*Happy Reading*
Geram, aku pun meraih kaca mata gunung di sebelahku, yang tadi aku lepas sebelum pake sarung urut, lalu melemparkannya pada Putra dan ...
Ceklek!
Pluk!
Mampus!
Ngapa tuh beha nemploknya dihidung mancung Alan?
Seketika mataku pun melotot horor melihat hal tak terduga itu. Kaget? Tentu! Lebih ke malu, sih. Apalagi saat tangan Alan terangkat dan mencincing kaca mata gunung berwarna merah itu, kemudian terlihat syok beberapa saat setelahnya.
Asli! Rasanya aku pengen banget ngumpet di kolong kasur saat itu juga. Tetapi, gimana bisa ngumpet? Lah, kakiku aja masih dicengkram Mak Ijah ini.
Lebih dari itu, tampilanku saat ini juga cuma sarungan, doang. Rambut diuntel ke atas semua, memperlihatkan leher dan sekda. Pokoknya nih sarung melorot dikit aja, jadi sudah! Jadi malu gengs maksudku. Hayo ... mikir apa kalian?
Bwaahahahhaha ....
Lalu, suasana Awkward itupun terpecah oleh tawa Putra, sang pe
*Happy Reading*Sebenarnya, aku sudah tertidur sejak ba'da Isya tadi. Entah karena kurang tidur sejak dua hari ini, atau karena efek abis urut. Pokoknya, masuk maghrib tuh mataku udah berat banget.Cuma karena nanggung mau Isya, aku pun memaksakan diri menunggu sebentar, sebelum benar-benar tepar selepas sholat empat rakaat itu.Nah, mungkin karena tidur sangat awal itulah, akhirnya tengah malam begini aku pun terbangun. Duh, jam berapa sih ini?Melirik jam sebentar, yang ternyata sudah hampir jam tiga, aku pun memilih turun dari tempat tidur Umi, dan beranjak ke arah dapur. Kebetulan aku juga lumayan haus.Namun, Langkah kakiku sontak terhenti, saat baru saja keluar kamar, sudah disuguhkan keberadaan Alan di ruang keluarga, terlihat sibuk di depan laptop.Lah? Dia lembur atau gimana?"Aa belum tidur?" Kepo, aku pun menghampiri Alan setelahnya, serta mengurungkan niat awalku.Merasa namanya di sebut. Pria itu
*Happy Reading*"Kamu mau saya cium juga?""Mau, dong!"Eh! Ngomong apa aku barusan?Seketika aku jadi gelagapan sendiri, saat menyadari ucapanku barusan. Astaga! Bisa-bisanya aku keceplosan gitu."Eh ... uhm ... Bu-bukan gitu maksud saya, A'. Saya ... saya cuma ...."Duh, gimana ini jelasinnya? Aku takut, Alan mengira aku ngarep dan sok jual mahal selama ini. Meski itu memang benar, sih. Tapi harusnya aku jaga Image dikit, kan?Setidaknya, aku tidak boleh terlihat terlalu ngarep sampai tahu perasaan Alan selama ini. Bagaimana pun Alan ini masih sangat abu-abu untukku. Bahkan, motifnya mau menikah denganku pun, aku belum tahu pasti."Jadi mau dicium atau tidak?""Ya mau!"Eh! Refleks aku pun memukul pelan mulutku sendiri. Dengan wajah yang pastinya sudah memerah karena malu.Aduh ya ampun ini mulut. Kenapa gak bisa kalem dikit, sih? Bocor banget sumpah!"Aa, ih! Kenapa sih sukanya ngerjain oran
*Happy Reading*Kan? Kan? Apa aku bilang?Gara-gara semalam Alan lembur sampai subuh. Tengah hari begini dia masih bobo ganteng di ruang tengah.Kenapa ruang tengah? Ya ... karena kamarku sedang di tempati Dokter Karina. Sementara Pak Arjuna sudah pergi lagi untuk urusan bisnis. Tapi, katanya sih, hari ini mau datang lagi untuk menjemput istrinya. Itulah sebabnya, sejak datang ke sini Alan memang tidur di ruang tengah.Sebenarnya, Alan bisa saja tidur dengan Putra. Aku dan orang rumah sudah menawarkan hal itu kok. Tapi, pria itu tidak mau dan malah memilih di tidur di ruang tengah saja. Alasannya, dia tidak ingin sampai menganggu Putra jika sampai harus bekerja seperti semalam.Namun, masalahnya sekarang adalah, kalau dia tidur di ruang tengah sampai siang begini, hal itu otomatis membuat orang-orang yang lewat gagal fokus dan malehoy tiba-tiba. Soalnya, Alan itu ternyata kalau tidur gak suka pakai baju.Nah, kan, Rot
