaki itu memiliki ide konyol seperti itu.
"Seperti kucing saja pindah-pindah," jawab Hasna ketus. Fandi hanya terkekeh mendengarnya, meskipun membenarkan juga jawaban isterinya. Sampai kapan mereka akan terus menghindar. Seakan bermain kucing-kucingan dengan orang tuanya. Lama Fandi berpikir rencana-rencana selanjutnya sampai ia tak sadar Hasna sudah selesai mandi. Bau sabun Hasna menguar dihidungnya membuat lelaki itu menoleh.
"Kok sudah mandi, sayang. Bukankah seharusnya kita lanjutkan permainan tadi yang tertunda? Yuk kita lanjut." Fandi mengerdipkan sebelah mata menggoda.
"Udah gak pengin, sebentar lagi magrib. Lagian kamu juga sudah mandi kan?"
Jawaban ketus Hasna membuat Fandi mengalah.
Setelah menyisir rambutnya yang masih basah, Hasna berlalu ke dapur memasak untuk makan malam mereka. Beruntung pamannya memberi bekal sekarung beras, dan beberapa ikat kacang panjang hasil dari kebun sendiri. Menu makan malam ini sangat sederhana, berhubung mereka belum sempat berbelanja. Bumbu juga seadanya, yang ia beli tadi siang di tukang sayur, karena kesiangan semua belanjaan sudah habis. Hasna hanya dapat cabe merah, bawang merah, bawang putih dan tempe sepapan.
Semua bumbu ia iris tipis. Kemudian ia tumis dulu bawang putih dan taburi garam secukupnya agar baunya sedap. Setelah itu bawang merah dan cabe. Kemudian baru potongan kacang panjang. Tumis kacang panjang dan tempe goreng menu yang sangat sederhana. Hasna yang terbiasa makan seadanya tidak masalah. Wanita itu menoleh sesaat ke suaminya yang sedang menonton TV. Rumah kontrakan tiga petak, yang terdiri dari ruang tamu, ruang tengah dan kamar mandi. Tidak banyak perabotan yang ada, hanya ada kasur, lemari plastik, televisi 14 in, dan kompor. Itupun Andre yang berinisiatif memberi fasilitas seadanya karena permintaan Fandi yang mendadak.
"Bang, hanya ada lauk ini," ucap Hasna ragu membawa semangkuk tumis kacang dan tempe goreng tang baru saja selesai dimasaknya.
"Tidak apa-apa ini saja sudah enak. Ah, sedap sekali baunya." Hidung Fandi membaui hidangan didepannya. Lelaki itu sebenarnya ingin memesan gofood saja. Tapi tak enak pada isterinya yang sudah memasak. Mau tidak mau ia harus memakannya walau sedikit demi menyenangkan hati Hasna.
Disaat makan malam mereka berlangsung, ponsel Fandi yang sedang di changer berdering nyaring. Seketika mereka membuat acara makan mereka terhenti. Gegas Fandi melihat isi pesan tersebut, papi.
[Apa-apaan ini Fandi!] Disertai file gambar yang membuatnya kedua matanya membelalak.
[Karena kamu sudah memilih jalanmu sendiri, maka papi akan memblokir semua kartu kreditmu. Semoga kesuksesan menghampirimu.]
Pesan singkat dari papi membuatnya panik, bagaimana ia akan menghidupi dirinya dan isterinya, jika tranferan dan kartu kredit dihentikan. Walaupun ia sesumbar akan mandiri dan mencari pekerjaan tapi sesungguhnya ia belum siap jika semua fasilitasnya yang didapatkan dari orang tua selama ini dihentikan mendadak seperti ini.
Tut..tut..tut..
Berkali-kali Fandi menelepon tapi sambungan terputus. 'Bukankah kepergiannya tadi pagi secara baik-baik dan mereka menyetujuinya, kenapa jadi seperti ini.' Batin Fandi tak terima. Dipandanginya makanan yang belum habis didepannya. 'Apakah mulai sekarang aku akan terbiasa dengan makanan seperti ini?' Pikiran yang kacau membuat lelaki itu menyedon nasi lebih banyak lagi, bahkan ia menambah makannya.
