Bukankah gengsi seorang pria begitu tinggi? Elvano Mahendra, buktinya. Bahkan setelah seminggu berlalu saat pertengkarannya malam itu. Dia sama sekali tak kunjung meminta maaf pada Leana. "Cara meminta maaf yang baik dan benar." Elvano mengetik dikolom pencarian, sedetik kemudian dia menggeleng kuat kala membaca kata demi kata yang terdapat di sana. "Memberikan bunga? Dan apa ini! Mengucapkan aku mencintaimu sebanyak seratus kali. Serta— " Elvana tak bisa melanjutkan kalimatnya, karena menurutnya itu sangat berlebihan. "Ya sudahlah, sekalian saja tidak usah meminta maaf." Pasalnya Elvano kesal sendiri, semua kalimat itu terdengar menggelikan menurutnya. Elvano keluar dari kamarnya, sementara Leana juga tak pernah lagi kembali ke kamar ini. Perempuan itu seperti menghindarinya, membuat Elvano sedikit kesal. Mengapa Leana tidak bisa berinisiatif untuk tidur di kamarnya lagi? Namun, Elvano juga cukup salut pada Leana, dia tetap menyediakan keperluan Elvano sehari-hari."Mas Elvano akan
Elvano tidak tenang semalaman, dia pulang dari rumah Sasmita sekitar pukul satu dini hari. Dan menemukan rumah sudah sepi, tak ada tanda-tanda keberadaan Leana yang menunggunya. Membuat Elvano mendesah kecewa.Pria itu mencoba memejamkan mata hingga pagi menjelang, dan alhasil Elvano sangat mengantuk karena tidurnya tak nyenyak. Setiap beberapa menit sekali dia terbangun dengan bayang-bayang wajah kecewa Leana."Permisi, Pak. Sarapannya sudah siap di bawah." Elvano yang baru menutup pintu kamarnya menjadi terhenti ketika melihat mbok Sumi berdiri di hadapannya. "Di mana Leana, Mbok? Biasanya dia yang akan menyiapkan semua kebutuhan saya." "Bu Leana sudah pergi bersama Mas Arsen, katanya mau bertemu keluarga jauh yang datang ke Jakarta." Elvano semakin kecewa mendengar pernyataan mbok Sumi, mengapa Leana tak meminta izin padanya. "Ya sudah, Mbok. Saya makan di rumah sakit saja jika begitu. Sudah pukul delapan, takutnya telat." "Baik, Pak." Setelahnya mbok Sumi pamit undur diri, meni
Sore harinya, setelah Elvano pulang kerja. Kening pria itu berkerut ketika mendapat sambutan hangat dari Leana, Elvano adalah sanksi jika Leana benar-benar cantik sore ini. Kesan manis dan lugu menambah pesona perempuan itu. "Mas Elvano sudah pulang? Sini tasnya, biar aku yang bawain," ucap Leana lembut sembari menuntun Elvano menuju kamar. "Mas Elvano mau makan apa malam ini?" Elvano yang masih kebingungan akan sikap Leana hanya bisa tergugu di tempatnya. "Mas Elvano denger aku, tidak?" Ulangnya sembari memasang senyum cantik." "I-iya, kenapa?" Elvano berujar gugup, Jujur saja selama ini Elvano bahkan tak pernah merasa gugup di hadapan Sasmita, walaupun saat menyatakan perasaannya dulu. Leana terkekeh lembut mendengar jawaban dari Elvano. "Aku tanya Mas Elvano mau makan apa malam ini?" Elvano Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, berdehem sejenak sebelum menjawab, "Terserah, apapun masakan kamu akan aku makan," jawabnya cepat sembari melihat jam yang terdapat pada pojok kamarnya y
Elvano berdehm, guna menghilangkan rasa gugup yang mendera. "Apa maksud kamu, Leana? Aku tidak mengerti." Perempuan itu tersenyum simpul sembari memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. "Jangan di pikirkan, aku hanya asal bicara. Lebih baik Mas Elvano lanjut makan saja." Elvano mengangguk kaku, tanpa sadar memegang garpu di tangannya begitu kuat. Entah mengapa sekarang dia seperti suami yang ketahuan selingkuh. Padahal bukan seperti itu kenyataannya. "Omong-omong aku sudah kontrol tadi pagi." Leana memasang raut santai, tapi tidak pada getaran yang terdengar dari nada bicaranya. Sementara Elvano kini memusatkan pandangannya pada Leana. "Kenapa tidak memberitahuku? Agar bisa kita berdua ke rumah sakit, atau panggil Dokter Dilla ke rumah.""Dan membiarkan semua orang tahu kalau Mas Elvano sudah menikah?" Elvano tercekat, dia tak tahu harus menjawab apa. "Mas Elvano tenang saja, aku juga sama Arsen ke rumah sakitnya ""Untuk kedepannya jika ingin kontrol di rumah saja."Leana me
