Dua hari setelah pertemuannya dengan Sasmita, Leana merasa cukup lega. Karena nyatanya Sasmita tak muncul lagi di hadapannya. Dan Leana akan memastikan apakah Sasmita pulang ke Italia atau tidak. "Kak Lea!" Leana tersenyum lebar melihat Arsen. "Kok sore-sore begini datangnya? Memangnya Mas Elvano izinin Kakak?" tanya Arsen sembari mengambil alih paper bag yang Leana bawa. "Tenang, kakak udah izin. Jadi, aman terkendali," canda Leana sembari melepas sepatunya, dan masuk ke dalam rumahnya. "Ibu di mana?" "Tidak tahu, katanya mau ke Batam besok sore." Leana yang sudah mendudukkan bokongnya langsung menoleh ke arah Arsen. "Ada urusan apa sampai Ibu ke luar kota?" Arsen hanya mengangkat bahu. Leana yang melihatnya hanya terdiam, lalu menepuk pundak Arsen pelan. "Tolong ambil piring, sama air dingin di kulkas." Arsen mengangguk, tapi langkahnya terhenti kala mengingat sesuatu. Dia pun berbalik sembari menatap Leana. "Kakak minum air dingin?" "Iya, kenapa?" jawab Leana dengan tatapan b
Tubuh Elvano menegang, lalu menarik tangannya yang sedari terus mengelus perut datar Leana. "Ayo tidur, aku juga mau lanjut bekerja." Leana menelan ludah susah payah, dia tahu jika Elvano sedang mengalihkan pembicaraan."Ya, aku juga mengantuk sehabis makan." Leana berucap serak, dia merasa malu sekaligus tersakiti disaat yang bersamaan. Bukankah mereka sudah sepakat untuk tak melibatkan hati? Lantas mengapa perasaannya melampaui batas? Dan akhirnya Leana kecewa akan ekspektasinya sendiri. Sementara itu, Elvano kembali mengusap perut datar Leana. "Hai, Little Bunny. Mama kamu sudah mengantuk. Jadi, kamu juga harus tidur, ya?" Elvano berucap gugup, terlihat jelas jika pria itu sudah tak nyaman dengan suasana yang terjadi."Okay, Papa!" celetuk Leana sambil memasang senyuman lebar, tetapi tidak dengan sorot matanya yang berkaca-kaca.Pria itu pun membantu Leana menuju kasur, lalu membaringkan sang istri penuh kehati-hatian. "Selamat tidur, little bunny." Elvano mengusap perut Leana perl
Leana tak henti-hentinya mengutuki kecerobohannya. "Mas Elvano pasti marah karena aku tidak mengangkat panggilannya," gumam perempuan itu resah, dia melihat ponselnya yang baru terisi lima persen. "Kak Lea, makan dulu, yuk. Sudah pukul sepuluh, nanti kemalaman." Leana menatap Arsen yang berada di ambang pintu. "Arsen, apa Mas Elvano belum balik juga? Coba tolong lihat sekali lagi mobilnya, siapa tahu sudah datang." Arsen menggeleng pelan. "Sudah lima kali aku bolak-balik, dan mobil Mas Elvano belum datang juga." Leana menghembuskan nafas berat. "Ya sudah, kamu duluan saja ke meja makan. Nanti Kakak menyusul." Arsen terlihat ragu-ragu. Namun, tak urung mengiyakan. Leana kembali menelpon Elvano, tapi nihil. Perempuan itu tak kehabisan akal, sekarang justru dia mencari kontak Zion, dan langsung menghubungi pria itu. "Halo, maaf mengganggu malam-malam, Mas, Zion. Saya mau tanya, apakah Mas Elvano masih di rumah sakit?""Hah? Vano? Tidak, Vano sudah pamit pulang sebelum dia makan mala
Bukankah aku terlalu percaya diri? Aku selalu mengatakan jika kamu akan mencintaiku suatu saat nanti. Tetapi apa? Justru aku yang semakin terjatuh dan terjebak dalam cinta sepihak ini. ~Leana Pramita~●●● "Pasiennya perempuan, dan tadi aku ikut membantunya karena dia akan terjatuh. Aku tahu jika pernikahan yang kita jalani tidak ada cinta, tetapi aku tidak mungkin menghianatimu." Ingin rasanya Leana berteriak di depan wajah Elvano jika dirinya mencintai pria itu. Namun, Leana tahu pada akhirnya Elvano akan menghindari pembicaraannya, seperti malam kemarin. Saat pernyataan cinta keluar dari bibirnya. "Mas Elvano tidak perlu khawatir, aku hanya bertanya. Dan aku juga percaya sama papanya little bunny ini." Leana tersenyum simpul sembari menepuk lembut punggung Elavno. Ya, benar, wangi parfum seperti itu bukan hanya satu orang yang pakai. Dan Leana tidak boleh berprasangka buruk pada Elvano. "Terima kasih, sudha percaya." Pria itu tersenyum tulus, tapi tidak dengan pikirannya yang