"Jangan buru-buru makannya, kalau tidak suka jangan dihabiskan. Kamu bisa pesan makanan direstoran," ucap Hasna merasa suaminya sedang tidak baik-baik saja. Kemudian meraih ponsel Fandi yang tergeletak disampingnya.
"Kamu pasti bisa, sayang. Kita akan melewatinya bersama-sama. Sejatinya setelah berkeluarga memang harus mandiri. Menghidupi ekonomi keluarganya sendiri. Apapun masalahnya hadapi bersama pasangan. Orang tua sudah tidak perlu ikut campur, apalagi memfasilitasi ekonomi anakya. Sudah tidak perlu," terang Hasna mencoba memberi pengertian.
Fandi terdiam, ia membenarkan ucapan isterinya.
"Besok aku akan mencari pekerjaan," sela Hasna sembari membereskan piring. Bgaimanapun lelaki itu adalah pilihannya. Sebelumnya ia juga bertekad walau sudah menikah nanti selama belum memiliki momogan ia akan kembali bekerja.
"Tidak usah, biar aku saja yang mencari kerja," ucap Fandi menyungingkan senyum tipis.
Malam itu mereka habiskan dengan mengobrol santai sembari menonton TV. Lelah mengobrol, Fandi bersiap untuk tidur. Namun matanya kembali melebar melihat Hasna begitu seksi dengan lingerie hitam dengan bahan menerawang, hanya tertutup dibagian intim saja. Sengaja Hasna menggoda mengenakannya untuk menggoda Fandi sekaligus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang isteri. Lampu sudah siap Hasna matikan, tentu saja jiwa lelaki Fandi tak bisa dibendung lagi. Bagai kucing kelaparan tak menunggu lama lagi, Fandi membuka semua pakaiannya dan langsung menyerbunya. Menikmati setiap inci tubuh isterinya. Perlahan ia lepaskan lingerie itu, hingga tak ada lagi penghalang diantara keduanya. Hingga penyatuan tubuh itu akan berlangsung, Fandi segera menyudahi aktivitasnya. Gegas lelaki itu ke kamar mandi, mengeluarkan cairan yang sedari tadi dipendam. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya sekarang. Hasna mengehela napas, ia kecewa sekaligus penasaran. Kenapa lelaki itu hanya mencumbunya saja kenapa tak melakukannya yang lebih. Padahal dirinya sudah mulai bergairah. Lagi-lagi ia harus kecewa karena malam ini gagal lagi. Fandi kembali ke kamar segera mengenakan pakaian kembali dan berselimut.
"Ma'af, sayang. Aku tadi kebelet. Sudah malam lebih baik sekarang kita tidur saja." Alasan Fandi menyudahi aktivitasnya, kemudian tidur membelakangi Hasna.
Banyak pertanyaan dalam benak Hasna. Bukankah malam pertama menjadi keinginan setiap lelaki. Sebaliknya menjadi momok menakutkan bagi wanita. Namun ada apa dengan suaminya kini, apakah ia yang terlalu agresif? Tapi bukankah suaminya juga menginginkan? Ataukah lelaki disampingnya itu punya masalah kesehatan? Hasna menggelengkan kepala mencoba berpikir positif. 'Ini pasti yang pertama baginya, ah.. dasar anak manja. Sepolos itukah kamu. Belum rela melepas keperjakaannya.' Batin Hasna seraya mengulum senyum.