*Happy Reading*Mendengar penuturan Dokter Karina. Aku pun auto mikir keras. Sebenarnya pernikahan apa yang sedang aku jalani? Kenapa rasanya aneh gini ya hubungan yang terjalin? Banyak banget yang aku gak tahu di sini. Entah itu karena kami memang kurang komunikasi, atau memang Alan senang bergerak dalam diam tanpa suka sesumbar.Yang jelas, aku auto merasa gak ada gunanya jadi istri. Soalnya ... ayolah! Itukan masalahku juga. Masa aku gak dilibatin sih dalam hal itu. Kan aku juga pengen di ajak diskusi.Sebenarnya aku ini apa di mata Alan?"Dok?""Hm ...""Menurut Dokter ... Motif Alan menikahi saya itu, apa ya?" Dari pada aku botak mikirin hal itu sendiri. Mending aku tanyakan saja pada orang yang mengaku Dewa Amor di sebelahku ini. Yee kan?"Maksud kamu apa? Saya gak ngerti."Eh, si koplak! Katanya Dewa Amor. Masa gak ngerti maksud pertanyaan aku. Gimana sih? Dewa Amor magang kali ya dia mah."Ih, Dokter mah. M
*Happy Reading*Sebelumnya. Aku selalu merasa bersalah tiap kali mengingat tentang Viola. Karena aku mengira sudah merebut Alan darinya. Namun, saat tahu bahwa kenyataannya tidak begitu. Kini aku malah selalu kesal sendiri tiap kali melihat nama Viola terus muncul di layar ponsel suamiku.Karena kini aku tahu, dia justru mau merebut Alan dariku. Yah ... sejenis pelakor lah. Lagi pula, Apaan sih nih cewek? Gatel bet dah ah nelponin suamiku mulu. Minta digaruk memang. Sini lah aku garuk pake linggis di belakang rumah. Biar yahud rasanya, yee kan?Ingin sekali aku mengangkat panggilan dari Viola itu. Biar bisa aku maki kayak di sinetron-sinetron yang sering kalian tonton. Namun, aku belum berani selancang itu saat ini. Karenanya, mengutip titah Alan semalam. Aku pun mengabaikan telpon itu, dan memasukannya kembali ke kantor daster."Ning teu di angkat, Mi?" (Kok gak di angkat, Mi?)Teh Laras ternyata kepo."Kajeun ah, Teh. Teu penting iye." (Biar
*Happy Reading*"Cie ... yang abis di--""Jangan resek, deh, Dok." Aku berdecis kesal, dan melotot galak. Saat lagi-lagi mendengar bisikan yang berisi ledekan Dokter Karina saat pulang dari acara mandi di sungai dan makan liwet.Nih Dokter emang bener-bener, deh! Bikin aku makin senang--eh, malu aja hari ini. Gak liat apa nih muka aja masih merah plus anget gini? Kayaknya sesampainya di rumah aku harus minum obat penurun panas, deh. Takutnya aku mendadak demam gegara dicium Alan, yee kan?Dicium?Aaarrggg ... rasanya aku pengen guling-guling tengah sawah kalau inget lagi. Tapi jangan! Sawahnya lagi bagus. Sayang kalau di pake buat guling-guling. Mending buat photo-photo aja, bakal jadi kalender tahun depan.Okeh skip! Otakku memang makin eror kayaknya sejak mendapat si kenyal-kenyal anget dari Alan.Sebut saja permen yupi. Soalnya kenyalnya sama, manisnya pun sama. Kalian jangan minta, ya? Permen ini hanya mili