Tak terasa kini kandungan Leana menginjak tiga bulan, tetapi entah kenapa Leana semakin merasa sikap Elvano sedikit berubah sekarang. Bahkan Elvano kerap kali tak pulang karena terlalu sibuk di rumah sakit. "Lea, kalau perut kamu sudah kelihatan membesar nantinya, apa kamu akan cuti?" Cila berbisik seraya menatap perut Leana. "Tidak tahu, Cila. Nanti aku omongin sama Mas Elvano."Cila hanya mengangguk, tapi tidak dengan pikirannya yang berkelana ke mana-mana. "Lea, jujur aku masih shock sampai sekarang mengenai pernikahan kamu. Saat aku di rumah kamu dan menanyakan perihal ini, tapi kamu hanya diam tak menjawab. Jika boleh jujur—" Cila menggantungkan ucapannya, lalu menatap Leana penuh raut penasaran. "Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kamu ini?" lanjutnya.Leana menegang, tapi tak urung menjawab, "Tentu, aku sangat bahagia." "Lea, aku tahu jika pernikahan kalian disembunyikan dari publik, 'kan? Sejak kamu memperkenalkan Elvano padaku, aku langsung mencari tahu tentang pria itu.
Elvano masih terpaku atas semua yang terjadi, tak mungkin mamanya berbohong padanya, bukan? "Vano, kamu kenapa? Kamu kesal karena aku telat?" "Bukan, aku hanya bingung. Bukankah aku akan makan malam bersama, Mama? Lalu mengapa kamu juga ada di sini?" Sasmita tersenyum lembut. "Ah, karena itu ternyata, tadi Mama Sania nelpon aku. Katanya beliau ada urusan mendadak, jadi aku yang disuruh menemani kamu makan di sini." Sasmita mengubah raut wajahnya menjadi sendu. "Kamu keberatan, ya? Atau kamu mau aku pulang saja?" "Tidak perlu, kita lanjutkan saja makan malamnya," potong Elvano cepat, walaupun di dalam hatinya dia terus bertanya-tanya. Apa tujuan mamanya melakukan ini semua. "Okay, selamat makan. Eh, sebentar, aku pisahin kepala udangnya dulu. Aku tahu kamu tidak suka kepalanya, bukan?" Elvano mengangguk singkat. "Terima kasih." Sasmita tersenyum lebar. "Sama-sama, Vano. By the way aku akan kontrol minggu depan, kamu mau nemenin aku,'kan?" Tubuh Elvano menegang untuk sesaat, namu
Zion tak mau kalah, dia dengan segera menguasai diri dan memukul balik Elvano. Pria itu terkapar karena balasan yang Zion layangkan. "Mas Zion, sudah. Saya mohon!" Leana melindungi tubuh Elvano dengan tubuhnya sebagai tameng, sedangkan Arsen memegang bahu Zion erat. "Vano." Zion terengah sembari mengusap darah di ujung bibirnya. "Aku tidak tahu kalau kamu sebodoh dan seceroboh ini. Besok-besok gunakan otakmu sebelum bertindak, jangan diisi dengan masa lalu saja. Kalau suatu hari Leana memilih untuk pergi, baru tahu rasa!" Zion melepas kasar tangan Arsen dari bahunya, lalu menyambar jaketnya yang ada di sofa. Sebelum benar-benar pergi. Zion melirik singkat ke arah Leana. " Leana, jaga diri kamu baik-baik. Saya permisi dulu." setelahnya Zion berlalu dengan langkah lebar. "Lepas!" Leana yang masih terisak langsung melepaskan tangannya dari pundak Elvano. "Aku akan ke kamar. Malam ini aku butuh waktu sendiri, kamu tidur saja di kamarmu yang dulu." Elvano melenggang pergi dengan sempoyong