Banyak pertanyaan dalam benak Hasna. Bukankah malam pertama menjadi keinginan setiap lelaki. Sebaliknya menjadi momok menakutkan bagi wanita. Namun ada apa dengan suaminya kini, apakah ia yang terlalu agresif? Tapi bukankah suaminya juga menginginkan? Ataukah lelaki disampingnya itu punya masalah kesehatan? Hasna menggelengkan kepala mencoba berpikir positif. 'Ini pasti yang pertama baginya, ah.. dasar anak manja. Sepolos itukah kamu. Belum rela melepas keperjakaannya.' Batin Hasna seraya mengulum senyum. Malam itu mereka habiskan dengan tidur saling membelakangi.Sementara itu, Yulia nampak kecewa apartemen itu kosong tidak ada Fandi disana. Ditelepon pun putranya tak memberi tahu kediamannya sekarang ini. Yulia sengaja menemui Fandi karena ada maksud tertentu. Ia ingin memberikan kartu kredit baru untuk putranya. Ia tahu Surya telah memblokir kartu kredit Fandi beserta menghentikan transferan uang jajan
"Benarkah begitu, apa disana terjadi sesuatu dengan Fandi?" cecar Surya. Deg.. Bagaimana ini? Andre bagai makan buah simalakama, apa yang harus dikatakan? "Eehh … em …" Andre menjawab gugup sembari berpikir apa yang harus di katakannya. Kedua tangan dan kakinya terasa dingin. "Hallo, Andre!" bentak Surya dari seberang telepon membuat Andre semakin gemetar. "Ti-tidak ada apa-apa, Om. Kami baik-baik saja. Maksud Om terjadi sesuatu bagaimana?" tanya Andre pura-pura. "Baiklah jika begitu. Om, percaya sama kamu. Aku hanya berharap jangan ada yang kau tutupi dari kami. Apapun perbuatan Fandi di luar sana yang menurutmu kurang pantas, bicarakanlah dengan kami. Fandi akhir-akhir ini sulit di atur. Om, sangat percaya
"Siapa mereka?" Hasna mencoba mengingat-ngingat dua orang itu. Sepertinya ia mengenal kedua orang itu. Namun tidak terlalu jelas, wajah mereka tertutup helm rapat, ia hanya merasa mengenalnya dari postur tubuh mereka. Salah satu dari mereka berbadan besar dan satunya lagi kurus tinggi dan keduanya memakai jaket hitam dan bercelana jeans sobek bagian lutut. Segera ditepisnya pikiran negatifnya itu. "Ah, mungkin saja orang sini, tapi kenapa berbadan besar itu sepertinya menunjuk-nunjuk Fandi dan kemudian mengikutinya? dan sudah sejak subuh motor mereka juga sudah ada diujung jalan."Hasna hanya berdo'a, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suaminya.Setelah beberapa menit, Fandi sampai ditempat yang sudah dijanjikan oleh Andre. Cafe tempat biaaa mereka nongkrong, tidak jauh dari kantor Andre. Pemuda itu segera menuju meja dimana seorang pemuda duduk seorang
"Aku pengennya sekarang, obat lelah biar tidur kita tambah nyenyak." Fandi mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum seraya membuka pakaiannya. Hasna hanya pasrah apa yang akan dilakukan suaminya."Paling juga gagal lagi, lelaki itu hanya bisa mendekatinya saja. Tidak berani mencampurinya," batin Hasna, maka ia membiarkan tangan suaminya berkelana kemana-mana dan mencium setiap inci tubuh indah miliknya. Hasna mulai mendesah menikmati, tapi tiba-tiba Fandi terbangun dan berlalu ke dapur. Hasna hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Ia sudah tahu lelaki itu pasti belum berani melakukannya.Sementara Fandi di dapur membuat teh hangat untuk Hasna."Ma'afkan aku, sayang," ucapnya lirih seraya mengeluarkan satu butir pil dari plastik kecil dan mencampurinya ke dalam teh hangat yang akan ia berikan untuk sang ist
Fandi menyusuri gang kecil menuju lapangan yang lebih luas dimana mobilnya terparkir. Gang kecil itu hanya bisa dilalui satu motor sehingga terpaksa semalam mobil itu diparkir lumayan jauh dari rumahnya.Sesampainya di lapangan kedua mata Fandi terbelalak, pupilnya seperti akan keluar. Kedua tangannya mengepal erat terlihat otot-otot kekarnya keluar, setelah melihat dimana mobil itu berada."Citra!" Wanita yang dipanggilnya menoleh, segera tangannya menepis pada dua pria berbadan besar tanda ia menyuruhnya segera pergi."Owh, jadi kamu yang mengikutiku. Mereka orang-orang suruhanmu?" tanya Fandi marah. Citra bergeming bingung apa yang dituduhkan Fandi padanya."Jawab, Cit! Mengakulah!" gertak Fandi mulai meninggi suaranya.