*Happy Reading*"Pulang!" ucapnya dengan suara dalam yang tegas sekali. Tanpa sadar aku menelan saliva kelat mendengarnya.Dia beneran marah, pemirsah!"Ta-tapi ... masih hujan, A'," cicitku sambil melirik keluar saung yang memang masih hujan lebat.Tanpa kata, Alan meraih belakang tubuhnya dan memperlihatkan sebuah payung padaku. Lah? Kalau dia bawa payung, kenapa dia ujan-ujanan, ya?Masih tanpa kata, Alan lalu membuka payung itu dan menyodorkannya padaku. Tak lama, dia memberikan kode untuk segera pergi dari sana."Eh, Aa kok duluan. Sini barengan. Biar gak kehujanan." Aku mencoba meminta atensinya."Sudah kehujanan."Benar juga."Ya udah atuh. Jalannya jangan cepet-cepet. Licin loh ini. Nanti saya jatuh."Kukira karena marah dia tidak akan memperdulikan rengekanku barusan. Ternyata dia memelankan langkahnya, dan langsung meraih tanganku untuk dituntunnya.Pematang sawah sangat li
*Happy Reading*Aku tengsin banget!Demi apa? Bisa-bisanya aku nyosor Alan gak tahu malu kayak gitu. Mana kepedean lagi nyangka Alan pengen di cium. Ternyata eh ternyata. Tuhan ... boleh pinjem alat pemutar waktunya Doraemon, gak? Aku mau nyemaletin mukaku, yang sering banget ilang kalau depan Alan.Heran, deh. Kenapa sih, aku sering banget mempermalukan diri sendiri kalau dekat Alan? Pertanda apa, coba? Padahal, aku kan juga pengen kelihatan alim depan suamiku sendiri. Nah ini? Jatoh mulu harga diriku.Yang paling menyebalkannya lagi adalah, selain mulutnya yang asal ceplos itu. Wajahnya juga tetep aja lempeng bin kaku, meski udah dapet sosoran dari aku. Gak ada gitu merona atau ... minimal rona senang dapet hadiah dari bininya. Padahal, aku seneng loh disosor dia waktu di sungai. Kok dia nggak, ya? Apa ... sosoranku kurang?Au ah! Kadung malu, aku pun langsung ngacir aja kemaren. Inginnya sih, menghindar selamanya. Tetapi mana bisa? K
"Aduh! Terus kumaha iye? Mana si Bapak udah pergi? Saya telepon Bapak lagi aja, gimana? Pasti belum jauh, kan?" Asisten yang bernama Mbok Minah itu pun seketika panik. "Jangan, Mbok. Jangan ganggu Bapak," larang Hasmi yang kini berusaha mengatur napasnya, demi meredakan sakit yang semakin mendera perut bawahnya. "Ya, terus. Ini gimana, Bu? Saya harus apa?" Meski agak heran dengan permintaan sang nyonya. Mbok Minah pun kembali bertanya. "Suruh Pak Komang siapin mobil. Terus, tolong ambilin tas bayi di kamar yang sudah saya siapin. Mbok nanti temenin saya ke Rumah sakit, mau, ya?" pinta Hasmi setelah memberi titah pad sang asisten. "Iya, iya, Bu. Nanti saya temani. Kalau gitu, ibu tunggu bentar, ya? Saya nyari si Komang dulu." Mbok Minah pun pamit, mencari sopir yang sengaja Alan pekerjakan untuk mengantar-antar Hasmi jika ingin bepergian sendiri. Sementara Mbok Minah melaksanakan titah Sang nyonya. Hasmi sendiri kini tengah sibuk mera
Ektra part 5*Happy Reading*Hasmi mendesah berat, saat terbangun dari tidur malamnya tapi tidak menemukan Alan di sisi tempat tidur. Melirik jam di atas nakas sejenak, yang menunjukan pukul dua pagi. Hasmi pun memutuskan turun dari tempat tidur, dan menghampiri suaminya itu. Ruang kerja menjadi tujuan Hasmi. Karena setelah makan malam, Alan memang pamit meneruskan pekerjaan yang belum sempat dia selesaikan di kantor. Sementara Hasmi, memilih langsung tidur setelah sholat isya.Kehamilan yang sudah semakin besar membuatnya mudah lelah. Itulah kenapa, Hasmi jadi sering mengantuk dan mageran. Ditambah lagi, sekarang ada beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Makin-makin saja kemagerannya itu. Hasmi kembali menghela napas panjang, saat menemukan kebenaran atas dugaannya. Di sana, di dalam ruang kerjanya. Alan tengah menatap layar laptopnya dengan tampang serius sekali. Membuatnya terlihat bersahaja dan tampan sekali. Ah, mema