Bukankah gengsi seorang pria begitu tinggi? Elvano Mahendra, buktinya. Bahkan setelah seminggu berlalu saat pertengkarannya malam itu. Dia sama sekali tak kunjung meminta maaf pada Leana. "Cara meminta maaf yang baik dan benar." Elvano mengetik dikolom pencarian, sedetik kemudian dia menggeleng kuat kala membaca kata demi kata yang terdapat di sana. "Memberikan bunga? Dan apa ini! Mengucapkan aku mencintaimu sebanyak seratus kali. Serta— " Elvana tak bisa melanjutkan kalimatnya, karena menurutnya itu sangat berlebihan. "Ya sudahlah, sekalian saja tidak usah meminta maaf." Pasalnya Elvano kesal sendiri, semua kalimat itu terdengar menggelikan menurutnya. Elvano keluar dari kamarnya, sementara Leana juga tak pernah lagi kembali ke kamar ini. Perempuan itu seperti menghindarinya, membuat Elvano sedikit kesal. Mengapa Leana tidak bisa berinisiatif untuk tidur di kamarnya lagi? Namun, Elvano juga cukup salut pada Leana, dia tetap menyediakan keperluan Elvano sehari-hari."Mas Elvano akan
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S
“Berhati-hatilah, Vano. Aku tidak ingin kamu lengah.”Elvano menganggukkan kepala, setelah tersadar jika Zion tak melihatnya. Pria itu berdehem sembari menjawab pelan. “Tentu.” Toh, mana mungkin Risa bisa menembus penjagaan ketatnya. “Bagaimana keadaan Zelina, apa dia sudah mulai mendingan?” Hembusan lelah menginvasi indra pendengaran Elvano. “Begitulah, Papa sama Mama menyarankan jika kami berlibur. Tapi mungkin setelah Zelina benar-benar sembuh total.” Elvano yang mendengar nada sedih itu kembali dirundung amarah, jika Risa serta Aditya tertangkap. Elvano Sendiri yang memberikan hukuman setimpal untuk mereka, sudah cukup kekacauan yang diperbuat. “Vano, sudah dulu ya. Zelina sudah bangun soalnya, sampaikan salamku pada si kembar dan Leana.” “Hm, pasti.” Elvano mematikan panggilan, lalu melangkah menuju Leana berada. Kening pria itu berkerut ketika tak menemukan seorangpun di sana, ke mana mereka semua?Elvano berjalan menuju kamar paling ujung, berpikir bahwa Leana sedang menid
Jika boleh memilih, Leana lebih baik berhadapan dengan makhluk tak kasat mata dari pada manusia gila yang nekat melakukan apa saja. Contohnya, seperti sekarang ini, raut menyala-nyala yang Risa tampakkan membuat bulu kudu Leana meremang oleh rasa takut yang tak bisa dideskripsikan. Seringai pada bibir ranum berpoles lipstik merah itu semakin menambah kesan keji dari Risa. “Long time no see, Leana. Kamu semakin cantik saja. Dan aku semakin iri melihatnya.” Leana tersentak kaget ketika Risa tiba-tiba menekan kuat lehernya. Perbedaan tinggi mereka membuat Risa diuntungkan, apalagi tubuh perempuan itu sangat unggul jika dibandingkan Leana yang mungil. “Pasti menyenangkan, bukan? Menjadi seorang nyonya di kediaman Elvano Mahendra─”“Sayang!”Perkataan Risa terhenti kala perempuan itu mendengar suara Elvano yang memanggil Leana. “Ck, sayang sekali waktu kita hanya sebentar, tapi kamu tenang saja. Kita akan mempunyai waktu luang yang sangat banyak, dan aku akan menceritakan semuanya.” R
Beberapa hari setelah kejadian itu, Leana terlihat pendiam. Perempuan itu juga selalu was-was dalam segala hal. Elvano yang notabenenya peka akan apa yang terjadi pada sang istri segera mencari tahu. Mulai dari saat di mana perubahan sikap Leana, sampai dia melacak apa yang terjadi di butik sang istri, tak ada yang aneh sebenarnya, kecuali pada sore hari ketika Leana menerima paket yang diserahkan oleh karyawannya. Ketika Elvano mengecek rekaman cctv yang ada di dalam ruangan Leana, rahang pria itu bergetar ketika melihat wajah ketakutan Leana saat membuka box putih berpita gold itu.Elvano tak tahu apa isinya, karena setelah itu Leana membuangnya ke tong sampah, lalu memanggil satpam butiknya. “Mas! Ngagetin aja!” Leana memegang dadanya—menatap kesal ke arah sang suami. "Habisnya kamu melamun terus sedari tadi, mikirin apa, hm?" Elvano mendekap tubuh mungil istrinya dari belakang, dia akan menunggu sampai Leana siap menceritakan semuanya.Leana terdiam, dia kembali melempar pandan