Mendengar jawaban Yulia dan Surya membuat Fandi bingung dengan apa yang terjadi, dahinya mengeryit dalam. Jika bukan mereka atau Citra, lalu siapa yang selama ini menguntitnya hingga ia terpaksa harus pindah. Namun pada akhirnya ia hanya berpikir positif saja. Mungkinkah hanya persasann ia saja? Dering ponsel Fandi di dalam kantong celana jeansnay terdengar nyaring menyadarkan lamunan sesaat. Setelah dilihat siapa sang penelpon ternyata Hasna. Ia mematikan panggilan dari istrinya. "Mih, Pih, aku pamit dulu. Jangan khawatir aku baik-baik saja. Pasti aku akan sering main-main kesini. Jika mami kangen panggil saja, aku yang akan datang. Mami tak perlu mencariku." Setelah mengucapkan pamit Fandi mengecup tangan Surya dan Yulia dengan takzim. Yulia sedikit kecewa ingin protes baru saja mereka bertemu dan harus ditingg
Sudah hampir sebulan Fandi juga masih belum juga bekerja. Kesehariannya hanya bermain game online. Hasna mulai gemas dengan suaminya. Bukannya keluar mencari pekerjaan melainkan hanya dirumah saja."Bang, tabungan semakin menipis. Bukannya kamu sudah janji akan mencari pekerjaan, kalau di rumah terus bagaimana bisa dapat kerja," keluh Hasna sembari tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang berserakan di lantai."Hmm.." jawab lelaki yang tengah asyik bermain game diponselnya."Bang!" panggil Hasna lagi merasa ucapannya tak didengarnya, geram sendiri melihat tingkah suaminya yang nampak acuh.Pasalnya keuangan mereka benar-benar semakin menipis dengan pengeluaran sehari-hari tanpa pemasukan. Diam-diam juga Hasna mencari pekerjaan, bertanya-tanya sekiranya a
"Hush, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya dengar, loh! Tak baik juga ngomongin orang," potong bu Sri pemilik warung seraya mengacungkan jari telunjuknya menutup mulutnya sendiri. Spontan membuat ibu-ibu yang sedang bergosip terdiam sesaat dan saling melirik satu sama lain. Baru sadar jika Hasna belum dari tempat mereka berkumpul membicarakannya.Demi tidak ingin mendengar pembicaraan yang tidak mengenakan tentang dirinya, kaki jenjang Hasna mengurai langkah lebar-lebar. Ia berjalan cepat meninggalkan orang-orang yang sedang asyik membicarakan tentang dirinya. Hatinya begitu kesal dengan sikap mereka, baru sebulan tinggal daerah sini sudah menjadi pembicaraan umum. Apakah kebiasan warga sini senang bergosip? Pikirnya dan berlalu. Ingin segera ia cepat sampai ke rumah.Sesampainya di rumah, terlihat Fandi masih asyik dengan ponsel dalam genggamanny
"Batalkan saja. Bilang saja sudah tidak menerima karyawan baru untuk di bagian mana pun." Meskipun ragu akan keputusannya, lelaki paruh baya itu berbicara dengan tegas. "Tapi, pak hari ini …"Belum selesai berbicara sambungan telepon sudah diputus secara sepihak. Itulah kebiasaan Surya selalu memutuskan sambungan secara sepihak. Rencana Surya gagal,terpatahkan oleh pendapat istrinya. Surya bekerja sama dengan Andre agar Fandi memulai semuanya dari nol. Meskipun anak sendiri, ia ingin Fandi bekerja dengan sungguh-sungguh. Dimulai dari jabatan yang dianggap sebagian orang rendah. Karena Fandi anak lelaki satu-satunya, lelaki paruh baya itu ingin menguji mentalnya. "Tidak! Aku tidak terima Fandi harus menjadi pelayan di kantor kita sendiri. Seharusnya dia yang jadi Bosnya." Yulia murka mengetahui rencana suaminya. "Batalkan, pih!" protesnya lagi.Tatapannya tajam mengarah ke Surya. Tidak habis pikir bagaimana mungkin suaminya merencanakan sesuatu di belakangnya. Beruntung ia sendir