Ekstra part 4"Sudahlah, Alan. Biar aku saja yang jadi mengajak istrimu berkeliling. Aku janji tidak akan membuat istrimu lecet. Jadi, kau tidak harus menyusahkan diri sendiri seperti itu."Alan langsung mendengkus kesal, saat lagi-lagi Frans mengejeknya ketika jatuh dari motor.Ya. Demi Hasmi. Alan akhirnya memutuskan belajar motor kembali, agar bisa memenuhi ngidam sang istri. Meminta bantuan pada Frans yang memang lihai dalam hal kendaraan beroda dua itu. Awalnya Alan ingin minta di ajarkan lagi dalam mengendarai motor. Siapa sangka? Ternyata pria itu malah terus mengejeknya sepanjang latihan."Terima kasih, Frans. Aku masih bisa menuruti ngidam istriku seorang diri. Kau diam menyimak saja," balas Alan kemudian. Tidak akan pernah mengijinkan Frans berdekatan dengan istrinya lagi. Apalagi, setelah tahu perasaan pria itu pada sang istri. Alan tidak ingin memberi celah sedikitpun untuk sebuah perselingkuhan. Ah, ya! Satu rahasia ya
*Happy Reading*Entah sudah jadi sugesti atau memang kebetulan saja. Sejak mengetahui jika sudah berbadan dua, tubuh Hasmi pun mulai merasakan kodisi yang biasa ibu hamil rasakan. Mual-mual dan lain macamnya. Namun, yang paling membuat Hasmi kewalahan adalah muntah-muntah yang di alaminya. Karena hal itu bukan cuma saat pagi hari saja, tetapi bisa seharian full dan membuatnya tidak bisa berjauhan dari kamar mandi. Selain muntah yang berlebihan, Hasmi juga tidak berselera makan sejak hamil. Semakin dia makan, semakin sering dia muntah. Terutama dengan makanan pokok negara kita, yaitu nasi. Jangankan memakannya, mendengar namanya saja dia sudah mual. Dengan kondisinya yang seperti itu, sudah bisa dipastikan. Hanya dalam hitungan hari saja, Hasmi pun drop. Mengharuskannya bedrest total dan mendapat asupan makanan dari selang infus.Sebagai seorang suami, Alan pun dirundung kesedihan melihat kondisi Hasmi. Seandainya saja dia bisa menggant
*Happy Reading*"Nah, udah kelar! Lo? Udah kelar juga, gak?" Hasmi melirik Mira, menanyakan pekerjaan gadis itu. "Bereslah! Miwra gitchu, loh!""Najis! So imut bet lo!" Hasmi misuh-misuh kesal melihat tingkah Mira. "Emang imoet kakak ...." sahut Mira sengaja mengedip-ngedipkan mata seperti orang cacingan. Ingin menggoda Hasmi"Semerdeka lo aja dah, Mir. Males debat gue." Hasmi mengalah. "Dahlah, yuk sholat dulu. Udah masuk waktunya, kan?" Hasmi memilih mengalihkan obrolan pada yang lebih berfaedah. "Udah, sih. Tapi lo duluan aja.""Lah, Ngapa? Lagi males atau ngerasa udah banyak pahala?" sindir Hasmi."Bukan, gela! Gue lagi dateng bulan."Owh ... pantas saja. Soalnya setahu Hasmi, meski si Mira ini bar-bar dan adminnya lambe jemblehnya rumah sakit ini. Tetapi perkara sholat, gak pernah ketinggalan. Bahkan bisa dikatakan jempolan, soalnya gak nunda-nunda waktu. "Oh gitu ...." Hasmi menganggu