Dua hari setelah pembicaraan Leana serta Elvano malam itu, Leana pun tak pernah mengungkit lagi soal Sasmita. Kini Elvano juga sudah kembali perhatian padanya, walaupun menurut Leana perhatian yang Elvano berikan sedikit berlebihan. Seperti Leana harus ditemani orang suruhan pria itu jika bepergian. Leana yang sedang menyisir rambutnya dikagetkan oleh dringan ponsel, dengan cepat perempuan itu menyambar benda pipihnya yang berada di atas nakas. "Mama?" Monolognya tak percaya. "Halo, Ma. Selamat sore." "Ya, sore. Leana, kamu bisa datang di acara nanti malam?"Leana membenarkan posisi duduknya sebelum menjawab, "Maaf, acara apa ya, Ma?" "Makan malam biasa di rumah, Vano sudah saya kasih tahu juga."Leana terdiam, lantas mengapa Elvano tak memberitahunya? "Baik, Ma. Aku akan ke rumah nanti malam." "Oke."Belum sempat Leana menjawab, panggilan sudah terputus dari seberang sana. Leana hanya menghela nafas pelan sebelum beranjak dari duduknya, tapi lagi-lagi ponselnya berbunyi. Dan kali
Setelah makan malam yang berlangsung akward, Elvano serta Leana pulang dalam keadaan sunyi, tak ada pembicaraan diantra keduanya. Baik Elvano maupun Leana sama-sama tidak ada yg memulai obrolan. Elvano berdehem sejenak, lalu melirik sekilas ke arah Leana. "Apa kamu mau mampir ke butik dulu?" tanya pria itu pelan, sekaligus memecah keheningan. "Tidak." Singkat padat dan jelas, membuat Elvano semakin canggung untuk memulai percakapan kembali. Jujur saja dia begitu bingung akan perasannya sendiri, Elvano tak tahu mengapa Leana mempengaruhinya begitu besar. "Soal tadi, aku sungguh tidak tahu mengapa ada Sasmita yang ikut makan malam." Leana hanya tersenyum datar sebagai respon, perempuan itu justru membuang pandangan ke arah jendela sembil menyeka air matanya yang tiba-tiba mengalir. Suasana kembali menjadi hening, setelah sampai di kediamannya—Leana langsung membuka pintu dengan cepat. Dia melenggang pergi, tanpa menghiraukan Elvano sedikit pun. Di sisi lain, ada Sasmita serta S
'Jika kamu tidak mencintainya, mengapa harus memberikan perhatian lebih? Seolah-olah kamu menaruh rasa terhadapnya' _Unknown_●●●"Sudah, kamu tidak perlu khawatir. Leana akan baik-baik saja." Sagara mencoba menenangkan, Cila. Tapi sama sekali tak digubris oleh oleh perempuan itu.Cila sesenggukan, bahkan kini bajunya sudah basah oleh keringat serta air mata. "Leana itu tidak pernah pingsan, Pak. Ini kali pertama saya melihatnya seperti itu." Sagara mengambil duduk di samping, Cila. Dia memberikan perempuan itu tisu, yang langsung diterima oleh sang empu, lalu membersihkan hidungnya yang tersumbat. "Terima kasih, Pak."Sagara mengangguk singkat. "Sudah mulai tenang?" Cila tak menjawab, dia hanya menggeleng seraya menatap kosong ke depan. "Cila, percaya sama saya jika Leana akan baik-baik saja. Dia mungkin hanya kelelahan, serta butuh istirahat total." Cila kembali terisak, entah mengapa prasaannya menjadi melow saat melihat Leana berbaring tak berdaya. "Kamu sudah menghubungi suamin
'Aku tidak tahu mengapa jalan yang kulalui begitu terjal. Terkadang aku berpikir, hadiah apakah yang akan Tuhan siapkan sehingga mengujiku begitu hebat'"Leana Pramita"●●●"Leana baik-baik saja di sini, kalau Ayah gimana?" Leana memperlihatkan setengah wajahnya, dia tidak mau jika sang ayah khawatir. "Ayah baik-baik saja, Sayang. Tadi Ayah juga sempat telpon Arsen." Leana tersenyum simpul Namun, raut keceriaannya hilang ketika ayahnya tak sengaja mengangkat telapak tangannya. "Ayah beneran kerja di kantor? Aku tidak mau Ayah berbohong, apalagi sampai bekerja kasar." Bagus tersentak kecil, dan itu tak lepas dari pengamatan Leana. Tetapi dengan segera Bagus mengubah raut wajahnya. Tak ingin membuat sang putri curiga. "Tentu, Sayang. Ayah sedang istirahat. Ini juga—" Perkataan Bagus terhenti kala ada yang memanggilnya. "Kesayanganku, maaf. Ayah harus menutup panggilannya. Nanti Ayah hubungi lagi, ya?" Mata Leana berkaca-kaca, entah mengapa dia begitu rindu pada sosok ayahnya. "Ri