Setelah menemukan yang dicari Fandi segera ke arah dapur dan mengeluarkan butiran dalam kemasan plastik itu. Perlahan ia masukan ke dalam gelas kaca."Kenapa obat itu dicampurkan pada minuman itu? Apa obat itu sebenarnya untukku?" Hasna hanya membatin melihat apa yang dilakukan Fandi dari balik gorden yang menjadi pembatas antara ruang tidur dan dapur. "Sebenarnya obat apa itu? Ada rahasia apa? Berbagai pertanyaan dalam benak Hasna. Memang kemasan obat itu kosong tak ada tulisan atau petunjuk pemakaian apapun. Hanya ada beberapa butir dalam plastik kecil itu. "Ehem..!"Sengaja Hasna mengeluarkan suaranya keras. Kemudian ia berjalan perlahan menghampiri Fandi yang berdiri terpaku. Tanpa sengaja lelaki itu menjatuhkan obat dalam genggaman tangannya. Tampak raut wajahnya putih memucat, tangannya bergetar. "Apa ini?" Hasna bertanya seraya membungkuk mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai. "Emm.. itu.. itu." Lidah Fandi terasa kelu untuk menjelaskannya. "Ku mohon, jangan salah paham
Perdebatan yang terjadi dengan suaminya, membuat Hasna menjadi malas melakukan apapun. Apalagi melihat sarapan sudah susah payah dibuat tidak tersentuh sama sekali oleh Fandi. Niatnya akan memasak menjadi urung.Rebahan di depan televisi yang menyala tapi entah pikirannya kemana. Karena bosan juga hanya berguling di lantai, akhirnya Hasna memutuskan untuk merapikan dan membereskan rumah mungil itu. Dimulai dari kamar mandi, ia sikat bersih dan wangi. Dilanjutkan merapikan dapur yang hanya ada kompor satu tungku di atas meja.Setelah itu ruang tengah, dimana terdapat kasur lantai tempat mereka tidur, dan ruang depan yang hanya ada televisi dan kulkas. Semua ruangan ia sapu bersih dan di pel. Sampai akhirnya tertuju pada lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka karena tadi Fandi mengambil jaket sebelum pergi.
"Hush, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya dengar, loh! Tak baik juga ngomongin orang," potong bu Sri pemilik warung seraya mengacungkan jari telunjuknya menutup mulutnya sendiri. Spontan membuat ibu-ibu yang sedang bergosip terdiam sesaat dan saling melirik satu sama lain. Baru sadar jika Hasna belum dari tempat mereka berkumpul membicarakannya.Demi tidak ingin mendengar pembicaraan yang tidak mengenakan tentang dirinya, kaki jenjang Hasna mengurai langkah lebar-lebar. Ia berjalan cepat meninggalkan orang-orang yang sedang asyik membicarakan tentang dirinya. Hatinya begitu kesal dengan sikap mereka, baru sebulan tinggal daerah sini sudah menjadi pembicaraan umum. Apakah kebiasan warga sini senang bergosip? Pikirnya dan berlalu. Ingin segera ia cepat sampai ke rumah.Sesampainya di rumah, terlihat Fandi masih asyik dengan ponsel dalam genggamanny
Sudah hampir sebulan Fandi juga masih belum juga bekerja. Kesehariannya hanya bermain game online. Hasna mulai gemas dengan suaminya. Bukannya keluar mencari pekerjaan melainkan hanya dirumah saja."Bang, tabungan semakin menipis. Bukannya kamu sudah janji akan mencari pekerjaan, kalau di rumah terus bagaimana bisa dapat kerja," keluh Hasna sembari tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang berserakan di lantai."Hmm.." jawab lelaki yang tengah asyik bermain game diponselnya."Bang!" panggil Hasna lagi merasa ucapannya tak didengarnya, geram sendiri melihat tingkah suaminya yang nampak acuh.Pasalnya keuangan mereka benar-benar semakin menipis dengan pengeluaran sehari-hari tanpa pemasukan. Diam-diam juga Hasna mencari pekerjaan, bertanya-tanya sekiranya a