*Happy Reading*(Author pov)Hari ini sabtu dan Alan sedang libur. Pria itu sengaja tidur lagi sehabis sholat subuh, karena memang tak punya rencana apapun hari ini. Hanya bersantai ria dengan istri tercinta yang pastinya sedang sibuk membersihkan rumah.Jangan salah kira. Alan bukannya mau menjadikan istrinya itu sebagai pembantu di rumahnya sendiri. Hanya saja, Hasmi memang suka bebenah orangnya, dan tidak ingin memiliki pembantu dulu."Nanti saja punya pembantunya, A. Sekarang Hasmi belum butuh. Lagian, di rumah ini juga hanya kita berdua. Hasmi masih bisa mengurus semuanya sendirian."Itu katanya, saat Alan tawarkan seorang pembantu untuk membantunya mengurus rumah mereka. Meski sudah dibujuk bagaimana pun. Jawaban wanita itu tetap sama. Belum butuh. Begitu saja terus. Sampai Alan menyerah dalam membujuk wanitanya. Karena tak ingin malah jadi ribut nantinya. Kadang, istrinya itu memang sangat keras kepala. Makanya Alan memilih me
*Happy Reading*"Jangan iseng, ya? Aku gak mau sampai kehilangan kontrol di sini," ucapnya lembut membuat aku tertegun. "Kecuali ... kamu mau coba bikin anak di dalam mobil, aku sih gak akan keberatan sama sekali."Eh? "Bikin anak dalam mobil?" Aku membeo. "Atuh jangan Aa. Sempit, ih! Di kamar Apartemen yang luas aja saya engap kalau Aa udah naek. Nah ini malah di dalam mobil. Gepen nanti saya," lanjutku dengan tak habis pikir. "Kamu nanti di atas, biar saya yang di bawah," balas Alan, setelah mengulum senyum berapa saat. Apa, sih? Dia pasti mau ngisengin aku lagi."Di atas gimana? Nanti kepala saya benjol, dong. Mentok mulu pas goyangin Aa." Aku memukul dada bidangnya dengan kesal. "Udahlah jan ngadi-ngadi. Bikin anaknya di rumah aja. Jangan di tempat macem-macem.""Ya, makanya kamu juga jangan iseng di sini. Kalau mau di rumah aja. Biar nanti kalau si 'itu' bangun. Gak susah nyari tempatnya, ya?"Kali ini a
*Happy Reading*Keesokan harinya, kami semua memutuskan untuk liburan bersama ke tempat wisata di Tokyo. Tidak, lebih tepatnya, Dokter Karina yang mempunyai rencana itu, dan aku memaksa ikut.Kenapa memaksa? Ya, karena aku awalnya gak diijinkan. Nyebelin banget, kan? Masa pengen ikut liburan gak boleh? Pelit bet dah, ah."Gak habis pikir saya sama kamu. Orang abis nikah tuh honeymoon Hasmi. Jalan ke mana gitu, beduaan sama Alan. Atau ngedekem di kamar bikin anak tujuh hari tujuh malam juga gak papa. Pokoknya penting beduaan dulu sama suami. Ini kok malah ikut kami. Aneh, kamu!"Itu komentar Dokter Karina saat aku bersikukuh ikut mereka kemarin. Membuat aku cemberut kesal plus gemes banget.Ck, dikira bikin anak mulu kagak capek, apa? Capek kali, Mak! Apalagi ini disuruh begituan tujuh hari tujuh malam. Bah! Ledes nanti dorayakiku. Ganti bentuk jadi okonomiyaki. Haduh, haduh ... tuh dokter kalau ngomong emang bikin orang pengen nguncir mul
*Happy Reading*"Uhuk! Cie pengantin baru, akhirnya keluar kandang juga. Gimana? Dapat berapa ronde semalam? Ugh ... kayaknya gempur abis-abisan, tuh! Jalannya udah beda, cuy!"Aku ingin sekali menyumpel mulut bocor Dokter Karina dengan Burger jumbo di hadapannya, saat mendengar celetukan jahilnya itu ketika waktunya makan malam di restaurant bawah. Ya, ternyata kami semua satu apartemen. Hanya beda lantai saja, soalnya si Nyonya Sultan sudah pasti membutuhkan Apartemen lebih besar, untuk menampung orang-orang yang dia bawa turut serta ke negara ini.Maksudku, ketiga anaknya dan baby sitter mereka masing-masing. Tahu sendiri, kan, dia dan suaminya sangat sibuk. Jadi pastinya butuh bantuan Baby sitter untuk mengurus anak-anaknya. Hanya saja, untuk urusan memandikan dan makanan. Dokter Karina biasanya turun tangan langsung mengurus ketiga anaknya. Dia itu ibu yang hebat. Tapi atasan yang nyebelin kadang. Terutama mulut bocornya. Suka nyeplos gak pandang tempat. Sepert