Mendengar jawaban Yulia dan Surya membuat Fandi bingung dengan apa yang terjadi, dahinya mengeryit dalam. Jika bukan mereka atau Citra, lalu siapa yang selama ini menguntitnya hingga ia terpaksa harus pindah. Namun pada akhirnya ia hanya berpikir positif saja. Mungkinkah hanya persasann ia saja? Dering ponsel Fandi di dalam kantong celana jeansnay terdengar nyaring menyadarkan lamunan sesaat. Setelah dilihat siapa sang penelpon ternyata Hasna. Ia mematikan panggilan dari istrinya. "Mih, Pih, aku pamit dulu. Jangan khawatir aku baik-baik saja. Pasti aku akan sering main-main kesini. Jika mami kangen panggil saja, aku yang akan datang. Mami tak perlu mencariku." Setelah mengucapkan pamit Fandi mengecup tangan Surya dan Yulia dengan takzim. Yulia sedikit kecewa ingin protes baru saja mereka bertemu dan harus ditingg
Fandi menyusuri gang kecil menuju lapangan yang lebih luas dimana mobilnya terparkir. Gang kecil itu hanya bisa dilalui satu motor sehingga terpaksa semalam mobil itu diparkir lumayan jauh dari rumahnya.Sesampainya di lapangan kedua mata Fandi terbelalak, pupilnya seperti akan keluar. Kedua tangannya mengepal erat terlihat otot-otot kekarnya keluar, setelah melihat dimana mobil itu berada."Citra!" Wanita yang dipanggilnya menoleh, segera tangannya menepis pada dua pria berbadan besar tanda ia menyuruhnya segera pergi."Owh, jadi kamu yang mengikutiku. Mereka orang-orang suruhanmu?" tanya Fandi marah. Citra bergeming bingung apa yang dituduhkan Fandi padanya."Jawab, Cit! Mengakulah!" gertak Fandi mulai meninggi suaranya.
"Aku pengennya sekarang, obat lelah biar tidur kita tambah nyenyak." Fandi mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum seraya membuka pakaiannya. Hasna hanya pasrah apa yang akan dilakukan suaminya."Paling juga gagal lagi, lelaki itu hanya bisa mendekatinya saja. Tidak berani mencampurinya," batin Hasna, maka ia membiarkan tangan suaminya berkelana kemana-mana dan mencium setiap inci tubuh indah miliknya. Hasna mulai mendesah menikmati, tapi tiba-tiba Fandi terbangun dan berlalu ke dapur. Hasna hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Ia sudah tahu lelaki itu pasti belum berani melakukannya.Sementara Fandi di dapur membuat teh hangat untuk Hasna."Ma'afkan aku, sayang," ucapnya lirih seraya mengeluarkan satu butir pil dari plastik kecil dan mencampurinya ke dalam teh hangat yang akan ia berikan untuk sang ist
"Siapa mereka?" Hasna mencoba mengingat-ngingat dua orang itu. Sepertinya ia mengenal kedua orang itu. Namun tidak terlalu jelas, wajah mereka tertutup helm rapat, ia hanya merasa mengenalnya dari postur tubuh mereka. Salah satu dari mereka berbadan besar dan satunya lagi kurus tinggi dan keduanya memakai jaket hitam dan bercelana jeans sobek bagian lutut. Segera ditepisnya pikiran negatifnya itu. "Ah, mungkin saja orang sini, tapi kenapa berbadan besar itu sepertinya menunjuk-nunjuk Fandi dan kemudian mengikutinya? dan sudah sejak subuh motor mereka juga sudah ada diujung jalan."Hasna hanya berdo'a, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suaminya.Setelah beberapa menit, Fandi sampai ditempat yang sudah dijanjikan oleh Andre. Cafe tempat biaaa mereka nongkrong, tidak jauh dari kantor Andre. Pemuda itu segera menuju meja dimana seorang pemuda duduk seorang